Wednesday, March 16, 2016

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DASAR AJARAN ISLAM*



A.     PENGERTIAN AL-QUR’AN

Secara etimologis, kata al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca. Lafadz al-Qur’an berbentuk isim mashdar dengan “isim maf’ul”. Lafadz al-Qur’an dengan arti bacaan, misalnya dapat dilihat pada firman Allah yang artinya sebagai berikut:
“Janganlah, engkau menggerakkan lidahmu untuk terburu-buru membacanya. Sesungguhnya menjadi tanggungan-Ku mengumpulkan dan membacanya. Maka apabila Kami membacanya, maka ikutilah pembacaannya” (QS. Al-Qiyamah: 16-18).
Mengenai asal-usul kata al-Qur’an, di kalangan ahli ada beberapa pendapat, yang antara lain adalah:[1]
1.       Al-Syafi’i (150-204 H) berpendapat bahwa kata al-Qur’an ditulis dan dibaca dengan tanpa hamzah (al-Quran) serta tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama khusus yang diPakai untuk kitab suci yang diberikan kepada nabi Muhamad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat yang masing-masing diberikan kepada Isa dan Musa.
2.       Al-Farra’ (w. 207 H), penulis kitab Ma’ani al-Qur’an, berpendapat bahwa kata al-Qur’an tidak berhamzah, dan diambil dari kata qara’in, bentuk jamak dari qarinah, yang bermakna indikator/petunjuk. Hal ini dikarenakan sebagian ayat al-Qur’an serupa satu sama lain, sehingga seolah-olah sebagian ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
3.       Al-Asy‘ari (w. 324 H) berpendapat bahwa kata al-Qur’an tidak berhamzah dan diambil dari kata qarana yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
4.       Al-Zajjaj (w. 311 H) berpendapat bahwa kata al-Qur’an berhamzah, berwazan fu’lan dan diambil dari kata al-qar’u yang berarti menghimpun. Hal ini karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari dari ajaran-ajaran kitab sebelumnya.
5.       Al-Lihyani (w. 215 H) berpendapat bahwa kata al-Qur’an berhamzah, bentuk masdar dari qara’a yang berarti membaca. Hanya saja menurut al-Lihyani merupakan masdar yang bermakna isim maf’ul. Jadi al-Qur’an artinya maqru’ (yang dibaca).
Terhadap pendapat-pendapat yang disebutkan di atas Shubhi al-Shalih mengemukakan penilaiannya bahwa pendapat yang paling benar adalah “al-Qur’an masdar dan muradif dengan qira’ah (bacaan),[2] sebagai tersebut di dalam Qs. al-Qiyamah ayat 17-18:
إنّ علينا جمعه و قرأ نه. فإذا قرأنا ه فا تّبع قرأ نه
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu) pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah  bacaannya itu”.[3]
Adapun pengertian al-Qur’an secara terminologis dapat dipahami dari pandangan beberapa tokoh berikut ini:
1.       Menurut al-Zuhaili:[4]
القرأ ن هو كلا م الله المعجز المنزّل على النبىّ ص م باللفظ العربىّ المكتوب فى المصا حف المتعبّد بتلا وته المنقول عنه بالتوا تر المبدوء بسورة الفا تحةالمختوم بسورة النّا س
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang tertulis dalam mashahif menrupakan ibadah dalam mebacanya, yang diriwayatkan secara mutawatir diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan an-Nas”.
2.       Shubhi al-Shalih[5] merumuskan definisi al-Qur’an yang dipandang sebagai definisi yang dapat diterima oleh para ulama’, terutama ahli bahasa, fikih dan ahli ushul.
القرأن هو الكلا م المعجز المنزّل على النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم المكتوب
فى المصا حف المنقول عنه با التوا تر المتعبّد بتلا وته
“al-Qur’an adalah kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada nabi saw, yang tertulis dalam mashahif yang diriwayatkan secara mutawatir dan merupakan ibadah dalam membacanya”.
3.       Menurut al-Shabuni:[6]
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada nabi terakhir melalui al-amin jibril yang tertulis dalam mashahif yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, merupaka ibadah dalam membacanya diawali dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas”.
