Pokok-pokok
Materi
Metodologi
Studi Islam
bukanlah sekedar transfer of knowledges atau transfer of values tetapi merupakan aktivitas character
building. (pembentukan karakter, kepribadian) Tujuannya agar potensi yang dimiliki
mahasiswa (potential
capacity) menjadi kemampuan nyata (actual
ability) dan tetap berada dalam
posisi suci bersih (fitrah) dan lurus kepada Allah (hanief). Untuk
mencapai itu, maka seorang guru harus mengajarkan Islam ilmu (yang berdasarkan
dalil), bukan Islam persepsi (yang berdasarkan kira-kira), secara integrated dan komprehensif. Integrated meliputi
penajaman IQ, EQ
dan SQ. Tujuannya adalah agar mahasiswa
memiliki kualitas kognitif (pengetahuan), afektif (keimanan) dan psikomotor
(amaliyah) yang lebih baik dengan target akhir adanya perubahan prilaku (behavior
change) yang lebih baik (muttaqin).
A. Hakikat Metodologi Studi Islam
Pada hakikatnya Metodologi Studi Islam adalah proses bimbingan terhadap mahasiswa untuk mengembangkan potensi
(potential capasity) yang dimilikinya menjadi kemampuan nyata (actual
ability) secara optimal sehingga tetap dalam kondisi fitrah dan hanief
(lurus) sebagaimana keadaan ketika lahir.
Potensi yang dimiliki mahasiswa antara lain Intellegence Quotien (IQ), Emotional
Quotien (EQ) dan Spiritual Quotien (SQ) serta potensi bertuhan Allah dan
potensi-potensi lainnya.
B. Aspek Tujuan Metodologi Studi Islam
Aspek Metodologi Studi Islam meliputi Aspek Kognitif : Agar mahasiswa memahami Islam dengan paradigma
yang benar (berfikir paradigmais). Asepk Afektif : Agar mahasiswa mampu mengapresiasi Islam
secara mendalam sehingga mereka mampu mengimani kebenaran Islam, mampu memenej
emosinya secara benar, dan mampu mengahayati ajaran Islam sehingga dapat
meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya. Dan aspek
psikomotor : Mampu mengamalkan Islam secara komprehensif, baik dalam Hablum
minallah, hablum minannas, dan hablum minal 'alam.
Sedangkan tujuan akhir Metodologi Studi Islam
adalah terwujudnya insan yang berperilaku sesuai dengan syariat Islam, atau manusia yang sanggup
melaksanakan seluruh ayat Al-Qur'an tanpa kecuali, secara integratif dan komprehensif, baik dalam kehidupan pribadi
maupun dalam bermasyarakat.
C. Metodologi Studi Islam
Pengetahuan terbagi dua, yakni pengetahuan yang benar dan
pengetahuan yang belum pasti benar.
Pengetahuan yang benar adalah al-ilmu atau alhaq,
sedangkan pengetahuan yang salah atau
belum pasti benar disebut persepsi. Seorang ustadz, guru, dosen harus
mengajarkan Islam atas dasar Ilmu bukan Islam atas dasar
Persepsi.
Islam Ilmu adalah Islam yang berdasarkan dalil, bukan karena pendapat, mayoritas,
juga tidak terikat figur atau tradisi nenek moyang. Untuk itu manusia harus menemukan dasar hukum (rujukan)
yang jelas, bukan semata-mata perkiraan fikiran, terikat dengan figur atau
terikat dengan mayoritas.
Dengan ilmu,
bukan dengan kira-kira Al-Qur'an QS 17 : 36 :
وَلاَ
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Beragama tidak
atas dasar mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orsinalitas. Perlu menjadi
catatan penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi
bukan oleh kuantitas penganutnya.
Beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan
leluhur (QS. 2 :170) :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا
بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ
لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ
البقرة 170)
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk (QS. 2 : 170). Beragama tidak atas dasar figur (QS.9 :31). :
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ َ(31)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya,
dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. 6 : 61).
D. Azas Filosofis Metodologi Pendidikan Islam
Islam ilmu yang disampaikan dengan pendekatan yang
tepat akan mudah dicerna oleh mahasiswa. Oleh karena itu penyajian
materi pendidikan Islam harus sistimtis, rasional, objektif, komprehensif dan
radikal.
1.
Sistimatis : Berurutan/ runtun, dari mana memulainya,
terus ke mana dan bermuara di mana.
2.
Rasional : Gampang difahami, mampu
menjelaskan hubungan sebab akibat, sangat merangsang berfikir, dan tidak
dogmatis.
3.
