Agama merupakan salah satu aspek yang
paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para
antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Sangat penting bukan saja yang
dijumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui, tetapi juga karena
penting saling pengaruh-mempengaruhi antara lembaga budaya satu dengan lainnya.
Di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya dalam tabiat manusia serta
dalam sistem nilai, moral dan etika. Zakiah Darajad[1] mengatakan lebih lanjut, bahwa agama
itu saling pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluar-gaan,
perkawinan, ekonomi, hukum, dan politik. Agama juga memasuki lapangan
pengobatan, sains dan teknologi.
Agama juga telah memberikan inspirasi
untuk memberontak dan melakukan peperangan dan terutama telah memperindah dan
memperhalus karya seni. Oleh karena itu, tidak terdapat suatu institusi
kebudayaan menyajikan suatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu halus
seperti halnya agama. Ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak
dipaksa oleh hal-hal yang bersifat fisik sekitarnya. Segala macam formula itu
tidak menjumpai keterbatasan dibanding dengan permasalahan spiritual yang
dipertanyakan oleh manusia itu sendiri.
Pada bagian pendahuluan ini hanya akan dibahas empat bagian penting; yaitu mencakup tentang pengertian agama, bentuk-bentuk agama, cara manusia beragama, dan urgensi agama bagi manusia. Pada bagian ini dijelaskan tentang diskripsi agama secara keseluruhan. Tentunya dijelaskan juga urgensi dan signifikansi agama bagi kehidupan umat manusia. Hal ini dilakukan, dalam rangka mengantarkan pembaca untuk memahami makna agama secara komprehensip, sebelum melihat berbagai varian kajian Islam dan studi agama.
Pada bagian pendahuluan ini hanya akan dibahas empat bagian penting; yaitu mencakup tentang pengertian agama, bentuk-bentuk agama, cara manusia beragama, dan urgensi agama bagi manusia. Pada bagian ini dijelaskan tentang diskripsi agama secara keseluruhan. Tentunya dijelaskan juga urgensi dan signifikansi agama bagi kehidupan umat manusia. Hal ini dilakukan, dalam rangka mengantarkan pembaca untuk memahami makna agama secara komprehensip, sebelum melihat berbagai varian kajian Islam dan studi agama.
A. PENGERTIAN AGAMA
Kata atau term “agama”, meskipun keberadaannya di masyarakat sudah begitu
populer, namun secara ontologis ia masih sulit dirumuskan pengertiannya. M.
Quraish Shihab mengatakan bahwa agama sebagai sebuah term yang relatif mudah
diucapkan, tetapi sangat sulit didefinisikan dengan tepat.[2]
Bahkan Mukti Ali menyebut agama sebagai kata yang paling sulit dirumuskan
pengertian atau definisinya, “barangkali tidak ada kata yang paling sulit
dirumuskan pengertiannya selain dari kata agama”.[3]
Lebih jauh Mukti Ali mengemukakan tiga alasan yang melatari kesulitan
tersebut, yaitu: pertama, pengalaman agama merupakan persoalan batiniah,
subjektif dan sangat personal atau individual sifatnya; kedua,
barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang
yang membicarakan agama, sehingga dalam setiap orang mengkaji agama faktor
emosi selalu memberikan warna yang dominan; dan ketiga, konsepsi tentang
agama sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan tujuan dari subjek yang
mendefinisikan.[4] Dan juga karena agama posisinya menempati problem of ultimate concern,[5]
yakni persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan mutlak manusia yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi kebera-daannya.
Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa kesulitan
mendefinisikan agama lebih disebabkan oleh perbedaan dalam memahami arti agama,
disamping perbedaan dalam cara memahami serta penerimaan setiap agama terhadap
usaha memahami agama.[6]
Tampak
pada uraian di atas perihal adanya kesamaan pandangan di kalangan para ahli
perihal betapa sulitnya membuat rumusan definisi agama secara tepat, bahkan di
antara mereka sampai mengidentifikasi kata agama sebagai kata yang paling sulit
untuk didefinisikan. Merujuk argumen-argumen yang telah disampaikan di atas,
maka sesungguhnya faktor dominan yang melatari kesulitan perumusan definisi
agama dengan tepat, adalah begitu besarnya unsur emosi-subjektif yang ikut
terlibat dalam perumusan definisi itu, baik yang berupa tujuan maupun
kepentingan-kepentingan tertentu, yang semua ini berujung pada terciptanya
rumusan definisi yang kurang objektif. Dan selebihnya adalah kesulitan
penetapan mana unsur esensial yang mesti tercakup di dalam rumusan definisi
agama, dan mana pula yang hanya merupakan unsur instrumental atau non-esensial
yang mesti dikeluarkan dari rumusan definisi agama.
Di antara indikasi kesulitan dilakukan
pendefinisian agama secara tepat, adalah—antara lain—ditemukannya rumusan
definisi agama yang sangat beragam. Bukan saja definisi itu berbeda-beda,
tetapi kadangkala juga kontradiksi antara satu rumusan definisi dengan definisi
yang lain. James H. Leuba, misalnya, sebagaimana dijelaskan oleh Abuddin Nata,
dalam usahanya menghimpun semua definisi agama yang pernah dibuat oleh ahli
telah berhasil mengagendakan tidak kurang dari 48 buah rumusan definisi.[7]
Meskipun kesulitan besar telah
menyelimuti upaya pendefinisian agama, namun bukan berarti agama tidak bisa
didefinisikan. Masih terdapat peluang dan harapan yang memungkinkan untuk
dilakukan pendefinisian agama secara tepat, tentu dengan kreativitas dan sikap
kritis yang tinggi. Harapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa secara
filosofis ada unsur-unsur universal-esensial yang terdapat pada setiap agama,
dan karenanya pendekatannya harus bersifat filosofis. Sebagai disadari oleh
para perennialis (baca, filosof perennial) bahwa ada the common sense
sebagai universal idea atau fundamental idea yang mutlak ada pada
agama dalam berbagai bentuknya.[8]
Sebagian perennialis menamakan fundamental idea itu dengan “substansi”
agama[9]—bandingan
dari istilah “bentuk” agama—dan substansi agama inilah yang menjadi modal
adanya titik temu antara agama yang satu dengan agama lain.
Untuk memperjelas
titik temu agama, biasanya dalam studi keagamaan sering ditemukan adanya dua
istilah yang berbeda antara kata religion dengan kata religiosity.
Kata yang pertama, religion, yang biasa diartikan dengan “agama”, pada
awalnya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencer-minkan sikap
keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata
benda”; ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku
yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk umat manusia.[10]
Adapun religiosity
lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan
nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang tepat bukan religiositas,
tetapi spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan pada substansi
nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme
keagamaan.[11]
Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa term
“agama” tidak bisa dirumuskan batasan-batasan atau penger-tiannya secara umum.
Sebab, sebagaimana ditegaskan para perennialis (filosof perenial), bahwa
semua agama itu memiliki the common vision (pesan dasar yang sama),
yaitu sikap tunduk kepada Yang Maha Mutlak, walaupun bentuk formalnya
berbeda-beda. Keberadaan ini memungkinkan para ahli untuk dapat menjelaskan
aspek pengertian umum yang menjadi titik temu dari berbagai ragam agama. Dalam kaitan ini, ada dua sudut
pengertian mengenai agama, baik secara kebahasaan (etimologis) maupun
istilah (terminologis).