Bila dilakukan analisis secara kritis, ada kelemahan yang inheren pada rumusan definisi masing-masing di atas. Pada definisi pertama tidak dimasukkan bi wasithah jibril sebagai indikasi kekurangannya, mengingat al-Qur’an mesti diwahyukan dengan perantaraan Jibril, meski tidak semua yang diwahyukan Tuhan melalui Jibril mesti berupa al-Qur’an. Sedangkan kelemahan pada rumusan definisi yang kedua, di samping karena tidak dimasukkannya unsur bi wasithah Jibril, juga karena tidak terdapatnya unsur bahasa Arab ke dalam rumusan itu. Padahal yang dinamakan al-Qur’an pasti berbahasa Arab (Lihat, Qs. Fushshilat: 3), sehingga tafsir dan terjemahnya dalam bentuk bahasa apapun tidak bisa dinamakan al-Qur’an. Dan begitu pula rumusan definisi yang ketiga, di dalamnya tidak disebutkan bahasa Arab sebagai salah satu unsur substansialnya.
Bertolak dari analisa di atas, kiranya dapat ditegaskan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada Muhamad dengan melalui Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis dalam mashahif, yang membacanya sebagai suatu ibadah, dan diriwayatkan secara mutawatir. Dengan demikian, unsur-unsur pokok yang mutlak terkandung dalam pengertian al-Qur’an adalah:
1.       Al-Qur’an adalah kalamullah yang bersifat mu’jiz.
2.       Al-Qur’an adalah kitab suci yang khusus diturunkan kepada nabi Muhammad.
3.       Metode pewahyuan al-Qur’an mesti melalui Jibril, meski tidak semua yang diwahyukan lewat Jibril berwujud al-Qur’an.
4.       Al-Qur’an berhasa Arab, yang lafadz—dan tentu juga maknanya—berasal langsung dari Allah.
5.       Al-Qur’an adalah kalamullah yang eksistensinya sudah tertuliskan dalam mushaf.
6.       Al-Qur’an merupakan kalamullah yang membacanya saja sudah dinilai sebagai ibadah.
7.       Al-Qur’an merupakan kalamullah yang periwayatannya secara mutawatir.
Di samping sebutan atau nama al-Qur’an, para ulama’ juga memberikan beberapa sebutan lain dengan jumlah yang sangat bervariasi, bahkan kadangkala terkesan berlebihan. Abu Ma’ali ‘Uzaizi bin Abdul Malik menjelaskan dalam kitabnya al-Burhan bahwa Allah telah menamai al-Qur’an dengan 55 nama.[7] Bahkan Abu Hasan al-Harali menegaskan bahwa ada lebih dari 90 nama untuk al-Qur’an.[8] Pendapat semacam ini sangat berlebihan, sebab telah terjadi pencampur-adukan antara nama dan sifat al-Qur’an. Kebanyakan yang semula mereka anggap sebagai nama-nama al-Qur’an ternyata hanya merupakan sifat-sifat al-Qur’an. Adapun di antara pendapat yang lebih dapat dipegangi adalah yang dikemukakan oleh al-Zuhaili yang menyatakan bahwa al-Qur’an memiliki 5 nama, yakni al-Qur’an, al-kitab, al-mushaf, al-nur dan al-furqan.[9] Hanya saja sebagaimana disampaikan oleh Subhi al-shalih, bahwa di antara lima nama itu terdapat dua nama atau sebutan yang paling terkenal yakni al-Qur’an dan al-Kitab.[10]

B.     I SI/KANDUNGAN AL-QUR’AN
Seluruh umat Islam sepakat bahwa Islam yang disampaikan oleh Muhamad adalah agama yang sempurna, dan bahkan paling sempurna. Atas dasar ini kemudian ada sebagian pemikir Islam yang berpendapat bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala-galanya, tak ada sesuatupun yang alpa darinya. Relevan dengan pandangan seperti ini Rasyid Ridla pernah mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung semua ilmu pengetahuan yang ada di alam kosmis ini.[11] Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan kitab suci yang di dalamnya sudah dijelaskan sistem perekonomian, politik, sosio-budaya, ilmu pengetahuan dan seterusnya, sehingga tidak ada suatu pun yang terlupakan olehnya. Hal ini didasarkan pada Qs. al-Ma’idah ayat 3:
وما من دابة فى الأرض ولا طا ئر يطير بجنا حيه إلاّ أمم امثا لكم ما فرّطنافى الكتا ب من شيء ثمّ الى ربّهم يحشرون
ِِِArtinya: “Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agamamu”.
