A. ISLAM DAN STUDI AGAMA
Islam
sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam
hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan
praktik-praktik kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas
tertentu, namun sebaliknya, inheren di dalam diri mereka standar nilai dan
moralitas. Namun demikian, moralitas dan standar nilai tersebut, pada beberapa
tataran, dianggap telah mengalami
penyimpangan (deviation) dan perlu
diluruskan oleh moralitas baru. Dalam konteks masyarakat seperti ini, Islam
datang, memberikan koreksi dan perbaikan terhadap praktik-praktik, nilai-nilai
dan moralitas mereka. Hadith Nabi memberikan justifikasi terhadap persoalan
ini: “Innama bu‘ithtu li utammima
makarima al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
[manusia] yang mulia).”[1]
Kelahiran
Islam dalam konteks geografis terjadi pada kalangan masyarakat Arab, sebuah
masyarakat yang dalam literatur sejarah Islam disebut sebagai jahiliyah (time of ignorance).[2] Dalam kaitan ini, M.
Quraish Shihab memberi catatan bahwa
masyarakat jahiliyah dimaksud merupakan masyarakat yang pertama
bersentuhan dengan Islam, serta masyarakat pertama pula yang berubah pola pikir,
sikap dan tingkah lakunya dalam kaitannya dengan konteks keislaman.[3] Sebagian mereka hidup berpindah-pindah (nomads) dengan profesi penggembala
ternak, atau kelompok yang disebut dengan Badui Tradisional, dan sebagian lain
pedagang dan seniman di kota-kota perdagangan kecil, serta sebagian sisanya
menjalani hidupnya dengan tidak terbatas pada satu usaha.[4] Terutama terhadap kelompok
masyarakat yang disebut pertama, Ira M. Lapidus menjelaskan bahwa mereka hidup
dalam kelompok keluarga (kinship group)
dengan tradisi patriarkal. Kelompok-kelompok keluarga itu kemudian mengelompok
dalam sebuah suku dengan seorang kepala yang diberi kewenangan dan tanggung
jawab untuk menegakkan konstitusi kesukuan.[5]
Konteks
sosiologis yang dihadapi Islam seperti di atas membuktikan bahwa agama yang
beresensi kepasrahan dan ketundukan secara total kepada Dzat Yang Maha Kuasa
tersebut keberadaannya tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang telah
ada dalam masyarakat. Namun demikian, dalam perjalanannya, Islam selalu berdialog
dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti halnya dengan
masyarakat Arab saat diturunkannya Islam tersebut. Menurut Komaruddin Hidayat,
Islam memiliki akar tradisi yang paling kuat dan terus berkembang dibanding
agama lain. Di dalam jantung tradisi itu terdapat al-Qur’an yang memiliki daya
gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai budaya yang
dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai
asuhan budaya baru berusaha mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama
(sentripetal). Arus gerak sentrifugal dan sentripetal ini senantiasa
berlangsung sehingga perjalanan sejarah tradisi Islam selalu diwarnai oleh
berbagai usaha pembaruan dan penyegaran secara terus-menerus yang kadang-kadang
melahirkan ketegangan di antara usaha-usaha itu.[6] Pentingnya upaya pembaruan
dalam pemahaman terhadap Islam ini diibaratkan
oleh Amien Abdullah dengan kebutuhan menemukan “ventilasi” untuk sebuah
ruangan agar tidak terjadi “kepengapan”.[7] Upaya yang terkait dengan
kebutuhan untuk menemukan pemahaman baru terhadap Islam ini tidak bisa
dipisahkan dari karakteristik Islam sendiri sebagai agama yang terbuka untuk
didekati dengan berbagai macam pemahaman (polyinterpretable
religion),[8] yang penjelasannya secara panjang lebar
dapat dijumpai pada bagian tertentu dari buku ini.
Sementara
itu, kehadiran Islam yang senantiasa berdialog dengan persoalan yang dihadapi
masyarakat selanjutnya mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai
lokalitas dari budaya dan masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi
nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut sejalan dengan semangat yang
dikembangkan oleh Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif namun
kritis. Kondisi ini menyebabkan Islam dan pemikiran yang dikembangkan oleh
suatu masyarakat di wilayah tertentu bisa berlainan bentuk ekspresi dan
karakteristiknya dari masyarakat di wilayah yang lain. Dengan kata lain, ketika
Islam normatif memasuki wilayah kesejarahan, antara yang satu dengan yang lain
akan berbeda eskpresinya. Sebagai contoh, pemikiran Islam yang berkembang di
Timur Tengah dalam babakan sejarah yang panjang cenderung dikuasai oleh
pandangan yang mendudukkan Islam semata-mata sebagai norma. Kenyataan ini tidak
dapat dipisahkan dari konteks ajaran Islam yang formulasinya menggunakan
instrumentasi Arab. Kasus India menunjukkan hal yang berbeda; sebagai bagian
dari masyarakat India secara umum, Muslim di negara tersebut, akibat dari
kehidupannya yang masih sulit terhindarkan dari konflik antar agama dan atau
kelompok masyarakat[9],
pola keberagamaannya mengalami ekstremisasi. Kasus di dua negara tersebut
berbeda dengan kasus yang terjadi Indonesia; Islam yang berkembang di wilayah
ini bisa dikatakan pula sudah mengalami persemaian dan sekaligus pembuahan
dengan budaya lokal. Hal ini secara sederhana dibuktikan, misalnya, oleh kasus
tahlilan, tingkeban, dan lain-lain.
Selain itu, respon kaum Muslim Indonesia terhadap agama-agama lain yang
bersifat teduh, toleran, dan menjaga nilai harmonisasi sosial dapat dijadikan
alat pembukti ke sekian kali bagi masalah karakteristik Islam di wilayah ini.
Sebagai
bukti lebih jauh dari kasus Indonesia, eksistensi kelompok-kelompok keagamaan
sempalan dan atau radikal[10] tidak terlalu mendapatkan
tempat di kalangan kaum Muslimin. Kelompok semacam tersebut jauh dari populer,
apalagi untuk dapat melakukan gerakan yang secara keagamaan dan politik
signifikan. Kenyataan ini, menurut Azyumardi Azra, disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, Islam di Indonesia
sepanjang sejarahnya tidak pernah mengalami ekstrimisasi sebagaimana yang
dialami kaum Muslimin Timur Tengah. Perkembangan Islam di wilayah ini pada
umumnya berlangsung secara damai. Kedua,
berkenaan dengan faktor pertama tadi, kaum Muslimin Indonesia pada umumnya
adalah orang-orang yang akomodatif, kalau tidak cenderung dapat dikatakan
sinkretik, sehingga ekstrimisme dan radikalisme
tidak populer. Ketiga,
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional sejak awal kemerdekaan,
secara esensial, dianggap tidak
bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya, diyakini sesuai dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Keempat,
pemerintah Indonesia pada dasarnya adalah pemerintah yang dapat
dikategorisasikan sebagai soft regime,
yang lebih toleran dan jauh tidak represif terhadap kelompok-kelompok yang
berpotensi menjadi ekstrem dan radikal apabila dibandingkan dengan rezim-rezim
di Timur Tengah. Kelima, perubahan
politik pemerintah bergerak dari yang hostile
menuju perlakuan approachment kepada
gerakan Islam dan kaum Muslimin umumnya. Kebijakan pemerintah Indonesia yang
cenderung hostile tersebut terjadi
sejak kebangkitan Orde Baru hingga akhir 80-an, namun berubah menjadi lebih
dekat dengan kaum Muslim hingga sering disebut sebagai masa honeymoon
sejak awal 90-an.[11]
Konflik
agama jarang ditemukan di Indonesia karena model keislaman di wilayah ini tidak
eksplosif, tetapi lebih historis dan dimensi kulturalnya matang.[12] Apa yang terjadi dengan
konflik Maluku,[13]
sebagai contoh, sebetulnya bukanlah konflik antar agama, melainkan konflik
distribusi kekuasaan di antara elemen-elemen yang ada dalam masyarakat
tersebut. Meminjam perspektif Rosita S. Noer, ada perbedaan antara faktor
pemicu (triggering factor) dan faktor
penyebab. Yang disebut faktor pemicu adalah faktor yang menjadi “sebab awal” marahnya
massa dan menimbulkan kerusuhan, serta sifatnya lebih pada permukaan saja dari
apa yang dipahami secara awal oleh massa. Adapun faktor penyebab adalah faktor
yang “tersembunyi”, dan umumnya berkaitan dengan masalah-masalah hubungan
sosial, jarak sosial, dan struktur sosial suatu masyarakat.[14] Dalam konteks konflik
Maluku, agama bukan merupakan faktor penyebab yang secara dominan menimbulkan
kasus itu, melainkan hanya sekadar menjadi faktor pemicu yang kemudian
ditarik-tarik untuk masuk menjadi faktor penyebab.
Adapun
faktor penyebabnya secara rinci adalah sebagai berikut. Pertama, perebutan wilayah agama yang bercampur dengan kecemburuan
sosial. Kedua, perebutan tambang emas
di Malifut, sebuah kota yang akan menjadi kecamatan baru. Ketiga, perebutan kursi gubernur.[15] Bahkan secara eksplisit, dalam perspektif
Thoha Hamim, konflik tersebut disebabkan oleh persaingan politik untuk
menguasai jabatan birokrasi pemerintahan dalam bentuk monopoli kekuasaan dengan
cara menutup akses bagi kelompok tertentu untuk memasuki struktur kekuasaan (the structural obstruction), dan tidak
berkaitan langsung dengan perbedaan denominasi agama masyarakat Maluku.[16]
Perbedaan
bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya
seperti di atas, selanjutnya, membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal
yang bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman
terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas sangat penting
dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari ajaran yang nota
benenya sudah terlembagakan, apalagi
dalam konteks saat ini. Pentingnya hal demikian untuk mengetahui penjabaran
dari nilai-nilai dasar dan asas-asas fundamental ajaran agama dalam kehidupan konkret
sosial-kemasyarakatan.[17] Selain itu, hal tersebut
juga penting untuk menghindari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan secara
distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila
pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya
pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan
relatif. Akibatnya, semua yang berkaitan dengan wacana keagamaan atau
keberagamaan dianggap sebagai hal yang absolut sifatnya dan tidak menerima
segala bentuk upaya peninjauan ulang dalam konteks ruang dan waktu. Karena
ketidakjelasan ini, muncul pemahaman atau bahkan tindakan yang selalu diklaim
sebagai tindakan keagamaan, padahal sebenarnya merupakan wilayah tradisi atau
budaya; atau dalam perspektif Amien Abdullah tindakan dimaksud disebut sebagai
proses sakralisasi pemikiran keagamaan (taqdis
al-afkar al-diniyyah).[18]
Lebih jauh,
bila tidak segera mendapat penunjukan secara benar, pemahaman yang campur aduk
seperti di atas akan mudah menimbulkan konsekuensi lebih lanjut. Pertama, kekerasan atau radikalisme atas
nama agama menjadi sesuatu yang kerap dapat disaksikan dengan mudah di lapangan
kehidupan masyarakat. Memang, agama wujudnya sangat abstrak, namun implikasinya
sangat dahsyat dan riil. Agama yang senantiasa mengajarkan dan menegaskan
keramahtamahan dan kasih sayang, ternyata, bisa memicu terjadinya keberingasan,
kekerasan, dan kesewenang-wenangan. Bila fenomena ini semakin meluas, asumsi
yang selama ini diyakini benar akan menguat bahwa agama merupakan amunisi
tambahan yang sangat ampuh untuk menciptakan tindakan-tindakan radikal,
esktrem, dan anarkis agar pihak lain yang dianggap sebagai rival tidak berdaya.[19] Kekerasan sosial seperti
ini akan menguat bila dibarengi oleh kekerasan negara atas masyarakat karena
kekerasan horisontal, pada beberapa tataran,
merupakan reaksi tidak berdaya atas
kekerasan vertikal negara terhadap masyarakat.[20] Berbagai kasus dapat
dijadikan contoh terhadap radikalisme atas nama agama tersebut seperti
pembakaran gereja di Pasuruan dan Situbondo pada pertengahan tahun 1990-an dan
pengeboman terhadap beberapa gereja di sejumlah kota besar di Indonesia pada
malam natal 2000.
Pemahaman
yang campur aduk terhadap normativitas dan historisitas agama hingga
menimbulkan kekerasan dan radikalisme atas nama agama di atas, dalam bentuk
konkretnya, menurut Komaruddin Hidayat, tidak terlepas dari beberapa
kemungkinan yang menjadi keyakinan masyarakat. Satu di antara kemungkinan
tersebut adalah bahwa hampir semua agama besar dunia dilahirkan pada masyarakat
tertutup dan langsung berhadapan dengan musuh. Karena itu, banyak sekali
ungkapan yang secara tekstual menyatakan permusuhan dan kutukan terhadap
eksistensi agama lain. Kemungkinan yang lain,
setiap agama menawarkan jalan keselamatan (salvation).
Keyakinan terhadap jalan keselamatan semacam ini dilakukan secara eksklusif,
seakan-akan hanya ada satu jalan mencapai keselamatan tersebut. Akibatnya,
kutukan terhadap agama lain menjadi sesuatu yang kerap terjadi dan dianggap
sebagai sebuah kebajikan agama. Selain itu,
radikalisme atas nama agama bisa juga didorong oleh keyakinan masyarakat bahwa
setiap agama pada gilirannya melahirkan realitas sosial berupa kelompok
penganut (community of believers).