1.
Penggunaan
Istilah Agama, Religi dan al-Din
Selain kata agama, ada term lain yang
umumnya dipandang sebagai padanan dari kata agama yakni religi dan din.
Ketiga buah term itu telah begitu populer dalam khazanah dan
literatur-literatur keagamaan di Indonesia,[12]
dan bahkan boleh jadi di dunia internasional pada umumnya. Berkaitan dengan
tiga term tersebut—agama, religi dan din, di kalangan pengkaji
agama telah terjadi silang pendapat. Mereka berbeda pandangan di seputar apakah
ketiganya mempunyai pengertian yang identik (sama) atau berbeda? Sidi Gazalba
dan Zainal Arifin Abbas membedakan agama, religi dan din; sebaliknya
Faisal Ismail dan Endang Saifudin Anshari, keduanya mengidentikkan ketiga masam
term itu.
Pandangan yang membedakan agama dengan
religi dan din, antara lain, melihat dari tiga term itu
dari sisi cakupannya. Bagi Sidi Gazalba, seorang tokoh sebagai representasi
dari kelompok pertama, term Arab din mempunyai pengertian yang relatif
lebih luas bila dibandingkan dengan istilah agama dan religi, karena dua
term yang disebutkan terakhir ini hanya menunjuk doktrin ibadah-vertikal, tidak
menjangkau doktrin ibadah sosial-horizontal. Sementara kata din meliputi
keduanya—ibadah vertikal dan horizontal—dan karenanya ia dikatakan lebih
kompleks dibandingkan dua term tadi. Kemudian Zainal Arifin Abbas melihat dari
sisi lain, bahwa rujukan kata din hanya khusus untuk Islam, tidak pada
agama yang selainnya, didasarkan pada firman Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 19:
“inna ad-din ‘inda Allah al-islam” (sesungguhnya agama di sisi Allah
adalah Islam).
Kontras dengan pendapat yang telah
dijelaskan di atas, adalah pandangan yang secara tegas mengidentikkan
pengertian kata agama dengan religi dan din. Memang tiga buah
istilah tersebut mempunyai akar dan atau asal kata yang berbeda—agama dari
bahasa sansekerta, religi dari bahasa latin dan din dari bahasa
arab—namun sebenarnya makna esensial ketiga term itu dapat dikatakan relatif
sama atau identik. Dengan perkataan lain, sesungguhnya esensi agama, religi
dan din adalah sama (satu), sehingga perbedaan tiga term itu hanyalah
bersifat instrumetal yakni menyangkut asal-usul bahasanya. Guna mendukung
pandangannya ini Faisal Ismail dan Endang Saefuddin Anshari menyampaikan
argumen-argumen dan sekaligus sebagai bantahan mereka terhadap pendapat yang
membedakan tiga term itu sebagai diuraikan di atas.[13]
Adapun argumen-argumen itu dapat dirangkumkan sebagai berikut
Pertama, argumen-argumen naqliyah yakni berupa argumen-argumen qur’ani. Al-Qur’an
sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh kelompok ini, sama sekali tidak pernah
memberikan penetapan atas pengkhususan kata ad-din (ma’rifah
dengan al) hanya untuk menunjuk kepada agama Islam. Selain untuk agama
Islam, al-Qur’an ternyata juga menggunakan kata al-din—ma’rifah bi al—itu
untuk menunjuk kepada agama-agama yang lain di luar Islam, dan begitu pula kata
din yang tanpa al atau yang berbentuk nakirah. Sebagai misal
kongkrit dalam konteks ini adalah firman Allah yang terdapat di dalam Qs.
al-Kafirun (109) ayat 6 berikut:
“Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (Qs. 109: 6)
هو الّذى أرسل رسوله باالهدى ودين الحقّ ليظهره على الدّين كلّ
“Dia lah yang mengutus rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan agama yang benar (Islam) agar dimenangkannya terhadap
semua agama (non Islam) dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS. al-Fath/48: 28).
Kata
arab ad-din (definit, ma’rifah) dan atau din (indefinit, nakirah)
di dalam kedua ayat tersebut menunjuk kepada agama Islam dan sekaligus juga
agama selain Islam. Dalam Qs. al-Kafirun ayat 6, kata din—dalam
penggalan ayat dinukum—dikhususkan untuk menunjuk agama selain Islam,
sebaliknya din yang terdapat dalam penggalan ayat waliya din
khusus menunjuk kepada agama Islam. Dengan kata lain, din dalam Qs.
al-Kafirun di satu sisi untuk menunjuk dan di sisi lain juga untuk agama selain
Islam. Sementara itu dalam Qs. al-Fath ayat 28, kata din dalam ungkapan din
al-haqq hanya khusus untuk Islam, tidak untuk yang selainnya. Ini semua
jelas menunjukkan bahwa kata din (tanpa al) selain menunjuk
kepada agama Islam ternyata juga agama-agama selain Islam. Dan kemudian istilah
ad-din (ma’rifah bi al), yang selain menunjuk pengertian Islam,
kadangkala juga digunakan untuk agama selain Islam, sebagaimana misalnya
terdapat di dalam Qs. at-Taubah ayat 33, ash-Shaff ayat 9 dan al-Fath ayat 28—din
al-haqq dan sebagainya. Dengan demikian jelaslah bahwa istilah din—baik
yang berbentuk ma’rifah (definit) maupun nakirah (indefinit)—adalah menunjuk
kepada agama Islam dan selain Islam, dan sekaligus penjelasan ini merupakan
bantahan terhadap pandangan kelompok yang mengkhususkan kata ad-din
untuk agama Islam semata.
Kedua, argumen-argumen yang
bersifat ilmiah. Jika argumen-argumen sebelumnya lebih merujuk kepada
dalil-dalil naqli yang tergelar di dalam al-Qur’an, maka argumen kedua
ini lebih merujuk kepada penjelasan-penjelasan yang terdapat di dalam
karya-karya atau literatur ilmiah. Di dalam literatur-literatur (berbahasa
Arab), istilah ad-din selain untuk menunjuk agama Islam, ternyata juga
untuk agama selain Islam, dan begitu pula istilah religi. Buku-buku tentang
perbandingan agama (Indonesia), yang disebut Muqaranah al-Adyan (arab)
dan Comparative Religion (inggris), di dalamnya yang dikaji bukan agama
Islam saja dan bukan pula hanya non-Islam, melainkan mencakup agama-agama yang
ada, tentu saja termasuk juga agama Islam.
2.