و يوم نبعث فى كلّ امّة شهيدا عليهم من انفسهم وجئنا بك شهيدا على هؤلاءونزّلنا عليك الكتا ب تبيا نا لكلّ شيئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
ِِAyat-ayat di atas dan yang senada dengannya memang dapat diartikan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sempurna isinya dalam arti tidak ada sesuatupun yang dilupakan dan segala-galanya telah dijelaskan di dalamnya. Namun pernyataan semacam ini masih perlu diklarifikasi dan dielaborasi lebih lanjut. Dalam konteks apa pernyataan itu muncul? Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah menjelaskan seluruh aspek kehidupan manusia, seperti sistem ekonomi, politik, perindustrian, ketatanegaraan, ilmu pengetahuan dan seterusnya masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Sebagai standarnya, antara lain adalah komposisi keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an beserta rincian isi kandungannya.
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Muhammad dalam rentang waktu sekitar 23 tahun, periode Makkah selama 13 tahun dan sisanya 10 tahun periode Madinah. Jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya ada 114, dan disepakati bahwa 86 dari jumlah itu merupakan surat Makiyah dan 38 merupakan surat Madaniyah. Apabila ditinjau dari segi jumlah ayat, al-Qur’an memuat 6236 ayat, 4780 ayat atau 76,65 prosen dari padanya adalah ayat-ayat Makiyah.[12]
Ayat-ayat Makiyah yang prosentasinya sekitar tiga perempat dari seluruh isi al-Qur’an, isinya secara umum berupa penjelasan mengenai keimanan, dan sedikit hal terkait dengannya. Oleh karena itu logis kiranya sebagian besar penjelasannya adalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya, iman, kufr, islam, nifak, hidayah, syirk, khair dan syarr, akhirat dan dunia, surga dan neraka, kitab-kitab sebelum al-Qur’an, umat serta para nabi dan rasul sebelum Muhamad.[13]
Adapun ajaran yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat dan bernegara terkandung dalam ayat-ayat Madaniyah, yakni ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan pada paska hijrah Nabi Muhamad ke Madinah. Karena pada periode Madinah itu keberadaan umat Islam sudah merupakan suatu tatanan masyarakat yang sudah memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan, angkatan perang dan lembga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Ayat-ayat Madaniyah berjumlah sekitar 1456 buah atau 23,35 prosen dari seluruh ayat al-Qur’an. Hanya saja perlu ditegaskan bahwa tidak seluruh ayat Madaniyah yang berjumlah 1456 itu mengandung ketentuan-ketentuan hukum tentang hidup kemasyarakatan umat Islam,[14] ada juga sebagian kecil darinya yang berbicara mengenai keimanan.
Berikut ini adalah perkiraan komposisi ayat al-Qur’an dan isinya. Ayat al-Qur’an yang memuat ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya ada 500 buah ayat atau 8 prosen dari keseluruhan ayat al-Qur’an. Dari sejumlah itu, ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan tentang hidup kemasyarakatan ada 228 ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang keimanan. Menyangkut ayat-ayat mengenai hidup kemasyarakatan yang berjumlah 228 itu, Wahab Khalaf memberikan rincian lebih lanjut berikut ini:
(a) hidup kekeluargaan, perkwinan, perceraian, hak waris dan sebagainya ada 70 ayat; (b) hidup perdagangan/ perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya ada 70 ayat; (c) soal hukum pidana ada 30 ayat; (d) hubungan orang Islam dengan non muslim ada 25 ayat; (e) soal pengadilan ada 13 ayat; (f) hubungan orang kaya dengan orang miskin 10 ayat; dan (g) soal kenegaraan ada 10 buah ayat.[15]
Masalah keuangan, perindustrian, pertanian dan sebagainya tidak terdapat dalam teori rincian di atas. Memang betul dalam rincian tersebut telah ada ayat-ayat mengenai kenegaraan, misalnya, tetapi ayat-ayat itu tidak menjelaskan bentuk pemerintahan islami yang harus ditegakkan oleh seluruh umat Islam. Misalnya, apakah sistem pemerintahan harus mengambil bentuk khilafah, kerajaan, republik atau lainnya? Dalam konteks ini ayat-ayat tersebut hanya menjelaskan dasar-dasar fundamental atau prinsip-prinsip dasar berupa fundamental ideas yang harus dipegangi oleh seluruh umat Islam dalam pengaturan negara. Salah satu prinsip fundamental itu adalah permusyawaratan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat “wa syawirhum fi al-amr”. Musyawarah boleh dijalankan dalam berbagai bentuk pemerintahan, sebagaimana telah teruji dalam sejarah panjang politik umat Islam. Dan begitu pula masalah ekonomi, ayat-ayat al-Qur’an tidak menetapkan sistem perekonomian yang mesti ditegakkan, apakah model kapitalisme atau sosialisme; dalam hal ini yang dijelaskan olehnya hanya sejumlah prinsip dasar yang harus ditegakkan dalam tatanan perekenomian islam, diantaranya adalah haramnya riba dan wajibnya keadilan dilaksanakan.