Maka, timbul dalam kaitan ini apa yang disebut dengan istilah “orang dalam” (insider) dan “orang luar” (outsider).[21]
Kedua, munculnya agama kultus
(pengkultusan berlebihan) menjadi tidak dapat dihindarkan dari praktik-praktik
kehidupan sosial keagamaan.[22] Realitas ini bersifat
kontra-produktif karena keselamatan dan kebahagiaan yang dijanjikan oleh
individu yang dikultuskan bersifat semu dan dapat menimbulkan penyimpangan atau
keterpelesetan dalam wilayah praksis agama akibat tidak adanya formulasi ajaran
yang jelas. Kontra-produktivitas ini terkait dengan kedekatan hubungan wilayah
normatif-doktrinal dengan historis-kultural sehingga menjadikan pemahaman agama
rawan terjebak ke dalam wilayah yang sangat sempit, kultus individu berlebihan.
Berbagai kasus dapat menjelaskan hal tersebut, yakni seperti kasus bunuh diri
massal pengikut gerakan Ranting Daud pimpinan David Koresh, sekte Aum Shinrikyo Jepang di bawah asuhan
Shoko Asahara, maupun kasus belakangan sekte Pemulihan Sepuluh Perintah Tuhan
di Uganda, dan sebagainya.[23]
Ketiga, krisis dimensi
kehidupan menjadi akrab terdengar dan teralami. Krisis tersebut berupa
munculnya penguatan spiritualitas semata dengan kehilangan bentuk formal. Dalam
konteks ini, agama formal ditinggalkan,[24] dan kehidupan yang sulit
untuk dapat membedakan antara realitas sejati dan realitas semu menjadi tidak
terhindarkan. Kesulitan ini pada gilirannya mengakibatkan berbagai realitas semu dianggap sebagai realitas
sejati.[25] Memang, spiritualitas,
seperti diungkapkan Ulil Abshar-Abdalla, dapat mengubah cara pandang terhadap
kehidupan. Namun demikian, bila spiritualitas itu berhenti pada titiknya
sendiri, ia tidak akan dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.[26] Oleh karena itu,
spiritualitas membutuhkan lembaga, dan lembaga yang paling aman untuk mengawal
jalannya transformasi spiritual itu adalah kerangka (frame) agama formal. Argumentasinya, spiritualitas melalui agama
akan lebih jelas arahnya karena mempunyai dasar pijakan yang jelas sehingga
jalan untuk mencapai realitas sejati jelas dan mudah dilalui. Adapun
spiritualitas di luar agama formal, termasuk soft spiritual kaum sekular, hanya bersifat pelipur lara yang
kosong sehingga upaya mencapai realitas
sejati jauh dari realisasi. Selain itu, karena sifatnya pelipur lara,
capaian yang dapat diraih oleh spiritualitas di luar agama formal hanya
sebatas realitas semu.[27]
Dalam kondisi masyarakat yang pluralistik dengan
fasilitas teknologi yang maju, pemahaman terhadap agama dan keagamaan menjadi
sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan secara tepat dan benar. Hal ini
karena kepentingan sosial kemasyarakatan kerap bercampur aduk dengan agama
sehingga sulit dibedakan mana wilayah agama sebenarnya dan mana pula wilayah
“kepentingan” historis kultural yang juga melekat di dalamnya.[28] Selain itu, dalam masyarakat yang plural,
pengedepanan salah satu dari normativitas dan historisitas tersebut dapat
menimbulkan bahaya, kontraproduktif,[29]
karena bertabrakan dengan semangat yang dikandung oleh pluralitas itu sendiri,
salah satunya adalah toleransi.
Kondisi pluralistik tersebut ditambah lagi oleh kenyataan
sosiologis bahwa agama saat turunnya
masih cenderung bersifat gerakan, namun kini sudah masuk dalam kerangka yang
terorganisir secara rapi sehingga agama menjadi identik dengan organisasi.
Menurut Komaruddin Hidayat, Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, seperti halnya
Kristen masa Yesus Kristus, lebih merupakan kesadaran-kesadaran nilai karena
agama masa itu belum mewujud ke dalam lembaga-lembaga atau institusi-institusi
sehingga kesadaran-kesadaran itu bisa digerakkan oleh person-person. Namun demikian, saat ini agama sudah terlembagakan
secara rapi sehingga kesadaran itu melebur dalam kerangka institusional. Oleh karena itu, peran-peran untuk menggerakkan kesadaran itu mesti juga
dilakukan secara bersama-sama melalui lembaga-lembaga itu.[30]
Tidak berbeda dengan Komaruddin Hidayat, Amien Abdullah menjelaskan bahwa
hampir semua agama mempunyai “institusi” dan “organisasi” pendukung yang memperkuat dan menyebarluaskan ajaran agama yang diembannya.
Kondisi ini pada akhirnya membuat sulit untuk menemukan agama tanpa terkait
dengan “kepentingan” kelembagaan, kekuasaan, dan interest-interest tertentu betapapun tinggi nilai transendental dan
sosial yang dikandung oleh kepentingan tersebut.[31]
Elaborasi di atas dapat dicarikan penguatnya melalui
pengamatan terhadap interaksi masyarakat
Muslim dan pembangunan atau modernisasi. Interaksi itu telah melahirkan gerakan
atau kelompok yang berbeda-beda di kalangan masyarakat Muslim sendiri. Sebagai misal, kelompok revivalisme awal,
seperti kelompok Wahhabi, selalu menekankan agar praktik-praktik keagamaan
tidak menyimpang dari ketentuan formal al-Qur’an dan Hadith. Sebagai bentuk
konkretnya, mereka berusaha mengikis semua praktik kegamaan yang dianggap bid’ah seperti tahlilan, pandangan mengkeramatkan kuburan wali, dan seterusnya.
Kelompok modernis, seperti diwakili Muhammad ‘Abduh dari Mesir, mempunyai
pandangan lain, liberal; mereka mencoba menangkap elan vital Barat dan berusaha mencari padanannya dalam Islam. Di
satu sisi, mereka tetap menegaskan keyakinan akan kebenaran Islam, namun di
sisi lain tidak menolak untuk bergumul dengan hegemoni Barat.[32]
Selain dua kelompok ini, masih ada beberapa kelompok lain. Yang jelas, selama
interaksi masyarakat terus berjalan, maka selama itu pula akan ada, dan bahkan
lahir, kelompok dengan model pemahaman dan keyakinan masing-masing.
Lahirnya kelompok-kelompok keagamaan di kalangan
masyarakat seperti tersebut selanjutnya melahirkan beberapa pandangan hipotetis
mengenai hubungan agama dengan pembangunan. Pertama,
agama, seperti yang tercermin dalam nilai-nilai, tradisi dan institusi sosial,
menghambat modernisasi dan proses pembangunan. Kedua, agama mengandung unsur-unsur ajaran yang membantu terjadinya
perubahan sosial, misalnya motivasi bagi kewiraswastaan, etos ilmu pengetahuan,
semangat perdamaian, dan sebagainya yang sesuai dengan nilai modernitas. Ketiga, agama sebagai daya tarik dalam
masyarakat; misalnya, meski kritik atas nama agama diarahkan kepada
pembangunan, hal itu berperan untuk mencegah dampak negatif dari modernisasi
dan pembangunan.[33] Beberapa pandangan hipotetis ini menjadi bagian yang dapat menunjukkan
bahwa pemahaman yang cukup terhadap agama dan masyarakatnya adalah sesuatu yang
sangat urgen dan signifikan dilakukan untuk menghindari kesimpulan yang salah
akibat terdistorsinya pemaknaan.
Selain
itu, signifikansi pemahaman yang cukup terhadap agama dan fenomena keagamaan
juga terlihat tatkala teknologi mampu mempersembahkan berbagai fasilitas teknis
yang dapat mengantarkan manusia kepada kemudahan-kemudahan dalam memenuhi
kebutuhan hidup duniawinya. Di saat kebutuhan duniawi dengan mudah dapat
dipenuhi, manusia berada dalam posisi membutuhkan hal lain demi terciptanya
keseimbangan hidup; dan hal lain itu adalah kebutuhan nonfisik-spiritual karena
masyarakat yang berada di era teknologi dengan industrialisasi yang secara
masif memudahkan pemenuhan kebutuhan hidup duniawi rentan terhadap
terjangkitinya alienasi dan keterasingan diri anggotanya.[34] Keseimbangan itu akan muncul jika kebutuhan dasar manusia, baik fisik maupun
nonfisik, terpenuhi secara seimbang dan dalam hubungan yang harmonis. Hal ini
karena kehidupan manusia, pada dasarnya, tidak bisa dipisahkan dari dunia fisik
dan nonfisik, jasmani dan rohani, atau duniawi dan ukhrawi. Kebutuhan dasar
nonfisik tersebut merupakan wilayah yang menjadi garapan dari agama. Agama
senantiasa menegaskan dan menjaga keseimbangan hidup dengan berbagai tawaran
spiritual dan arahan hidup yang jelas.
Selain
itu, hubungan antara perilaku keagamaan masyarakat dengan kemajuan teknologi
sangat erat sekali, bahkan saling mempengaruhi. Perilaku keagamaan masyarakat
akan berubah seiring dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh teknologi.
Begitu pula sebaliknya; teknologi dapat dipicu perkembangannya oleh
inspirasi-inspirasi agama yang mewujud dalam bentuk perilaku keagamaan
masyarakat pemeluknya. Dalam menjalankan beberapa aktivitas keagamaan,
masyarakat membutuhkan tersedianya fasilitas teknis yang dapat mendukung
terselenggaranya aktivitas keagamaan tersebut. Fasilitas teknis yang demikian
dapat disediakan oleh teknologi.
Kenyataan
pemahaman secara signifikan terhadap wacana agama dan keagamaan di tengah
kemajuan teknologi di atas ditambah lagi oleh keberadaan masyarakat saat ini
yang sangat majemuk dengan kepemilikan budaya (cultural properties) yang beragam dan tingkat pemahaman yang
bertingkat-tingkat. Dengan kepemilikan budaya dan pemahaman yang berlainan
tersebut, agama dipahami dan dipraktikkan dalam perilaku yang berbeda-beda
antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.
Keragaman
pemahaman dan aplikasinya dalam perilaku tersebut bila tidak dilihat dalam
perspektif yang sahih akan dapat menyebabkan lahirnya pemahaman bahwa
seakan-akan agama adalah seperti yang tercermin dalam bentuk pemahaman dan
perilaku masyarakat yang meyakini, dan sebaliknya, pemahaman dan perilaku
masyarakat dianggap sebagai agama itu sendiri. Akhirnya, pemahaman seperti itu
dapat menimbulkan kegagalan dalam membaca diskursus antara agama dan keagamaan.
Padahal, wilayah agama dan keagamaan jelas berbeda secara signifikan dan tidak
seharusnya disamakan meskipun, dalam beberapa kasus, istilah agama juga bisa
bersifat meliput (including) terhadap
makna keagamaan di samping maknanya sendiri.[35] Hal ini disebabkan oleh realitas epistemologis keduanya yang berbeda. Agama
bergerak di wilayah normatif-doktrinal karena lahir dari nilai atau sumber
ketuhanan (divinity),[36] sedangkan keagamaan merupakan aktivitas pemaknaan dan pewujudan dari agama
yang normatif itu ke dalam wilayah historis-kultural oleh pemeluknya.
Oleh
karena itu, dalam kaitan ini, perlu dipahami secara jelas perbedaan antara
penelitian agama (research on religion) dan
penelitian keagamaan (religious
research). Penelitian agama lebih menekankan pada materi agama sehingga
sasarannya adalah agama sebagai doktrin dengan tiga elemen pokok: ritus, mitos,
dan magik.[37] Penelitian jenis ini mengarahkan
aktivitasnya pada doktrin atau teks agama yang nota bene bersifat normatif.[38] Namun demikian, penelitian ini tidak harus dilaksanakan oleh pemeluk agama
itu sendiri, melainkan bisa juga dilaksanakan oleh komunitas lain yang nota
bene bukan pemeluk agama itu.[39]
Adapun
penelitian keagamaan mengkaji aspek-aspek sosial dan budaya dari agama yang
pada umumnya menggunakan pendekatan-pendekatan dari ilmu-ilmu sosial.[40] Penelitian ini tekanannya lebih pada agama sebagai sistem keagamaan (religious system),[41] dan
memandang agama sebagai fenomena atau fakta sosial, yakni agama sebagaimana
yang sudah mengejawantah dalam masyarakat nyata. Secara konkret, penelitian ini
bisa digerakkan pada diskursus semisal pengaruh unsur kepercayaan terhadap
pembentukan kerpibadian pemeluknya, baik secara personal-individual maupun
sosial-kolektif.[42] Meskipun demikian, untuk kepentingan pembahasan komprehensif metodologis
yang akan dilakukan oleh studi dalam buku ini, terhadap istilah agama dan
keagamaan dilakukan penyebutan perwakilan melalui istilah “penelitian agama”
dengan maksud untuk pembahasan keduanya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
pembahasan dan sekaligus untuk menegaskan bahwa bahasan studi ini akan meng-cover kedua jenis penelitian tersebut
secara simultan.
URGENSI DAN SIGNIFIKANSI STUDI ISLAM
Agama adalah ibarat
manusia.[43]
Untuk mengetahui perihal manusia, harus dipergunakan dua cara: pertama, membaca ide dan pemikiran yang
bersangkutan yang tertuang dalam berbagai karangan, pernyataan dan
pekerjaannya, serta kedua,
mempelajari biografinya. Mengetahui
perihal seorang manusia secara utuh tidak dapat dilakukan hanya melalui ide dan
pemikirannya karena banyak hal dalam hidup dan kehidupan yang bersangkutan
tidak tercermin dalam karangan, pernyataan dan pekerjaannya. Upaya itu mesti
dibarengi dengan cara membaca biografinya, mulai dari latar belakang keluarga,
kehidupan masa-masa awal, hingga kejadian-kejadian penting yang melintasi
hidupnya. Begitu pula halnya dengan agama; untuk mengenal agama harus dilakukan
dengan cara mempelajari ide-idenya serta membaca biografinya. Menurut Mukti
Ali, ide-ide agama terpusat pada kitab sucinya, sedangkan biografi agama dapat
ditemukan melalui sejarah yang dialaminya.[44]
Dalam konteks
Islam, untuk memahami agama ini bisa dilakukan penelitian atau studi dengan
menggunakan dua metode. Pertama,
mempelajari teks-teks suci al-Qur’an yang merupakan himpunan dari ide dan output ilmiah dan literer yang dikenal
dengan Islam. Kedua, mempelajari
dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari
permulaan diturunkannya misi Islam tersebut, terutama masa Nabi Muhammad SAW,
hingga masa akhir-akhir ini.