Pengertian
Agama, Religi dan al-Din
a. Pengertian
secara Kebahasaan (Etimologis)
Tentang istilah agama, ada berbagai keterangan
yang diberikan oleh para ahli. Menurut sebagian ahli bahwa kata agama berasal
dari bahasa Sansekerta dan tersusun dari dua kata yakni a = tidak dan gama =
kacau (kocar-kacir), sehingga kata agama bisa diartikan tidak kacau atau tidak
kocar-kacir, dan atau agama itu menjadikan kehidupan manusia teratur. Dengan
pengertian dasar seperti ini maka agama hadir membawa misi utama mengatur kehidupan
umat manusia, sehingga kehidupan mereka menjadi tertata dan teratur, dan bahkan
kelak mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hanya saja pendapat semacam
ini dikritik oleh seorang ahli bahasa (linguist) yakni Bahrun Rangkuti,
sebagai tercermin dalam pernyataannya: “Orang yang berpendapat istilah agama
berasal dari a dan gama berarti orang itu tidak memahami bahasa sansekerta, dan
karenanya pendapatnya itu tidak ilmiah”.[14]
Ada perbedaan
pendapat dalam memberikan pengertian agama di kalangan para ahli. Namun secara
essensial, pengertian tersebut tidak jauh berbeda. Harun Nasution misalnya
mengelaborasi bahwa kata agama tersusun dari dua kata, a = tidak dan
gama = pergi, jadi agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi
secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat agama,
yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Selanjutnya adalagi pendapat ytang
mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci dan agama-agama memang
mempunyai kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa berarti tuntunan.
Pengertian ini nampak menggam-barkan
salah satu fungsi agama sebagai tuntunan bagi kehidu-pan manusia.[15]
Dalam perkembangan
selanjutnya, kata gama setelah mendapatkan awalan a sehingga menjadi agama, maka
pengertian berubah menjadi “jalan“.[16] Yang dimaksudkan adalah jalan hidup
yang digariskan Tuhan atau pendiri agama, yang harus ditempuh oleh manusia
untuk mencapai apa yang dicita-citakan agama itu. Dengan kata lain, sebagai
jalan hidup agama menunjukkan dari mana, bagaimana, dan hendak kemana hidup
manusia di dunia ini. Pandangan ini nampaknya cukup beralasan, sebab sebagaimana ditegaskan oleh Sidi Gazalba[17] bahwa pada setiap agama tersimpul di
dalamnya pengertian jalan. Budhisme menyebut undang-undang pokoknya dengan
jalan; Taoisme dan Shinto adalah bermakna jalan; Yesus menyuruh pengikutnya
untuk menurut jalannya; Thariqot, syari’at dan Shiroth dalam ajaran Islam juga
berarti jalan.
Selanjutnya adalah kata religi, yang
secara etimologis berasal dari bahasa latin. Menurut satu pendapat, asal kata
religi adalah religere yang berarti membaca dan atau mengumpulkan.
Agaknya penjelasan ini berdekatan dengan pemaknaan agama dengan “jalan” sebagai
diuraikan di atas, yakni menunjuk muatan yang terkandung dalam agama berupa
aturan-aturan hidup, yang tercantum di dalam kitab suci yang harus dibaca oleh
setiap pengikut suatu agama. Sementara itu pendapat lain mengatakan bahwa
religi berasal dari kata religare yang berarti ikatan, maksudnya ikatan
manusia dengan Tuhan, sehingga manusia terbebaskan dari segala bentuk
ikatan-ikatan atau dominasi oleh sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari
manusia sendiri. Ikatan itu, sebagaiman dikatakan oleh Harun Nasution,[18]
tidak hanya berupa kepercayaan tetapi juga ajaran hidup yang telah ditetapkan
oleh Tuhan.
Adapun istilah al-din, yang
berasal dari bahasa Arab, secara kebahasaan berarti hutang yakni sesuatu yang
mutlak harus dipenuhi. Dalam bahasa Semit, induk bahasa Arab, kata al-din
diartikan undang-undang atau hukum. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa din
secara bahasa dapat diartikan undang-undang atau hukum yang harus dipenuhi oleh
manusia, dan pengabaian terhadapnya menjadikan hutang baginya, yang jika hutang
itu tidak dipenuhi akan berakibat datangnya hukuman atasnya.[19] Kemudian dalam aplikasinya, din mengalami
perluasan makna yakni menguasai, menundukkan, patuh, balasan dan kebiasaan.
Dalam konteks ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa seluruh kata (Arab) yang
menggunakan huruf-huruf dal, ya’ dan nun—semisal al-din—semuanya
menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan interaksi, yaitu antara manusia
dengan Tuhan, dimana pihak yang disebut belakangan mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dibandingkan pihak pertama (manusia).[20]
Lebih jauh lagi Abu A’la al-Maududi
menyampaikan rincian arti dasar kata din dalam bahasa Arab tersebut.
Menurut Abu A’la al-Maududi, kata din merangkum sejumlah pengertian yang
rinciannya adalah sebagai berikut ini: pertama, kekalahan dan penyerahan
diri kepada pihak yang lebih berkuasa; kedua, ketaatan, penghambaan dari
pihak yang lebih lemah kepada yang lebih berkuasa; ketiga,
undang-undang, hukum pidana dan perdata, peraturan yang berlaku dan harus
ditaati; dan keempat, peradilan, perhitungan atau pertanggung-jawaban,
pembalasan, vonis dan lain sebagainya.[21]
Dari uraian kebahasaan kata agama,
religi dan din di atas, maka dapat ditetapkan makna umum dan arti dasar tiga
istilah itu. Pertama, agama (juga religi dan din) adalah
jalan hidup, atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya
di dunia, untuk mendapatkan kehidupan yang aman, tenteram dan sejahtera. Kedua,
wujud jalan hidup itu adalah aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma. Ketiga,
aturan-aturan atau norma-norma itu bersumber dari Yang Mahamutlak dan bersifat
mengikat, yang wujud riilnya tergelar di dalam kitab suci. Dan keempat,
aturan-aturan atau tata nilai itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan sifat
dinamika masyarakat dan budayanya.
Akhirnya Harun Nasution sampai pada satu kesimpulan,
bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan.
Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.
Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia
sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari
manusia. Satu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera.[22]
b. Pengertian
secara Istilah (Terminologi)
Analisis
etimologis di atas hanya merupakan sebuah usaha memberikan gambaran atau
pengertian umum dan sederhana tentang agama. Sementara itu para ahli juga telah
berupaya untuk memberikan pengertian yang lebih bersifat definitif mengenai
agama. Untuk itu mereka mempelajari lalu mendeskripsikan fenomena-fenomena
agama yang ada dalam kehidupan umat manusia dan kemudian melakukan penyim-pulan.
Tentu saja fenomena-fenomena agama yang dimaksud-kan terbatas pada
perilaku-perilaku keagamaan manusia yang bersifat empirik dan bisa diamati.
Dengan kata lain, perilaku-perilaku keagamaan yang dimaksudkan adalah
fenomena-fenomena yang bersifat empirik, sama sekali tidak menyangkut pada
hal-hal yang berada di balik fenomena-fenomena itu.
Para ahli
mengalami kesulitan dalam merumuskan definisi agama, tentu saja maksudnya
adalah definisi yang tepat dan bisa diterima oleh semua pihak. Hal demikian
tentu disebabkan oleh adanya sejumlah keterbatasan dan sejumlah faktor lainnya.