Dengan dasar uraian di atas kiranya dapat dipahami bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak memberikan ketetapan tentang berbagai sistem dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di dalam al-Qur’an belum ditetapkan sistem kenegaraan, sistem perekonomian,    sistem keuangan, sistem hidup bermasyarakat, perindustrian, pertanian dan sebagainya yang harus ditegakkan oleh umat Islam. Yang ditetapkan oleh al-Qur’an hanya dasar-dasar dan patokan-patokan umum semata, dan di atas dasar-dasar umum itulah kemudian umat Islam mengatur hidup kemasyarakatannya, sehingga muncul sistem pemerintahan Islam, ekonomi, keuangan, dan sistem masyarakat Islam. Ringkasnya, meski al-Qur’an tidak mengandung sistem ekonomi, kenegaraan, keuangan dan sebagainya, hal ini bukan berarti  ekonomi, masyarakat, politik Islam dan sebagainya tidak terdapat dalam al-Qur’an. Semua sistem ini telah ada, hanya saja bukanlah merupakan doktrin absolut yang tidak dapat berubah menurut perkembangan zaman; semua sistem itu merupakan hasil ijtihad dan karenanya lebih merupakan hasil pikiran manusia, sehingga ia dapat berubah dan dirubah. Hanya saja dalam perubahan itu dimensi prinsip dasarnya yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak boleh dilupakan dan tidak boleh dirubah, patokan-patokan itu harus tetap dijadikan pegangan. Pemahaman seperti ini relevan dengan semangat hadith “kalian lebih mengetahui soal-soal hidup keduniaanmu” (antum a’lam bi umur dunyakum), dan jelas hidup kemasyarakatan lebih sebagai persoalan keduniaan.
Ada hikmah agung terkait dengan konsep doktrinal di atas. Masyarakat secara sosiologis memiliki karakter dasar dinamis, berubah dan berkembang sejalan dengan tuntutan zaman. Sementara  peraturan dan hukum memiliki efek mengikat. Oleh karena itu kalau peraturan dan hukum absolut berjumlah banyak dan terinci, maka dinamika masyarakat yang diaturnya tentu akan menjadi terikat olehnya, sehingga menjadi statis. Agar masyarakat  menjadi dinamis, maka ayat-ayat yang mengaturnya jangan begitu banyak jumlahnya terkecuali menyangkut dasar-dasar pokoknya. Dengan kata lain, dalam masalah ini nampaknya Tuhan menyerahkan kepada akal manusia untuk mengaturnya, sesuai dengan ayat-ayat yang mendasarinya yang berjumlah hanya sedikit lagi global, tidak bersifat terinci. Di sinilah letak hikmah mengapa ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak membicarakan masalah hidup kemasyarakatan manusia.
Adapun mengenai ilmu pengetahuan, fenomena alam memang disinggung oleh al-Qur’an, yang menurut perkiraan ahli berjumlah sekitar 50 ayat.[16] Ayat-ayat yang biasa dinamakan ayat kauniyah ini, pada dasarnya memuat perintah dan dorongan kepada manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam sekitar. Sebab dengan memperhatikan fenomena sekitarnya, manusia akan sampai kepada kesimpulan bahwa fenomena-fenomena yang tedapat di alam semesta tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan mesti diciptakan dan digerakkan oleh dzat yang berada di balik alam ini yakni Tuhan. Dengan kata lain, perenungan terhadap alam akan mengakibatkan iman manusia menjadi semakin kokoh. Inilah tujuan sebenarnya dari ayat-ayat kauniah.