Masalahnya
kemudian, kalau memang benar bahwa penelitian (studi) mencari kebenaran,
bukankan agama [Islam] adalah kebenaran?[45] Memang benar, penelitian
dilakukan untuk mencari kebenaran, dan agama itu sendiri merupakan kebenaran,
baik sebagai sumber maupun produk. Namun demikian, Islam yang telah mengalami
proses dialogis dengan masyarakat tidak bisa dihindarkan dari munculnya beragam
wajah sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu.
Perbedaan ruang dan waktu itu melahirkan perbedaan pemahaman oleh masyarakat
bersangkutan sesuai dengan setting
yang mereka hadapi, baik berupa tuntutan maupun tantangan. Oleh karena itu,
bisa dimengerti bahwa Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan di Timur
Tengah, baik pada tataran kognitif maupun praksis sosial. Begitu pula Islam
yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami generasi
abad pertengahan maupun abad modern ini. Realitas perbedaan tersebut melahirkan
wacana seputar Islam sebagai kebenaran.
Atas dasar di atas,
adalah sangat urgen diperolehnya pemahaman Islam secara utuh dan tidak
distortif. Argumentasinya adalah bahwa realitas perbedaan di atas bila tidak
didekati secara tepat akan menimbulkan pemahaman yang pincang terhadap Islam
karena Islam sebagai agama mempunyai dimensi normatif dan historis. Oleh karena
itu, dalam kaitan ini, memahami ide-ide Islam yang ada dalam al-Qur’an urgen
sekali dilakukan. Hal ini tampak dari
argumentasi bahwa ide-ide dalam kitab suci tersebut merupakan dasar normatif
dan fondasi dari ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia.[46]
Al-Qur’an menegaskan landasan moral bagi gagasan-gagasan dan praktik-praktik
seperti ekonomi, politik, dan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia.[47]
Meski al-Qur’an meliputi ide-ide normatif Islam, teks-teksnya diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga
disampaikan secara verbal (verbally revealed).[48]
Dengan keberadaan
al-Qur’an yang meliputi ide-ide moral-normatif dan disampaikan secara ideal
sekaligus verbal di atas, maka studi Islam menemukan urgensi dan
signifikansinya untuk senantiasa dilakukan dalam kerangka memahami Islam secara
tuntas in context dengan
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat pada masanya masing-masing.
Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam
al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normatif-doktrinal yang cukup terhadap
sumber dari teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang kontekstual-historis
sehingga didapatkan pandangan yang relatif utuh terhadap Islam dengan berbagai
atributnya. Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi
dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam
mengambil kesimpulan tentangnya. Persoalan ini perlu ditekankan karena
kegagalan dan kesalahan dalam mengambil kesimpulan atau pemahaman tentang Islam
pernah ditujukan kepada atau dialami oleh beberapa ilmuwan Barat, seperti Ignaz
Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell.[49]
Kesalahan dan kegagalan mereka, ilmuwan Barat, dalam memahami Islam atau
masyarakat Muslim bukan terletak pada “perspektif tentang kebenaran” yang
berbeda, melainkan karena ketidaktahuan dan ketidakakuratan dalam memahami
masyarakat Muslim.[50]
Salah satu di antara penyebab ketidak-akuratan tersebut adalah kurang diacunya
teks-teks normatif Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normatif
untuk melihat historisitas Islam.
Sementara itu, untuk dapat
menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan
studi terhadap dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam,
mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir-akhir ini, baik di
wilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah lain di
berbagai belahan dunia. Studi ini mesti dilakukan melalui perangkat
historis-kultural. Studi ini menemukan signifikansinya sebagaimana dijelaskan
melalui beberapa hal berikut. Pertama, pentingnya
studi tersebut dilakukan sebagai bentuk pemenuhan terhadap motivasi imperatif
agama untuk meneladani rasul. Kedua,
signifikansi dilakukannya studi tersebut sebagai alat untuk menafsirkan dan
memahami maksud teks-teks suci al-Qur’an. Hal ini karena memahami maksud teks
tersebut harus lebih dulu memahami latar belakang sejarah turunnya, atau dalam
bahasa teknis agama disebut dengan asbab
al-nuzul. Ketiga, studi tersebut
penting untuk mengetahui proses dialogis antara normativitas Islam dengan
nilai-nilai historisitas yang melingkupinya dalam praksis Islam di tengah-tengah masyarakat.[51] Hal ini karena pada
tataran historis-empiris, agama ternyata juga sarat dengan berbagai
“kepentingan” sosial kemasyarakatan yang rumit untuk dipisahkan.[52] Keempat, signifikansi dilakukannya kajian historis ini agar nilai
perkembangan historis tersebut dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk
merekonstruksi disiplin-disiplin Islam bagi kepentingan masa depan.[53] Dengan demikian, nilai
positif dari kajian historis ini implikasinya sangat jauh, meliputi kerangka
teoritis maupun praktis.
Untuk menggambarkan
secara numerik dalam kerangka besar urgensi dan signifikansi studi Islam
seperti tersebut di atas, berikut ini diuraikan beberapa hal.
1.
Studi Islam
diarahkan sebagai instrumen untuk memahami dan mengetahui proses sentrifugal
dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi studi tadi,
terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki kapasitas dan daya
gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai budaya yang
dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai
asuhan budaya baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi dengan cara
mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal).[54]
Dalam kaitan ini, jika studi Islam ditarik ke arah perjalanan sejarah tradisi
Islam, tampak sekali urgensi dan signifikansinya sebab realitas historis
membuktikan bahwa Islam selalu diwarnai oleh berbagai usaha pembaruan dan
penyegaran secara terus-menerus sebagai konsekuensi dari arus gerak sentrifugal
dan sentripetal tersebut. Usaha pembaruan dan penyegaran tersebut tidak jarang
melahirkan ketegangan antara satu dan yang lain.
2.
Sebagai konsekuensi
poin pertama, studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi
dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran
realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal demikian
agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang.[55]
Selama ini, beberapa ahli ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya para orientalis, mendekati Islam dengan
metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka meskipun menarik, tidak bisa
menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui
penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata. Mereka [khususnya para
ilmuwan sosial], misalnya, tidak bisa menjawab persoalan-persoalan berkenaan
dengan isu-isu ontologis dari realitas atau obyek simbolisasi. Hal ini karena,
oleh mereka, simbol-simbol dan sistem kepercayaan pemeluk agama diambil secara serius sebagai data yang
kenyataannya tidak bisa terlepas dari bias pengamatannya. Untuk kepentingan
ilmiah, simbol-simbol dan data-data kultural tersebut diterima sebagai sebuah
realitas, baik data-data tersebut bersifat empiris, nonempiris, material maupun
spiritual.[56] Sementara itu, para ulama’ sendiri masih terbiasa
memahami Islam dengan cara doktriner dan dogmatis. Akibatnya, penafsiran dan
pemahaman yang dihasilkan tidak jarang out
of context dengan persoalan yang sedang dan akan dihadapi.[57] Oleh karena itu, teks-teks normatif Islam mesti didialogkan dengan
realitas empirik sosial. Hal ini dilakukan agar Islam bisa menjaga fungsionalitasnya
di tengah-tengah masyarakat; dan begitu pula sebaliknya, agar realitas empirik
sosial memperoleh penunjukan legitimasinya oleh kebenaran agama. Selain itu,
jika Islam hanya dilihat dari satu segi saja, yang akan tampak hanya satu
dimensi saja dari fenomena-fenomena sosial yang beragam (multifaceted). Jika saja satu dimensi itu betul, hal itu tidak
cukup untuk mengetahui wajah Islam secara keseluruhan,[58] karena Islam memiliki multi wajah sebagaimana intan yang dapat memancarkan
sinar dari berbagai sudutnya.[59]
3.
Studi
Islam bergerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang
signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas
dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang
nota bene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought). Pentingnya memahami esensi ajaran ini lebih-lebih
terlihat pada konteks kekinian dengan berbagai kelompok masyarakat yang
berbeda-beda pemahaman dan aspirasinya. Hal demikian untuk mengetahui
penjabaran dari nilai-nilai dasar dan asas-asas fundamental ajaran dalam
kehidupan konkret sosial-kemasyarakatan yang plural.
4.
Studi
Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi
antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya. Pencampuradukan itu pada
urutannya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap konsep
kebenaran, antara yang absolut dan relatif. Akibatnya, semua yang berkaitan
dengan wacana keagamaan atau keberagamaan dianggap sebagai hal yang absolut
sifatnya dan tidak menerima segala bentuk upaya peninjauan ulang dalam konteks
ruang dan waktu. Karena ketidakjelasan ini, muncul pemahaman atau bahkan
tindakan yang selalu diklaim sebagai tindakan keagamaan, padahal sebenarnya
pemahaman dan tindakan itu termasuk wilayah tradisi atau budaya.
PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Untuk
kepentingan spesifik keilmuan, menurut penulis, perlu dibedakan wacana studi
Islam sebagai bagian dari peradaban Islam (Islamic
civilization) dan studi Islam
sebagai bagian dari kajian akademis (Islamologi). Pembedaan itu dilakukan bukan
dengan menafikan realitas bahwa dinamika keduanya sering dalam posisi saling
mengisi. Hal ini karena peradaban Islam memberikan insipirasi terhadap gerak
kajian yang dikembangkan dalam studi keilmuan Islam, dan sebaliknya, studi
keilmuan Islam menanamkan investasi yang besar terhadap perkembangan peradaban
Islam. Namun demikian, sebagai “disiplin keilmuan”, studi Islam memiliki
konsekuensi logis untuk mengalami perkembangan secara spesifik dan mendapatkan
perhatian tersendiri melalui instrumen keilmuan. Oleh karena itu, diskursus perkembangan studi Islam dalam
konteks ini mesti didekati dan dipahami dalam kerangka akademis tersebut.
Studi Islam
secara etimologis dapat dipadankan dengan Dirasah
Islamiyah dalam bahasa Arab atau Islamic
Studies dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan semangat implementasi dari
aktivitas-aktivitas keagamaan [yang menjadi bagian dari upaya pembentukan
peradaban Islam] seperti majelis taklim, misalnya, yang bersifat doktriner dan
bertujuan meningkatkan keagamaan seseorang dalam tataran kognitif dan praktis,
studi Islam atau Islamologi ini “tidak bertanggung jawab” terhadap keagamaan
individu. Islamologi mempelajari dan mengkaji Islam hanya sebatas Islam sebagai
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan untuk dipraktikkan,
melainkan hanya didorong oleh tuntutan profesionalisme untuk kepentingan
penelitian atau kajian keislaman. Adapun bahwa kelak akan muncul efek keagamaan
merupakan suatu hal yang bisa saja terjadi, namun bukan atas kehendak formal
yang menjadi tanggung jawab studi Islam. Oleh karena itu, bisa dipahami
munculnya sejumlah pakar Islamologi atau keislaman, terutama di dunia Barat, yang beragama nonIslam.[60]
Merujuk
kepada sejarah peradaban Islam, ditemukan penjelasan mengenai ragam model
diseminasi dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui proses pengkajian
yang berlaku di masyarakat Islam, baik dalam konteks ruang (tempat) maupun
waktu. Tercatat bahwa peradaban Islam diwarnai oleh dinamika masyarakat Muslim
dalam kajian Islam melalui beragam pusat pembelajaran, mulai dari kuttab,
masjid, observatorium, perpusatakaan, madrasah, khanqah, pesantren, hingga sekolah dan
perguruan-perguruan tinggi seperti yang dikenal pada masa modern ini.
Beragamnya instrumen institusional pendidikan tersebut juga diiringi dengan
pergerakan kurikulum yang diterapkan.[61] Menurut Mahmud Yunus,
pusat-pusat studi Islam klasik dapat diklasifikasi menjadi beberapa kelompok
seperti Makkah dan Madinah di Hijaz, Basrah dan Kufah di Irak, Damaskus dan
Palestina di Syam, dan Fistat di Mesir. Kelompok Makkah dipelopori oleh Mu’adh
b. jabal, Madinah oleh Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Uthman, sedangkan Basrah oleh Abu
Musa al-Ash’ari dan Anas b. Malik, Kufah oleh ‘Ali b. Abi Talib dan ‘Abd Allah
b. Mas’ud, Damaskus oleh ‘Ubadah dan Abu Darda’, serta Fistat oleh ‘Abd Allah
b. ‘Amr ibn ‘As.[62]
Selanjutnya,
sebagai bagian dari kerangka peradaban Islam, penyelenggaraan studi Islam pada
masa klasik juga telah mewarnai dinamika masyarakat baik di dunia Islam sendiri
maupun di Barat. Di dunia Islam, misalnya, pada saat Dinasti ‘Abbasiyah
dipimpin oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) kegiatan studi Islam diselenggarakan
dengan mengambil pusatnya di Baghdad. Kegiatan studi Islam itu dikukuhkan
dengan didirikannya pusat pengembangan ilmu pengetahuan, Bayt al-Hikmah, dengan
dua signifikansi yang dikandungnya: sebagai perpustakaan dan sebagai lembaga
pendidikan dan penerjemahan karya-karya Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab.