Begitu beragam dan bervariasinya jumlah dan jenis definisi agama yang telah ada
menjadi bukti nyata atas adanya kesulitan itu. James H. Leuba, misalnya, telah
meng-himpun rumusan definisi-definisi yang pernah dibuat oleh orang tentang
agama, hingga jumlah yang relatif besar tidak kurang dari 48 macam definisi.[23]
Selanjutnya
pengertian agama bila ditinjau dari segi istilah, ada banyak pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli. Sebagaimana yang dikatakan Parsudi Suparlan[24] dalam kata pengantar buku “Agama:
dalam analisa dan interpretasi sosiologis”, bahwa agama, secara mendasar dan
umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya,
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia
dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai
teks atau doktrin; sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung atau
penganut agama tersebut tidak nampak tercakup di dalamnya. Itulah sebabnya,
masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan baik individual
maupun kelompok atau masyarakat, pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang
berbeda dari pengetahuan dan keyakinan lainnya yang dipunyai manusia, peranan
keyakinan keagamaan terhadap kehidupan duniawi dan sebaliknya, dan kelestarian
serta perubahan-perubahan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia, tidak
tercakup dalam definisi di atas.
Secara lebih
khusus, dengan memperhatikan masalah-masalah yang dikemukakan di atas, agama
dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan
tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini
sebagai yang gaib dan suci. Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari
sistem-sistem keyakinan atau isme-isme lainnya karena landasan keyakinan
keagamaan adalah pada konsep suci (sacred) yang dibedakan dari, atau
dipertentangkan dengan, yang duniawi (profane), dan pada yang gaib atau
supranatural (supernatural) yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah
(natural).
Elizabet K.
Nottingham dalam buku Agama dan Masyarakat mengemukakaan, bahwa agama adalah
gejala yang begitu sering terdapat di mana-mana sehingga sedikit membantu
usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Dia katakan bahwa agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaan-nya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan
khayalnya yang paling luas dan mudah diguna-kan untuk membenarkan kekejaman
orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan
kebahagia-an batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri.[25] Sementara itu Durkheim mengatakan
bahwa agama adalah pantulan dari solidaritras sosial. Bahkan, kalau dikaji,
kata Durkheim, Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat.[26]
Adapun di antara definisi agama yang telah
disampaikan oleh para ahli adalah:
1.
Definisi
dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia. Di dalam kamus itu dinyatakan bahwa “agama
adalah kepearcayaan kepada kesaktian ruh nenek moyang, dewa dan Tuhan”.[27]
Berdekatan dengan itu WJS Poerwadarminto mengatakan: “agama adalah segenap
kepercayaan (kepada Tuhan, dewa dan sebagainya) serta dengan kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”.[28]
2.
Di
dalam literatur Arab, rumusan definisi agama pernah dinyatakan sebagai berikut:
وضع إلهىّ سائق لذوى العقول باختيارهم ايّاه الى الصّلاح فى الحال والفلاحفى المأل
“Suatu peraturan Tuhan
yang mendorong jiwa seseorang yang berakal (sehat) untuk mematuhi peraturan
Tuhan itu dengan kehendak sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup (di dunia) dan
kebahagiaan kelak di akhirat”.[29]
3.
Di
dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dinyatakan: Agama adalah aturan atau
tatacara hidup menusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Itulah
definisi sederhana. Tetapi definisi yang sempurna dan lengkap tidak pernah
dapat dirumuskan. Agama dapat mencakup tata tertib, upacara, praktek pemujaan
dan kepercayaan kepada Tuhan. Sebagian orang menyebut agama sebagai tatacara
pribadi untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya. Agama juga disebut sebagai
pedoman hidup manusia; bagaimana ia harus berfikir, bertingkah laku, dan
bertindak, sehingga tercipta hubungan serasi antara manusia dan hubungan erat
dengan Tuhan.[30]
4.
Harun Nasution:
Agama adalah kepercayaan kepada kakuatan immaterial atau supranatural yang erat
hubungannya dengan kehidupan manusia. Kekuatan supranatural iltu dipandang
mempunyai pengaruh besar erhadap kejadian-kejadian alam yang ada disekelliling
manusia dan terhadap perjalanan hidupamanusia itu sendiri. Oleh karena iltu
manusia merasa bahwa kesejahteraaan bergantunga pada adanya hubungan baik
dengan kekuatan supranatural itu.[31]
5.
Dalam
kepustakaan Arab ada ungkapan yang berbeda dalam memberikan pengertian din
atau agama. Agama adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang
yang mempunyai akal memegang peraturan Tuhan itu dengan kehendak sendiri, untuk
mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak di akhirat.[32]
Meski
rumusan definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas bersifat sangat
variatif, namun darinya dapat ditarik suatu konklusi sekaligus merupakan
unsur-unsur yang bersifat esensial dari agama dalam bentuk apa pun. Pertama,
agama adalah merupakan suatu kepercayaan atau keyakinan kepada yang Maha mutlak
atau Tuhan. Kedua, adanya hubungan dengan yang Mahamutlak atau Tuhan itu
dalam bentuk ritus (ibadah), kultus dan permohonan (do’a). Ketiga, adanya
doktrin (ajaran) atau aturan-aturan yang diyakini (dipercayai) sebagai berasal
dari yang Mahamutlak (Tuhan), baik menyangkut kepercayaan atau keyakinan maupun
hubungan (ibadah) itu. Dan keempat, adanya sikap hidup tertentu,
terutama yang besifat sosial-horizontal, yang dibentuk oleh ketiga ciri
esensial agama di atas.
Selanjutnya
dengan acuan empat unsur esensial agama tersebut, kiranya dapat dirumuskan
definisi agama, tentu yang mencakup keseluruhan empat unsur esensialnya. Dengan
demikian agama adalah: “Kepercayaan atau keyakinan terhadap yang Mahamutlak
atau Tuhan dan hubungan dengan-Nya melalui ritus, kultus dan permohonan atas
dasar aturan-aturan dari-Nya, yang kemudian membentuk sikap hitup sosial
tertentu”. Relevan dengan rumusan ini, patut diperhatikan catatan Sidi Gazalba
yang menyebutkan bahwa hakikat agama adalah “hubungan manusia dengan Yang
Kudus”,[33] tentu saja dengan status Yang Kudus itu berkedudukan lebih superior
(tinggi) dibandingkan dengan manusia. Hubungan itu tidak saja mengambil bentuk
ibadah ritual-vertikal tetapi juga sosial-horizontal.
B. BENTUK-BENTUK
AGAMA
Dari sudut kajian
teologis, para agamawan berpendapat bahwa berdasarkan asal-usulnya seluruh
agama yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan dalam dua kategori berikut
ini.
Pertama, agama kebudayaan (cultural
religions) atau juga disebut agama tabi’i atau agama ardli,
yaitu agama yang bukan berasal dari Tuhan dengan jalan diwahyukan, tetapi
merupakan hasil proses antropologis, yang terbentuk dari adat istiadat dan
selanjutnya melembaga dalam bentuk agama formal.
Kedua, agama samawi atau agama wahyu (revealed
religions), yaitu agama yang diwahyukan dari Tuhan melalui malaikat-Nya
kepada utusan-Nya yang dipilih dari manusia. Agama samawi ini juga disebut dienul
haq, (QS. 43:27,33) dan disebut juga agama yang full fledged, yaitu
agama yang mempunyai Nabi dan Rasul, mempunyai kitab suci, dan mempunyai umat.
