Thursday, July 14, 2016

ISLAM DAN STUDI AGAMA: SEBUAH PELACAKAN SEJARAH*



A.      ISLAM DAN STUDI AGAMA
 
Islam sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun sebaliknya, inheren di dalam diri mereka standar nilai dan moralitas. Namun demikian, moralitas dan standar nilai tersebut, pada beberapa tataran, dianggap telah mengalami penyimpangan (deviation) dan perlu diluruskan oleh moralitas baru. Dalam konteks masyarakat seperti ini, Islam datang, memberikan koreksi dan perbaikan terhadap praktik-praktik, nilai-nilai dan moralitas mereka. Hadith Nabi memberikan justifikasi terhadap persoalan ini: “Innama bu‘ithtu li utammima makarima al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak [manusia] yang mulia).”[1]
Kelahiran Islam dalam konteks geografis terjadi pada kalangan masyarakat Arab, sebuah masyarakat yang dalam literatur sejarah Islam disebut sebagai jahiliyah (time of ignorance).[2] Dalam kaitan ini, M. Quraish Shihab memberi catatan bahwa  masyarakat jahiliyah dimaksud merupakan masyarakat yang pertama bersentuhan dengan Islam, serta masyarakat pertama pula yang berubah pola pikir, sikap dan tingkah lakunya dalam kaitannya dengan konteks keislaman.[3]  Sebagian mereka hidup berpindah-pindah (nomads) dengan profesi penggembala ternak, atau kelompok yang disebut dengan Badui Tradisional, dan sebagian lain pedagang dan seniman di kota-kota perdagangan kecil, serta sebagian sisanya menjalani hidupnya dengan tidak terbatas pada satu usaha.[4] Terutama terhadap kelompok masyarakat yang disebut pertama, Ira M. Lapidus menjelaskan bahwa mereka hidup dalam kelompok keluarga (kinship group) dengan tradisi patriarkal. Kelompok-kelompok keluarga itu kemudian mengelompok dalam sebuah suku dengan seorang kepala yang diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk menegakkan konstitusi kesukuan.[5]
Konteks sosiologis yang dihadapi Islam seperti di atas membuktikan bahwa agama yang beresensi kepasrahan dan ketundukan secara total kepada Dzat Yang Maha Kuasa tersebut keberadaannya tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang telah ada dalam masyarakat. Namun demikian, dalam perjalanannya, Islam selalu berdialog dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti halnya dengan masyarakat Arab saat diturunkannya Islam tersebut. Menurut Komaruddin Hidayat, Islam memiliki akar tradisi yang paling kuat dan terus berkembang dibanding agama lain. Di dalam jantung tradisi itu terdapat al-Qur’an yang memiliki daya gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal). Arus gerak sentrifugal dan sentripetal ini senantiasa berlangsung sehingga perjalanan sejarah tradisi Islam selalu diwarnai oleh berbagai usaha pembaruan dan penyegaran secara terus-menerus yang kadang-kadang melahirkan ketegangan di antara usaha-usaha itu.[6] Pentingnya upaya pembaruan dalam pemahaman terhadap Islam ini diibaratkan  oleh Amien Abdullah dengan kebutuhan menemukan “ventilasi” untuk sebuah ruangan agar tidak terjadi “kepengapan”.[7] Upaya yang terkait dengan kebutuhan untuk menemukan pemahaman baru terhadap Islam ini tidak bisa dipisahkan dari karakteristik Islam sendiri sebagai agama yang terbuka untuk didekati dengan berbagai macam pemahaman (polyinterpretable religion),[8] yang penjelasannya secara panjang lebar dapat dijumpai pada bagian tertentu dari buku ini.
Sementara itu, kehadiran Islam yang senantiasa berdialog dengan persoalan yang dihadapi masyarakat selanjutnya mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya dan masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut sejalan dengan semangat yang dikembangkan oleh Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif namun kritis. Kondisi ini menyebabkan Islam dan pemikiran yang dikembangkan oleh suatu masyarakat di wilayah tertentu bisa berlainan bentuk ekspresi dan karakteristiknya dari masyarakat di wilayah yang lain. Dengan kata lain, ketika Islam normatif memasuki wilayah kesejarahan, antara yang satu dengan yang lain akan berbeda eskpresinya. Sebagai contoh, pemikiran Islam yang berkembang di Timur Tengah dalam babakan sejarah yang panjang cenderung dikuasai oleh pandangan yang mendudukkan Islam semata-mata sebagai norma. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari konteks ajaran Islam yang formulasinya menggunakan instrumentasi Arab. Kasus India menunjukkan hal yang berbeda; sebagai bagian dari masyarakat India secara umum, Muslim di negara tersebut, akibat dari kehidupannya yang masih sulit terhindarkan dari konflik antar agama dan atau kelompok masyarakat[9], pola keberagamaannya mengalami ekstremisasi. Kasus di dua negara tersebut berbeda dengan kasus yang terjadi Indonesia; Islam yang berkembang di wilayah ini bisa dikatakan pula sudah mengalami persemaian dan sekaligus pembuahan dengan budaya lokal. Hal ini secara sederhana dibuktikan, misalnya, oleh kasus tahlilan, tingkeban, dan lain-lain. Selain itu, respon kaum Muslim Indonesia terhadap agama-agama lain yang bersifat teduh, toleran, dan menjaga nilai harmonisasi sosial dapat dijadikan alat pembukti ke sekian kali bagi masalah karakteristik Islam di wilayah ini.
Sebagai bukti lebih jauh dari kasus Indonesia, eksistensi kelompok-kelompok keagamaan sempalan dan atau radikal[10] tidak terlalu mendapatkan tempat di kalangan kaum Muslimin. Kelompok semacam tersebut jauh dari populer, apalagi untuk dapat melakukan gerakan yang secara keagamaan dan politik signifikan. Kenyataan ini, menurut Azyumardi Azra, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Islam di Indonesia sepanjang sejarahnya tidak pernah mengalami ekstrimisasi sebagaimana yang dialami kaum Muslimin Timur Tengah. Perkembangan Islam di wilayah ini pada umumnya berlangsung secara damai. Kedua, berkenaan dengan faktor pertama tadi, kaum Muslimin Indonesia pada umumnya adalah orang-orang yang akomodatif, kalau tidak cenderung dapat dikatakan sinkretik, sehingga ekstrimisme dan radikalisme  tidak populer. Ketiga, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional sejak awal kemerdekaan, secara esensial, dianggap  tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya, diyakini sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Keempat, pemerintah Indonesia pada dasarnya adalah pemerintah yang dapat dikategorisasikan sebagai soft regime, yang lebih toleran dan jauh tidak represif terhadap kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi ekstrem dan radikal apabila dibandingkan dengan rezim-rezim di Timur Tengah. Kelima, perubahan politik pemerintah bergerak dari yang hostile menuju perlakuan approachment kepada gerakan Islam dan kaum Muslimin umumnya. Kebijakan pemerintah Indonesia yang cenderung hostile tersebut terjadi sejak kebangkitan Orde Baru hingga akhir 80-an, namun berubah menjadi lebih dekat dengan kaum Muslim hingga sering disebut sebagai masa  honeymoon sejak awal 90-an.[11]
Konflik agama jarang ditemukan di Indonesia karena model keislaman di wilayah ini tidak eksplosif, tetapi lebih historis dan dimensi kulturalnya matang.[12] Apa yang terjadi dengan konflik Maluku,[13] sebagai contoh, sebetulnya bukanlah konflik antar agama, melainkan konflik distribusi kekuasaan di antara elemen-elemen yang ada dalam masyarakat tersebut. Meminjam perspektif Rosita S. Noer, ada perbedaan antara faktor pemicu (triggering factor) dan faktor penyebab. Yang disebut faktor pemicu adalah faktor yang menjadi “sebab awal” marahnya massa dan menimbulkan kerusuhan, serta sifatnya lebih pada permukaan saja dari apa yang dipahami secara awal oleh massa. Adapun faktor penyebab adalah faktor yang “tersembunyi”, dan umumnya berkaitan dengan masalah-masalah hubungan sosial, jarak sosial, dan struktur sosial suatu masyarakat.[14] Dalam konteks konflik Maluku, agama bukan merupakan faktor penyebab yang secara dominan menimbulkan kasus itu, melainkan hanya sekadar menjadi faktor pemicu yang kemudian ditarik-tarik untuk masuk menjadi faktor penyebab.
Adapun faktor penyebabnya secara rinci adalah sebagai berikut. Pertama, perebutan wilayah agama yang bercampur dengan kecemburuan sosial. Kedua, perebutan tambang emas di Malifut, sebuah kota yang akan menjadi kecamatan baru. Ketiga, perebutan kursi gubernur.[15]  Bahkan secara eksplisit, dalam perspektif Thoha Hamim, konflik tersebut disebabkan oleh persaingan politik untuk menguasai jabatan birokrasi pemerintahan dalam bentuk monopoli kekuasaan dengan cara menutup akses bagi kelompok tertentu untuk memasuki struktur kekuasaan (the structural obstruction), dan tidak berkaitan langsung dengan perbedaan denominasi agama masyarakat Maluku.[16]
Perbedaan bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya seperti di atas, selanjutnya, membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal yang bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari ajaran yang nota benenya  sudah terlembagakan, apalagi dalam konteks saat ini. Pentingnya hal demikian untuk mengetahui penjabaran dari nilai-nilai dasar dan asas-asas fundamental ajaran agama dalam kehidupan konkret sosial-kemasyarakatan.[17] Selain itu, hal tersebut juga penting untuk menghindari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan secara distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif. Akibatnya, semua yang berkaitan dengan wacana keagamaan atau keberagamaan dianggap sebagai hal yang absolut sifatnya dan tidak menerima segala bentuk upaya peninjauan ulang dalam konteks ruang dan waktu. Karena ketidakjelasan ini, muncul pemahaman atau bahkan tindakan yang selalu diklaim sebagai tindakan keagamaan, padahal sebenarnya merupakan wilayah tradisi atau budaya; atau dalam perspektif Amien Abdullah tindakan dimaksud disebut sebagai proses sakralisasi pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-diniyyah).[18]
Lebih jauh, bila tidak segera mendapat penunjukan secara benar, pemahaman yang campur aduk seperti di atas akan mudah menimbulkan konsekuensi lebih lanjut. Pertama, kekerasan atau radikalisme atas nama agama menjadi sesuatu yang kerap dapat disaksikan dengan mudah di lapangan kehidupan masyarakat. Memang, agama wujudnya sangat abstrak, namun implikasinya sangat dahsyat dan riil. Agama yang senantiasa mengajarkan dan menegaskan keramahtamahan dan kasih sayang, ternyata, bisa memicu terjadinya keberingasan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan. Bila fenomena ini semakin meluas, asumsi yang selama ini diyakini benar akan menguat bahwa agama merupakan amunisi tambahan yang sangat ampuh untuk menciptakan tindakan-tindakan radikal, esktrem, dan anarkis agar pihak lain yang dianggap sebagai rival tidak berdaya.[19] Kekerasan sosial seperti ini akan menguat bila dibarengi oleh kekerasan negara atas masyarakat karena kekerasan horisontal, pada beberapa tataran, merupakan reaksi tidak berdaya atas  kekerasan vertikal negara terhadap masyarakat.[20] Berbagai kasus dapat dijadikan contoh terhadap radikalisme atas nama agama tersebut seperti pembakaran gereja di Pasuruan dan Situbondo pada pertengahan tahun 1990-an dan pengeboman terhadap beberapa gereja di sejumlah kota besar di Indonesia pada malam natal 2000.
Pemahaman yang campur aduk terhadap normativitas dan historisitas agama hingga menimbulkan kekerasan dan radikalisme atas nama agama di atas, dalam bentuk konkretnya, menurut Komaruddin Hidayat, tidak terlepas dari beberapa kemungkinan yang menjadi keyakinan masyarakat. Satu di antara kemungkinan tersebut adalah bahwa hampir semua agama besar dunia dilahirkan pada masyarakat tertutup dan langsung berhadapan dengan musuh. Karena itu, banyak sekali ungkapan yang secara tekstual menyatakan permusuhan dan kutukan terhadap eksistensi agama lain. Kemungkinan yang lain, setiap agama menawarkan jalan keselamatan (salvation). Keyakinan terhadap jalan keselamatan semacam ini dilakukan secara eksklusif, seakan-akan hanya ada satu jalan mencapai keselamatan tersebut. Akibatnya, kutukan terhadap agama lain menjadi sesuatu yang kerap terjadi dan dianggap sebagai sebuah kebajikan agama. Selain itu, radikalisme atas nama agama bisa juga didorong oleh keyakinan masyarakat bahwa setiap agama pada gilirannya melahirkan realitas sosial berupa kelompok penganut (community of believers). Maka, timbul dalam kaitan ini apa yang disebut dengan istilah “orang dalam” (insider) dan “orang luar” (outsider).[21]