Sementara itu, di dunia Barat, tepatnya Eropa, didirikan pusat kebudayaan yang
memiliki fungsi yang tidak berbeda dengan Bayt al-Hikmah. Pusat kebudayaan
tersebut bernama Universitas Cordova yang dirikan oleh Dinasti Umaiyah di
Spanyol yang saat itu kendali kekuasaannya dipegang oleh ‘Abd al-Rahman III
(929-961 M).[63]
Sementara itu, munculnya studi Islam sebagai suatu kajian akademis tidak bisa dipisahkan, salah satunya, dari semangat Orang Barat untuk mengetahui perihal kehidupan orang Timur dalam berbagai aspeknya. Mereka melakukan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai aspek kehidupan orang Timur, mulai dari agama, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Aktivitas-aktivitas ini kemudian lebih dikenal dengan pendasaran orientalisme. Terlepas dari motivasi dan tujuan yang melatarbelakangi dilakukannya berbagai pengkajian terhadap beragam aspek kehidupan masyarakat Timur tersebut, satu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa studi Islam telah ikut terdorong ke depan menjadi bagian yang perlu dilakukan secara ilmiah agar sampai kepada pemahaman yang relatif valid dan tepat terhadap kehidupan masyarakat Timur. Hal demikian karena Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Timur sehingga dalam upaya untuk dapat memahami kehidupan mereka mesti dilakukan juga perujukan atau pengkajian terhadap keyakinan agamanya.
Tanpa berpretensi melebih-lebihkan Barat, patut diakui bahwa pertumbuhan studi Islam melalui instrumen dan tradisi akademis tidak bisa dilepaskan dari kontribusi orang-orang (ilmuwan) Barat. Meskipun bukan berarti di luar mereka identifikasinya rendah, dibanding dengan para pengkaji pada umumnya, minimal untuk konteks saat itu, para pengkaji Barat lebih terdukung aktualisasi akademis-intelektualnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal berikut. Pertama, mereka didukung oleh infrastruktur riset yang lebih baik. Dukungan infrastruktur ini terutama berupa sumber daya finansial dan institusional. Kedua, mereka terkondisi dalam tradisi riset yang baik dan benar. Tradisi riset dimaksud tidak saja memberi perhatian pada riset kebijakan, melainkan juga riset-riset mendasar bagi pengembangan teori keilmuan (theory building). Selain itu, riset secara tekun dan serius menjadi bagian dari tradisi mereka. Ketiga, mereka pada umumnya memiliki kemampuan teoritis-metodologis yang baik. Hal ini karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu sosial secara baik pula. Keempat, dalam beberapa kasus, mereka memiliki referensi yang lebih sehingga bisa dijadikan bahan komparasi untuk sebuah kasus yang diteliti. Kelima, mereka lebih terbuka, untuk tidak menyebut lebih berani, untuk mengambil atau melakukan penelitian hingga sampai pada suatu kesimpulan. Keterbukaan mereka ini karena tidak dibelenggu oleh kendala ideologis dan politis untuk melakukan riset.[64]
Dalam perjalanannya, studi Islam secara akademis (Islamologi) menemukan pemantapannya sejak tahun 1950-an. Pada saat itu, mulai banyak ditawarkan studi-studi Islam di universitas-universitas ternama di Amerika Serikat seperti di Hartvard University, UCLA, Chicago University, Yale University dan sebagainya,[65] meskipun studi agama pada umumnya hingga akhir tahun 1970-an masih dianggap sebagai anak tiri (stepchild).[66] Studi akademis Islam ini tidak mempertanyakan kesahihan teks suci al-Qur’an, misalnya, melainkan bergerak mengkaji kebenaran atau ketepatan interpretasi (tafsir) terhadap ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an, termasuk mengembangkan, mempertanyakan validitas dan memperbarui teori yang digagas oleh ulama’ tafsir. Oleh karena itu, yang dikaji secara akademis adalah pemikiran ulama’ terdahulu dalam memahami Islam dengan segala latar belakangnya. Lebih jauh, studi Islam secara akademis dilakukan terhadap implementasi ajaran Islam pada tataran praksis sosial dalam pengertian seluas-luasnya.[67]
Istilah studi Islam (Islamic studies) sendiri dalam kerangka akademis mulai terdistribusikan secara meluas melalui penggunaan Islam sebagai sebuah spesifikasi utama atau titik sentral berbagai jurnal profesional dan jurusan dalam lembaga-lembaga akademik.[68] Hal demikian dibuktikan dengan realitas bahwa studi Islam di perguruan-perguruan tinggi di Barat telah menjadi bagian penting dan terkait dengan program akademis mereka. Mata kuliah keislaman yang ditawarkan meliputi berbagai lapangan kajian dengan tetap menempatkan Islam sebagai titik sentralnya. Namun demikian, terdapat dua variasi dalam menempatkan Islam dalam kaitannya dengan sebuah kajian. Secara organisatoris, di sebagian besar perguruan tinggi, Islam kerap menjadi bagian dari studi kawasan (area studies) seperti di Jurusan Bahasa dan Budaya Timur Tengah (Department of Middle Eastern Studies) atau di Jurusan Studi-studi Ketimuran (Department of Near Eastern Studies).[69] Meski begitu, ada juga yang menempatkan kajian Islam dalam satu departemen khusus (Islamic studies).
Perguruan
tinggi yang menempatkan Islam sebagai bagian dari studi kawasan dapat ditemukan
pada hampir setiap universitas besar di Amerika Serikat seperti Chicago
University, Columbia University (New York), Princeton University, dan UCLA (Los
Angeles) dengan tekanan spesifikasi dan spesialisasi masing-masing. Di Chicago
University, misalnya, studi Islam banyak ditekankan pada bidang pemikiran Islam
[terutama terutama sejak Fazlur Rahman mengajar di perguruan tinggi tersebut],
bahasa Arab, naskah klasik, dan bahasa-bahasa Islam non-Arab. Di Columbia
University, studi Islam lebih banyak diarahkan pada kajian-kajian sejarah Islam
dengan Richard W. Bulliet sebagai profesornya. Princeton University lebih
dikenal dengan kajian sejarah dan peradaban Islam dengan Bernard Lewis sebagai
profesornya. Adapun di UCLA, studi Islam dikategorikan ke dalam empat kelompok. Pertama, doktrin dan sejarah Islam, termasuk sejarah pemikiran
Islam (history of Islamic thought). Kedua, bahasa Arab dan teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum, dan
lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa
nonArab Muslim yang dianggap telah ikut melahirkan kebudayaan Islam seperti
Turki, Urdu, dan Persia. Keempat,
ilmu-ilmu sosial, sejarah, bahasa Arab,
bahasa-bahasa Islam, sosiologi, antroplogi dan sebagainya.[70] Meski dengan tekanan
spesifikasi yang berbeda-beda, studi Islam di beberapa perguruan tinggi Amerika
Serikat memiliki kesamaan, yakni pada umumnya penekanan kajian dilakukan
terhadap bidang-bidang seperti sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam nonArab,
sastra dan ilmu-imu sosial.[71]
Kecenderungan
menempatkan studi Islam sebagai bagian dari studi kawasan juga terjadi di
beberapa universitas di Australia. Sebagai contoh, dua universitas ternama,
Melbourne University dan The Australian National University (ANU), menempatkan
kajian Islam di Fakultas Asian Studies. Sementara kajian Islam di Melbourne
University disupervisi oleh beberapa ilmuwan seperti M.C. Ricklefs, Arief
Budiman, dan Abdullah Saeed, di ANU di bawah supervisi beberapa ilmuwan di
antaranya A.H. Johns, J.J. Fox, A.C. Milner, Virginia Hooker, M.B. Hooker, Greg
Fealy, dan Harold Crouch. Salah satu kontribusi yang dipersembahkan oleh
beberapa universitas Australia terhadap perkembangan studi Islam adalah
pengkajian Islam dari sisi historisitasnya. Sebagaimana dikemukakan Virginia
Hooker,[72] Wacana studi Islam yang
dikembangkan di Australia lebih dititikberatkan kepada historisitas Islam
daripada normativitas. Islam yang diteliti di kawasan ini adalah Islam yang
mewujud dalam praktik kemanusiaan masyarakat, atau Islam sebagaimana yang
dipraktikkan oleh para pemeluknya. Untuk kepentingan ini, wacana Islam yang
dijadikan bahan kajian secara umum,
menurutnya, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar. Pertama, wacana Islam yang diambil dari first-hand resources melalui kegiatan fieldwork di kawasan yang diteliti, seperti Indonesia, Malaysia dan
seterusnya. Kedua, wacana Islam yang
didapatkan dan dikembangkan dari pengalaman keberagamaan atau keislaman
masyarakat Muslim di kawasan tertentu, yang kemudian diwujudkan baik dalam
bentuk karya-karya tulis mereka, seperti bentuk buku, artikel, maupun
praktik-praktik kehidupan mereka.
Sementara
itu, perguruan tinggi yang menempatkan studi Islam pada sebuah departeman
khusus adalah McGill University, Montreal Canada, melalui lembaga akademis yang
disebut dengan Institute of Islamic
Studies. Pada mulanya, program studi-studi keislaman merupakan bagian dari
studi-studi yang ditawarkan di Department
of Religious Studies perguruan tinggi tersebut,[73] namun kemudian beralih
menjadi lembaga ilmiah tersendiri bernama seperti tersebut dengan dipelopori
oleh Wilfred Cantwell Smith.[74] Pendirian Institute of
Islamic Studies di McGill University ini dilakukan untuk kepentingan ilmiah
sebagai berikut. Pertama, untuk
menekuni kajian budaya dan peradaban Islam dari zaman Nabi Muh}ammad hingga
masa kontemporer. Kedua, untuk
memahami ajaran Islam dan masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia.[75]
Atas dasar
itu, karakteristik mainstream kajian
Islam yang dikembangkan di lembaga tersebut dapat dikategorikan sebagai
berikut. Pertama, kajian Islam di
McGill University secara teoritis tidak stabil. Hal ini karena kajian Islam
bukan merupakan bagian dari departemen apapun seperti di tempat-tempat lain
yang biasanya menjadikan Islam sebagai salah satu obyek kajian ilmu-ilmu sosial
seperti antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan lain-lain. Di perguruan
tinggi ini, Islam dipelajari dalam rangka belajar Islam, bukan dalam rangka
belajar antropologi sebagai misal. Karena tidak didekati dengan satu disiplin
ilmu tertentu, maka kajian keislamannya menjadi tidak terdefinisikan secara
ketat. Akibatnya, tidak ada teori yang jelas mendasarinya, termasuk paradigma
dan metodologi yang baku. Hal itu berbeda jika Islam didekati dengan
antropologi, misalnya, sebab Islam bisa ditelaah lewat teori-teori seperti
Strukturalisme dan Fungsionalisme yang masing-masing memiliki asumsi, paradigma
dan metodologi yang jelas dan baku. Kedua, kajian Islam di McGill University
lebih banyak ditekankan pada sisi ajaran sehingga kajiannya sangat tekstual.
Wacana yang banyak menjadi bahan kajian adalah teks-teks kitab, baik yang
klasik maupun kontemporer. Akibat yang ditimbulkan oleh penekanan yang lebih
pada teks ajaran tersebut adalah seringnya terabaikan konteks yang melingkupi
teks, padahal untuk dapat mengkaji konteks perlu di-back-up dengan disiplin ilmu bantu seperti sosiologi, antropologi
dan lain-lain, yang justru tidak dipelajari di Institute of Islamic Studies ini.
Untuk bisa memperoleh ilmu bantu tersebut, mahasiswa harus melakukan
kegiatan ekstra kurikuler sendiri-sendiri. Hal ini di antaranya karena di studi
Islam McGill University tidak dikenal sistem mata kuliah major[76]
dan minor[77]. Semua mata kuliah
diperlakukan secara sama posisinya.[78]
Sementara
itu, di negeri-negeri Islam, penempatan studi Islam secara organisatoris juga
sangat variatif. Atho Mudzhar mencatat, di Iran terdapat dua universitas besar
yang melakukan kajian Islam, Universitas Teheran dan Universitas Imam Sadiq, keduanya berada di Teheran. Di
Universitas yang disebut pertama, studi Islam diselenggarakan dalam satu
fakultas, yakni fakultas Agama (Kulliyat
al-Ilahiyat), sedangkan di Universitas yang disebut kedua, diselenggarakan
bersama dengan ilmu umum. Selain itu, di India juga terdapat dua universitas besar
yang melakukan kajian Islam, Aligarh University dan Jamia Millia Islamia. Di
perguruan tinggi pertama, studi Islam dikelompokkan pada dua bagian. Pertama, studi Islam dalam kerangka
doktrin ditempatkan di Fakultas Ushuluddin dengan dua jurusan: Madhhab Ahli
Sunnah dan Madhhab Shi’ah. Kedua,
studi Islam dalam kerangka sejarah dilaksanakan di Fakultas Humaniora Jurusan Islamic Studies, yang kedudukannya
sejajar dengan Jurusan Politik, Sejarah, dan lain-lain. Adapun di perguruan
tinggi kedua, studi Islam berada di
Fakultas Humaniora bersama dengan Arabian
Studies, Persian Studies, dan Political Studies.[79]
Di samping
itu, variasi pengorganisasian studi Islam juga dialami oleh negara Islam
lainnya seperti Syiria, Malaysia, Mesir, dan Indonesia. Di Universitas
Damaskus, Syiria, misalnya, studi Islam ditempatkan pada Fakultas Syari’ah (Kulliyat al-Shari’ah) yang meliputi
program studi ushuluddin, tasawuf, tafsir dan sebagainya. Di Universitas Islam
Internasional, Malaysia, studi Islam secara umum ditampung di Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Warisan Islam (Faculty of Revealed Knowledge and Human
Sciences). Namun demikian, studi Islam yang berkaitan dengan subject tertentu juga dilakukan di
fakultas lain, seperti Fakultas Ekonomi dan Manajemen yang menyelenggarakan studi
Islam seperti Fiqh Ekonomi, Pemikiran Ekonomi Islam, Sistem Finansial Islam dan
sebagainya. Adapun di Universitas
al-Azhar, Mesir, studi Islam diselenggarakan dalam berbagai fakultas seperti
Ushuluddin, Hukum, Bahasa Arab, Studi Islam dan Arab, Dakwah, Tarbiyah, serta
Fakultas Bahasa dan Terjemah.[80]
Sementara itu, di
Indonesia, seperti diketahui, terdapat lembaga khusus yang didirikan untuk
mengembangkan keilmuan-keilmuan Islam, yakni berupa Institut Agama Islam (IAI),
baik Negeri atau Swasta, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), baik Negeri
atau Swasta. Perbedaan keduanya hanya pada wilayah jangkauan kajian; sebuah
konsentrasi studi berupa fakultas untuk konteks IAI menjadi jurusan di STAI.