Secara historis, penerapan agama wahyu ini dapat diberikan kepada agama yang
mengajarkan adanya wahyu, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Dalam perjalanan
selanjutnya, ternyata agama samawi dan tabi’i telah mengalami
beberapa perubahan. Bagian yang berubah itu terjadi pada sistem kepercayaan, sistem upacara
maupun kelembagaan keagamaan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dalam
kepercayaan terhadap Tuhan yang mereka sembah, dari monoteisme berubah ke
politeisme. Perubahan itu juga dapat terjadi dalam upacara-upacara keagamaan
yang mereka laksanakan. Oleh karena itu, dalam agama Islam dikenal adanya
istilah bid’ah dan khurafat.[34]
Adanya perubahan
dalam ajaran agama-agama itu, lebih banyak disebabkan oleh adanya proses degenerasi
(pemburukan), baik karena faktor manusia penganut agama itu sendiri, maupun
akibat persentuhan agama tersebut dengan berbagai keyakinan dan kepercayaan
lain pada suatu tempat. Seorang penganut agama, dalam mempersepsi ajaran agama
yang diyakininya, banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan juga oleh
lingkungan sosial dan budaya sekelilingnya. Dalam pergaulan antar pemeluk
agama, seorang penganut agama bergaul dengan berbagai penganut agama yang
berbeda dan juga bertemu dengan kepercayaan lain, atau pertemuan dengan ajaran
magis, mistik yang subyektivistik, takhayyul dan fanatisme. Semua keyakinan
lain banyak mempengaruhi praktek keagamaan seseorang, yang pada akhirnya
diwariskan turun-temurun kepada generasi sesudahnya.
Berbeda dengan kajian para teolog, para ilmuwan yang
diwakili oleh para sarjana antropologi budaya dan sosiologi agama, melalui
kajian keilmuan mereka (scientivic approach) membedakan agama yang ada
di dunia ini menjadi dua kelompok besar, yaitu spiritualisme dan materialisme.
1. Spiritualisme
Spiritualisme adalah agama penyembah sesuatu (zat)
yang gaib yang tidak nampak secara lahiriah, yaitu sesuatu yang memang tidak
dapat dilihat dan tidak dapat berbentuk. Bagian ini terinci lagi dalam
beberapa kelompok:
a.
Agama Ketuhanan (theistic
religion), yaitu agama yang para penganutnya menyembah Tuhan (Theos).
Agama-agama ini mempunyai keyakinan bahwa Tuhan, tempat manusia menaruh
kepercayaan dan cinta kepada-Nya, merupakan kebahagiaan. Keyakinan ini
didasarkan pada fakta-fakta yang tak terbantahkan serta dapat memperluas dan
meningkatkan pengetahuan dan moral manusia. Agama Ketuhanan merupakan asal-usul
istilah dari semua sistem kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, yang mencakup
kepercayaan terhadap satu atau banyak Tuhan, antara lain:
1. Monoteisme, yaitu bentuk religi (agama)
yang berdasar-kan pada kepercayaan terhadap satu Tuhan dan terdiri atas
upacara-upacara guna memuja Tuhan. Contohnya, agama Islam dengan inti ajaran
imannya yang berbentuk pengakuan, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah”. Juga dalam Yudaisme (agama Yahudi) disebutkan, “Dengarlah
orang Israel,
Tuhan kita adalah Tuhan Yang Satu” (Deuteronomy: 4). Dalam Sikhism juga
disebutkan, “Tidak ada Tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”.
2. Politeisme, yaitu bentuk religi (agama)
yang berdasarkan kepercayan kepada banyak Tuhan dan terdiri atas
upacara-upacara keagamaan guna memuja Tuhan-Tuhan tersebut. Dengan perkataan lain,
politeisme adalah kepercayaan kepada Tuhan yang berbilang seperti dalam
ajaran Hinduisme. Dalam kitab Weda, diceritakan tentang banyak
dewa dengan berbagai fungsi, antara lain Indra adalah dewa perang, Varuna
adalah dewa kekuatan dari cahaya langit, Agni adalah dewa api, Brahma
sebagai dewa pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai
dewa penghancur. Pada agama Romawi Kuno dikenal dengan Dewa Mars sebagai
dewa perang, Venus sebagai dewa percintaan, Ceres sebagai dewa
pertanian, Juno sebagai dewa penolong wanita yang melahirkan.
Para penganut politeisme ini
memiliki kecende-rungan memilih dewa-dewa yang mereka percayai untuk diangkat,
dilebihkan, dan diutamakan, yang dianggap sebagai Yang Maha Kuasa. Tahapan ini
disebut henoteisme, yaitu tingkatan menengah antara politeisme
dan monoteisme, menyembah satu Tuhan dengan mengakui keberadaan
Tuhan-Tuhan lainnya.
b. Agama
Penyembah Roh, adalah kepercayaan orang primitif kepada roh nenek moyang
atau roh pemimpin dan roh para pahlawan yang telah gugur. Mereka percaya bahwa
orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan dan perlindungan kepada
mereka bila mendapat kesulitan. Untuk menghadirkan roh-roh tersebut perlu
diadakan upacara keagamaan yang khusus dan kompleks.
Agama penyembah roh tersebut dapat dibagi dalam bentuk
kepercayaan sebagai berikut:
1. Animisme, yaitu bentuk agama yang mendasarkan
diri pada kepercayaan bahwa di sekeliling tempat tinggal manusia terdapat
berbagai macam roh yang berkuasa, dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau upacara
untuk memuja roh tersebut.
Pada awalnya istilah animisme dipakai oleh
orang-orang yang mengembangkan suatu pandangan bahwa semua fenomena alam dapat
diterangkan dari teori roh in-material sebagai prinsip kehidupan. Dalam
pema-kaian modern sekarang, istilah animisme dipakai untuk ajaran-ajaran
tentang roh dan makhluk halus lainnya secara umum.
Kepercayaan ini dibangun berdasarkan dua anggapan
pokok, yaitu: 1) roh adalah unsur halus yang keluar dari tiap makhluk dan mampu
hidup terus setelah jasadnya mati; 2) makhluk halus yang jadi dengan
sendirinya, seperti peri dan mambang yang dianggap berkuasa.
2. Pra Animisme
(Dinamisme), ialah bentuk
agama berdasarkan kepercayaan kepada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal
yang luar biasa dan terdiri atas aktivitas keagamaan untuk menguatkan
kepercayaannya itu dengan berpedoman kepada ajaran kepercayaan tersebut. Pra
Animisme terdiri atas:
a.
Agama Penyembah Kekuatan Alam, adalah kepercayaan bangsa primitif
kepada alam sekitar, biasanya karena takut akan malapetaka atau karena balas
budi terhadap jasa gejala alam atau suatu anasir alam yang mereka anggap
memiliki kekuatan. Mereka memujanya dan menjadikan aktivitas keagamaan untuk
memuliakannya.