Selain hal di atas penyebutan ayat kauniyah tidaklah diikuti oleh penjelasan terinci mengenai proses kejadiannya, dan proses itu hendaknya diusahakan oleh fikiran manusia. Kalau memang demikian maka kurang begitu tepat untuk dikatakan bahwa al-Qur’an itu telah membahas dan menjelaskan ilmu pengetahuan. Sebagaimana ditegaskan oleh Harun Nasution, yang tepat harus dikatakan bahwa ada di antara ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut fenomena alam, yang mana ia juga menjadi objek kajian ilmu pengetahuan,[17] dan memang ilmu pengetahuan lebih merupakan hasil pemikiran manusia tentang fenomena alam dengan menggunakan metode ilmiah.[18] Oleh karena tepat apa yang disampaikan oleh Moh. Abduh bahwa al-Qur’an merupakan buku yang paling tidak ilmiah, meski di dalamnya disinggung fenomena alam yang juga menjadi bahasan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini al-Qur’an lebih merupakan kitab petunjuk kehidupan yang berlaku sepanjang masa.
Dan begitu pula mengenai teknologi. Kalau makna yang terkandung dalam istilah teknologi adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal, maka al-Qur’an dalam penyebutan kisah umat terdahulu juga menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan teknologi. Tetapi hal demikian bukanlah berarti al-Qur’an membahas soal teknologi, apalagi teknologi modern. al-Qur’an pada dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, dan dalam penjelasan mengenai petunjuk dan pegangan itu al-Qur’an menyebut hal-hal yang ada hubungnnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uraian di atas menggambarkan betapa pandangan yang mengatakan bahwa al-Qur’an sudah mengandung segala-galanya adalah kurang tepat. Al-Qur’an tidak menguraikan sistem ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an hanya memuat penjelasan dasar-dasar pokoknya saja, dan juga fenomena-fenomena alam yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau demikian halnya, tiga ayat al-Qur’an yang biasa dijadikan rujukan untuk alasan kelengkapan isi al-Qur’an yakni Qs. al-Ma’idah ayat 3; al-An’am ayat 38 dan an-Nahl ayat 89 perlu ditelusuri kembali makna kandungannya di dalam berbagai literatur kitab tafsir.
Yang pertama adalah Qs. al-Ma’idah ayat 3 “al-yaum akmaltu lakum dinakum….”. Dengan mengutip dari Ibn Abbas, Ibn Katsir mengatakan bahwa menurut Ali bin Abi Thalib yang dimaksud oleh ayat ini adalah “iman telah disempurnakan, tidak perlu ada tambahan lagi dan tidak pula akan dikurangi”.[19] Sementara itu al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kata akmal dalam ayat itu bermakna melindungi yakni Aku (Allah) melindungi dari musuh, sehingga kamu mencapai kemenangan  dan musuh mengalami kekalahan. Mungkin juga kata al-Zamakhsyari ayat itu berarti Tuhan pada hari itu telah menyempurnakan apa yang diperlukan manusia tentang yang halal dan haram.[20] Sehingga sebagaimana dikatakan Asbat,[21] bahwa sesudah itu tidak pernah lagi turun apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan. Menurut Rasyid Ridla, dengan menukil penjelasan Ibn Jarir, bahwa yang dimaksudkan dengan penyempurnaan agama dalam ayat ini adalah perginya kaum musyrikin dari Makah dan sucinya kota itu bagi umat Islam, sehingga dalam pelaksanaan haji tidak terdapat kaum musyrikin di kalangan umat Islam di Makah.[22] Menurut al-Baidlawi, yang dimaksudkan dengan penyempurnaan agama adalah kemenangan yang membuat agama Islam berada di atas agama-agama lainnya. Rasyid Ridla sendiri berpendapat bahwa bahwa yang dimaksudkan oleh ayat itu adalah penyempurnaan iman, hukum, budi pakerti, ibadah dengan terperinci dan muamalah dalam garis besar.[23]
Sedangkan ayat kedua (Qs. al-An’am 38) membicarakan tentang binatang di bumi dan di langit dan dalam konteks inilah penjelasan  bahwa Tuhan tidak melupakan suatu apa pun di dalam al-kitab. Oleh karena itu Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Tuhan mengetahui semua binatang, tidak lupa memberikan rizki kepadanya, baik di bumi maupun di langit. Selanjutnya ia mengutip ayat lain untuk memperkuat tarsir di atas “tidak ada suatu binatangpun di bumi yang rizkinya tidak tergantung pada Allah, dan Tuhan mengetahui tempat istirahat serta tempat perbekalannya; semuanya disebut dalam al-kitab dengan nyata”.[24] Sementara al-Zamakhsyari menjelaskan yang dimaksud dengan al-Kitab dalam ayat ini bukanlah al-Qur’an tetapi laukh makhfudh yang ada di langit.[25] Penafsiran semacam ini dimungkinkan sebab menurut Rasyid Ridla,[26] sebutan al-kitab itu mengandung berbagai arti yakni laukh makhfudh, umm al-kitab dalam induk al-Qur’an, ilmu Tuhan yang mencakup segala-galanya, dan juga berarti al-Qur’an. Jika yang dimaksudkan al-kitab ayat ini adalah laukh makhfudh atau umm al-kitab apalagi ilmu Tuhan, maka jelas itu mesti mengandung segala-galanya. Tetapi kalau yang dimaksud olehnya adalah al-Qur’an, makna yang dikandung olehnya ialah soal-soal agama secara umum. Dengan demikian arti yang terkandung di dalam kitab itu adalah “tidak Kami lupakan di dalamnya soal-soal hidayah yakni dasar-dasar agama, pegangan-pegangan, hukum-hukum, petunjuk tentang pemakaian daya jasmani serta daya akal nntuk kemaslahatan manusia.