Objektif : Berdasarkan dalil, jelas
rujukannya, bukan sekedar kata orang, kira-kira atau dugaan – dugaan.
4.
Komprehensif : Yakni menganalisis Islam
dari berbagai sisi. Dalam hal ini sangat baik menggunakan multi pendekatan,
antara lain Pendekatan Kebahasaan, Kesejarahan, Teologis., Filosofis,
Sosiologis, Politis, Ekonomi, Kesehatan, Militer, dll.
5.
Radikal : Sampai kepada kesimpulan,
tajam, menggigit dan sangat menyentuh perasaan dan nurani.
E. Kedudukan Akal dalam Memahami Studi Islam
Mengenai penggunaan akal / rasio dalam memahami Islam, para tokoh pemikir
Islam berbeda-beda corak pemikirannya. Corak tersebut seperti 1. Tokoh
Sinkretik : Sinkretik adalah percampuran antara budaya lokal dengan agama.
Tokoh ini sering tidak peduli kepada dalil dan ratio. Pemikiran mereka lebih
didominasi oleh sikap sosiologis. 2. Tokoh
Scripturalis /Tekstualis : terikat dengan teks kurang memperhatikan konteks.
Para tokoh Sripturalis bukan tidak menggunakan ratio tetapi lebih terikat
dengan teks Al-qur’an dan hadits apa adanya.
Corak ke 3. Tokoh Rasional Kontekstual : Memperhatikan teks dan
konteks. Tokoh ini banyak menggunakan argumentasi rasio di samping melihat teks
Al-Qur’an dan hadits. 4. Tokoh
Rasional Liberal : Tidak terikat teks. Analisis tehdapa ajaran islam yang
dilakukan tokoh Rasional Liberal lebih didominasi oleh argumnetasi akal.
Beberapa metode pendekatannya adalah Tafsir Metaforis, Tafsir Hermenetika dan
pendekatan social kesejarahan.
Dari sini
kelak lahirlah faham dan aliran keagamaan. Faham dan aliran adalah dua kata
yang seakan-akan bermakna sama karena keduanya menggambarkan adanya suatu
pemikiran yang kemudian jadi anutan bahkan pengamalan sebuah kelompok atau
komunitas tertentu, tetapi sebenarnya kedua kata itu memiliki perbedaan.
Perbedaan Antara
Faham Dan Aliran
Faham
|
Aliran
|
Kata faham lebih berkonotasi kepada
suatu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu.
|
Kata aliran lebih berkonotasi kepada suatu hasil pemikiran yang eksklusif. |
Tidak terorganisir, tidak memiliki
pemimpin pusat meskipun ia memiliki tokoh sentral yang menjadi figur faham
tersebut
|
|
Biasanya pengikut suatu faham
tertentu adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan
menyambut adanya diolog, walaupun tidak selalu demikian.
|
Biasanya para anggotanya tidak
dibiarkan berfikir kritis tetapi bersifat taqlâd, dogmatis, tidak suka
dialog, anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri (truth claim).
|
Faham
merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada
paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma
setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting. Secara garis besar corak
pemikiran tokoh Islam terbagi dua yakni pemikir Rasional dan Pemikir
Tradisional.
Akar pemikiran Rasional
periode Modern di dunia Islam sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran rasional
dari Barat. Walaupun asalnya Barat dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman
Klasik. Pemikiran Rasional dibawa oleh para sarjana Barat yang telah
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat dari universitas
Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan Islam Bani Umayah di bawah
pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán ad-Dakhili.
Sejarah
Pemikiran di dunia Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6
abad sebelum Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2
M), Masa Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian
memasuki masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19)
serta postmodernisme (abad 20).
Pada abad 17
muncul pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara
lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke
(1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene
Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).
Rasionalisme
dianggap sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafati yang sebenarnya karena
benar-benar menggunakan kemampuan ratio untuk memikirkan sesuatu secara
mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh
kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan
kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan
memahami serta me-mecahkan segala permasalahan manusia.
Dengan
kepercayaan kepada akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap
kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta
menyangkal setiap tatasusila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau
apa saja yang tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat
bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio).
Metode yang digunakan oleh Rasio-nalisme ini adalah metode deduktif.
Rene
Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada
prinsip “a priori” meraguragukan
segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan
meragu-ragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi
saya ada (Cogito ergo sum).
Sedangkan
mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776),
menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah
pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip
“a pripori:” tetapi mereka
menggunakan prinsip “a posteriori”.
Untuk
menyelesaikan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan
sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan
yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Immanuel Kant adalah pembawa mazhab Kritisisme atau
Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal dengan Modernisme.