Kajian keilmuan Islam yang dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi tersebut
pada umumnya meliputi delapan bidang, yakni Ilmu al-Qur’an Hadith, Ilmu
Pemikiran dalam Islam, Ilmu Fiqh (Hukum Islam) dan Pranata sosial, Ilmu Sejarah
dan Peradaban Islam, Ilmu Bahasa, Ilmu Pendidikan Islam, Ilmu Dakwah Islamiyah,
dan Ilmu Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam.[81]
Delapan bidang ini dirinci lagi ke dalam enam belas bidang keahlian: (1)
Kependidikan Islam, (2) Pendidikan Agama Islam, (3) Pendidikan Bahasa Arab, (4)
Ahwal Shakhsiyah, (5) Mu’amalah,
(6) Perbandingan Madhhab dan Hukum, (7) Jinayah
Siyasah, (8) Komunikasi dan Penyiaran Islam, (9) Pengembangan Masyarakat
Islam, (10) Manajemen Dakwah, (11) Bimbingan dan Penyuluhan Islam, (12) Tafsir
Hadith, (13) Akidah Filsafat, (14) Perbandingan Agama, (15) Sejarah dan Peradaban
Islam, serta (16) Bahasa dan sastra Arab.[82]
Bidang-bidang keilmuan Islam tersebut dikembangkan melalui lima fakultas, yakni
Fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, dan Ushuluddin.
D. KECENDERUNGAN BARU
STUDI ISLAM DI BARAT
Sejak dua dekade terakhir ada kecenderungan baru dalam
kajian Islam di Barat yang menarik untuk dikaji. Secara umum, kajian Islam di
Barat sebelum dekade 70-an diwarnai oleh sikap “curiga” yang tinggi terhadap
Islam. Ini terlihat dari karya-karya intelektual para orientalis yang
kebanyakan menyudutkan Islam atau memperlihatkan warna anti-Islam. Karya-karya
orientalis semacam Goldziher, Montgomery Watt, HAR Gibb, Richard Bell, Arthur
Jeffery dan lain-lain memang terkesan negatif terhadap Islam.[83] Namun dua dekade terakhir
terlihat arus balik kecenderungan kajian Islam di Barat yang mulai “melunak”.
Ada semacam simpati, kalau bukan sikap protagonis, untuk melihat Islam lebih
dekat secara akademis. Perspektif akademis inilah yang belakangan mengubah image orientalis terhadap Islam.
Motivasi untuk mengkaji Islam secara lebih “tanpa
prasangka” di kalangan orientalis, terutama muncul dari keinginan universal
akan pentingnya sikap dialogis di kalangan agama-agama besar di dunia.
Kebutuhan saling memahami inilah yang kemudian menjadi acuan untuk membangun
impian sebuah peradaban mondial yang penuh dengan perdamaian, kebersamaan,
harmoni, sikap saling percaya yang didasari atas nilai-nilai spiritualitas
“makro” kalangan agama-agama Semitis (Abrahamic
Religion). Perspektif teologi yang mereka gunakan sebagai mediator kajian
analitis terhadap Islam justru menumbuhkan semangat dan pemahaman baru akan
urgensi menyatukan akar-akar tradisi ketuhanan sebagaimana telah diajarkan oleh
Ibrahim, nenek moyang ketiga agama besar di dunia; Yahudi, Kristen dan Islam
(lihat, Perjanjian Lama [The Old Testament], Genesis, ps. 22).
Perubahan mendasar visi kajian Islam di kalangan
orientalis memang bukan tanpa alasan. Salah satu pertimbangan mendasar adalah
karena mereka sudah menemui jalan buntu untuk memahami Islam secara antagonis,
mengingat konsekuensi logisnya justru kerugian di pihaknya. Serangkaian insiden
pemboman dan munculnya terorisme di sejumlah negara Barat yang diduga dimotori
oleh kelompok militan Islam telah membuat pihak Barat untuk berpikir dua kali
dalam mendekati Islam. Mereka mencoba untuk memakai pendekatan lainnya yang
dianggap lebih rasional, akademis, dan tentunya berbuah keuntungan. Mereka juga
tak segan-segan mengeluarkan tidak sedikit dari koceknya untuk keperluan
sponsorship/fellowship bagi mahasiswa-mahasiswa dari dunia Islam. Tujuannya
tidak lain adalah mendekati Islam dari perspektif yang saling menguntungkan.
Dengan cara demikian, ada semacam proses simbiosis mutualisme di kalangan dua
poros dunia yang sebelumnya saling mengintai; antara Barat dan Islam.
Sejumlah hipotesis yang penulis kumpulkan rupanya
mendukung adanya kecenderungan di atas. Pertama,
didirikannya pusat-pusat kajian Islam yang dimotori oleh para orientalis di
sejumlah perguruan tinggi di Barat, seperti Amerika, Canada, Inggris, Belanda,
Perancis, dan Australia. Pusat-pusat kajian ini sudah barang tentu bertujuan
untuk melihat Islam dari dekat; Islam yang dipraktekkan oleh umat Islam
sendiri. Mereka mencoba memasuki wilayah-wilayah religius yang sebenarnya agak
riskan, dengan cara terlibat sebagai pihak insider.
Pada tingkat ini mereka seringkali tampak sebagai defender atas kritik-kritik terhadap Islam yang banyak dilontarkan
oleh kalangan outsider, metode yang
pernah juga diterapkan oleh kalangan orientalis sebelum dekade 70-an.
Kedua, counter-attack yang dilontarkan oleh kalangan orientalis terhadap
para pendahulunya dalam bentuk upaya meluruskan perspektif yang dianggapnya
keliru tentang Islam. Contoh paling kongkret adalah ketika Issa J. Boullata,
seorang professor Tafsir kenamaan di McGill University, berusaha meluruskan
pandangan sejumlah orientalis yang mencoba menyudutkan Islam, al-Qur’an dan
Muhammad.[84]
Sederetan nama semacam Richard Bell, Montgomery Watt, dan Arthur Jeffery adalah
sebagian orientalis yang pernah dibantahnya. Dia pulalah yang berusaha
meluruskan sejumlah pandangan minor seperti "Islam adalah agama
Muhammad", "Islam adalah bid’ah
(heresy)-nya agama Kristen dan
Yahudi", "al-Qur’an adalah kata-kata Muhammad", "Muhammad
kesurupan (possessed) oleh Jin",
dan masih banyak lagi.
Dalam
konteks ini, Boullata mengajukan satu postulat menarik bahwa Islam diturunkan
oleh Allah (bukan “God”) bukan untuk mengabrogasi (nasikh) agama-agama samawi terdahulu (Yahudi dan Kristen),
melainkan Islam justru menguatkan nilai-nilai akidah mereka. Lebih jauh dia
menegaskan bahwa peran Muhammad sebagai khatam
al-‘Anbiya wa al-Mursalin adalah sebagai “penegas kebenaran yang telah
dibawa oleh para Rasul terdahulu”, bukan malah sebaliknya, menghapus.
Dalam
konteks ini, ada baiknya penulis kupas sebagian tesis Arthur Jeffery, pakar
Islam yang pernah mengajar di berbagai universitas terkemuka di dunia, termasuk
Columbia University, AS. Dalam sebuah bukunya, The Qur’an as Scripture (1952), Arthur mengatakan bahwa Islam
adalah agama Muhammad.[85] Pertama, karena dilihat dari perkembangan historisnya, bahasa
Al-Qur’an –yang disinyalir Arthur sebagai karya literatur Muhammad—mengalami
perkembangan seiring dengan pentahapan turunnya al-Qur’an. Bahasa-bahasa
al-Qur’an dalam surat-surat Madaniyah, menurutnya, jauh lebih well-developed secara sastera dan
filosofis ketimbang surat-surat Makkiyah. Ini, menurutnya, karena bahasa
al-Qur’an sendiri mengikuti alur perkembangan dan kematangan pengetahuan
Muhammad.
Kedua, sebagaimana yang
telah ditulisnya dalam bukunya yang lain, The
Foreign Vocabulary of the Qur’an (1938), Arthur menuduh Muhammad banyak
“meminjam” kosa kata-kosa kata bahasa Semitik untuk memperkaya khazanah
Al-Qur'an yang saat itu, bahkan jauh sebelumnya, banyak dipakai oleh umat-umat
lain di sekelilingnya, termasuk bahasa Hebrew
(Ibrani), Aramaic, Ethiopic, Persi, dan sebagainya.[86] Pandangan yang terakhir
ini dibantah oleh Boullata dengan asumsi bahwa bahasa-bahasa non-Arab (‘Ajam) ketika Muhammad hidup merupakan
bahasa komunikasi populer yang digunakan oleh khalayak. Bahkan sulit untuk
membedakan mana yang asli bahasa Arab dan mana yang bukan, mengingat
bahasa-bahasa ini sudah mengalami asimilasi kultural sedemikian erat. Jadi,
dipandang dari perspektif sosio-historis, Boullata menganggap dipakainya kosa
kata-kosa kata asing dalam al-Qur’an merupakan suatu hal yang wajar sebagaimana
kita menjumpai banyak kosa kata-kosa kata bahasa modern yang sudah saling
campur dan tumpang tindih antara bahasa yang satu dan lainnya.
Perspektif saling memahami antar agama (interfaith understanding) memang tengah
dikedepankan oleh para orientalis dalam kajian agama-agama di Barat, terutama
kajian Islam. Ini merupakan bagian dari upaya akademis untuk melihat dan
kemudian menempatkan Islam secara proporsional sebagai obyek yang bukan lagi
“dicurigai”, tapi dihormati sebagai agama monoteistik yang punya akar teologis
yang sama dengan agama mereka. Diantara sebagian motivasinya jelas, seperti
diungkapkan di atas, untuk memperlihatkan iktikad baik Barat terhadap dunia
Islam bahwa Islam mendapat tempat di hati mereka. Selain itu juga untuk
mencegah dampak progresifisme dan ofensifisme Islam yang kian hari kian
dirasakan mengkhawatirkan kalangan Barat, sebab sinyalemen ini setidaknya
pernah dilontarkan oleh sejumlah futurolog semacam Alvin Toffler (dalam Future Shock dan Third Wave-nya), Samuel Huntington (The Clash of Civilization), John Esposito (Islamic Threat: Myth or Reality), Graham E. Fuller (A Sense of Siege), dan seterusnya.
Lebih dari sekedar alasan-alasan politik di atas adalah
munculnya motivasi filosofis-teologis yang ditandai dengan lahirnya semangat perennial yang tumbuh di kalangan
orientalis untuk mencari apa yang disebut "benang merah teologis" di
balik agama-agama formal di dunia.[87] Semangat perennial inilah yang ikut melandasi
kajian Islam di Barat akhir-akhir ini. Semangat filosofis ini meniscayakan
adanya kebenaran abadi yang bersifat universal, humanis, dan inklusif di
kalangan agama-agama tersebut. Artinya, claim
of truth tidak lagi sebagai barometer dalam kajian agama-agama, melainkan
yang lebih ditekankan di sini adalah pencarian "pesan besar"
monoteistik yang menjadi karakteristik menonjol dari agama-agama Abrahamic (Agama Samawi). Pesan besar
itu dikaji secara intens oleh kalangan orientalis dengan dibekali semangat
saling respek guna menggapai common-platform
(atau kalimah sawa', dalam bahasa
Al-Qur'an) di balik agama-agama itu.[88]
Dalam konteks pemahaman mereka terhadap kitab suci (holy scripture), kajian Islam secara
akademis juga terlihat dari perbedaan cara pandang mereka terhadap al-Qur’an
dari para pendahulunya. Dulu, kalangan orientalis seangkatan Goldziher, Arthur,
Richard Bell, memang melihat al-Qur’an sebagai obyek “pembantaian” terhadap
Islam dengan mencari-cari kesalahannya. Sekarang, perspektif kaum orientalis
cenderung berubah menjadi lebih konstruktif dan positif, kalau bukan berbalik
180 derajat. Mereka memandang al-Qur’an sebagai holy scripture yang tidak berbeda dari kitab-kitab suci lainnya,
seperti Perjanjian Lama (Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil). Demi menjunjung
tinggi nilai-nilai sakral dan obyektitas religius, mereka pun lantas menerapkan
sejumlah metodologi penelitian modern terhadap al-Qur’an, semacam filologi,
semantik, alegori hingga filsafat. Metode-metode akademis semacam inilah yang
belakangan membantu melahirkan sikap respek mereka terhadap Islam. Di antara
contoh nyata adanya perubahan sikap akademis ini bisa dilihat dari munculnya
kara-karya kesarjanaan orientalis yang berisi studi keIslaman dari berbagai
macam bidang kajiannya, seperti karya Stefan Wild (Ed.) dalam Al-Qur’an as Scripture (1996), Frederick
M. Denny dengan Introduction to Islam-nya
(1995), di bidang teologi muncul Wilfred Cantwell Smith dengan Towards a World Theology-nya (1981), dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Bagaikan
gayung bersambut, sikap “bersahabat” inipun diterima oleh mahasiswa-mahasiswa
Islam di berbagai perguruan tinggi di Barat sebagai respon akademis yang
positif. Para mahasiswa Islam yang tengah belajar di Barat justru tak habis
pikir ketika sejumlah profesor orientalis mulai merasa “gerah” terhadap
penilaian-penilaian minor teradap Islam. "What’s wrong with Islam?", kata mereka. Ini artinya bahwa
"kecurigaan" kita pada kalangan orientalis dewasa ini sudah tidak
beralasan lagi. Sebab pada kenyataannya sebagian dari mereka sudah memiliki
citra yang baik dan obyektif tentang Islam jauh sebelum orientalisme lahir
(Lihat Maxim Rodinson, 1987). Hanya saja, karena terdapatnya rivalitas
ideologis antara Islam dan non-Islam, terutama Kristen, citra yang baik dan
obyektif itu sengaja ditindas oleh kalangan (orientalis) tertentu lainnya
sehingga tidak menyebar ke masyarakat luas. Dengan demikian, dalam beberapa
hal, para orientalis justru bisa tampil lebih “konservatif” ketimbang umat
Islam secara umum. Trend akademis
inilah yang belakangan tengah mewarnai suasana kajian Islam di Barat secara
umum. Harapan kita, mudah-mudahan bukan sekedar kamunflase akademis belaka.