Penyembahan alam atau nature worship merupakan
tahapan paling awal dari evolusi keagamaan bangsa primitif. Kekuatan-kekuatan
alam atau gejala alam serta anasir-anasir alam dipersonifikasikan menjadi
dewa-dewa yang berkuasa. Pada agama Mesir Kuno, Dewa Ra’ adalah
personifikasi dari matahari, Tefnut adalah dewi air, Shu adalah
dewa hawa, dan lain-lain. Penyembahan kepada benda-benda alam tersebut, bisa
dilihat dalam bentuk: Animatisme, suatu sistem kepercayaan bahwa
benda-benda dan tumbuh-tumbuhan sekeliling manusia itu berjiwa dan dapat
berfikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak mengakibatkan aktivitas
keagamaan guna memuja benda-benda atau tumbuh-tumbuhan tadi, tetapi animatisme
biasanya menjadi unsur religi; dan Fetishisme, yaitu suatu bentuk
agama yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda alam
tertentu dan yang terdiri atas aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda
berjiwa tersebut.
b. Agama
Penyembah Binatang (Animal Worship), atau Totemisme yaitu
kepercayaan orang-orang kuno dan primitif yang mengangap binatang-binatang
tertentu memiliki jiwa kesucian. Jiwa kesucian binatang tersebut akan tetap
hidup dan dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Dari kepercayaan tersebut
diadakan aktivitas untuk memuja binatang tersebut.
Para penganut Totemisme menjadikan binatang
tertentu sebagai lambang obyek keramat. Mereka menganggap binatang yang mereka
jadikan lambang itu ada hubungannya dengan asal-usul dirinya atau kelompoknya
atau setidaknya, menurut anggapan mereka, roh nenek moyang tertinggi yang telah
mati bertempat tinggal pada jasad hewan yang dijadikan lambang totem itu, maka
dalam tradisi mereka, hewan-hewan suci tersebut dilarang untuk dibunuh atau
dimakan.
2. Materialisme
Materialisme adalah agama yang mendasarkan kepercayaannya terhadap
Tuhan yang dilambangkan dalam wujud benda-benda material, seperti patung
manusia atau binatang dan berhala atau sesuatu yang dibangun dan dibuat untuk
disembah. Agama materialisme dapat dilihat dalam literatur tentang agama
bangsa Arab sebelum Islam, atau di antara umat Nabi Musa yang dipimpin oleh
Samiri yang membuat patung lembu untuk disembah, atau kepercayaan penganut
agama Majusi yang menyembah api suci.
Agama Materialisme
pada hakikatnya tidak terlalu jauh perbedaannya dengan agama spiritualisme,
sebab keduanya mempercayai jiwa atau sesuatu yang gaib. Hanya saja dalam agama
materialisme, mereka lebih menekankan kepada pengakuan fisik material patung
itu dari pada pengagungan kekuatan jiwa yang ada dalam berhala atau bangunan
tertentu itu. Dengan perkataan lain, walaupun mereka percaya pada kekuatan roh
atau jiwa, tetapi lebih menekankan wujud materinya dari pada jiwa yang
menempatinya, atau mereka lebih mempercayai perwujudan Tuhan pada benda yang
tampak bagi mereka dari pada yang tidak nampak, atau mereka lebih mempercayai
Tuhan dalam bentuk realitas materi dari pada Tuhan dalam bentuk ide yang tanpa
wujud.[35]
C. CARA MANUSIA BERAGAMA
Manusia dalam
praktek beragama dan keberagama-annya berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Hal ini disesuaikan dengan tingkat
pengalaman keberagamaan masing-masing pemeluknya. Ada beberapa cara yang perlu diketahui,
yaitu:
1.
Cara Mistik. Dalam menghayati dan mengamalkan
ajaran agamanya, sebagian manusia cenderung lebih menekankan pada pendekatan
mistikal dari pada pendekatan yang lain. Cara mistik seperti ini dilakukan oleh
para sufi (pengikut tarekat) dan pengikut kebatinan (kejawen). Yang dimaksud
cara mistik adalah suatu cara beragama pengikut agama tertentu yang lebih
menekankan pada aspek pengamalan batiniah (esoterisme) dari ajaran agama
yang mengabaikan aspek pengamalan formal, struktural dan lahiriah (eksoterisme).
Pada setiap pengikut agama, apapun agamanya, baik agama besar maupun agama
lokal, selalu memiliki kelompok pengikut yang memberi perhatian besar pada cara
beragama mistik ini. Di kalangan agama Islam dikenal dengan sufisme, di
kalangan umat Katolik dikenal dengan hidup kebiaraan, begitu juga di
kalangan agama Hindu maupun Budhisme. Beragama dengan cara mistik sangat
digemari oleh masyarakat berkebudayaan tertentu, yang secara kultur-dominan,
mereka memang menekankan pada hal-hal mistikal tersebut, seperti, sebagian
masyarakat yang berkebudayaan jawa.[36] Kebudayaan Jawa adalah tipe
kebudayaan yang menekankan pada hidup kerohanian, bersifat esoteris dan
menjunjung tinggi harmonitas hidup sehingga kadangkala menyebabkan terjadinya sindritisme.
2.
Cara Penalaran, adalah cara beragama dengan
menekankan pada aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi penganut aliran ini,
bagaimana agama itu harus dapat menjawab masalah yang dihadapi penganutnya
dengan jawaban yang dapat diterima akal. Beragama tidak selamanya menerima
begitu saja apa yang didoktrinkan oleh pemimpin agama, mereka menyenangi adanya
interpretasi yang bebas dalam menafsirkan teks dari kitab suci atau buku-buku
agama lainnya. Dalam tradisi Islam, umpamanya, ada kelompok yang disebut mutakallimun
atau para ahli ilmu kalam, yang banyak membicarakan teologi Islam dengan
memakai dalil tekstual (naqli) dan dalil rasional (aqli).
3.
Cara Amal Saleh. Cara ini lebih menekankan
penghayatan dan pengamalan agama pada aspek peribadatan, baik ritual formal
maupun aspek pelayanan sosial keagamaan. Menurut kelompok ini, yang paling
penting adalah melaksanakan amal saleh, karena indikator seseorang beragama
atau tidak adalah dalam pelaksanaan segala amalan lahir dari agama itu sendiri.
Siapapun yang ingin mendapat balasan surga ataupun neraka, seluruhnya
didasarkan pada amal perbuatannya.
4.
Cara Sinkretisme. Sinkretisme diambil dari bahasa
Yunani, synkretismos yang berarti panggabungan ajaran dan pengamalan
agama yang berbeda satu sama lain. Cara sinkretisme adalah cara-cara
seseorang dalam menghayati dan megamalkan agama dengan memilih-milih ajaran
tertentu dari berbagai agama untuk dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan diri
sendiri atau untuk diajarkan kepada orang lain. Dalam prakteknya, cara beragama
sinkretisme ini dapat terjadi pada bidang kepercayaan, nama Tuhan
umpamanya, dikombinasikan seperti dalam perkataan “Gusti Allah” atau “Allah
Sang Hyang Widi”, dapat juga dalam pelaksanaan ritual, dalam berdo’a, dalam
peralatan yang dipakai pula upacara keagamaan dan sebagainya.[37]
D. URGENSI AGAMA
BAGI MANUSIA
Untuk memahami tingkat
urgensi agama bagi manusia kiranya perlu diketahuai lebih dulu eksistensi
manusia dan kebutuhan-kebutuhannya di satu pihak, dan kemudian dikaitkan dengan
peran yang bisa difungkan oleh agama terhadap kebutuhan itu pada pihak lain.