Kedua, munculnya agama kultus (pengkultusan berlebihan) menjadi tidak dapat dihindarkan dari praktik-praktik kehidupan sosial keagamaan.[22] Realitas ini bersifat kontra-produktif karena keselamatan dan kebahagiaan yang dijanjikan oleh individu yang dikultuskan bersifat semu dan dapat menimbulkan penyimpangan atau keterpelesetan dalam wilayah praksis agama akibat tidak adanya formulasi ajaran yang jelas. Kontra-produktivitas ini terkait dengan kedekatan hubungan wilayah normatif-doktrinal dengan historis-kultural sehingga menjadikan pemahaman agama rawan terjebak ke dalam wilayah yang sangat sempit, kultus individu berlebihan. Berbagai kasus dapat menjelaskan hal tersebut, yakni seperti kasus bunuh diri massal pengikut gerakan Ranting Daud pimpinan David Koresh, sekte Aum Shinrikyo Jepang di bawah asuhan Shoko Asahara, maupun kasus belakangan sekte Pemulihan Sepuluh Perintah Tuhan di Uganda, dan sebagainya.[23]
Ketiga, krisis dimensi kehidupan menjadi akrab terdengar dan teralami. Krisis tersebut berupa munculnya penguatan spiritualitas semata dengan kehilangan bentuk formal. Dalam konteks ini, agama formal ditinggalkan,[24] dan kehidupan yang sulit untuk dapat membedakan antara realitas sejati dan realitas semu menjadi tidak terhindarkan. Kesulitan ini pada gilirannya mengakibatkan berbagai  realitas semu dianggap sebagai realitas sejati.[25] Memang, spiritualitas, seperti diungkapkan Ulil Abshar-Abdalla, dapat mengubah cara pandang terhadap kehidupan. Namun demikian, bila spiritualitas itu berhenti pada titiknya sendiri, ia tidak akan dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.[26] Oleh karena itu, spiritualitas membutuhkan lembaga, dan lembaga yang paling aman untuk mengawal jalannya transformasi spiritual itu adalah kerangka (frame) agama formal. Argumentasinya, spiritualitas melalui agama akan lebih jelas arahnya karena mempunyai dasar pijakan yang jelas sehingga jalan untuk mencapai realitas sejati jelas dan mudah dilalui. Adapun spiritualitas di luar agama formal, termasuk soft spiritual kaum sekular, hanya bersifat pelipur lara yang kosong  sehingga upaya mencapai realitas sejati jauh dari realisasi. Selain itu, karena sifatnya  pelipur lara,  capaian yang dapat diraih oleh spiritualitas di luar agama formal hanya sebatas realitas semu.[27]
Dalam kondisi masyarakat yang pluralistik dengan fasilitas teknologi yang maju, pemahaman terhadap agama dan keagamaan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan secara tepat dan benar. Hal ini karena kepentingan sosial kemasyarakatan kerap bercampur aduk dengan agama sehingga sulit dibedakan mana wilayah agama sebenarnya dan mana pula wilayah “kepentingan” historis kultural yang juga melekat di dalamnya.[28]  Selain itu, dalam masyarakat yang plural, pengedepanan salah satu dari normativitas dan historisitas tersebut dapat menimbulkan bahaya, kontraproduktif,[29] karena bertabrakan dengan semangat yang dikandung oleh pluralitas itu sendiri, salah satunya adalah toleransi.
Kondisi pluralistik tersebut ditambah lagi oleh kenyataan sosiologis bahwa  agama saat turunnya masih cenderung bersifat gerakan, namun kini sudah masuk dalam kerangka yang terorganisir secara rapi sehingga agama menjadi identik dengan organisasi. Menurut Komaruddin Hidayat, Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, seperti halnya Kristen masa Yesus Kristus, lebih merupakan kesadaran-kesadaran nilai karena agama masa itu belum mewujud ke dalam lembaga-lembaga atau institusi-institusi sehingga kesadaran-kesadaran itu bisa digerakkan oleh person-person. Namun demikian, saat ini agama sudah terlembagakan secara rapi sehingga kesadaran itu melebur dalam kerangka institusional. Oleh karena itu, peran-peran untuk menggerakkan kesadaran itu mesti juga dilakukan secara bersama-sama melalui lembaga-lembaga itu.[30] Tidak berbeda dengan Komaruddin Hidayat, Amien Abdullah menjelaskan bahwa hampir semua agama mempunyai “institusi” dan “organisasi” pendukung  yang memperkuat dan  menyebarluaskan ajaran agama yang diembannya. Kondisi ini pada akhirnya membuat sulit untuk menemukan agama tanpa terkait dengan “kepentingan” kelembagaan, kekuasaan, dan interest-interest tertentu betapapun tinggi nilai transendental dan sosial yang dikandung oleh kepentingan tersebut.[31]
Elaborasi di atas dapat dicarikan penguatnya melalui pengamatan terhadap interaksi  masyarakat Muslim dan pembangunan atau modernisasi. Interaksi itu telah melahirkan gerakan atau kelompok yang berbeda-beda di kalangan masyarakat Muslim sendiri.  Sebagai misal, kelompok revivalisme awal, seperti kelompok Wahhabi, selalu menekankan agar praktik-praktik keagamaan tidak menyimpang dari ketentuan formal al-Qur’an dan Hadith. Sebagai bentuk konkretnya, mereka berusaha mengikis semua praktik kegamaan yang dianggap bid’ah seperti tahlilan, pandangan mengkeramatkan kuburan wali, dan seterusnya. Kelompok modernis, seperti diwakili Muhammad ‘Abduh dari Mesir, mempunyai pandangan lain, liberal; mereka mencoba menangkap elan vital Barat dan berusaha mencari padanannya dalam Islam. Di satu sisi, mereka tetap menegaskan keyakinan akan kebenaran Islam, namun di sisi lain tidak menolak untuk bergumul dengan hegemoni Barat.[32] Selain dua kelompok ini, masih ada beberapa kelompok lain. Yang jelas, selama interaksi masyarakat terus berjalan, maka selama itu pula akan ada, dan bahkan lahir, kelompok dengan model pemahaman dan keyakinan masing-masing.
Lahirnya kelompok-kelompok keagamaan di kalangan masyarakat seperti tersebut selanjutnya melahirkan beberapa pandangan hipotetis mengenai hubungan agama dengan pembangunan. Pertama, agama, seperti yang tercermin dalam nilai-nilai, tradisi dan institusi sosial, menghambat modernisasi dan proses pembangunan. Kedua, agama mengandung unsur-unsur ajaran yang membantu terjadinya perubahan sosial, misalnya motivasi bagi kewiraswastaan, etos ilmu pengetahuan, semangat perdamaian, dan sebagainya yang sesuai dengan nilai modernitas. Ketiga, agama sebagai daya tarik dalam masyarakat; misalnya, meski kritik atas nama agama diarahkan kepada pembangunan, hal itu berperan untuk mencegah dampak negatif dari modernisasi dan pembangunan.[33] Beberapa pandangan hipotetis ini menjadi bagian yang dapat menunjukkan bahwa pemahaman yang cukup terhadap agama dan masyarakatnya adalah sesuatu yang sangat urgen dan signifikan dilakukan untuk menghindari kesimpulan yang salah akibat terdistorsinya pemaknaan.
Selain itu, signifikansi pemahaman yang cukup terhadap agama dan fenomena keagamaan juga terlihat tatkala teknologi mampu mempersembahkan berbagai fasilitas teknis yang dapat mengantarkan manusia kepada kemudahan-kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup duniawinya. Di saat kebutuhan duniawi dengan mudah dapat dipenuhi, manusia berada dalam posisi membutuhkan hal lain demi terciptanya keseimbangan hidup; dan hal lain itu adalah kebutuhan nonfisik-spiritual karena masyarakat yang berada di era teknologi dengan industrialisasi yang secara masif memudahkan pemenuhan kebutuhan hidup duniawi rentan terhadap terjangkitinya alienasi dan keterasingan diri anggotanya.[34] Keseimbangan itu akan muncul jika kebutuhan dasar manusia, baik fisik maupun nonfisik, terpenuhi secara seimbang dan dalam hubungan yang harmonis. Hal ini karena kehidupan manusia, pada dasarnya, tidak bisa dipisahkan dari dunia fisik dan nonfisik, jasmani dan rohani, atau duniawi dan ukhrawi. Kebutuhan dasar nonfisik tersebut merupakan wilayah yang menjadi garapan dari agama. Agama senantiasa menegaskan dan menjaga keseimbangan hidup dengan berbagai tawaran spiritual dan arahan hidup yang jelas.
Selain itu, hubungan antara perilaku keagamaan masyarakat dengan kemajuan teknologi sangat erat sekali, bahkan saling mempengaruhi. Perilaku keagamaan masyarakat akan berubah seiring dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh teknologi. Begitu pula sebaliknya; teknologi dapat dipicu perkembangannya oleh inspirasi-inspirasi agama yang mewujud dalam bentuk perilaku keagamaan masyarakat pemeluknya. Dalam menjalankan beberapa aktivitas keagamaan, masyarakat membutuhkan tersedianya fasilitas teknis yang dapat mendukung terselenggaranya aktivitas keagamaan tersebut. Fasilitas teknis yang demikian dapat disediakan oleh teknologi.
Kenyataan pemahaman secara signifikan terhadap wacana agama dan keagamaan di tengah kemajuan teknologi di atas ditambah lagi oleh keberadaan masyarakat saat ini yang sangat majemuk dengan kepemilikan budaya (cultural properties) yang beragam dan tingkat pemahaman yang bertingkat-tingkat. Dengan kepemilikan budaya dan pemahaman yang berlainan tersebut, agama dipahami dan dipraktikkan dalam perilaku yang berbeda-beda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.
Keragaman pemahaman dan aplikasinya dalam perilaku tersebut bila tidak dilihat dalam perspektif yang sahih akan dapat menyebabkan lahirnya pemahaman bahwa seakan-akan agama adalah seperti yang tercermin dalam bentuk pemahaman dan perilaku masyarakat yang meyakini, dan sebaliknya, pemahaman dan perilaku masyarakat dianggap sebagai agama itu sendiri. Akhirnya, pemahaman seperti itu dapat menimbulkan kegagalan dalam membaca diskursus antara agama dan keagamaan. Padahal, wilayah agama dan keagamaan jelas berbeda secara signifikan dan tidak seharusnya disamakan meskipun, dalam beberapa kasus, istilah agama juga bisa bersifat meliput (including) terhadap makna keagamaan di samping maknanya sendiri.[35] Hal ini disebabkan oleh realitas epistemologis keduanya yang berbeda. Agama bergerak di wilayah normatif-doktrinal karena lahir dari nilai atau sumber ketuhanan (divinity),[36] sedangkan keagamaan merupakan aktivitas pemaknaan dan pewujudan dari agama yang normatif itu ke dalam wilayah historis-kultural oleh pemeluknya.
Oleh karena itu, dalam kaitan ini, perlu dipahami secara jelas perbedaan antara penelitian agama (research on religion) dan penelitian keagamaan (religious research). Penelitian agama lebih menekankan pada materi agama sehingga sasarannya adalah agama sebagai doktrin dengan tiga elemen pokok: ritus, mitos, dan magik.[37]  Penelitian jenis ini mengarahkan aktivitasnya pada doktrin atau teks agama yang nota bene bersifat normatif.[38] Namun demikian, penelitian ini tidak harus dilaksanakan oleh pemeluk agama itu sendiri, melainkan bisa juga dilaksanakan oleh komunitas lain yang nota bene bukan pemeluk agama itu.[39]
Adapun penelitian keagamaan mengkaji aspek-aspek sosial dan budaya dari agama yang pada umumnya menggunakan pendekatan-pendekatan dari ilmu-ilmu sosial.[40] Penelitian ini tekanannya lebih pada agama sebagai sistem keagamaan (religious system),[41] dan memandang agama sebagai fenomena atau fakta sosial, yakni agama sebagaimana yang sudah mengejawantah dalam masyarakat nyata. Secara konkret, penelitian ini bisa digerakkan pada diskursus semisal pengaruh unsur kepercayaan terhadap pembentukan kerpibadian pemeluknya, baik secara personal-individual maupun sosial-kolektif.[42] Meskipun demikian, untuk kepentingan pembahasan komprehensif metodologis yang akan dilakukan oleh studi dalam buku ini, terhadap istilah agama dan keagamaan dilakukan penyebutan perwakilan melalui istilah “penelitian agama” dengan maksud untuk pembahasan keduanya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembahasan dan sekaligus untuk menegaskan bahwa bahasan studi ini akan meng-cover kedua jenis penelitian tersebut secara simultan.