E.
INSTITUSIONALISASI STUDI ISLAM DI INDONESIA
Kajian Islam di Indonesia
bukanlah tumbuh dan berkembang dari realita historis yang kosong; ia hadir
secara kronologis dalam konteks ruang dan waktu yang jelas, sebagai respon
sejarah atas sejumlah persoalan keagamaan yang dialami umat Islam di negeri
ini. Secara substantif, kajian Islam sebenarnya sudah dimulai semenjak agama
ini datang ke Indonesia pada abad ke 13 dan mencapai momentum spiritualnya pada
abad ke 17. Kajian keislaman di masa-masa ini diwarnai oleh proses transformasi
nilai keagamaan secara besar-besaran yang dilakukan oleh para pemimpin sufi dan
'ulama', terutama di lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren.[89] Proses transformasi
keislaman ini berlangsung hingga Indonesia memproklamasikan hari kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945, saat mana bangsa Indonesia dituntut untuk mulai
memikirkan dan membenahi proses pelembagaan di segala sektor kehidupan bangsa,
tidak terkecuali sektor kehidupan keagamaan sebagai elemen penting karena
bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius.
Proses transformasi keislaman pada masa-masa ini tidak
bisa dilepaskan dari peran para ulama dan tokoh-tokoh pemimpin gerakan sufi
karena diakui terdapat keterkaitan historis yang sangat ekstensif antara umat
Islam di Indonesia dengan para ulama di jazirah Arab seperti Makkah dan
Madinah, belakangan Kairo.[90] Hubungan keagamaan yang
sudah sedemikian established di
antara kedua komunitas Muslim ini pada gilirannya menciptakan sebuah iklim intellectual exchanges yang relatif
dinamis dan dialektis antar mereka. Daratan jazirah Arab selanjutnya dikenal
sebagai oase subur yang memproduksi karya-karya intelektual keislaman yang
dikonsumsi oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Proses transmisi epistemologis
ini berlangsung melalui beragam cara, baik langsung maupun tidak langsung,
mulai dari diseminasi hasil karya-karya intelektual ulama Timur Tengah di
banyak lembaga pesantren maupun pengiriman generasi muda Islam yang ingin
memperdalam ilmu agamanya ke negara-negara di wilayah ini.[91]
Sekalipun Indonesia memiliki kedekatan hubungan
intelekual dengan tradisi keagamaan di Arab, terutama Makkah dan Madinah, itu
tidak berarti bahwa Islam Indonesia bisa dikatakan sebagai sekadar replika
Islam Arab. Proses transmisi keislaman dari tradisi intelektual Arab ke tradisi
intelektual Indonesia berlangsung dalam pola yang sangat dinamis, unik, dan
kompleks, disesuaikan dengan kosmologi keagamaan domestik sehingga wajah Islam
yang berkembang di Indonesia dalam banyak hal bisa berbeda dari wajah Islam
"asli" Timur Tengah. Sekalipun demikian, Islam Indonesia tidak serta
merta dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral
Islam) seperti yang diklaim oleh Geertz.[92] Pencitraan terhadap Islam
Indonesia yang reduktif dan distortif ini bahkan telah dimentahkan oleh
Woodward,[93]
Ricklefs,[94]
dan Hefner[95]
yang tetap memandang Islam di negeri ini sebagai varian keagamaan yang tidak
tercerabut dari akar-akar --meminjam istilah Fazlur Rahman-- "Islam
normatif."[96]
Persoalan wajah Islam Indonesia yang berbeda dari wajah Islam Timur Tengah
dikatakan mereka hanya pada dataran kultural historis semata akibat proses
adaptasi, asimilasi dan akulturasi dalam jangka waktu yang relatif panjang,
bukan pada dataran substantif doktrinalnya.
Sebagai bukti bahwa proses transmisi keislaman di
Indonesia berlangsung secara unik dan kompleks bisa dijustifikasi melalui
proses belajar mengajar yang berlangsung di lembaga pesantren yang mengambil
bentuk dan modus operandi cukup unik.[97] Di daratan Arab sendiri
tidak ditemui padanan istilah pesantren yang secara terminologis berarti tempat
berlangsungnya proses belajar mengajar antara kyai dan santri di sebuah asrama
bersama antara mereka. Istilah santri sendiri bukan berasal dari bahasa Arab,
melainkan berasal dari bahasa Jawa kuno (Pallawa), cantrik, yang berarti murid atau siswa yang sedang menuntut
ilmu-ilmu kerohanian. Pengadopsian khasanah budaya domestik ini menjadi
legitimasi betapa Islam Indonesia sarat dengan muatan-muatan material nonIslam
yang tidak bisa dijumpai di negara asalnya, Arab. Keunikan di tingkat budaya
ini menjadi penguat proses pelembagaan kajian keislaman di wilayah nonArab
seperti Indonesia.
Keunikan
lain yang bisa dijumpai dari fenomena pesantren adalah digunakannya bahasa
"Arab pegon" (Arab Jawi),
yakni gabungan antara bahasa Jawa yang ditulis dengan karakter huruf Arab
sebagai sarana memahami sejumlah teks-teks kitab kuning yang berbahasa Arab.
Bahkan bahasa Arab pegon ini tidak saja digunakan di lembaga-lembaga pesantren
di Indonesia, tetapi juga digunakan di dunia Melayu (kini Malaysia, Pattani,
dan Brunei Darussalam).[98] Tidak seperti di belahan
dunia Islam lainnya, terutama di Timur Tengah yang tetap menggunakan bahasa
Arab sebagai sarana pengkajian keislaman, tradisi intelektual di Jawa
berkembang dalam bahasanya sendiri, sementara tidak meninggalkan nuansa bahasa
Arab sebagai bahasa penting bagi kajian keislaman secara umum.
Proses
pelembagaan kajian Islam dalam pesantren terus berlangsung seiring dengan
terjadinya proses transformasi dan modernisasi lembaga tradisional ini.[99] Proses transformasi dan
modernisasi ini terjadi ketika kolonial Belanda memperkenalkan sistem
pendidikan sekolah kepada masyarakat pribumi yang dampaknya dirasakan oleh
pesantren melalui penyelenggaraan sistem pembelajaran kelas. Sebagai akibat
dari penyelenggaraan pembelajaran model ini, maka berdirilah sekolah-sekolah
(madrasah) di lingkungan pesantren yang hanya mengajarkan materi pendidikan
agama klasik yang meliputi fiqh, tasawuf, etika Islam, dan lain sebagainya.
Bahkan jauh setelah masa kemerdekaan, banyak pesantren yang juga memberikan
pengajaran materi sekuler seperti ilmu ilmu bumi (geografi), ilmu hitung
(matematika), dan ilmu alam (fisika dan bilogi), serta ilmu bahasa (Inggris).
Pola pengajaran yang sekuler ini biasanya berlangsung di sejumlah pesantren
yang mengadopsi metode pengajaran modern seperti Gontor dan Assalam di Solo.
Proses transformasi dan modernisasi pesantren terutama sepanjang dua dekade
terakhir ini mengindikasikan adanya sensibilitas lembaga ini terhadap perubahan
zaman yang pada gilirannya turut membentuk tradisi kajian Islam di Indonesia
secara keseluruhan.[100]
Salah satu
implikasi mendasar adanya proses transformasi lembaga pendidikan ini
menyebabkan sebagian elemen masyarakat Muslim menginginkan kehadiran lembaga
tinggi bagi pengkajian dan pengajaran Islam (Islamic higher learning institution). Salah satu respon terhadap
keinginan semacam ini disuarakan oleh Dr. Satiman Wiryosandjojo, seorang
pemimpin Masjumi dan belakangan menjadi perdana menteri, akan pentingnya
mendirikan lembaga pengkajian Islam dimaksud melalui harian Pedoman Masjarakat
pada tahun 1938.[101] Hal ini ditujukan agar
status Muslim meningkat di hadapan koloni Belanda. Menyambut gagasan tersebut,
pada bulan April 1945, empat bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia,
sekelompok pemimpin Muslim berkumpul di Jakarta guna membentuk sebuah komisi
persiapan yang dipimpin oleh Moh. Hatta yang selanjutnya menjadi wakil presiden
RI pertama. Tugas komisi ini adalah mempersiapkan pembentukan lembaga tinggi
Islam yang diwujudkan pada tanggal 8 Juli 1945 dengan berdirinya Sekolah Tinggi
Islam.[102]
Setelah
kemerdekaan RI, seiring dengan berpindahnya ibukota akibat revolusi dari
Jakarta ke Yogyakarta, maka keberadaan Sekolah Tinggi Islam tersebut mengikuti
gerak para aktivis republik. Pada tanggal 10 April 1946, sebuah perguruan Islam
berdiri di Yogyakarta dan kemudian beralih status menjadi Universitas Islam
Indonesia (UII) pada tanggal 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Kajian Islam,
Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Sebagai penghargaan pemerintah atas perjuangan
umat Islam dalam memperoleh kemerdekaan RI, maka pada tahun 1951 pemerintah
meresmikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang diambilkan dari fakultas
Kajian Islam UII yang memiliki empat fakultas: Fakultas Dakwah (belakangan
menjadi Fakultas Dakwah dan Ushuluddin), Fakultas Qada' (belakangan menjadi
Fakultas Syari'ah), dan Fakultas Tarbiyah. Kurang lebih delapan tahun kemudian
Fakultas Adab ditambahkan melengkapi keempat fakultas yang ada setelah ia
diintegrasikan dengan ADIA di Jakarta, sebuah akademi yang didesain untuk
mempersiapkan calon-calon tenaga kepegawaian di Departemen Agama RI.[103]
Integrasi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam di atas
melahirkan sebuah lembaga pengkajian Islam yang kemudian disebut sebagai
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan lima fakultas: Dakwah, Ushuluddin,
Shari'ah, Tarbiyyah, dan Adab. Sementara IAIN Yogyakarta tetap berdiri secara
independen, lembaga serupa di Jakarta juga berdiri sebagai lembaga independen.
Keduanya merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam tertua di Indonesia.[104] Belakangan ini, muncul
ide di kalangan pembuat kebijakan pendidikan tinggi Islam untuk mengembalikan
semangat kajian Islam yang lebih komprehensif lagi; disiplin keilmuan yang
dicakup IAIN tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama semata, namun juga
ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi, komunikasi,
sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Ke depan, IAIN akan dikembangkan
dalam bentuk Universitas Islam Negeri (UIN) yang membawahi bidang kajian
keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.
Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari oleh
kesadaran futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan zaman yang
begitu cepat. Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud kesadaran umat
Islam yang tidak mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara ilmu-ilmu
keislaman dan ilmu-ilmu sekuler, sebagai dampak historis kebijakan kolonialisme
Belanda. Namun terlepas dari nilai tambah proses transformasi semacam ini,
fenomena pengembangan IAIN menjadi UIN masih debatable dan menyimpan banyak kontroversi. Kontroversi itu antara
lain muncul dari perspektif epistemologis yang mempertanyakan apakah benar
selama ini Islam mengikuti dualisme kajian keislaman sebagaimana yang banyak
diperdebatkan. Sebenarnya langkah rekonsiliasi epistemologis tersebut tidak
harus dilakukan dengan cara mengembangkan IAIN menjadi UIN yang membawahi
displin ilmu agama maupun sekuler. Sebab universitas-universitas negeri yang selama
ini dianggap sekuler pun pada hakikatnya merupakan bagian dari umat Islam.
Bukankah dengan dibukanya jurusan-jurusan umum di IAIN justru akan semakin
merunyamkan sistem penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia? Bukankah
kehadiran keduanya menjadi saling overlapping
antara yang satu dengan lainnya?