Berpijak dari hal ini kiranya dapatlah dikemukakan sejumlah pertanyaan:
siapakah manusia? Apa sebabnya manusia beriman dan beragama? Apa faktor
pendorong manusia beragama, mempercayai realitas yang tidak dilihatnya? Dan
sebagainya.
Manusia diciptakan ke dunia telah dibekali
dengan seperangkat potensi untuk
keberlangsungan hidup dan kehidupannya. Dalam perjalanan hidup dan
kehidupannya, seorang manusia dituntut untuk selalu beraktivitas dan berkreatifitas
dalam rangka memenuhi kebutuhannya di setiap saat. Kebutuhan paling asasi
adalah terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin.
Dalam kaitan ini, Abraham H. Maslow, seorang
tokoh psikologi humanistik mengidentifikasikan adanya lima kebutuhan manusia
yang bersifat hirarkhis (hierarchy of needs), yaitu kebutuhan fisiologi,
rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi.[38]
Aktualisasi diri, perkembangan dan penggunaan potensi merupakan suatu tahapan
yang menurut Maslow, didorong oleh adanya metamotivasi (metamotivation)
yang antara lain berwujud mystical atau peak experience,[39]
sejenis dorongan kekuatan gaib atau Tuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa di
dalam jiwa manusia telah muncul adanya fitrah manusia untuk beragama. Tokoh perennialis
(filosof perenial) mengatakan, bahwa secara intrinsik dan alamiah Tuhan telah
menanamkan benih (potensi atau fitrah) beragama pada diri setiap insan.[40]
Itulah sebabnya manusia dikenal dengan homo religious.
Jadi, jelaslah bahwa pada hakikatnya, manusia
sejak mulanya sudah mempunyai fitrah dan kecenderungan untuk beragama, yang
diasarkan pada perasaan dan kesadarannya. Max Muller–tokoh psikologi modern,
sebagaimana dilkutip oleh al-Aqqad mengatakan, bahwa manusia itu telah beragama
sejak awal keberadaannya,[41]
bahkan agama itu akan terus eksis selama manusia itu masih eksis.[42]
Lebih lanjut Yusuf Musa[43]
mengatakan, bahwa dalam sejarah belum pernah diketahui adanya suatu masyarakat
yang hidup tanpa agama, munculnya berbagai agama pada masa beribu-ribu tahun
yang lalu di Mesir, Asiria, Babilonia, Persia, Cina, dan lain-lain misalnya,
merupakan realitas empirik yang mendukung tentang kebenaran anggapan ini. Ini
semua menandakan bahwa eksistensi agama selalu menggejala dalam kehidupan
manusia, seiring-sejalan dengan perkembangan budayanya.
Di samping itu, manusia juga dikenal sebagai
makhluk yang punya fitrah sosial (homo socios). Hal ini mengindikasikan
bahwa manusia dalam aktivitas kesehariannya tidak bisa dilepaskan dari tanggung
jawabnya sebagai makhluk sosial, yang selalu mengadakan interaksi dengan
lainnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Realitas ini menunjukkan
bahwa manusia itu mutlak memerlukan bantuan dan kerjasama dengan orang lain di
dalam menunjang kebutuhan hidupnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, manusia pasti
dihadapkan berbagai macam persoalan yang menghampirinya, baik persoalan yang
bersifat pribadi, kelompok, maupun golongan. Dan kadang-kadang mereka tidak
sadar bahwa dibalik kepentingan-kepentingan yang berskala kecil dan sempit itu
ada kepentingan yang lebih luas dan universal, yaitu kepentingan bersama.
Namun, dalam perjalanannya, manusia sering terbawa oleh sifat egoisnya yang
tidak terkendali. Padahal kehidupan yang dirindukan adalah terwujudnya
kehidupan yang harmonis, tentram, sejahtera, teratur, nyaman, stabil, aman, dan
sebagainya. Oleh karena itu, diperlukanlah aturan-aturan, norma-norma,
nilai-nilai yang dapat mengikat diri manusia, sehingga dapat menuntun hidupnya
menuju kehidupan seperti yang dicita-citakan di atas. Dalam kaitan inilah, maka
dengan segala kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki manusia, diperlukanlah
aturan hidup yang kebena-rannya bersifat mutlak, yaitu suatu kebenaran yang
datang dari yang Mutlak pula, adalah Tuhan, Dzat yang terbebas dari segala
kelemahan dan kekurangan serta interes-interes tertentu. Aturan hidup tersebut
adalah bernama “agama (din, religi).”
Dengan demikian, agama adalah merupakan
kebutuhan primer bagi manusia sebagai makhluk sosial, karena ia memuat aturan
hidup yang kebenarannya bersifat absolut untuk mengangkat martabat manusia dan
membedakannya dari seluruh binatang,[44] yang menurut Freud,
fungsi utamanya, antara lain ialah untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib
masyarakat.[45]
Pandangan ini bila dikaitkan dengan makna din, sangat adanya relevansi,
yang watak dasarnya adalah bersifat “mengatur,” karena kata itu sendiri
bermakna aturan hidup. Di antara cara pengaturan itu adalah melalui
pengendalian sikap egoisme yang berlebihan, yang sewaktu-waktu bisa menjelma ke
dalam bentuk ucapan, perilaku, dan pola pikir.
E. PROSES KEBERAGAMAAN MANUSIA
Sejalan dengan keberadaan agama merupakan
fitrah manusia, maka Nurcholish Madjid pernah menyebutnya sebagai hal yang amat
natural,[46] dan sekaligus merupakan
kebutuhan esensial manusia. Menyangkut kecenderungan manusia dalam beragama,
yang sudah merupakan natur bagi setiap manusia itu, setidaknya ada dua teori
yang dikemukakan oleh para ahli.[47]
Pertama, teori wahyu. Teori ini disampaikan Schimidt, seorang sarjana antropologi
dari Austria. Menurut teori ini, agama berasal dari Tuhan Pencipta yang
diturunkan kepada manusia bersamaan dengan penciptaan manusia pertama (Adam),
dan yang sekaligus merupakan nabi pertama. Mula-mula manusia mempunyai
keyakinan monoteis (Tuhan Mahaesa), dan kemudian setelah melalui pergumulan dan
dialektika yang panjang, keyakinan itu berubah mengalami
penyelewengan-penyelewengan, sehingga dari yang semula monoteis—mempercayai
Tuhan Mahaesa—berubah menjadi politeis—mempercayai Tuhan lebih dari satu atau
banyak. Itulah sebabnya Tuhan mengutus para rasul-Nya (dan juga pewarisnya)
secara berkelanjutan, dengan tugas utama untuk meluruskan
penyelewengan-penyelewengan itu.