URGENSI DAN SIGNIFIKANSI STUDI ISLAM
Agama adalah ibarat manusia.[43] Untuk mengetahui perihal manusia, harus dipergunakan dua cara: pertama, membaca ide dan pemikiran yang bersangkutan yang tertuang dalam berbagai karangan, pernyataan dan pekerjaannya, serta kedua, mempelajari biografinya.  Mengetahui perihal seorang manusia secara utuh tidak dapat dilakukan hanya melalui ide dan pemikirannya karena banyak hal dalam hidup dan kehidupan yang bersangkutan tidak tercermin dalam karangan, pernyataan dan pekerjaannya. Upaya itu mesti dibarengi dengan cara membaca biografinya, mulai dari latar belakang keluarga, kehidupan masa-masa awal, hingga kejadian-kejadian penting yang melintasi hidupnya. Begitu pula halnya dengan agama; untuk mengenal agama harus dilakukan dengan cara mempelajari ide-idenya serta membaca biografinya. Menurut Mukti Ali, ide-ide agama terpusat pada kitab sucinya, sedangkan biografi agama dapat ditemukan melalui sejarah yang dialaminya.[44]
Dalam konteks Islam, untuk memahami agama ini bisa dilakukan penelitian atau studi dengan menggunakan dua metode. Pertama, mempelajari teks-teks suci al-Qur’an yang merupakan himpunan dari ide dan output ilmiah dan literer yang dikenal dengan Islam. Kedua, mempelajari dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya misi Islam tersebut, terutama masa Nabi Muhammad SAW, hingga masa akhir-akhir ini. 
Masalahnya kemudian, kalau memang benar bahwa penelitian (studi) mencari kebenaran, bukankan agama [Islam] adalah kebenaran?[45] Memang benar, penelitian dilakukan untuk mencari kebenaran, dan agama itu sendiri merupakan kebenaran, baik sebagai sumber maupun produk. Namun demikian, Islam yang telah mengalami proses dialogis dengan masyarakat tidak bisa dihindarkan dari munculnya beragam wajah sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu. Perbedaan ruang dan waktu itu melahirkan perbedaan pemahaman oleh masyarakat bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka hadapi, baik berupa tuntutan maupun tantangan. Oleh karena itu, bisa dimengerti bahwa Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah, baik pada tataran kognitif maupun praksis sosial. Begitu pula Islam yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami generasi abad pertengahan maupun abad modern ini. Realitas perbedaan tersebut melahirkan wacana seputar Islam sebagai kebenaran.
Atas dasar di atas, adalah sangat urgen diperolehnya pemahaman Islam secara utuh dan tidak distortif. Argumentasinya adalah bahwa realitas perbedaan di atas bila tidak didekati secara tepat akan menimbulkan pemahaman yang pincang terhadap Islam karena Islam sebagai agama mempunyai dimensi normatif dan historis. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, memahami ide-ide Islam yang ada dalam al-Qur’an urgen sekali dilakukan.  Hal ini tampak dari argumentasi bahwa ide-ide dalam kitab suci tersebut merupakan dasar normatif dan fondasi dari ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia.[46] Al-Qur’an menegaskan landasan moral bagi gagasan-gagasan dan praktik-praktik seperti ekonomi, politik, dan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia.[47] Meski al-Qur’an meliputi ide-ide normatif Islam, teks-teksnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara verbal  (verbally revealed).[48]
Dengan keberadaan al-Qur’an yang meliputi ide-ide moral-normatif dan disampaikan secara ideal sekaligus verbal di atas, maka studi Islam menemukan urgensi dan signifikansinya untuk senantiasa dilakukan dalam kerangka memahami Islam secara tuntas in context dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat pada masanya masing-masing. Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normatif-doktrinal yang cukup terhadap sumber dari teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang kontekstual-historis sehingga didapatkan pandangan yang relatif utuh terhadap Islam dengan berbagai atributnya. Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam mengambil kesimpulan tentangnya. Persoalan ini perlu ditekankan karena kegagalan dan kesalahan dalam mengambil kesimpulan atau pemahaman tentang Islam pernah ditujukan kepada atau dialami oleh beberapa ilmuwan Barat, seperti Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell.[49] Kesalahan dan kegagalan mereka, ilmuwan Barat, dalam memahami Islam atau masyarakat Muslim bukan terletak pada “perspektif tentang kebenaran” yang berbeda, melainkan karena ketidaktahuan dan ketidakakuratan dalam memahami masyarakat Muslim.[50] Salah satu di antara penyebab ketidak-akuratan tersebut adalah kurang diacunya teks-teks normatif Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normatif untuk melihat historisitas Islam.
Sementara itu, untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan studi terhadap dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir-akhir ini, baik di wilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia. Studi ini mesti dilakukan melalui perangkat historis-kultural. Studi ini menemukan signifikansinya sebagaimana dijelaskan melalui beberapa hal berikut. Pertama, pentingnya studi tersebut dilakukan sebagai bentuk pemenuhan terhadap motivasi imperatif agama untuk meneladani rasul. Kedua, signifikansi dilakukannya studi tersebut sebagai alat untuk menafsirkan dan memahami maksud teks-teks suci al-Qur’an. Hal ini karena memahami maksud teks tersebut harus lebih dulu memahami latar belakang sejarah turunnya, atau dalam bahasa teknis agama disebut dengan asbab al-nuzul. Ketiga, studi tersebut penting untuk mengetahui proses dialogis antara normativitas Islam dengan nilai-nilai historisitas yang melingkupinya dalam praksis Islam di tengah-tengah masyarakat.[51] Hal ini karena pada tataran historis-empiris, agama ternyata juga sarat dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan yang rumit untuk dipisahkan.[52] Keempat, signifikansi dilakukannya kajian historis ini agar nilai perkembangan historis tersebut dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk merekonstruksi disiplin-disiplin Islam bagi kepentingan masa depan.[53] Dengan demikian, nilai positif dari kajian historis ini implikasinya sangat jauh, meliputi kerangka teoritis maupun praktis.
Untuk menggambarkan secara numerik dalam kerangka besar urgensi dan signifikansi studi Islam seperti tersebut di atas, berikut ini diuraikan beberapa hal.
1.       Studi Islam diarahkan sebagai instrumen untuk memahami dan mengetahui proses sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki kapasitas dan daya gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi dengan cara mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal).[54] Dalam kaitan ini, jika studi Islam ditarik ke arah perjalanan sejarah tradisi Islam, tampak sekali urgensi dan signifikansinya sebab realitas historis membuktikan bahwa Islam selalu diwarnai oleh berbagai usaha pembaruan dan penyegaran secara terus-menerus sebagai konsekuensi dari arus gerak sentrifugal dan sentripetal tersebut. Usaha pembaruan dan penyegaran tersebut tidak jarang melahirkan ketegangan antara satu dan yang lain.
2.       Sebagai konsekuensi poin pertama, studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal demikian agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang.[55] Selama ini, beberapa ahli ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya  para orientalis, mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka meskipun menarik, tidak bisa menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata. Mereka [khususnya para ilmuwan sosial], misalnya, tidak bisa menjawab persoalan-persoalan berkenaan dengan isu-isu ontologis dari realitas atau obyek simbolisasi. Hal ini karena, oleh mereka, simbol-simbol dan sistem kepercayaan pemeluk agama  diambil secara serius sebagai data yang kenyataannya tidak bisa terlepas dari bias pengamatannya. Untuk kepentingan ilmiah, simbol-simbol dan data-data kultural tersebut diterima sebagai sebuah realitas, baik data-data tersebut bersifat empiris, nonempiris, material maupun spiritual.[56] Sementara itu, para ulama’ sendiri masih terbiasa memahami Islam dengan cara doktriner dan dogmatis. Akibatnya, penafsiran dan pemahaman yang dihasilkan tidak jarang out of context dengan persoalan yang sedang dan akan dihadapi.[57] Oleh karena itu, teks-teks normatif Islam mesti didialogkan dengan realitas empirik sosial. Hal ini dilakukan agar Islam bisa menjaga fungsionalitasnya di tengah-tengah masyarakat; dan begitu pula sebaliknya, agar realitas empirik sosial memperoleh penunjukan legitimasinya oleh kebenaran agama. Selain itu, jika Islam hanya dilihat dari satu segi saja, yang akan tampak hanya satu dimensi saja dari fenomena-fenomena sosial yang beragam (multifaceted). Jika saja satu dimensi itu betul, hal itu tidak cukup untuk mengetahui wajah Islam secara keseluruhan,[58] karena Islam memiliki multi wajah sebagaimana intan yang dapat memancarkan sinar dari berbagai sudutnya.[59]
3.       Studi Islam bergerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang nota bene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought). Pentingnya  memahami esensi ajaran ini lebih-lebih terlihat pada konteks kekinian dengan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda pemahaman dan aspirasinya. Hal demikian untuk mengetahui penjabaran dari nilai-nilai dasar dan asas-asas fundamental ajaran dalam kehidupan konkret sosial-kemasyarakatan yang plural.
4.       Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya. Pencampuradukan itu pada urutannya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif. Akibatnya, semua yang berkaitan dengan wacana keagamaan atau keberagamaan dianggap sebagai hal yang absolut sifatnya dan tidak menerima segala bentuk upaya peninjauan ulang dalam konteks ruang dan waktu. Karena ketidakjelasan ini, muncul pemahaman atau bahkan tindakan yang selalu diklaim sebagai tindakan keagamaan, padahal sebenarnya pemahaman dan tindakan itu termasuk wilayah tradisi atau budaya.

PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Untuk kepentingan spesifik keilmuan, menurut penulis, perlu dibedakan wacana studi Islam sebagai bagian dari peradaban Islam (Islamic civilization)  dan studi Islam sebagai bagian dari kajian akademis (Islamologi). Pembedaan itu dilakukan bukan dengan menafikan realitas bahwa dinamika keduanya sering dalam posisi saling mengisi. Hal ini karena peradaban Islam memberikan insipirasi terhadap gerak kajian yang dikembangkan dalam studi keilmuan Islam, dan sebaliknya, studi keilmuan Islam menanamkan investasi yang besar terhadap perkembangan peradaban Islam. Namun demikian, sebagai “disiplin keilmuan”, studi Islam memiliki konsekuensi logis untuk mengalami perkembangan secara spesifik dan mendapatkan perhatian tersendiri melalui instrumen keilmuan. Oleh karena  itu, diskursus perkembangan studi Islam dalam konteks ini mesti didekati dan dipahami dalam kerangka akademis tersebut.
Studi Islam secara etimologis dapat dipadankan dengan Dirasah Islamiyah dalam bahasa Arab atau Islamic Studies dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan semangat implementasi dari aktivitas-aktivitas keagamaan [yang menjadi bagian dari upaya pembentukan peradaban Islam] seperti majelis taklim, misalnya, yang bersifat doktriner dan bertujuan meningkatkan keagamaan seseorang dalam tataran kognitif dan praktis, studi Islam atau Islamologi ini “tidak bertanggung jawab” terhadap keagamaan individu. Islamologi mempelajari dan mengkaji Islam hanya sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan untuk dipraktikkan, melainkan hanya didorong oleh tuntutan profesionalisme untuk kepentingan penelitian atau kajian keislaman. Adapun bahwa kelak akan muncul efek keagamaan merupakan suatu hal yang bisa saja terjadi, namun bukan atas kehendak formal yang menjadi tanggung jawab studi Islam. Oleh karena itu, bisa dipahami munculnya sejumlah pakar Islamologi atau keislaman, terutama  di dunia Barat, yang beragama nonIslam.[60] 
Merujuk kepada sejarah peradaban Islam, ditemukan penjelasan mengenai ragam model diseminasi dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui proses pengkajian yang berlaku di masyarakat Islam, baik dalam konteks ruang (tempat) maupun waktu. Tercatat bahwa peradaban Islam diwarnai oleh dinamika masyarakat Muslim dalam kajian Islam melalui beragam pusat pembelajaran, mulai dari kuttab,  masjid, observatorium, perpusatakaan, madrasah, khanqah, pesantren, hingga sekolah dan perguruan-perguruan tinggi seperti yang dikenal pada masa modern ini. Beragamnya instrumen institusional pendidikan tersebut juga diiringi dengan pergerakan kurikulum yang diterapkan.[61] Menurut Mahmud Yunus, pusat-pusat studi Islam klasik dapat diklasifikasi menjadi beberapa kelompok seperti Makkah dan Madinah di Hijaz, Basrah dan Kufah di Irak, Damaskus dan Palestina di Syam, dan Fistat di Mesir. Kelompok Makkah dipelopori oleh Mu’adh b. jabal, Madinah oleh Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Uthman, sedangkan Basrah oleh Abu Musa al-Ash’ari dan Anas b. Malik, Kufah oleh ‘Ali b. Abi Talib dan ‘Abd Allah b. Mas’ud, Damaskus oleh ‘Ubadah dan Abu Darda’, serta Fistat oleh ‘Abd Allah b. ‘Amr ibn ‘As.[62] 
Selanjutnya, sebagai bagian dari kerangka peradaban Islam, penyelenggaraan studi Islam pada masa klasik juga telah mewarnai dinamika masyarakat baik di dunia Islam sendiri maupun di Barat. Di dunia Islam, misalnya, pada saat Dinasti ‘Abbasiyah dipimpin oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) kegiatan studi Islam diselenggarakan dengan mengambil pusatnya di Baghdad. Kegiatan studi Islam itu dikukuhkan dengan didirikannya pusat pengembangan ilmu pengetahuan, Bayt al-Hikmah, dengan dua signifikansi yang dikandungnya: sebagai perpustakaan dan sebagai lembaga pendidikan dan penerjemahan karya-karya Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab. Sementara itu, di dunia Barat, tepatnya Eropa, didirikan pusat kebudayaan yang memiliki fungsi yang tidak berbeda dengan Bayt al-Hikmah. Pusat kebudayaan tersebut bernama Universitas Cordova yang dirikan oleh Dinasti Umaiyah di Spanyol yang saat itu kendali kekuasaannya dipegang oleh ‘Abd al-Rahman III (929-961 M).[63]

Sementara itu, munculnya studi Islam sebagai suatu kajian akademis tidak bisa dipisahkan, salah satunya, dari semangat Orang Barat untuk mengetahui perihal kehidupan orang Timur dalam berbagai aspeknya. Mereka melakukan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai aspek kehidupan orang Timur, mulai dari agama, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Aktivitas-aktivitas ini kemudian lebih dikenal dengan pendasaran orientalisme. Terlepas dari motivasi dan tujuan yang melatarbelakangi dilakukannya berbagai pengkajian terhadap beragam aspek kehidupan masyarakat Timur tersebut, satu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa studi Islam telah ikut terdorong ke depan menjadi bagian yang perlu dilakukan secara ilmiah agar sampai kepada pemahaman yang relatif valid dan tepat terhadap kehidupan masyarakat Timur. Hal demikian karena Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Timur sehingga dalam upaya untuk dapat memahami kehidupan mereka mesti dilakukan juga perujukan atau pengkajian terhadap keyakinan agamanya.