Terlepas dari persoalan kontroversi transformasi IAIN
menjadi UIN, hal menarik yang perlu digarisbawahi di kalangan IAIN adalah
kecenderungan kajian Islam yang berlangsung di dalamnya. Sejak berdirinya,
lembaga pendidikan tinggi Islam ini membawa dua tugas utama: sebagai lembaga
keagamaan dan sebagai lembaga keilmuan. Sebagai sentral pengkajian keagamaan,
IAIN membawa misi religius untuk memberikan pencerahan masyarakat Muslim dalam
memahami ajaran Islam (lembaga dakwah). Sedangkan sebagai lembaga keilmuan,
IAIN diharapkan menjadi avant garde
dalam mengkaji Islam sebagai sebuah disiplin akademis, bukan sebagai doktrin
agama.[105]
Kedua fungsi ini tidak selamanya berjalan secara harmonis dan berseiringan, bahkan
tidak jarang ditemukan konflik di antara keduanya. Di satu sisi, sebagai sebuah
lembaga akademis, IAIN harus mengikuti rules
of the game kehidupan akademis yang memperlakukan kajian terhadap agama
dengan mengunakan pendekatan-pendekatan ilmiah dan akademis yang hasilnya tidak
jarang bertentangan dengan aspek normatif Islam. Di sisi lain, IAIN diharapkan
berfungsi sebagai lembaga keagamaan yang cenderung menafikan prinsip-prinsip
akademis murni.
Dalam sejarah perkembangannya, IAIN pernah didominasi oleh
pendekatan kajian normatif doktrinal yang lebih mengedepankan dimensi legal
formal Islam (shari'ah) dan teologi (usul al-din). Hal yang demikian terjadi
sebagai implikasi logis dari terlalu mengedepannya karakteristik IAIN sebagai
lembaga keagamaan. Hasil dari pendekatan ini adalah munculnya kecenderungan
kajian Islam yang sangat skriptural, mengacu kepada praktik-praktik ibadah dan
akidah dalam Islam. Hal ini, menurut Azra, disebabkan oleh dominasi pendekatan
normatif-idealistik yang dikembangkan di sejumlah perguruan tinggi Islam Timur
Tengah, utamanya al-Azhar Kairo.[106] Bahkan yang lebih parah
lagi, IAIN cenderung memfokuskan diri pada satu aliran pemikiran (school of thought) atau madhhab dalam
Islam. Sementara madhhab pemikiran Islam yang lain tidak dipelajari karena
dianggap akan menyesatkan bangunan keimanan mereka.
Berkenaan dengan pelembagaan tradisi kajian Islam di IAIN
yang cenderung normatif teologis itu, sejumlah kritik menarik telah dilontarkan
oleh Sudirman Tebba. Menurutnya, IAIN telah gagal mengembangkan tradisi
keilmuan klasik yang fondasinya telah diletakkan oleh para ulama. Kegagalan
tersebut tidak hanya pada pengembangan metode kajian Islam di bidang hukum
Islam saja, tetapi juga di bidang teologi. Misalnya di bidang fiqh, landasan
berpikir yang telah diletakkan oleh para ulama tersebut tidak dimanfaatkan
dengan baik oleh masyarakat IAIN, akan tetapi yang dipelajari oleh mereka
justru produk hukumnya, bukan metode ijtihadnya. Akibatnya, IAIN tidak mampu
menghadirkan citra Islam yang dinamis, melainkan citra stagnan. Sementara itu
di bidang teologi, IAIN juga hanya berkutat pada kajian historis pemikiran para
ulama klasik seperti pemikiran Mu'tazilah, Ash'ariyah dan Maturidiyah yang
terlepas sama sekali dari analisis konteks realita sosial yang mengitarinya.[107] Sebagai akibatnya,
kajian tersebut lebih merupakan refleksi romantisisme masyarakat IAIN yang
mendambakan masa kejayaan umat Islam seperti terjadi pada abad pertengahan.
Namun demikian, kecenderungan kajian Islam yang demikian
normatif teologis tersebut tidak berlangsung selamanya, sebab kecenderungan
baru muncul sebagai respons IAIN terhadap fenomena pembangunan dan perubahan
zaman. Kecenderungan kajian Islam yang terjadi di awal dekade 1970-an ini lebih
mengarah pada kajian Islam yang terkait dengan konteksnya, bersifat
sosiokultural yang menyejarah. Program pembangunan nasional yang mengambil
modernisasi sebagai tujuannya cenderung menggiring kaum intelektual Muslim
seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution[108] dan Mukti Ali untuk
mereorientasi arah kajian Islam yang berlangsung di IAIN. (Sekadar untuk
diketahui, ketiga orang tersebut juga produk dari pendidikan Barat).
Kecenderungan perubahan pendekatan ini bahkan semakin diperlancar dengan
dikirimkannya para intelektual muda Muslim ke Barat untuk meneruskan jenjang
studinya.
Hasil paling mendasar dari upaya reorientasi visi kajian
Islam di lembaga tinggi Islam ini adalah heterogenitas pendekatan terhadap
Islam; Islam tidak hanya dilihat dari satu pendekatan atau madhhab pemikiran
saja, melainkan juga berbagai madhhab pemikiran lain yang belum pernah
diajarkan di IAIN. Pendekatan kajian Islam semacam ini turut memberikan
kontribusi terhadap diterapkannya metode pengkajian Islam yang lebih empiris
dan akademis, tanpa menegasikan kenyataan Islam sebagai sistem keyakinan dan
agama. Sebagai akibatnya, mahasiswa cenderung lebih terbuka dan toleran
terhadap upaya pemahaman agama yang berbeda.[109] Kondisi ini pada
gilirannya mendorong lahirnya pendekatan non-madhhabi dalam kajian Islam di Indonesia, seiring dengan semakin
memudarnya loyalitas dan fanatisme buta umat Islam terhadap madhhab tertentu.[110]
Dimensi lain dari fenomena perubahan pendekatan dalam
kajian Islam di IAIN adalah semakin sadarnya umat Islam terhadap realitas
sosiokultural mereka. Kesadaran semacam ini bahkan membawa pada implikasi
radikal terhadap redefinisi relasi agama-manusia; apakah manusia didedikasikan
untuk agama ataukah sebaliknya, agama untuk manusia. Pendekatan normatif jelas
mengandaikan relasi yang menempatkan agama sebagai target pengabdian manusia.
Sementara itu, pendekatan kontekstual empiris mengandaikan relasi yang
menempatkan agama sebagai sarana untuk mengatur kehidupan manusia di dunia,
bukan untuk kepentingan-kepentingan ukhrawi manusia semata. Jadi agama sebagai way of life, mediasi yang mengantarkan
manusia untuk mendapatkan rida Allah. Bukan agama sebagai tujuan akhir seperti
yang diasumsikan dalam pendekatan normatif teologis.
Perubahan pendekatan kajian Islam di IAIN juga membawa
konsekuensi perubahan pendekatan dalam memandang realitas agama lain selain
Islam. Sebelumnya, pendekatan dalam mengkaji agama-agama lain cenderung
menerapkan pendekatan apologetik untuk menjustifikasi kebenaran Islam atas
agama-agama lain. Sementara itu, komunitas non-Islam dianggap sebagai orang
kafir yang halal darahnya untuk dibunuh. Terutama sejak Mukti Ali kembali dari
Canada setelah menyelesaikan program MA-nya, pendekatan dalam kajian
perbandingan agama berubah secara radikal. Paradigma truth claim yang dianut sejak lama oleh IAIN secara bertahap
mengalami pergeseran dan digantikan oleh paradigma berpikir yang lebih toleran,
inklusif, dan pluralistik di mana kehadiran agama-agama yang berbeda di muka
bumi ini dianggap sebagai hukum alam (sunnah Allah) yang tidak bisa dinafikan
begitu saja. Kehadiran mereka tidak boleh diperangi sepanjang tidak membuka
front konfrontasi dengan umat Islam, dan di antara mereka terikat hukum
mu'a>malah yang saling mengikat. Perubahan paradigma ini semakin diperkokoh
dalam tatanan khidupan beragama secara nasional ketika Mukti Ali diangkat
sebagai Menteri Agama RI.[111]
Sebuah pertanyaan mendasar telah dimunculkan oleh Atho
Mudzhar berkenaan dengan kajian Islam di IAIN. Pertama, dengan adanya transformasi besar-besaran dalam bidang
kajian Islam di lembaga ini, harus dirumuskan secara tegas mana kajian ilmu
yang termasuk inti dan mana yang termasuk ilmu-ilmu bantu? Pertanyaan ini
penting untuk dijawab mengingat transformasi kajian Islam di IAIN yang semakin
diperkaya dengan berbagai pendekatan dan perspektif "sekuler" itu
bukan bertujuan untuk mengerdilkan kajian Islam itu sendiri, melainkan agar
kajian Islam bisa ditopang oleh bidang kajian yang lebih membumi, menyejarah
dan empiris. Dalam perspektif ini, fiqh, misalnya, harus diklasifikasikan
sebagai ilmu inti atau ilmu bantu. Demikian pula sosiologi ataupun antropologi,
termasuk ilmu inti atau ilmu bantu? Ini semua dalam rangka mendudukkan
persoalan secara proporsional, jangan sampai ada gejala overlapping antara satu dan lainnya.[112] Kedua, Bagaimana cara mendekati Islam normatif yang bersifat
dogmatis teologis itu? Sebagai konsekuensi logis dari pertanyaan ini, perlu
dimunculkan studi antar dan interdisipliner untuk memahami fenomena Islam ideal
ke dalam kerangka historisnya. Ketiga,
berpijak pada serangkaian pertanyaan di atas, sudah waktunya bagi IAIN untuk
membuka program studi-program studi (prodi) umum untuk membangun pemahaman
Islam yang lebih komprehensif seperti yang telah dilakukan di al-Azhar dan
sejumlah universitas lain di dunia Islam.[113]
Namun demikian,
kondisi sosiokultural bagi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam dimaksud
nampaknya tidaklah sama. Barangkali setting
Mesir agak bersahabat bagi dibukanya full-fledged
university seperti al-Azhar, sementara Indonesia agak kompleks. Sekalipun
demikian, IAIN tetap harus mengevaluasi ulang misi orisinalnya sebagai pijakan
disusunnya ilmu inti (core subjects)
dan ilmu bantu (auxiliary subjects).
Persoalannya, bagaimana melakukan itu semua?
*Ditulis dan dikutip dari berbagai sumber
Daftar Rujukan:
[1] Al-Imam
Malik, al-Muwatta’, Cet. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 206.
[2] Lihat
Annemarie Schimmel, Islam; An
Introduction, (Albany: State University of
New York, 1992), h. 7.
[3] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, cet. I, (Bandung, Mizan, 1992), h. 245.
[4] Albert
Hourani, A History of the Arab People, (New
York: Warner Books, 1992), h. 10.
[5] Ira M.
Lapidus, A history of Islamic Societies, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), h. 13-14.
[6] Komaruddin
Hidayat, “Pluralitas Agama dalam Masyarakat Madani,” dalam Problema Komunikasi antar Umat Beragama, ed. Mursyid Ali, (Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI, 2000), h. 7-8.
[7] M. Amien
Abdullah, “Islam Indonesia lebih Pluralistik dan Demokratis,” dalam Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, (Tahun
1995), h. 74-75.
[8] Bahtiar
Effendy, ”Islam and Democracy; In Search
of a Viable Synthesis,” (Kumpulan Makalah Seminar Dialog Internasional: Islam dan Barat dalam Era Globalisasi,
Jakarta, 22-23 Maret 1995, h. 53).
[9] Mengenai
problematika hubungan antar umat beragama, khususnya Islam dan Hindu, misalnya, lihat Thoha Hamim, “Problematika
Hubungan antar Umat Beragama; Tinjauan tentang Hubungan Antagonistik
Hindu-Muslim dan Implikasinya terhadap Rendahnya Mobilitas Minoritas Muslim di
India,” dalam Akademika, vol. 05, No.
1, (September 1999), h. 1-14.
[10] Kelompok
keagamaan sempalan dimaksudkan sebagai sekelompok orang yang mengorganisisr
diri atas nama agama yang dianutnya dengan memiliki aktifitas, identitas,
bentuk gerakan, dan karakter kegamaan yang khas, berbeda dengan kelompok yang
lazim, baik simbol-simbol maupun doktrin pemahamannya. Kelompok ini
kecenderungannya minoritas dan terkesan militan, bahkan radikal, sehingga kerap
diidentifikasi sebagai kelompok fundamentalis radikal. Lihat Mohammad Daud Ali,
“Fenomena Sempalan Keagamaan di PTU: Sebuah Tantangan bagi Pendidikan Agama
Islam,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi; Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, ed. Fuaduddin
& Cik Hasan Bisri, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 250-251; Agus
Afandi, “Melihat Sisi Kelompok Keagamaan di Perguruan Tinggi Umum,” Paramedia, Vol. 1, No. 2, (Juli 2000),
h. 114.
[11] Azyumardi
Azra, “Kelompok “Sempalan” di Kalangan Mahasiswa PTU: Anatomi Sosio-Historis,”
dalam Dinamika Pemikiran Islam, ed.
Fuaduddin & Cik Hasan Bisri, h. 233-235.
[12] Abdullah,
“Islam Indonesia lebih Pluralistik,” h. 70.
[13] Mengenai
wacana seputar tragedi Maluku, mulai dari latar belakang, penyebab hingga
solusi yang ditawarkan, lihat Tamrin Amal Tomagola, “Tragedi Maluku Utara, “
dalam Konflik Sosial; Demokrasi dan
Rekonsiliasi menurut Perspektif Agama-agama, ed. Mursyid Ali, (Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI, 2000), h. 13-26.
[14] Rosita S.
Noer, “Kerusuhan Sosial: Masalah SARA, Hubungan, Struktur dan Jarak Sosial,”
dalam Konflik Sosial, ed. Mursyid Ali
, h. 2-3.
[15] Penjelasan
secara panjang lebar mengenai hal tersebut lihat Amal Tomagola, “Tragedi Maluku
Utara,” h. 18-20.