Kemudian pada
abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857) membawa aliran filsafat
Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme Kritis. Sedangkan aliran
filsafat abad 20 atau masa Kontemporer antara lain muncul aliran filsafat
Eksistensialisme, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Postmodernisme. Dalam
hal ini penulis tidak perlu membahas seluruh aliran filsafat tersebut karena
persoalannya akan melebar tidak fokus.
Dengan
pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme, maka
pada ujungnya para pemikir Barat hanya mengakui dua macam ilmu yakni Empirical science dan Rational Science. Sedangkan di luar itu
hanyalah beliefs atau kepercayaan,
bukan ilmu.
Mazhab
pemikiran filsafat yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab
Rasionalisme, sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan
penghargaan yang sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak
semua hadits yang bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadits
bertentangan dengan kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal.
Bahkan ayat-ayat al-Qur’an pun -apabila
secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan akal- akan ditafsirkan
sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis.
Para pemikir
muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat Barat secara diametral
bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis yang bersikap sebaliknya,
yakni mereka tetap menggunakan hadits Ahad
walaupun bertentangan dengan akal bahkan mereka pun
berpegang kepada makna hakiki dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan
tafsir metaforis sebagaimana diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis.
Pemikir Tradisionalis banyak menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi --
filsafat Barat.
Amin Abdullah
yang mengutip pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh
Ilmu Kalam banyak yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu
Kalam tidak ada titik temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan
generasi pertama Ahl as-Sunnah atau
juga dengan Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan
asy-Syahrastani (479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli
filsafat. Bahkan selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti
oleh para penulis ilmu Kalam.
Perbedaan Pendekatan Dalam
Filsafat Dan Ilmu Kalam
Filsafat |
Ilmu Kalam |
Lebih menekankan dimensi keberagaman
yang paling dalam-esoteris dan transendental.
|
Seringkali menekankan dimensi
lahiriyah eksoteris dan final konkret.
|
Lebih menekankan ketenangan ke dalam
jiwa karena mendapat kepuasan pemikiran.
|
Lebih menekankan keramaian (syi‘ar) yang bersifat
ekspressif-keluar.
|
Lebih menggarisbawahi comprhension (pemahaman akal).
|
Lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan
atau yang biasa disebut naql).
|
Lebih bercorak prophetic philosophy
|
Lebih bercorak priestly religion (keulamaan).
|
Lebih menekankan dimensi being religious.
|
Lebih menekankan dimensi having a religion.
|
Pada periode Pertengahan,
filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat mulai didekati
lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir muslim. Masalahnya sekarang adalah
– demikian Amin ‘Abdullah -- bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam
lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau
Sirkular ?
Menggunakan pendekatan
paralel maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak
ada titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau
menggunakan pendekatan linear maka
pada ujungnya akan terjadi kebuntuan. Pola linear
akan mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona.
Seorang
ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan
yang ia gunakan dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final.
Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang
bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga
kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik,
dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis
tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.
Pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan
terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya
finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi ekslusif –
polemis.
Kemungkinan yang terbaik adalah yang
bersifat sirkular, dalam
arti karena masing masing pendekatan memiliki keterbatasan dan kekurangan maka
dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling menutupi kekurangan.
Dalam
menyikapi perlu tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan
hukum Islam, para pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan
Rasional. Pemikir Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional
Literal (Tekstual) dan Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua
juga, yakni Rasional Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir
Islam dikelompokkan menjadi empat corak.
Pemikir
Tradisional yang Tekstual (Literal) adalah kelompok pemikir Tradisional yang
memahami Al-Qur’an dan terutama hadits sangat terikat dengan teks tanpa melihat
konteks. Misalnya mereka makan dengan tiga jari sebagaimana hadits nabi, mereka
tidak memakai handuk setelah mandi janabat
karena nabi pun demikian, mereka memakai gamis dan sorban karena nabi pun
berpakaian demikian, juga mereka memelihara jenggot karena nabi memerintahkan
memelihara jenggot. Para pemikir yang berada di lingkungan Front Pembela Islam
(FPI), Lasykar Jihad, Jama’ah Tagligh, Darul Arqam, merupakan contoh-contoh
Pemikir Tradisional yang Literal.
Corak kedua
adalah Tradisional yang Kontekstual, yaitu banyak mengacu kepada hasil Ijtihad
Ulama Salaf serta banyak menggunakan hadits Ahad dengan pemahaman dan
pendekatan rasio. Corak ketiga adalah Pemikir Rasional-Kontekstual, ialah pemikir
yang tidak terikat dengan hal-hal Dhanny,
baik hadits Ahad maupun ayat Al-Qur’an yang Dhanny
dalálah-nya. Mereka dengan leluasa menggunakan pendekatan rasio dan
memegang prinsip kausalitas dan kontekstual dengan kaidah “al-hukm yaduru ma‘a al-‘illat” (Hukum bergantung kepada ‘illat).