Tanpa berpretensi melebih-lebihkan Barat, patut diakui bahwa pertumbuhan studi Islam melalui instrumen dan tradisi akademis tidak bisa dilepaskan dari kontribusi orang-orang (ilmuwan) Barat. Meskipun bukan berarti di luar mereka identifikasinya rendah, dibanding dengan para pengkaji pada umumnya, minimal untuk konteks saat itu, para pengkaji Barat lebih terdukung aktualisasi akademis-intelektualnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal berikut. Pertama, mereka didukung oleh infrastruktur  riset yang lebih baik. Dukungan infrastruktur ini terutama berupa sumber daya finansial dan institusional. Kedua, mereka terkondisi dalam tradisi riset yang baik dan benar. Tradisi riset dimaksud tidak saja memberi perhatian pada riset kebijakan, melainkan juga riset-riset mendasar bagi pengembangan teori keilmuan (theory building). Selain itu, riset secara tekun dan serius menjadi bagian dari tradisi mereka. Ketiga, mereka pada umumnya memiliki kemampuan teoritis-metodologis yang baik. Hal ini karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu sosial secara baik pula. Keempat, dalam beberapa kasus, mereka memiliki referensi yang lebih sehingga bisa dijadikan bahan komparasi untuk sebuah kasus yang diteliti. Kelima, mereka lebih terbuka, untuk tidak menyebut lebih berani, untuk mengambil atau melakukan penelitian hingga sampai pada suatu kesimpulan. Keterbukaan mereka ini karena tidak dibelenggu oleh kendala ideologis dan politis untuk melakukan riset.[64]

Dalam perjalanannya, studi Islam secara akademis (Islamologi) menemukan pemantapannya sejak tahun 1950-an. Pada saat itu, mulai banyak ditawarkan studi-studi Islam di universitas-universitas ternama di Amerika Serikat seperti di Hartvard University, UCLA, Chicago University, Yale University dan sebagainya,[65] meskipun studi agama pada umumnya hingga akhir tahun 1970-an masih dianggap sebagai anak tiri (stepchild).[66] Studi akademis Islam ini tidak mempertanyakan kesahihan teks suci al-Qur’an, misalnya, melainkan bergerak mengkaji kebenaran atau ketepatan interpretasi (tafsir) terhadap ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an, termasuk mengembangkan, mempertanyakan validitas dan memperbarui teori yang digagas oleh ulama’ tafsir. Oleh karena itu, yang dikaji secara akademis adalah pemikiran ulama’ terdahulu dalam memahami Islam dengan segala latar belakangnya. Lebih jauh, studi Islam secara akademis dilakukan terhadap implementasi ajaran Islam pada tataran praksis sosial dalam pengertian seluas-luasnya.[67]

Istilah studi Islam  (Islamic studies) sendiri dalam kerangka akademis mulai terdistribusikan secara meluas melalui penggunaan Islam sebagai sebuah spesifikasi utama atau titik sentral berbagai jurnal profesional dan jurusan dalam lembaga-lembaga akademik.[68] Hal demikian dibuktikan dengan realitas bahwa studi Islam di perguruan-perguruan tinggi di Barat telah menjadi bagian penting dan terkait dengan program akademis mereka. Mata kuliah keislaman yang ditawarkan meliputi berbagai lapangan kajian dengan tetap menempatkan Islam sebagai titik sentralnya. Namun demikian, terdapat dua variasi dalam menempatkan Islam dalam kaitannya dengan sebuah kajian. Secara organisatoris, di sebagian besar perguruan tinggi, Islam kerap menjadi bagian  dari studi kawasan (area studies)  seperti di Jurusan Bahasa dan Budaya Timur Tengah (Department of Middle Eastern Studies) atau di Jurusan Studi-studi Ketimuran  (Department of Near Eastern Studies).[69] Meski begitu, ada juga yang menempatkan kajian Islam dalam satu departemen khusus (Islamic studies).

Perguruan tinggi yang menempatkan Islam sebagai bagian dari studi kawasan dapat ditemukan pada hampir setiap universitas besar di Amerika Serikat seperti Chicago University, Columbia University (New York), Princeton University, dan UCLA (Los Angeles) dengan tekanan spesifikasi dan spesialisasi masing-masing. Di Chicago University, misalnya, studi Islam banyak ditekankan pada bidang pemikiran Islam [terutama terutama sejak Fazlur Rahman mengajar di perguruan tinggi tersebut], bahasa Arab, naskah klasik, dan bahasa-bahasa Islam non-Arab. Di Columbia University, studi Islam lebih banyak diarahkan pada kajian-kajian sejarah Islam dengan Richard W. Bulliet sebagai profesornya. Princeton University lebih dikenal dengan kajian sejarah dan peradaban Islam dengan Bernard Lewis sebagai profesornya. Adapun di UCLA, studi Islam dikategorikan  ke dalam empat kelompok. Pertama, doktrin dan sejarah Islam, termasuk sejarah pemikiran Islam (history of Islamic thought). Kedua, bahasa Arab dan teks-teks  klasik mengenai sejarah, hukum, dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa nonArab Muslim yang dianggap telah ikut melahirkan kebudayaan Islam seperti Turki, Urdu, dan Persia. Keempat, ilmu-ilmu  sosial, sejarah, bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam, sosiologi, antroplogi dan sebagainya.[70] Meski dengan tekanan spesifikasi yang berbeda-beda, studi Islam di beberapa perguruan tinggi Amerika Serikat memiliki kesamaan, yakni pada umumnya penekanan kajian dilakukan terhadap bidang-bidang seperti sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam nonArab, sastra dan ilmu-imu sosial.[71]
Kecenderungan menempatkan studi Islam sebagai bagian dari studi kawasan juga terjadi di beberapa universitas di Australia. Sebagai contoh, dua universitas ternama, Melbourne University dan The Australian National University (ANU), menempatkan kajian Islam di Fakultas Asian Studies. Sementara kajian Islam di Melbourne University disupervisi oleh beberapa ilmuwan seperti M.C. Ricklefs, Arief Budiman, dan Abdullah Saeed, di ANU di bawah supervisi beberapa ilmuwan di antaranya A.H. Johns, J.J. Fox, A.C. Milner, Virginia Hooker, M.B. Hooker, Greg Fealy, dan Harold Crouch. Salah satu kontribusi yang dipersembahkan oleh beberapa universitas Australia terhadap perkembangan studi Islam adalah pengkajian Islam dari sisi historisitasnya. Sebagaimana dikemukakan Virginia Hooker,[72] Wacana studi Islam yang dikembangkan di Australia lebih dititikberatkan kepada historisitas Islam daripada normativitas. Islam yang diteliti di kawasan ini adalah Islam yang mewujud dalam praktik kemanusiaan masyarakat, atau Islam sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemeluknya. Untuk kepentingan ini, wacana Islam yang dijadikan bahan kajian  secara umum, menurutnya, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar. Pertama, wacana Islam yang diambil dari first-hand resources melalui kegiatan fieldwork di kawasan yang diteliti, seperti Indonesia, Malaysia dan seterusnya. Kedua, wacana Islam yang didapatkan dan dikembangkan dari pengalaman keberagamaan atau keislaman masyarakat Muslim di kawasan tertentu, yang kemudian diwujudkan baik dalam bentuk karya-karya tulis mereka, seperti bentuk buku, artikel, maupun praktik-praktik kehidupan mereka.
Sementara itu, perguruan tinggi yang menempatkan studi Islam pada sebuah departeman khusus adalah McGill University, Montreal Canada, melalui lembaga akademis yang disebut dengan Institute of Islamic Studies. Pada mulanya, program studi-studi keislaman merupakan bagian dari studi-studi yang ditawarkan di Department of Religious Studies perguruan tinggi tersebut,[73] namun kemudian beralih menjadi lembaga ilmiah tersendiri bernama seperti tersebut dengan dipelopori oleh Wilfred Cantwell Smith.[74] Pendirian Institute of Islamic Studies di McGill University ini dilakukan untuk kepentingan ilmiah sebagai berikut. Pertama, untuk menekuni kajian budaya dan peradaban Islam dari zaman Nabi Muh}ammad hingga masa kontemporer. Kedua, untuk memahami ajaran Islam dan masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia.[75]  
Atas dasar itu, karakteristik mainstream kajian Islam yang dikembangkan di lembaga tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, kajian Islam di McGill University secara teoritis tidak stabil. Hal ini karena kajian Islam bukan merupakan bagian dari departemen apapun seperti di tempat-tempat lain yang biasanya menjadikan Islam sebagai salah satu obyek kajian ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan lain-lain. Di perguruan tinggi ini, Islam dipelajari dalam rangka belajar Islam, bukan dalam rangka belajar antropologi sebagai misal. Karena tidak didekati dengan satu disiplin ilmu tertentu, maka kajian keislamannya menjadi tidak terdefinisikan secara ketat. Akibatnya, tidak ada teori yang jelas mendasarinya, termasuk paradigma dan metodologi yang baku. Hal itu berbeda jika Islam didekati dengan antropologi, misalnya, sebab Islam bisa ditelaah lewat teori-teori seperti Strukturalisme dan Fungsionalisme yang masing-masing memiliki asumsi, paradigma dan metodologi yang jelas dan baku.  Kedua, kajian Islam di McGill University lebih banyak ditekankan pada sisi ajaran sehingga kajiannya sangat tekstual. Wacana yang banyak menjadi bahan kajian adalah teks-teks kitab, baik yang klasik maupun kontemporer. Akibat yang ditimbulkan oleh penekanan yang lebih pada teks ajaran tersebut adalah seringnya terabaikan konteks yang melingkupi teks, padahal untuk dapat mengkaji konteks perlu di-back-up dengan disiplin ilmu bantu seperti sosiologi, antropologi dan lain-lain, yang justru tidak dipelajari di Institute of Islamic Studies ini.  Untuk bisa memperoleh ilmu bantu tersebut, mahasiswa harus melakukan kegiatan ekstra kurikuler sendiri-sendiri. Hal ini di antaranya karena di studi Islam McGill University tidak dikenal sistem mata kuliah major[76] dan minor[77]. Semua mata kuliah diperlakukan secara sama posisinya.[78]
Sementara itu, di negeri-negeri Islam, penempatan studi Islam secara organisatoris juga sangat variatif. Atho Mudzhar mencatat, di Iran terdapat dua universitas besar yang melakukan kajian Islam, Universitas Teheran dan Universitas  Imam Sadiq, keduanya berada di Teheran. Di Universitas yang disebut pertama, studi Islam diselenggarakan dalam satu fakultas, yakni fakultas Agama (Kulliyat al-Ilahiyat), sedangkan di Universitas yang disebut kedua, diselenggarakan bersama dengan ilmu umum. Selain itu, di India juga terdapat dua universitas besar yang melakukan kajian Islam, Aligarh University dan Jamia Millia Islamia. Di perguruan tinggi pertama, studi Islam dikelompokkan pada dua bagian. Pertama, studi Islam dalam kerangka doktrin ditempatkan di Fakultas Ushuluddin dengan dua jurusan: Madhhab Ahli Sunnah dan Madhhab Shi’ah. Kedua, studi Islam dalam kerangka sejarah dilaksanakan di Fakultas Humaniora Jurusan Islamic Studies, yang kedudukannya sejajar dengan Jurusan Politik, Sejarah, dan lain-lain. Adapun di perguruan tinggi kedua, studi Islam berada di Fakultas Humaniora bersama dengan Arabian Studies, Persian Studies, dan Political Studies.[79]
Di samping itu, variasi pengorganisasian studi Islam juga dialami oleh negara Islam lainnya seperti Syiria, Malaysia, Mesir, dan Indonesia. Di Universitas Damaskus, Syiria, misalnya, studi Islam ditempatkan pada Fakultas Syari’ah (Kulliyat al-Shari’ah) yang meliputi program studi ushuluddin, tasawuf, tafsir dan sebagainya. Di Universitas Islam Internasional, Malaysia, studi Islam secara umum ditampung  di Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Warisan Islam (Faculty of Revealed Knowledge and Human Sciences). Namun demikian, studi Islam yang berkaitan dengan subject tertentu juga dilakukan di fakultas lain, seperti Fakultas Ekonomi dan Manajemen yang menyelenggarakan studi Islam seperti Fiqh Ekonomi, Pemikiran Ekonomi Islam, Sistem Finansial Islam dan sebagainya. Adapun  di Universitas al-Azhar, Mesir, studi Islam diselenggarakan dalam berbagai fakultas seperti Ushuluddin, Hukum, Bahasa Arab, Studi Islam dan Arab, Dakwah, Tarbiyah, serta Fakultas Bahasa dan Terjemah.[80]
Sementara itu, di Indonesia, seperti diketahui, terdapat lembaga khusus yang didirikan untuk mengembangkan keilmuan-keilmuan Islam, yakni berupa Institut Agama Islam (IAI), baik Negeri atau Swasta, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), baik Negeri atau Swasta. Perbedaan keduanya hanya pada wilayah jangkauan kajian; sebuah konsentrasi studi berupa fakultas untuk konteks IAI menjadi jurusan di STAI. Kajian keilmuan Islam yang dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi tersebut pada umumnya meliputi delapan bidang, yakni Ilmu al-Qur’an Hadith, Ilmu Pemikiran dalam Islam, Ilmu Fiqh (Hukum Islam) dan Pranata sosial, Ilmu Sejarah dan Peradaban Islam, Ilmu Bahasa, Ilmu Pendidikan Islam, Ilmu Dakwah Islamiyah, dan Ilmu Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam.[81] Delapan bidang ini dirinci lagi ke dalam enam belas bidang keahlian: (1) Kependidikan Islam, (2) Pendidikan Agama Islam, (3) Pendidikan Bahasa Arab, (4) Ahwal Shakhsiyah,  (5) Mu’amalah, (6) Perbandingan Madhhab dan Hukum, (7) Jinayah Siyasah, (8) Komunikasi dan Penyiaran Islam, (9) Pengembangan Masyarakat Islam, (10) Manajemen Dakwah, (11) Bimbingan dan Penyuluhan Islam, (12) Tafsir Hadith, (13) Akidah Filsafat, (14) Perbandingan Agama, (15) Sejarah dan Peradaban Islam, serta (16) Bahasa dan sastra Arab.[82] Bidang-bidang keilmuan Islam tersebut dikembangkan melalui lima fakultas, yakni Fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, dan Ushuluddin.