[16] Thoha
Hamim, “Islam dan Hubungan antar Umat
Beragama; Tinjauan tentang Pendekatan Kultural dan Tekstual dalam Perspektif
Tragedi Maluku,” Akademika, Vol. 06,
No. 2, (Maret 2000), h. 115-126.
[17] Abdullah,
“Islam Indonesia lebih Pluralistik,” h. 72.
[18] M. Amin
Abdullah, “ Pengantar,” dalam Metodologi
Studi Agama, ed. Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hal. 3; idem, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme, Cet. II (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 19.
[19] Lihat Maksun
Faiz, “Mewaspadai Gejala Radikalisme Agama,” Jawa Pos, (22 Januari 2001), h. 4.
[20] Ignas
Kleden, “Epsitemologi Kekerasan di Indonesia,” Kompas, Edisi Khusus, (20
Desember 2000), h. 42.
[21] Faiz,
“Mewaspadai Gejala Radikalisme,” h. 4.
[22] Gerakan
agama kultus merupakan bentuk gerakan spiritual (dan keagamaan) dengan sistem
pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, dan kurang toleran
kepada kelompok lain. Gerakan ini biasanya berpusat pada ketokohan seorang
pribadi yang menarik, berdaya pikat retorik yang memukau, sederhana namun
dengan penuh keteguhan serta menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan. Lihat
Tanwir Y. Mukawi, “Fenomena Sempalan di PTU: Sebuah Tantangan bagi Pendidikan
Agama Islam,” dalam Dinamika Pemikiran
Islam, ed. Fuaduddin & Cik Hasan Bisri, h. 242.
[23] Lihat
Darmanto, et.al., “Spiritualisme Indonesia; Kritik dan Pengakuan di Awal Abad,”
Balairung, Edisi 32/tahun XV, (2000), h. 13.
[24] Hidayat,
“Pluralitas Agama,” h. 10.
[25] Hidayat,
“Pluralitas Agama,” h. 10.
[26] Darmanto,
et.al., “Spiritualisme Indonesia,” h. 14.
[27] Darmanto,
et.al., “Spiritualisme Indonesia,” h. 15.
[28] Abdullah, “
Pengantar,” h. 2.
[29] Ibid.,
h. 4.
[30] Lihat
wawancara Komaruddin Hidayat dengan TVRI dalam acara Talkshow “Wacana,” TVRI, 15 Juni 2000, jam 22.30-22.45 WIB.
[31] Abdullah,
“Pengantar,” h. 2.
[32] Saiful
Muzani, “Pembangunan dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara,” dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, ed. Saiful Muzani, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. 6-8.
[33] M. Dawam
Rahardjo, “Islam dan Pembangunan, Agenda Penelitian Sosial di Indonesia,” dalam
Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, ed. Saiful Muzani, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. 273-274.
[34] Lihat
Mukawi, “Fenomena Sempalan,” h. 243.
[35] Penyamaan
pengertian agama dan keagamaan di atas di antaranya dilakukan oleh Mukti Ali.
Lihat Mukti Ali, “Sambutan Menteri Agama RI pada Pembukaan Latihan Penelitian
Agama tanggal 1 November 1976,” seperti dikutip M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktik, cet. II, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 35.
[36] Mengenai
teori yang membahas diskursus agama, baik dalam perspektif tradisional maupun
modern, lihat Daniel L. Pals, Seven
Theories of Religion, (New York & Oxford: Oxford University Press,
1996).
[37] Untuk
mengetahui masalah ini, lihat H. Mal An
Abdullah, “Tipe-tipe Penelitian Agama: Ke Arah Pembagian Kerja antara Unit
dalam IAIN Raden Fatah,” Intizar, No.
12, (Tahun 1999), hal. 1; Mudzhar, Pendekatan
Studi Islam, hal. 35-36. Pendapat Mudzhar ini didasarkan pada pernyataan
Middleton tentang perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan: “… and the two (that is religion and
religious system) are not the same. Religion maybe studied from many view
points: theological, historical, comparative, psychological –but the religious
system is a sociological system, an aspect of social organisation, and canm be
studied properly only if that characteris be accepted as s starting point.” Lihat
ibid.
[38] Zulkifli,
“Metodologi Penelitian Agama Islam: Perspektif Ilmu-ilmu Sosial,” Intizar, No. 12, (Tahun 1999), h. 37.
[39] Pernyataan
tersebut berbeda dengan pernyataan Zulkifli bahwa penelitian ini pada umumnya
dilakukan oleh pemeluk agama itu sendiri dengan tujuan mencari kebenaran agama.
Lihat Zulkifli, “Metodologi Penelitian Agama,” h. 37.
[40] Zulkifli,
“Metodologi Penelitian Agama,” h. 37.
[41] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 35-36.
[42] M. Ridwan,
“Penelitian Agama dengan Teori Fungsional,” Madaniya,
Nomor 3, volume III, (Juli-Desember 1998), h. 89.
[43] A. Mukti
Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi
Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli
Karim, Cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), h. 49.
[44] Mukti Ali,
“Metodologi Ilmu Agama,” h. 49.
[45] Taufik
Abdullah, “Kata Pengantar,” dalam Metodologi
Penelitian Agama, h. xi.
[46] Schimmel, Islam, h. 29.
[47] Fazlur
Rahman, Islam, cet. II, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1979), h. 33.
[48] Rahman, Islam, h. 30-31.
[49] Lihat
Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma
Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia,
Vo. 1, No. 1, (April 2000), h. 2.
[50] Muzani,
“Pembangunan dan Kebangkitan,” h. 5.
[51] Sebagai
bandingan, lihat Nourouzzaman Shiddiqi, “Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman,”
dalam Metodologi Penelitian, ed.
Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, hal. 71-72.
[52] Lihat Amin
Abdullah, “ Pengantar,” h. 2.
[53] Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 181.
[54] Hidayat,
“Pluralitas Agama,” h. 7-8.
[55] Ali,
“Metodologi Ilmu Agama,” h. 47.
[56] Lihat Allan
W. Eister, “Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, (New York: John Wiley & Sons,
1974), h. 5-6.
[57] Ali,
“Metodologi Ilmu Agama,” h. 47.
[58] Ali,
“Metodologi Ilmu Agama,” h. 48.
[59] Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, (Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960), 11, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 72.
[60] Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, (Tahun 1999), h. 15.
[61] Ruswan
Thoyib, “Development of Muslim Educational System in the Classical Period
(600-1000 A.D.): An Overview,” dalam The
Dynamics of Islamic Civilization, ed. Salahuddin Kafrawi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press dan
Forum Komunikasi Alumni Program pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia,
1998), h. 53.
[62] Lihat Zaini
Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan
Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986), 71-75, seperti dikutip oleh
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 9-10.
[63] Abd. Hakim
dan Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 10.
[64] Mas’ud,
“Kajian dan Penelitian Agama,” h. 20-21.
[65] Mas’ud,
“Kajian dan Penelitian Agama,” h. 15.
[66] Lihat Robert N Bellah,
“Preface,” dalam Beyond Belief, (New
York: Harper & Row Puiblishers, 1970), h. ix.
[67] A. Qodri A.
Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, (Tahun 1999), 9.
[68] Lihat John.
L. Esposito, “Islamic Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern
Islamic World, vol. 2, (Oxford & New York: Oxford University Press,
1995), h. 332.
[69] Faisal
Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman
Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997), h. 35.
[70] Ismail,
“Studi Islam di Barat,” hal. 35-36; Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 24-25.
[71] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, 25; Abd. Hakim
dan Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 12.
[72] Wawancara dengan Virginia
Matheson Hooker, program convenor studi pascasarjana ANU, pada tanggal 5
Agustus 2002, jam 12.00-12.30 pm.
[73] Ismail,
“Studi Islam di Barat,” h. 37.
[74] Iskandar
Arnel, “Pesantren Ala McGill,” dalam Pengalaman
Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, h. 45.
[75] Arnel,
“Pesantren Ala McGill,” h. 45.
[76] Yang
disebut mata kuliah major adalah mata
kuliah yang akan menentukan spesialisasi seorang mahasiswa.
[77] Mata kuliah
minor maksudnya adalah mata kuliah
yang diadakan untuk mendukung spesialisasi seseorang.
[78] Fu’ad
Jabali, “Mengapa ke Barat?,” dalam Pengalaman
Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, h. 28-30.
[79] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 27.
[80] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 27-28.
[81] Lihat,
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan
Tinggi Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam Depag RI, 1998), hal. 2-3; Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998), vii; Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur
Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, (Januari-April 1999), h. 9-10.
[82] Lihat
Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No. 2, (Oktober 2000), h. i.
[83] Amien Rais,
Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan,
1991), h. 238.
[84] Berdasarkan
pengalaman langsung terlibat dalam sebuah mata kuliah yang diasuh oleh Issa J.
Boullata, Classical Exegesis (Tafsir
I), di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada, semester
Summer, September-Desember 1997.
[85] Arthur
Jeffery, The Qur’an as Scripture, (New
York: Library of Liberal Arts 1952). Lihat juga bukunya, Islam: Muhammad and His Religion, (New York: Library of Liberal
Arts, 1958).
[86] Arthur
Jeffery, The Foreign Vocabulary of the
Qur’an, (Baroda: oriental Institute, 1938), h. 103-05.
[87] Frithjof
Schuon, The Transcendent Unity of
Religions, (New York: Harper & Row, 1975).
[88] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
(Jakarta: Paramadina, 1996).
[89] M. Atho
Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000, h. 1.
[90] Azyumardi
Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, (Bandung: Mizan, 1994).
[91] Mona Abaza,
Indonesian Students in Cairo, (Paris:
EHESS, 1994).
[92] Clifford
Geertz, The Religion of Java,
(London: The Free Press of Glencoe, 1960.)
[93] Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of
Yogyakarta, (Tucson: The University of Arizona Press), 1989.
[94] Merle C. Riclefs, “Six Centuries of
Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, (New York: Holmes and Meir, 1979), h.
100-128.
[95] Robert W. Hefner, “Islamizing Java?
Religion and Politics in Rural East Java.” The
Journal of Asian Studies, hal. 46:3 (August 1987), h. 533-54.
[96] Fazlur
Rahman, Islam, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1980), h. 45.
[97] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta:
LP3ES, 1985).
[98] Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, (Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993), h. 1-4.
[99] Abdurrahman
Wahid, Menggerakkan Tradisi,
(Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 37-48.
[100] Azyumardi
Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah
disampaikan dalam seminar internasional Islam
in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta
23-24 November 2000, h. 4.
[101] Mudzhar,
"In the Making," h. 2.
[102] Mudzhar,
"In the Making," h. 2.
[103] Mudzhar,
"In the Making," hal. 2. Cf. Azra, "The Making," h. 4.
[104] Sekarang
jumlah lembaga yang sama di seluruh Indonesia menjadi 14 IAIN; 7 buah di
Sumatera, 5 di Jawa, 1 di Kalimantan, dan selebihnya di Sulawesi, beserta semua
cabang masing-masing. Pada tahun 1997, cabang-cabang masing-masing ke 14 IAIN
tersebut ditransformasikan ke dalam lembaga pendidikan tinggi Islam yang lebih
kecil lagi tapi independen yang disebut sebagai Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) yang keseluruhannya berjumlah 33 buah dan tersebar di seluruh
pelosok tanah air. Di samping lembaga-lembaga tinggi Islam Negeri ini, sejumlah
perguruan tinggi dan universitas swasta juga berdiri di mana fakultas kajian
Islam mengambil tempat di dalamnya. Jumlah mahasiswa di seluruh IAIN dan STAIN
seluruh Indonesia, menurut data yang dihimpun oleh DEPAG adalah 90.000 orang.
Jumlah ini dambil dari buklet Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000).
[105] Azyumardi
Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri,"
dalam Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos, 1999), h. 169-70.
[106] Azra,
"The Making," h. 6.
[107] Sudirman
Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993), h. 183-92.
[108] Betapa
pemikiran pembaruan Islam memiliki dampak yang begitu ekstensif di IAIN bisa
dilihat dari digunakannya karya-karya teks Harun Nasution sebagai literatur
wajib bagi mahasiswa IAIN. Terlebih ketika dia memimpin IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan belakangan direktur program pasca sarjana di lembaga yang sama.
Dalam diskursus kajian teologi keislaman, barangkali dialah yang pertama kali
meletakkan landasan berteologi secara kritis-rasional terhadap doktrin-doktrin
akidah Islam. Ia pula yang secara terang-terangan memproklamirkan diri sebagai
pendukung utama aliran Mu'tazilah dalam berteologi yang senantiasa
mengedepankan proses berpikir rasional. Lihat Richard Martin et. al.,
"Harun Nasution and Modern Mu'tazilism," dalam Richard Martin (ed.), Defenders of Reason in Islam, (Oxford:
Oneworld, 1997), h. 119-179.
[109]
Kekhawatiran terjadinya degradasi kualitas keimanan seseorang ketika menerapkan
metode ilmiah dalam kajian agama sebenarnya sudah pernah dijawab oleh Max
Müller dalam karyanya Introduction to the
Science of Religion (1873). Dia mengatakan bahwa pendekatan scientific dalam kajian agama tidak
seharusnya menambah keraguan terhadap keyakinan agama si peneliti, melainkan
justru bisa semakin memperkokoh bangunan keimanannya. Hal yang demikian ini
bisa terjadi ketika si peneliti mampu melakukan pemaknaan-pemaknaan yang cukup
berarti terhadap hasil-hasil temuannya untuk kemudian diinternalisasikan dalam
sistem keimanannya sendiri. Periksa, Peter Connolly, "Psychological
Approaches," dalam Peter Connolly, Approaches
to the Study of Religion, (London & New York: Casell, 1999), h. 139.
[110] Azra,
"The Making," h. 7.
[111] Nico
Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples
from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000, h. 11.
[112] Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 29.
[113] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 30-31.