Corak keempat
adalah Pemikir Rasional yang Liberal, yaitu pemikir yang pemikirannya sangat
bebas merambah hal-hal yang oleh Tradisional dinilai “haram” untuk dijadikan
objek ijtihad. Contoh pemikir tipe Rasional – Liberal ini antara lain
Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (ini paling tidak menurut
Charles Kurzman dalam bukunya “Wacana Islam Liberal”.
Penilaian subjektif
penuilis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan oleh Charles Kurzman,
editor buku “Wacana Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan
mungkin tidak, dikelompokkan demikian. Juga penting dicatat di sini sebagaimana
dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh tertentu kadang-kadang
sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi
tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling silang.
Dalam tataran realita, akal tidak selalu mampu mencari
kebenaran karena akal, nalar, ratio adalah tergantung kepada biologis. Karena
akal memiliki keterbatasan maka perlu bantuan wahyu. Dengan demikian, pada
hakikatnya akal dengan wahyu tidak
boleh bertentangan.
Dalam mempelajari Metodologi Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan emprik dan
rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak
terdapat empat katagori ilmu yakni (1). Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah
dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah pancaindera,
terutama mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka disebutlah ainul
yaqin . Yang termasuk ke dalam empirical science antara lain
kedokteran, fisika, kimia, bilogi, goelogi.
Selanjutnya (2). Rational Science , ialah ilmu yang kebenarannya
ditentukan oleh hubungan sebab – akibat. Kalau ada hubungan yang logis
disebutlah rational. Sumbernya adalah
ratio, maka disebutlah ilmul yaqin. termasuk ke dalam katagori
ilmu ini antara lain bahasa, filsafat, matematika. (3). Suprarational Science , ialah manakala kebenarannya
ditentukan oleh hal-hal di luar ratio
yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul
Yaqin. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain Isra Mi'raj, doa,
mukjizat. Dan (4). Metarational
Science
adalah Ilmu Ghaib, semacam siksa dan nikmat qubur, syurga neraka sumbernya adalah Ruh.
Memahami
Islam dengan hanya menggunakan katago Empirical science dan Rational
Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur'an yang
dianggap kurang rasional dipaksakan harus rasional, maka terjadilah
rasionalisasi al-Qur'an. Pengamalan Islam dengan pendekatan Law Approach yakni pengamalan Islam
sebatas haram – halal, yang penting sah, yang penting tidak haram. dan Love
Aproach
yakni lebih kepada target sempurna lebih halus dan mudah untuk dipahami.
*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
DAFTAR PUSTAKA
_________ Perbandingan
Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.
Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun,
1992.
A. Qodri A. Azizy,
“Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, Tahun 1999
Abbas
Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M.
Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS,
2001
Abu A’la al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar
El-Fikr. t.t.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ
Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh
Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah
al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister,
“Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons,
1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran.
Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir,
Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang
Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits,
Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra,
"Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The
Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami.
Beirut, Dar El-Fikr, 1986
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global Jakarta : Penerbit Paramadina,
2001
Cik
Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama:
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin
Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet
K. Nottingham, Agama dan Masyarakat
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam
di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed.
Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika
dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of
Chicago Press, 1980
Hartono
Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di
Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2002
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI
Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul
‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il
R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi,
Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli :
The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits.
Beirut, Dar El-Fikr, 1981
John. L. Esposito, “Islamic
Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford
& New York: Oxford University Press, 1995
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan
Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No.
2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.
‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama.
Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,”
Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun,
hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren
Persis Garut, 1408 H
M. Atho Mudzhar, "In
the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam
in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem
Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang
Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No.
1, April 2000
Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris:
EHESS, 1994
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam
bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án
al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman
al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H.
Muhammad
Yususf Musa, al-Insan wa Hajah
Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali,
1988
Nasaruddin
Razak, Dinul Islam, Bandung:
al-Ma’arif, 1982
Neil
Muider, Kepribadian jawa,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The
Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and
Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and
Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico
Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan
Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert
N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief,
New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics
in Rural East Java.” The Journal of Asian
Studies, 1987
Roland
Robertson, ed., Agama: dalam Analisa
dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul
aslinya: Sociology of Religion,
Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful
Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar
Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono
Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan,
Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba,
"Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993
Sutan
Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad
al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz
I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah
Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ
al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,
Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir, Beirut , 1991 Juz 30,
WJS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986
Zakiah
Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1985