D. KECENDERUNGAN BARU STUDI ISLAM DI BARAT
            Sejak dua dekade terakhir ada kecenderungan baru dalam kajian Islam di Barat yang menarik untuk dikaji. Secara umum, kajian Islam di Barat sebelum dekade 70-an diwarnai oleh sikap “curiga” yang tinggi terhadap Islam. Ini terlihat dari karya-karya intelektual para orientalis yang kebanyakan menyudutkan Islam atau memperlihatkan warna anti-Islam. Karya-karya orientalis semacam Goldziher, Montgomery Watt, HAR Gibb, Richard Bell, Arthur Jeffery dan lain-lain memang terkesan negatif terhadap Islam.[83] Namun dua dekade terakhir terlihat arus balik kecenderungan kajian Islam di Barat yang mulai “melunak”. Ada semacam simpati, kalau bukan sikap protagonis, untuk melihat Islam lebih dekat secara akademis. Perspektif akademis inilah yang belakangan mengubah image orientalis terhadap Islam.
            Motivasi untuk mengkaji Islam secara lebih “tanpa prasangka” di kalangan orientalis, terutama muncul dari keinginan universal akan pentingnya sikap dialogis di kalangan agama-agama besar di dunia. Kebutuhan saling memahami inilah yang kemudian menjadi acuan untuk membangun impian sebuah peradaban mondial yang penuh dengan perdamaian, kebersamaan, harmoni, sikap saling percaya yang didasari atas nilai-nilai spiritualitas “makro” kalangan agama-agama Semitis (Abrahamic Religion). Perspektif teologi yang mereka gunakan sebagai mediator kajian analitis terhadap Islam justru menumbuhkan semangat dan pemahaman baru akan urgensi menyatukan akar-akar tradisi ketuhanan sebagaimana telah diajarkan oleh Ibrahim, nenek moyang ketiga agama besar di dunia; Yahudi, Kristen dan Islam (lihat, Perjanjian Lama [The Old Testament], Genesis, ps. 22).
            Perubahan mendasar visi kajian Islam di kalangan orientalis memang bukan tanpa alasan. Salah satu pertimbangan mendasar adalah karena mereka sudah menemui jalan buntu untuk memahami Islam secara antagonis, mengingat konsekuensi logisnya justru kerugian di pihaknya. Serangkaian insiden pemboman dan munculnya terorisme di sejumlah negara Barat yang diduga dimotori oleh kelompok militan Islam telah membuat pihak Barat untuk berpikir dua kali dalam mendekati Islam. Mereka mencoba untuk memakai pendekatan lainnya yang dianggap lebih rasional, akademis, dan tentunya berbuah keuntungan. Mereka juga tak segan-segan mengeluarkan tidak sedikit dari koceknya untuk keperluan sponsorship/fellowship bagi mahasiswa-mahasiswa dari dunia Islam. Tujuannya tidak lain adalah mendekati Islam dari perspektif yang saling menguntungkan. Dengan cara demikian, ada semacam proses simbiosis mutualisme di kalangan dua poros dunia yang sebelumnya saling mengintai; antara Barat dan Islam.
            Sejumlah hipotesis yang penulis kumpulkan rupanya mendukung adanya kecenderungan di atas. Pertama, didirikannya pusat-pusat kajian Islam yang dimotori oleh para orientalis di sejumlah perguruan tinggi di Barat, seperti Amerika, Canada, Inggris, Belanda, Perancis, dan Australia. Pusat-pusat kajian ini sudah barang tentu bertujuan untuk melihat Islam dari dekat; Islam yang dipraktekkan oleh umat Islam sendiri. Mereka mencoba memasuki wilayah-wilayah religius yang sebenarnya agak riskan, dengan cara terlibat sebagai pihak insider. Pada tingkat ini mereka seringkali tampak sebagai defender atas kritik-kritik terhadap Islam yang banyak dilontarkan oleh kalangan outsider, metode yang pernah juga diterapkan oleh kalangan orientalis sebelum dekade 70-an.
Kedua, counter-attack yang dilontarkan oleh kalangan orientalis terhadap para pendahulunya dalam bentuk upaya meluruskan perspektif yang dianggapnya keliru tentang Islam. Contoh paling kongkret adalah ketika Issa J. Boullata, seorang professor Tafsir kenamaan di McGill University, berusaha meluruskan pandangan sejumlah orientalis yang mencoba menyudutkan Islam, al-Qur’an dan Muhammad.[84] Sederetan nama semacam Richard Bell, Montgomery Watt, dan Arthur Jeffery adalah sebagian orientalis yang pernah dibantahnya. Dia pulalah yang berusaha meluruskan sejumlah pandangan minor seperti "Islam adalah agama Muhammad", "Islam adalah bid’ah (heresy)-nya agama Kristen dan Yahudi", "al-Qur’an adalah kata-kata Muhammad", "Muhammad kesurupan (possessed) oleh Jin", dan masih banyak lagi.
Dalam konteks ini, Boullata mengajukan satu postulat menarik bahwa Islam diturunkan oleh Allah (bukan “God”) bukan untuk mengabrogasi (nasikh) agama-agama samawi terdahulu (Yahudi dan Kristen), melainkan Islam justru menguatkan nilai-nilai akidah mereka. Lebih jauh dia menegaskan bahwa peran Muhammad sebagai khatam al-‘Anbiya wa al-Mursalin adalah sebagai “penegas kebenaran yang telah dibawa oleh para Rasul terdahulu”, bukan malah sebaliknya, menghapus.
Dalam konteks ini, ada baiknya penulis kupas sebagian tesis Arthur Jeffery, pakar Islam yang pernah mengajar di berbagai universitas terkemuka di dunia, termasuk Columbia University, AS. Dalam sebuah bukunya, The Qur’an as Scripture (1952), Arthur mengatakan bahwa Islam adalah agama Muhammad.[85] Pertama, karena dilihat dari perkembangan historisnya, bahasa Al-Qur’an –yang disinyalir Arthur sebagai karya literatur Muhammad—mengalami perkembangan seiring dengan pentahapan turunnya al-Qur’an. Bahasa-bahasa al-Qur’an dalam surat-surat Madaniyah, menurutnya, jauh lebih well-developed secara sastera dan filosofis ketimbang surat-surat Makkiyah. Ini, menurutnya, karena bahasa al-Qur’an sendiri mengikuti alur perkembangan dan kematangan pengetahuan Muhammad.
Kedua, sebagaimana yang telah ditulisnya dalam bukunya yang lain, The Foreign Vocabulary of the Qur’an (1938), Arthur menuduh Muhammad banyak “meminjam” kosa kata-kosa kata bahasa Semitik untuk memperkaya khazanah Al-Qur'an yang saat itu, bahkan jauh sebelumnya, banyak dipakai oleh umat-umat lain di sekelilingnya, termasuk bahasa Hebrew (Ibrani), Aramaic, Ethiopic, Persi, dan sebagainya.[86] Pandangan yang terakhir ini dibantah oleh Boullata dengan asumsi bahwa bahasa-bahasa non-Arab (‘Ajam) ketika Muhammad hidup merupakan bahasa komunikasi populer yang digunakan oleh khalayak. Bahkan sulit untuk membedakan mana yang asli bahasa Arab dan mana yang bukan, mengingat bahasa-bahasa ini sudah mengalami asimilasi kultural sedemikian erat. Jadi, dipandang dari perspektif sosio-historis, Boullata menganggap dipakainya kosa kata-kosa kata asing dalam al-Qur’an merupakan suatu hal yang wajar sebagaimana kita menjumpai banyak kosa kata-kosa kata bahasa modern yang sudah saling campur dan tumpang tindih antara bahasa yang satu dan lainnya.
            Perspektif saling memahami antar agama (interfaith understanding) memang tengah dikedepankan oleh para orientalis dalam kajian agama-agama di Barat, terutama kajian Islam. Ini merupakan bagian dari upaya akademis untuk melihat dan kemudian menempatkan Islam secara proporsional sebagai obyek yang bukan lagi “dicurigai”, tapi dihormati sebagai agama monoteistik yang punya akar teologis yang sama dengan agama mereka. Diantara sebagian motivasinya jelas, seperti diungkapkan di atas, untuk memperlihatkan iktikad baik Barat terhadap dunia Islam bahwa Islam mendapat tempat di hati mereka. Selain itu juga untuk mencegah dampak progresifisme dan ofensifisme Islam yang kian hari kian dirasakan mengkhawatirkan kalangan Barat, sebab sinyalemen ini setidaknya pernah dilontarkan oleh sejumlah futurolog semacam Alvin Toffler (dalam Future Shock dan Third Wave-nya), Samuel Huntington (The Clash of Civilization), John Esposito (Islamic Threat: Myth or Reality), Graham E. Fuller (A Sense of Siege), dan seterusnya.
            Lebih dari sekedar alasan-alasan politik di atas adalah munculnya motivasi filosofis-teologis yang ditandai dengan lahirnya semangat perennial yang tumbuh di kalangan orientalis untuk mencari apa yang disebut "benang merah teologis" di balik agama-agama formal di dunia.[87] Semangat perennial inilah yang ikut melandasi kajian Islam di Barat akhir-akhir ini. Semangat filosofis ini meniscayakan adanya kebenaran abadi yang bersifat universal, humanis, dan inklusif di kalangan agama-agama tersebut. Artinya, claim of truth tidak lagi sebagai barometer dalam kajian agama-agama, melainkan yang lebih ditekankan di sini adalah pencarian "pesan besar" monoteistik yang menjadi karakteristik menonjol dari agama-agama Abrahamic (Agama Samawi). Pesan besar itu dikaji secara intens oleh kalangan orientalis dengan dibekali semangat saling respek guna menggapai common-platform (atau kalimah sawa', dalam bahasa Al-Qur'an) di balik agama-agama itu.[88]
            Dalam konteks pemahaman mereka terhadap kitab suci (holy scripture), kajian Islam secara akademis juga terlihat dari perbedaan cara pandang mereka terhadap al-Qur’an dari para pendahulunya. Dulu, kalangan orientalis seangkatan Goldziher, Arthur, Richard Bell, memang melihat al-Qur’an sebagai obyek “pembantaian” terhadap Islam dengan mencari-cari kesalahannya. Sekarang, perspektif kaum orientalis cenderung berubah menjadi lebih konstruktif dan positif, kalau bukan berbalik 180 derajat. Mereka memandang al-Qur’an sebagai holy scripture yang tidak berbeda dari kitab-kitab suci lainnya, seperti Perjanjian Lama (Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil). Demi menjunjung tinggi nilai-nilai sakral dan obyektitas religius, mereka pun lantas menerapkan sejumlah metodologi penelitian modern terhadap al-Qur’an, semacam filologi, semantik, alegori hingga filsafat. Metode-metode akademis semacam inilah yang belakangan membantu melahirkan sikap respek mereka terhadap Islam. Di antara contoh nyata adanya perubahan sikap akademis ini bisa dilihat dari munculnya kara-karya kesarjanaan orientalis yang berisi studi keIslaman dari berbagai macam bidang kajiannya, seperti karya Stefan Wild (Ed.) dalam Al-Qur’an as Scripture (1996), Frederick M. Denny dengan Introduction to Islam-nya (1995), di bidang teologi muncul Wilfred Cantwell Smith dengan Towards a World Theology-nya (1981), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bagaikan gayung bersambut, sikap “bersahabat” inipun diterima oleh mahasiswa-mahasiswa Islam di berbagai perguruan tinggi di Barat sebagai respon akademis yang positif. Para mahasiswa Islam yang tengah belajar di Barat justru tak habis pikir ketika sejumlah profesor orientalis mulai merasa “gerah” terhadap penilaian-penilaian minor teradap Islam. "What’s wrong with Islam?", kata mereka. Ini artinya bahwa "kecurigaan" kita pada kalangan orientalis dewasa ini sudah tidak beralasan lagi. Sebab pada kenyataannya sebagian dari mereka sudah memiliki citra yang baik dan obyektif tentang Islam jauh sebelum orientalisme lahir (Lihat Maxim Rodinson, 1987). Hanya saja, karena terdapatnya rivalitas ideologis antara Islam dan non-Islam, terutama Kristen, citra yang baik dan obyektif itu sengaja ditindas oleh kalangan (orientalis) tertentu lainnya sehingga tidak menyebar ke masyarakat luas. Dengan demikian, dalam beberapa hal, para orientalis justru bisa tampil lebih “konservatif” ketimbang umat Islam secara umum. Trend akademis inilah yang belakangan tengah mewarnai suasana kajian Islam di Barat secara umum. Harapan kita, mudah-mudahan bukan sekedar kamunflase akademis belaka.