Tugas Nabi/Rasul
Kedua, teori antropologis, yang dikemukakan oleh E.B. Tylor (1832-1917), seorang
sarjana antropologi dari Inggris. Manusia semula menurut
ateori ini adalah disebut sebagai manusia primitif atau purba; mereka semula
tidak dan atau belum mengenal agama. Kemudian karena faktor tertentu mereka
secara evolustif mengenal agama atau Tuhan, mula-mula dalam bentuk dinamisme,
animisme, politeisme dan terakhir sebagai puncaknya adalah monoteisme. Dengan
demikian monoteisme merupakan hasil terakhir dari proses panjang dialektika
manusia dalam merealisasikan naturalitas keberagamaan atau fitrah ketuhanannya.
Terhadap dua teori di atas, mayoritas
ahli—terutama mereka yang secara formal mengikatkan dirinya pada agama—lebih
cenderung kepada teori wahyu, sebaliknya
menolak teori yang dikemukakan oleh Tylor. Karen
Amstrong misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa monoteisme mendahului
politeisme.[48] Monoteisme, lanjut Amstrong, eksis
sejak dulu sebelum manusia kemudian beralih menyembah tuhan banyak. Jadi
monoteisme yang diajarkan agama semitik bukanlah hal baru, melainkan
mempertegas kembali ajaran yang sudah ada, yang karena faktor tertentu
keberadaannya menjadi samar-samar. Jean Donelou mengatakan, meski monoteisme
merupakan keyakinan sejak awal, namun penangkapan dan artikulasinaya masih
samar dan berbaur dengan mitos-mitos sebagai tampak dalam agama-agama pagan.[49]
Sebagai sebuah agama wahyu, Islam lebih
sejalan dengan teori wahyu yang disampaikan oleh Schimidt. Menurut doktrin
Islam, manusia lahir bukan dalam keadaan tidak membawa dan atau mempunyai
potensi ketuhanan. Karena sebelum lahir ke dunia fana ini, ruh manusia telah
mengadakan perjanjian ilahiah, di mana di dalam perjanjian itu setiap ruh
manusia telah menyatakan pengakuaannya atas keesaan Tuhan dan sekaligus
kesanggupannya untuk mematuhi ajaran Tuhan di dunia kelak (Qs. al-A’raf: 172).
Itulah sebabnya menurut pandangan Islam, sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah
hadis nabi, bahwa setiap manusia lahir dalam kedaan fitrah—kullu maulud
yuladu ‘ala al-fitrah”. Hanya saja karena fitrah atau potensi berada pada
status mumkin, yang posisinya diantara tiada (‘adam) dan ada-aktual (wujud),
maka ia perlu dikembangkan secara intensif dengan bantuan pihak eksternal
darinya, dan di sinilah peran penting dakwah dalam pengertian luas (terutama
pendidikan).
-------000-------
*Catatan ini dikutip langsung dari buku:
STUDI ISLAM DI PERGURUAN TINGGI
STUDI ISLAM DI PERGURUAN TINGGI
STAIN Jember
Press
Jl. Jumat
Mangli 94 Mangli Jember
[1] Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), h. 1.
[2] Bagi M. Quraish Shihab, kesulitan itu lebih dikarenakan rumusan definisi
yang harus mampu menghimpun semua unsur esensial dan mengeluarkan yang bukan
esensial dari suatu yang didefinisikan. Dengan demikian boleh jadi setelah
menyaksikan adanya definisi yang cukup beragam tentang agama, Quraish Shihab
memandang adanya kesulitan menentukan unsur esensial dan yang bukan esensial
dari agama. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung:
Mizan, 1992), h. 209.
[3] Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta:
Kalam Mulia, 1989), h. 1.
[4] Mukti Ali, Universalitas
Pembangunan (Bandung: IKIP Bandung, 1974), h. 4.
[5] Muhaimin, op. cit., h. 10.
[6] M. Sastrapratedja, “Agama dan Kepedulian Sosial” dalam Soetjipto
Wirosardjono, Agama dan Pluralitas Bangsa (Jakarta: P3M, 1991), h. 29.
[7] Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 8.
[8] Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1995), h. xx.
[9] Uraian relatif lengkap mengenai substansi dan bentuk agama, terutama dapat
dibaca pada: Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan,
h. 53-64.
[10] Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000), hal. 3
[11] Ibid, hal. 4
[12] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I
(Jakarta: UI Press, 1979), h. 9
[13] Muhaimin, Tadjab dan Abdul Mujib, Dimensi-dimensi Studi Islam
(Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 35.
[14] Muhaimin, Tadjab dan Abdul Mujib, ibid.,
h. 5.
[15] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979), hal. 9.
[16] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 82.
[17] Ibid.
[18] Harun Nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, h. 10.
[19] Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Agama (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), h. 96-97.
[20] Qurasih Shihab, op. cit., h.
209.
[21] Abu A’la al-Maududi, Bagaimana
Memahami al-Qur’an (Surabaya: al-Ikhlas, 1981), h. 181.
[22] Harun Nasution, Islam, h.
10.
[23] Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 8.
[24] Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis,
terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul aslinya: Sociology of Religion,
(Jakarta: Rajawali, 1988), h. v-vi.
[25] Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi
Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985) Cet. I, h. 4.
[26] Lihat Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), Cet. II,
h. 31.
[27] Sutan Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Jakarta: tp.,
t.th.), h. 75.
[29] Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta: Wijaya, 1986), h. 121.
[30] Tim, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: Cipta Adi
Pustaka, 1988), h. 125.
[31] Saiful Muzani (ed.), Islam Rasonal: Gagasan dan Pemikiran Harun
Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 79.
[32] M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), h. 121.
[33] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, op. cit., h. 83.
[34] Bid’ah adalah penambahan dalam
peribadatan yang awalnya tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw. Di
sini ada bid’ah hasanah (yang terdapat unsur anjuran) dan bid’ah
sayyi’ah (yang terdapat unsur dosa). Sedangkan khurafat adalah
kepercayaan tambahan yang dianggap menyimpang dari ajaran dasar agama Islam.
[35] Lihat pada Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu
Perbandingan Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 31-37.
[36] Bisa dilihat dalam Neil Muider, Kepribadian Jawa, (Yogyakarta:
Gajah Mada Press, 1980), h. 20.
[37] Kahmad, Metode, h. 46-48.
[38] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993), h. 262.
[39] Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 75.
[40] Hidayat dan Nafis, Agama, h. 5.
[41] Abbas Mahmud Aqqad, Allah, terj: M. Adib Bisri dan A. Rasyad,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h.10.
[42] Muhammad Yususf Musa, al-Insan wa Hajah Insaniyah Ilahy, terj. A. Malik Madany dan Hakim, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 6.
[44] Nasaruddin Razak, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1982), h. 14.
[45] Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama,
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 101.
[46] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987), h. 123.
[47] Lihat dalam “pengantar” E.E. Evan Prithchard, Teori-teori tentang Agama
Primitif, terjemah (Yogyakarta: PLP2M, 1984), h. viii.
[48] Karen
Amstrong, A History of God: The 4000 Year Quest of Judaisme, Christianity
and Islam (New York: Alfred A. Knopt, 1993), h. 3.
No comments:
Post a Comment