E. INSTITUSIONALISASI STUDI ISLAM DI INDONESIA
            Kajian Islam di Indonesia bukanlah tumbuh dan berkembang dari realita historis yang kosong; ia hadir secara kronologis dalam konteks ruang dan waktu yang jelas, sebagai respon sejarah atas sejumlah persoalan keagamaan yang dialami umat Islam di negeri ini. Secara substantif, kajian Islam sebenarnya sudah dimulai semenjak agama ini datang ke Indonesia pada abad ke 13 dan mencapai momentum spiritualnya pada abad ke 17. Kajian keislaman di masa-masa ini diwarnai oleh proses transformasi nilai keagamaan secara besar-besaran yang dilakukan oleh para pemimpin sufi dan 'ulama', terutama di lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren.[89] Proses transformasi keislaman ini berlangsung hingga Indonesia memproklamasikan hari kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, saat mana bangsa Indonesia dituntut untuk mulai memikirkan dan membenahi proses pelembagaan di segala sektor kehidupan bangsa, tidak terkecuali sektor kehidupan keagamaan sebagai elemen penting karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius.
            Proses transformasi keislaman pada masa-masa ini tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama dan tokoh-tokoh pemimpin gerakan sufi karena diakui terdapat keterkaitan historis yang sangat ekstensif antara umat Islam di Indonesia dengan para ulama di jazirah Arab seperti Makkah dan Madinah, belakangan Kairo.[90] Hubungan keagamaan yang sudah sedemikian established di antara kedua komunitas Muslim ini pada gilirannya menciptakan sebuah iklim intellectual exchanges yang relatif dinamis dan dialektis antar mereka. Daratan jazirah Arab selanjutnya dikenal sebagai oase subur yang memproduksi karya-karya intelektual keislaman yang dikonsumsi oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Proses transmisi epistemologis ini berlangsung melalui beragam cara, baik langsung maupun tidak langsung, mulai dari diseminasi hasil karya-karya intelektual ulama Timur Tengah di banyak lembaga pesantren maupun pengiriman generasi muda Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya ke negara-negara di wilayah ini.[91]
            Sekalipun Indonesia memiliki kedekatan hubungan intelekual dengan tradisi keagamaan di Arab, terutama Makkah dan Madinah, itu tidak berarti bahwa Islam Indonesia bisa dikatakan sebagai sekadar replika Islam Arab. Proses transmisi keislaman dari tradisi intelektual Arab ke tradisi intelektual Indonesia berlangsung dalam pola yang sangat dinamis, unik, dan kompleks, disesuaikan dengan kosmologi keagamaan domestik sehingga wajah Islam yang berkembang di Indonesia dalam banyak hal bisa berbeda dari wajah Islam "asli" Timur Tengah. Sekalipun demikian, Islam Indonesia tidak serta merta dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral Islam) seperti yang diklaim oleh Geertz.[92] Pencitraan terhadap Islam Indonesia yang reduktif dan distortif ini bahkan telah dimentahkan oleh Woodward,[93] Ricklefs,[94] dan Hefner[95] yang tetap memandang Islam di negeri ini sebagai varian keagamaan yang tidak tercerabut dari akar-akar --meminjam istilah Fazlur Rahman-- "Islam normatif."[96] Persoalan wajah Islam Indonesia yang berbeda dari wajah Islam Timur Tengah dikatakan mereka hanya pada dataran kultural historis semata akibat proses adaptasi, asimilasi dan akulturasi dalam jangka waktu yang relatif panjang, bukan pada dataran substantif doktrinalnya.
            Sebagai bukti bahwa proses transmisi keislaman di Indonesia berlangsung secara unik dan kompleks bisa dijustifikasi melalui proses belajar mengajar yang berlangsung di lembaga pesantren yang mengambil bentuk dan modus operandi cukup unik.[97] Di daratan Arab sendiri tidak ditemui padanan istilah pesantren yang secara terminologis berarti tempat berlangsungnya proses belajar mengajar antara kyai dan santri di sebuah asrama bersama antara mereka. Istilah santri sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Jawa kuno (Pallawa), cantrik, yang berarti murid atau siswa yang sedang menuntut ilmu-ilmu kerohanian. Pengadopsian khasanah budaya domestik ini menjadi legitimasi betapa Islam Indonesia sarat dengan muatan-muatan material nonIslam yang tidak bisa dijumpai di negara asalnya, Arab. Keunikan di tingkat budaya ini menjadi penguat proses pelembagaan kajian keislaman di wilayah nonArab seperti Indonesia.
Keunikan lain yang bisa dijumpai dari fenomena pesantren adalah digunakannya bahasa "Arab pegon" (Arab Jawi), yakni gabungan antara bahasa Jawa yang ditulis dengan karakter huruf Arab sebagai sarana memahami sejumlah teks-teks kitab kuning yang berbahasa Arab. Bahkan bahasa Arab pegon ini tidak saja digunakan di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, tetapi juga digunakan di dunia Melayu (kini Malaysia, Pattani, dan Brunei Darussalam).[98] Tidak seperti di belahan dunia Islam lainnya, terutama di Timur Tengah yang tetap menggunakan bahasa Arab sebagai sarana pengkajian keislaman, tradisi intelektual di Jawa berkembang dalam bahasanya sendiri, sementara tidak meninggalkan nuansa bahasa Arab sebagai bahasa penting bagi kajian keislaman secara umum.
Proses pelembagaan kajian Islam dalam pesantren terus berlangsung seiring dengan terjadinya proses transformasi dan modernisasi lembaga tradisional ini.[99] Proses transformasi dan modernisasi ini terjadi ketika kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan sekolah kepada masyarakat pribumi yang dampaknya dirasakan oleh pesantren melalui penyelenggaraan sistem pembelajaran kelas. Sebagai akibat dari penyelenggaraan pembelajaran model ini, maka berdirilah sekolah-sekolah (madrasah) di lingkungan pesantren yang hanya mengajarkan materi pendidikan agama klasik yang meliputi fiqh, tasawuf, etika Islam, dan lain sebagainya. Bahkan jauh setelah masa kemerdekaan, banyak pesantren yang juga memberikan pengajaran materi sekuler seperti ilmu ilmu bumi (geografi), ilmu hitung (matematika), dan ilmu alam (fisika dan bilogi), serta ilmu bahasa (Inggris). Pola pengajaran yang sekuler ini biasanya berlangsung di sejumlah pesantren yang mengadopsi metode pengajaran modern seperti Gontor dan Assalam di Solo. Proses transformasi dan modernisasi pesantren terutama sepanjang dua dekade terakhir ini mengindikasikan adanya sensibilitas lembaga ini terhadap perubahan zaman yang pada gilirannya turut membentuk tradisi kajian Islam di Indonesia secara keseluruhan.[100]
Salah satu implikasi mendasar adanya proses transformasi lembaga pendidikan ini menyebabkan sebagian elemen masyarakat Muslim menginginkan kehadiran lembaga tinggi bagi pengkajian dan pengajaran Islam (Islamic higher learning institution). Salah satu respon terhadap keinginan semacam ini disuarakan oleh Dr. Satiman Wiryosandjojo, seorang pemimpin Masjumi dan belakangan menjadi perdana menteri, akan pentingnya mendirikan lembaga pengkajian Islam dimaksud melalui harian Pedoman Masjarakat pada tahun 1938.[101] Hal ini ditujukan agar status Muslim meningkat di hadapan koloni Belanda. Menyambut gagasan tersebut, pada bulan April 1945, empat bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, sekelompok pemimpin Muslim berkumpul di Jakarta guna membentuk sebuah komisi persiapan yang dipimpin oleh Moh. Hatta yang selanjutnya menjadi wakil presiden RI pertama. Tugas komisi ini adalah mempersiapkan pembentukan lembaga tinggi Islam yang diwujudkan pada tanggal 8 Juli 1945 dengan berdirinya Sekolah Tinggi Islam.[102]
             Setelah kemerdekaan RI, seiring dengan berpindahnya ibukota akibat revolusi dari Jakarta ke Yogyakarta, maka keberadaan Sekolah Tinggi Islam tersebut mengikuti gerak para aktivis republik. Pada tanggal 10 April 1946, sebuah perguruan Islam berdiri di Yogyakarta dan kemudian beralih status menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Kajian Islam, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Sebagai penghargaan pemerintah atas perjuangan umat Islam dalam memperoleh kemerdekaan RI, maka pada tahun 1951 pemerintah meresmikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang diambilkan dari fakultas Kajian Islam UII yang memiliki empat fakultas: Fakultas Dakwah (belakangan menjadi Fakultas Dakwah dan Ushuluddin), Fakultas Qada' (belakangan menjadi Fakultas Syari'ah), dan Fakultas Tarbiyah. Kurang lebih delapan tahun kemudian Fakultas Adab ditambahkan melengkapi keempat fakultas yang ada setelah ia diintegrasikan dengan ADIA di Jakarta, sebuah akademi yang didesain untuk mempersiapkan calon-calon tenaga kepegawaian di Departemen Agama RI.[103]
            Integrasi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam di atas melahirkan sebuah lembaga pengkajian Islam yang kemudian disebut sebagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan lima fakultas: Dakwah, Ushuluddin, Shari'ah, Tarbiyyah, dan Adab. Sementara IAIN Yogyakarta tetap berdiri secara independen, lembaga serupa di Jakarta juga berdiri sebagai lembaga independen. Keduanya merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam tertua di Indonesia.[104] Belakangan ini, muncul ide di kalangan pembuat kebijakan pendidikan tinggi Islam untuk mengembalikan semangat kajian Islam yang lebih komprehensif lagi; disiplin keilmuan yang dicakup IAIN tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama semata, namun juga ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi, komunikasi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Ke depan, IAIN akan dikembangkan dalam bentuk Universitas Islam Negeri (UIN) yang membawahi bidang kajian keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.
            Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari oleh kesadaran futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan zaman yang begitu cepat. Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud kesadaran umat Islam yang tidak mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler, sebagai dampak historis kebijakan kolonialisme Belanda. Namun terlepas dari nilai tambah proses transformasi semacam ini, fenomena pengembangan IAIN menjadi UIN masih debatable dan menyimpan banyak kontroversi. Kontroversi itu antara lain muncul dari perspektif epistemologis yang mempertanyakan apakah benar selama ini Islam mengikuti dualisme kajian keislaman sebagaimana yang banyak diperdebatkan. Sebenarnya langkah rekonsiliasi epistemologis tersebut tidak harus dilakukan dengan cara mengembangkan IAIN menjadi UIN yang membawahi displin ilmu agama maupun sekuler. Sebab universitas-universitas negeri yang selama ini dianggap sekuler pun pada hakikatnya merupakan bagian dari umat Islam. Bukankah dengan dibukanya jurusan-jurusan umum di IAIN justru akan semakin merunyamkan sistem penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia? Bukankah kehadiran keduanya menjadi saling overlapping antara yang satu dengan lainnya?
            Terlepas dari persoalan kontroversi transformasi IAIN menjadi UIN, hal menarik yang perlu digarisbawahi di kalangan IAIN adalah kecenderungan kajian Islam yang berlangsung di dalamnya. Sejak berdirinya, lembaga pendidikan tinggi Islam ini membawa dua tugas utama: sebagai lembaga keagamaan dan sebagai lembaga keilmuan. Sebagai sentral pengkajian keagamaan, IAIN membawa misi religius untuk memberikan pencerahan masyarakat Muslim dalam memahami ajaran Islam (lembaga dakwah). Sedangkan sebagai lembaga keilmuan, IAIN diharapkan menjadi avant garde dalam mengkaji Islam sebagai sebuah disiplin akademis, bukan sebagai doktrin agama.[105] Kedua fungsi ini tidak selamanya berjalan secara harmonis dan berseiringan, bahkan tidak jarang ditemukan konflik di antara keduanya. Di satu sisi, sebagai sebuah lembaga akademis, IAIN harus mengikuti rules of the game kehidupan akademis yang memperlakukan kajian terhadap agama dengan mengunakan pendekatan-pendekatan ilmiah dan akademis yang hasilnya tidak jarang bertentangan dengan aspek normatif Islam. Di sisi lain, IAIN diharapkan berfungsi sebagai lembaga keagamaan yang cenderung menafikan prinsip-prinsip akademis murni.
            Dalam sejarah perkembangannya, IAIN pernah didominasi oleh pendekatan kajian normatif doktrinal yang lebih mengedepankan dimensi legal formal Islam (shari'ah) dan teologi (usul al-din). Hal yang demikian terjadi sebagai implikasi logis dari terlalu mengedepannya karakteristik IAIN sebagai lembaga keagamaan. Hasil dari pendekatan ini adalah munculnya kecenderungan kajian Islam yang sangat skriptural, mengacu kepada praktik-praktik ibadah dan akidah dalam Islam. Hal ini, menurut Azra, disebabkan oleh dominasi pendekatan normatif-idealistik yang dikembangkan di sejumlah perguruan tinggi Islam Timur Tengah, utamanya al-Azhar Kairo.[106] Bahkan yang lebih parah lagi, IAIN cenderung memfokuskan diri pada satu aliran pemikiran (school of thought) atau madhhab dalam Islam. Sementara madhhab pemikiran Islam yang lain tidak dipelajari karena dianggap akan menyesatkan bangunan keimanan mereka.
            Berkenaan dengan pelembagaan tradisi kajian Islam di IAIN yang cenderung normatif teologis itu, sejumlah kritik menarik telah dilontarkan oleh Sudirman Tebba. Menurutnya, IAIN telah gagal mengembangkan tradisi keilmuan klasik yang fondasinya telah diletakkan oleh para ulama. Kegagalan tersebut tidak hanya pada pengembangan metode kajian Islam di bidang hukum Islam saja, tetapi juga di bidang teologi. Misalnya di bidang fiqh, landasan berpikir yang telah diletakkan oleh para ulama tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat IAIN, akan tetapi yang dipelajari oleh mereka justru produk hukumnya, bukan metode ijtihadnya. Akibatnya, IAIN tidak mampu menghadirkan citra Islam yang dinamis, melainkan citra stagnan. Sementara itu di bidang teologi, IAIN juga hanya berkutat pada kajian historis pemikiran para ulama klasik seperti pemikiran Mu'tazilah, Ash'ariyah dan Maturidiyah yang terlepas sama sekali dari analisis konteks realita sosial yang mengitarinya.[107] Sebagai akibatnya, kajian tersebut lebih merupakan refleksi romantisisme masyarakat IAIN yang mendambakan masa kejayaan umat Islam seperti terjadi pada abad pertengahan.
            Namun demikian, kecenderungan kajian Islam yang demikian normatif teologis tersebut tidak berlangsung selamanya, sebab kecenderungan baru muncul sebagai respons IAIN terhadap fenomena pembangunan dan perubahan zaman. Kecenderungan kajian Islam yang terjadi di awal dekade 1970-an ini lebih mengarah pada kajian Islam yang terkait dengan konteksnya, bersifat sosiokultural yang menyejarah. Program pembangunan nasional yang mengambil modernisasi sebagai tujuannya cenderung menggiring kaum intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution[108] dan Mukti Ali untuk mereorientasi arah kajian Islam yang berlangsung di IAIN. (Sekadar untuk diketahui, ketiga orang tersebut juga produk dari pendidikan Barat). Kecenderungan perubahan pendekatan ini bahkan semakin diperlancar dengan dikirimkannya para intelektual muda Muslim ke Barat untuk meneruskan jenjang studinya.
            Hasil paling mendasar dari upaya reorientasi visi kajian Islam di lembaga tinggi Islam ini adalah heterogenitas pendekatan terhadap Islam; Islam tidak hanya dilihat dari satu pendekatan atau madhhab pemikiran saja, melainkan juga berbagai madhhab pemikiran lain yang belum pernah diajarkan di IAIN. Pendekatan kajian Islam semacam ini turut memberikan kontribusi terhadap diterapkannya metode pengkajian Islam yang lebih empiris dan akademis, tanpa menegasikan kenyataan Islam sebagai sistem keyakinan dan agama. Sebagai akibatnya, mahasiswa cenderung lebih terbuka dan toleran terhadap upaya pemahaman agama yang berbeda.[109] Kondisi ini pada gilirannya mendorong lahirnya pendekatan non-madhhabi dalam kajian Islam di Indonesia, seiring dengan semakin memudarnya loyalitas dan fanatisme buta umat Islam terhadap madhhab tertentu.[110]
            Dimensi lain dari fenomena perubahan pendekatan dalam kajian Islam di IAIN adalah semakin sadarnya umat Islam terhadap realitas sosiokultural mereka. Kesadaran semacam ini bahkan membawa pada implikasi radikal terhadap redefinisi relasi agama-manusia; apakah manusia didedikasikan untuk agama ataukah sebaliknya, agama untuk manusia. Pendekatan normatif jelas mengandaikan relasi yang menempatkan agama sebagai target pengabdian manusia. Sementara itu, pendekatan kontekstual empiris mengandaikan relasi yang menempatkan agama sebagai sarana untuk mengatur kehidupan manusia di dunia, bukan untuk kepentingan-kepentingan ukhrawi manusia semata. Jadi agama sebagai way of life, mediasi yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan rida Allah. Bukan agama sebagai tujuan akhir seperti yang diasumsikan dalam pendekatan normatif teologis.
            Perubahan pendekatan kajian Islam di IAIN juga membawa konsekuensi perubahan pendekatan dalam memandang realitas agama lain selain Islam. Sebelumnya, pendekatan dalam mengkaji agama-agama lain cenderung menerapkan pendekatan apologetik untuk menjustifikasi kebenaran Islam atas agama-agama lain. Sementara itu, komunitas non-Islam dianggap sebagai orang kafir yang halal darahnya untuk dibunuh. Terutama sejak Mukti Ali kembali dari Canada setelah menyelesaikan program MA-nya, pendekatan dalam kajian perbandingan agama berubah secara radikal. Paradigma truth claim yang dianut sejak lama oleh IAIN secara bertahap mengalami pergeseran dan digantikan oleh paradigma berpikir yang lebih toleran, inklusif, dan pluralistik di mana kehadiran agama-agama yang berbeda di muka bumi ini dianggap sebagai hukum alam (sunnah Allah) yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Kehadiran mereka tidak boleh diperangi sepanjang tidak membuka front konfrontasi dengan umat Islam, dan di antara mereka terikat hukum mu'a>malah yang saling mengikat. Perubahan paradigma ini semakin diperkokoh dalam tatanan khidupan beragama secara nasional ketika Mukti Ali diangkat sebagai Menteri Agama RI.[111]
            Sebuah pertanyaan mendasar telah dimunculkan oleh Atho Mudzhar berkenaan dengan kajian Islam di IAIN. Pertama, dengan adanya transformasi besar-besaran dalam bidang kajian Islam di lembaga ini, harus dirumuskan secara tegas mana kajian ilmu yang termasuk inti dan mana yang termasuk ilmu-ilmu bantu? Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat transformasi kajian Islam di IAIN yang semakin diperkaya dengan berbagai pendekatan dan perspektif "sekuler" itu bukan bertujuan untuk mengerdilkan kajian Islam itu sendiri, melainkan agar kajian Islam bisa ditopang oleh bidang kajian yang lebih membumi, menyejarah dan empiris. Dalam perspektif ini, fiqh, misalnya, harus diklasifikasikan sebagai ilmu inti atau ilmu bantu. Demikian pula sosiologi ataupun antropologi, termasuk ilmu inti atau ilmu bantu? Ini semua dalam rangka mendudukkan persoalan secara proporsional, jangan sampai ada gejala overlapping antara satu dan lainnya.[112] Kedua, Bagaimana cara mendekati Islam normatif yang bersifat dogmatis teologis itu? Sebagai konsekuensi logis dari pertanyaan ini, perlu dimunculkan studi antar dan interdisipliner untuk memahami fenomena Islam ideal ke dalam kerangka historisnya. Ketiga, berpijak pada serangkaian pertanyaan di atas, sudah waktunya bagi IAIN untuk membuka program studi-program studi (prodi) umum untuk membangun pemahaman Islam yang lebih komprehensif seperti yang telah dilakukan di al-Azhar dan sejumlah universitas lain di dunia Islam.[113]
Namun demikian, kondisi sosiokultural bagi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam dimaksud nampaknya tidaklah sama. Barangkali setting Mesir agak bersahabat bagi dibukanya full-fledged university seperti al-Azhar, sementara Indonesia agak kompleks. Sekalipun demikian, IAIN tetap harus mengevaluasi ulang misi orisinalnya sebagai pijakan disusunnya ilmu inti (core subjects) dan ilmu bantu (auxiliary subjects). Persoalannya, bagaimana melakukan itu semua?


*Ditulis dan dikutip dari berbagai sumber

Daftar  Rujukan:

[1] Al-Imam Malik, al-Muwatta’, Cet. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 206.
[2] Lihat Annemarie Schimmel, Islam; An Introduction, (Albany: State University of  New York, 1992), h. 7.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, cet. I, (Bandung, Mizan, 1992), h. 245.
[4] Albert Hourani, A History of the Arab People, (New York: Warner Books, 1992), h. 10.
[5] Ira M. Lapidus, A history of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), h. 13-14.
[6] Komaruddin Hidayat, “Pluralitas Agama dalam Masyarakat Madani,” dalam Problema Komunikasi antar Umat Beragama, ed. Mursyid Ali, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI, 2000), h. 7-8.
[7] M. Amien Abdullah, “Islam Indonesia lebih Pluralistik dan Demokratis,” dalam Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, (Tahun 1995), h. 74-75.
[8] Bahtiar Effendy, ”Islam  and Democracy; In Search of a Viable Synthesis,” (Kumpulan Makalah Seminar Dialog Internasional: Islam dan Barat dalam Era Globalisasi, Jakarta, 22-23 Maret 1995, h. 53).
[9] Mengenai problematika hubungan antar umat beragama, khususnya Islam dan Hindu,  misalnya, lihat Thoha Hamim, “Problematika Hubungan antar Umat Beragama; Tinjauan tentang Hubungan Antagonistik Hindu-Muslim dan Implikasinya terhadap Rendahnya Mobilitas Minoritas Muslim di India,” dalam Akademika, vol. 05, No. 1, (September 1999), h. 1-14.
[10] Kelompok keagamaan sempalan dimaksudkan sebagai sekelompok orang yang mengorganisisr diri atas nama agama yang dianutnya dengan memiliki aktifitas, identitas, bentuk gerakan, dan karakter kegamaan yang khas, berbeda dengan kelompok yang lazim, baik simbol-simbol maupun doktrin pemahamannya. Kelompok ini kecenderungannya minoritas dan terkesan militan, bahkan radikal, sehingga kerap diidentifikasi sebagai kelompok fundamentalis radikal. Lihat Mohammad Daud Ali, “Fenomena Sempalan Keagamaan di PTU: Sebuah Tantangan bagi Pendidikan Agama Islam,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi; Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, ed. Fuaduddin & Cik Hasan Bisri, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 250-251; Agus Afandi, “Melihat Sisi Kelompok Keagamaan di Perguruan Tinggi Umum,” Paramedia, Vol. 1, No. 2, (Juli 2000), h. 114.
[11] Azyumardi Azra, “Kelompok “Sempalan” di Kalangan Mahasiswa PTU: Anatomi Sosio-Historis,” dalam Dinamika Pemikiran Islam, ed. Fuaduddin & Cik Hasan Bisri, h. 233-235.
[12] Abdullah, “Islam Indonesia lebih Pluralistik,” h. 70.
[13] Mengenai wacana seputar tragedi Maluku, mulai dari latar belakang, penyebab hingga solusi yang ditawarkan, lihat Tamrin Amal Tomagola, “Tragedi Maluku Utara, “ dalam Konflik Sosial; Demokrasi dan Rekonsiliasi menurut Perspektif Agama-agama, ed. Mursyid Ali, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI, 2000), h. 13-26.
[14] Rosita S. Noer, “Kerusuhan Sosial: Masalah SARA, Hubungan, Struktur dan Jarak Sosial,” dalam Konflik Sosial, ed. Mursyid Ali , h. 2-3.
[15] Penjelasan secara panjang lebar mengenai hal tersebut lihat Amal Tomagola, “Tragedi Maluku Utara,” h. 18-20.
[16] Thoha Hamim, “Islam  dan Hubungan antar Umat Beragama; Tinjauan tentang Pendekatan Kultural dan Tekstual dalam Perspektif Tragedi Maluku,” Akademika, Vol. 06, No. 2, (Maret 2000), h. 115-126.
[17] Abdullah, “Islam Indonesia lebih Pluralistik,” h. 72.
[18] M. Amin Abdullah, “ Pengantar,” dalam Metodologi Studi Agama, ed. Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 3; idem, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 19.
[19] Lihat Maksun Faiz, “Mewaspadai Gejala Radikalisme Agama,” Jawa Pos, (22 Januari 2001), h. 4.
[20] Ignas Kleden, “Epsitemologi Kekerasan di Indonesia,” Kompas, Edisi Khusus, (20 Desember 2000), h. 42.
[21] Faiz, “Mewaspadai Gejala Radikalisme,” h. 4.
[22] Gerakan agama kultus merupakan bentuk gerakan spiritual (dan keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, dan kurang toleran kepada kelompok lain. Gerakan ini biasanya berpusat pada ketokohan seorang pribadi yang menarik, berdaya pikat retorik yang memukau, sederhana namun dengan penuh keteguhan serta menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan. Lihat Tanwir Y. Mukawi, “Fenomena Sempalan di PTU: Sebuah Tantangan bagi Pendidikan Agama Islam,” dalam Dinamika Pemikiran Islam, ed. Fuaduddin & Cik Hasan Bisri, h. 242.
[23] Lihat Darmanto, et.al., “Spiritualisme Indonesia; Kritik dan Pengakuan di Awal Abad,” Balairung, Edisi 32/tahun XV, (2000), h. 13.
[24] Hidayat, “Pluralitas Agama,” h. 10.
[25] Hidayat, “Pluralitas Agama,” h. 10.
[26] Darmanto, et.al., “Spiritualisme Indonesia,” h. 14.
[27] Darmanto, et.al., “Spiritualisme Indonesia,” h. 15.
[28] Abdullah, “ Pengantar,” h. 2.
[29] Ibid., h. 4.
[30] Lihat wawancara Komaruddin Hidayat dengan TVRI dalam acara Talkshow “Wacana,” TVRI, 15 Juni 2000, jam 22.30-22.45 WIB.  
[31] Abdullah, “Pengantar,” h. 2.
[32] Saiful Muzani, “Pembangunan dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara,” dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, ed. Saiful Muzani, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. 6-8.
[33] M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Pembangunan, Agenda Penelitian Sosial di Indonesia,” dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, ed. Saiful Muzani, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. 273-274.
[34] Lihat Mukawi, “Fenomena Sempalan,” h. 243.
[35] Penyamaan pengertian agama dan keagamaan di atas di antaranya dilakukan oleh Mukti Ali. Lihat Mukti Ali, “Sambutan Menteri Agama RI pada Pembukaan Latihan Penelitian Agama tanggal 1 November 1976,” seperti dikutip M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 35.
[36] Mengenai teori yang membahas diskursus agama, baik dalam perspektif tradisional maupun modern, lihat Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (New York & Oxford: Oxford University Press, 1996).
[37] Untuk mengetahui masalah ini,  lihat H. Mal An Abdullah, “Tipe-tipe Penelitian Agama: Ke Arah Pembagian Kerja antara Unit dalam IAIN Raden Fatah,” Intizar, No. 12, (Tahun 1999), hal. 1; Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, hal. 35-36. Pendapat Mudzhar ini didasarkan pada pernyataan Middleton tentang perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan: “… and the two (that is religion and religious system) are not the same. Religion maybe studied from many view points: theological, historical, comparative, psychological –but the religious system is a sociological system, an aspect of social organisation, and canm be studied properly only if that characteris be accepted as s starting point.” Lihat ibid.  
[38] Zulkifli, “Metodologi Penelitian Agama Islam: Perspektif Ilmu-ilmu Sosial,” Intizar, No. 12, (Tahun 1999), h. 37.
[39] Pernyataan tersebut berbeda dengan pernyataan Zulkifli bahwa penelitian ini pada umumnya dilakukan oleh pemeluk agama itu sendiri dengan tujuan mencari kebenaran agama. Lihat Zulkifli, “Metodologi Penelitian Agama,” h. 37.
[40] Zulkifli, “Metodologi Penelitian Agama,” h. 37.
[41] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 35-36.
[42] M. Ridwan, “Penelitian Agama dengan Teori Fungsional,” Madaniya, Nomor 3, volume III, (Juli-Desember 1998), h. 89.
[43] A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), h. 49.
[44] Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama,” h. 49.
[45] Taufik Abdullah, “Kata Pengantar,” dalam Metodologi Penelitian Agama, h. xi.
[46] Schimmel, Islam, h. 29.
[47] Fazlur Rahman, Islam, cet. II, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), h. 33.
[48] Rahman, Islam, h. 30-31.
[49] Lihat Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No. 1, (April 2000), h. 2.
[50] Muzani, “Pembangunan dan Kebangkitan,” h. 5.
[51] Sebagai bandingan, lihat Nourouzzaman Shiddiqi, “Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman,” dalam Metodologi Penelitian, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, hal. 71-72.
[52] Lihat Amin Abdullah, “ Pengantar,” h. 2.
[53] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 181.
[54] Hidayat, “Pluralitas Agama,” h. 7-8.
[55] Ali, “Metodologi Ilmu Agama,” h. 47.
[56] Lihat Allan W. Eister, “Introduction,”  dalam Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, (New York: John Wiley & Sons, 1974), h. 5-6.
[57] Ali, “Metodologi Ilmu Agama,” h. 47.
[58] Ali, “Metodologi Ilmu Agama,” h. 48.
[59] Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, (Mesir: Dar al-`Urubah, 1960), 11, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 72.
[60] Abdurrahman Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, (Tahun 1999), h. 15.
[61] Ruswan Thoyib, “Development of Muslim Educational System in the Classical Period (600-1000 A.D.): An Overview,” dalam The Dynamics of Islamic Civilization, ed. Salahuddin Kafrawi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press dan Forum Komunikasi Alumni Program pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia, 1998), h. 53.
[62] Lihat Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986), 71-75, seperti dikutip oleh Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 9-10.
[63] Abd. Hakim dan Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 10.
[64] Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama,” h. 20-21.
[65] Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama,” h. 15.
[66] Lihat Robert N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief, (New York: Harper & Row Puiblishers, 1970), h. ix.
[67] A. Qodri A. Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo, Edisi 13, (Tahun 1999), 9.
[68] Lihat John. L. Esposito, “Islamic Studies,”  The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, (Oxford & New York: Oxford University Press, 1995), h. 332.
[69] Faisal Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,”  dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997), h. 35.
[70] Ismail, “Studi Islam di Barat,” hal. 35-36; Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 24-25.
[71] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, 25; Abd. Hakim dan Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 12.
[72] Wawancara dengan Virginia Matheson Hooker, program convenor studi pascasarjana ANU, pada tanggal 5 Agustus 2002, jam 12.00-12.30 pm.
[73] Ismail, “Studi Islam di Barat,” h. 37.
[74] Iskandar Arnel, “Pesantren Ala McGill,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, h. 45.
[75] Arnel, “Pesantren Ala McGill,” h. 45.
[76] Yang disebut mata kuliah major adalah mata kuliah yang akan menentukan spesialisasi seorang mahasiswa.
[77] Mata kuliah minor maksudnya adalah mata kuliah yang diadakan untuk mendukung spesialisasi seseorang.
[78] Fu’ad Jabali, “Mengapa ke Barat?,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, h. 28-30.
[79] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 27.
[80] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 27-28.
[81] Lihat, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998), hal. 2-3;  Mastuhu & Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998),  vii; Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun   XXII, (Januari-April 1999), h. 9-10.
[82] Lihat Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana,  Vol 2, No. 2, (Oktober 2000), h. i.
[83] Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h. 238.
[84] Berdasarkan pengalaman langsung terlibat dalam sebuah mata kuliah yang diasuh oleh Issa J. Boullata, Classical Exegesis (Tafsir I), di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada, semester Summer, September-Desember 1997.
[85] Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, (New York: Library of Liberal Arts 1952). Lihat juga bukunya, Islam: Muhammad and His Religion, (New York: Library of Liberal Arts, 1958).
[86] Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, (Baroda: oriental Institute, 1938), h. 103-05.
[87] Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, (New York: Harper & Row, 1975).
[88] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996).
[89] M. Atho Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000, h. 1.
[90] Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, (Bandung: Mizan, 1994).
[91] Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo, (Paris: EHESS, 1994).
[92] Clifford Geertz, The Religion of Java, (London: The Free Press of Glencoe, 1960.)
[93] Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, (Tucson: The University of Arizona Press), 1989.
[94] Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, (New York: Holmes and Meir, 1979), h. 100-128.
[95] Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal of Asian Studies, hal. 46:3 (August 1987), h. 533-54.
[96] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1980), h. 45.
[97] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985).
[98] Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, (Centre of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993), h. 1-4.
[99] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 37-48.
[100] Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000, h. 4.
[101] Mudzhar, "In the Making," h. 2.
[102] Mudzhar, "In the Making," h. 2.
[103] Mudzhar, "In the Making," hal. 2. Cf. Azra, "The Making," h. 4.
[104] Sekarang jumlah lembaga yang sama di seluruh Indonesia menjadi 14 IAIN; 7 buah di Sumatera, 5 di Jawa, 1 di Kalimantan, dan selebihnya di Sulawesi, beserta semua cabang masing-masing. Pada tahun 1997, cabang-cabang masing-masing ke 14 IAIN tersebut ditransformasikan ke dalam lembaga pendidikan tinggi Islam yang lebih kecil lagi tapi independen yang disebut sebagai Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang keseluruhannya berjumlah 33 buah dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Di samping lembaga-lembaga tinggi Islam Negeri ini, sejumlah perguruan tinggi dan universitas swasta juga berdiri di mana fakultas kajian Islam mengambil tempat di dalamnya. Jumlah mahasiswa di seluruh IAIN dan STAIN seluruh Indonesia, menurut data yang dihimpun oleh DEPAG adalah 90.000 orang. Jumlah ini dambil dari buklet Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000).
[105] Azyumardi Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 169-70.
[106] Azra, "The Making," h. 6.
[107] Sudirman Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 183-92.
[108] Betapa pemikiran pembaruan Islam memiliki dampak yang begitu ekstensif di IAIN bisa dilihat dari digunakannya karya-karya teks Harun Nasution sebagai literatur wajib bagi mahasiswa IAIN. Terlebih ketika dia memimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan belakangan direktur program pasca sarjana di lembaga yang sama. Dalam diskursus kajian teologi keislaman, barangkali dialah yang pertama kali meletakkan landasan berteologi secara kritis-rasional terhadap doktrin-doktrin akidah Islam. Ia pula yang secara terang-terangan memproklamirkan diri sebagai pendukung utama aliran Mu'tazilah dalam berteologi yang senantiasa mengedepankan proses berpikir rasional. Lihat Richard Martin et. al., "Harun Nasution and Modern Mu'tazilism," dalam Richard Martin (ed.), Defenders of Reason in Islam, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 119-179.
[109] Kekhawatiran terjadinya degradasi kualitas keimanan seseorang ketika menerapkan metode ilmiah dalam kajian agama sebenarnya sudah pernah dijawab oleh Max Müller dalam karyanya Introduction to the Science of Religion (1873). Dia mengatakan bahwa pendekatan scientific dalam kajian agama tidak seharusnya menambah keraguan terhadap keyakinan agama si peneliti, melainkan justru bisa semakin memperkokoh bangunan keimanannya. Hal yang demikian ini bisa terjadi ketika si peneliti mampu melakukan pemaknaan-pemaknaan yang cukup berarti terhadap hasil-hasil temuannya untuk kemudian diinternalisasikan dalam sistem keimanannya sendiri. Periksa, Peter Connolly, "Psychological Approaches," dalam Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion, (London & New York: Casell, 1999), h. 139.
[110] Azra, "The Making," h. 7.
[111] Nico Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000, h. 11.
[112] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 29.
[113] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, h. 30-31.

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...