Selanjutnya mengenai ayat 89 Qs. al-Nahl, al-Mujahid menafsirkan dengan “semua yang halal dan semua yang haram”.[27] Pemaknaan ini relevan dengan pedapat al-Zamakhsyari yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan adalah “segalanya mengenai soal agama, dan itu pun dengan bantuan sunah nabi, ijma’, qiyas dan ijtihad.[28]
Dengan demikian semakin jelas bahwa pendapat yang mengatakan al-Qur’an mencakup segala-galanya dan menjelaskan segala-galanya, termasuk di dalamnya sistem hidup kemasyarakatan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tidak dapat diterima dan kurang beralasan. Yang benar adalah bahwa dari 6236 ayat al-Qur’an ternyata hanya kurang dari 500 ayat yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan manusia. Dan kurang lebih ada 150 ayat al-Qur’an yang mengandung penjelasan tentang hal-hal yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan fenomena alam.
Sejalan dengan dasar pemikiran sebagaimana telah dijelaskan di atas, Harun Nasution membagi ayat-ayat al-Qur’an—sesuai dengan kandungannya—menjadi sembilan bagian yakni:
(1) ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan, yang dari situ kemudian lahir teologi Islam; (2) ayat-ayat yang mengenai soal hukum yang kemudian melahirkan ilmu hukum Islam atau fikih; (3) ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa ketentuan-ketentuan tentang ibadah dalam Islam: (4) ayat-ayat mengenai budi pakerti luhur yang melahirkan etika Islam; (5) ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubungan manusia dengan Tuhan yang kemudian melahirkan mistisime atau tasawuf dalam Islam; (6) ayat-ayat mengenai tanda-tanda dalam alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan pemikiran filosofis dalam Islam; (7) ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan miskin dan ini membawa pada ajaran sosiologis dalam Islam: (8) ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabi-nabi dan umat mereka, sebelum Muhamad dan umat lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka. Dari ayat ini dapat diambil pelajaran dan (9) ayat-ayat mengenai hal-hal lainnya.[29]
Selain itu terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut: (1) masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang gaib; (2) masalah ibadah yakni pengabdian kepada Tuhan; (3) masalah janji dan ancaman; (4) jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar mendapatkan ridla Allah; (5) riwayat atau cerita, yakni sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh tertentu maupun para nabi dan rasul.[30]

C.     OTENTISITAS AL-QUR’AN
Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang terpelihara nilai otentisitasnya. Di dalam surat al-Hijr ayat 9 Allah menyatakan sendiri jaminan atas keaslian al-Qur’an.
إنّا نحن نزّلنا الذ كر و إنّا له لحا فظو ن
Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Qs. al-Hijr: 9).
Ayat tersebut memuat janji Allah untuk mejaga otentisitas al-Qur’an. Penggalan ayat “wa inna lahu lahafidhun” mengandung dua pengertian penting terkait engan pemeliharaan al-Qur’an. Pertama, secara bahasa susunan kalimat semacam ini memiliki faedah makna “istimrar” yakni terus-menerus; kedua, dipergunakannya kata “inna” sebagai kata ganti bagi Allah dalam penggalan ayat itu menunjukkan perlunya keterlibatan manusia (selain Allah) dalam pemeliharaan al-Qur’an itu. Atas dasar kedua hal ini dapatlah dipahami bahwa Allah senantiasa menjaga otentisitas al-Qur’an sampai akhir zaman. Hanya saja dalam aktivitas pemeliharaannya itu, Tuhan menuntut kepada manusia agar ikut berperan aktif di dalamnya. Dengan adanya jaminan setegas ini maka setiap muslim percaya betul, dan wajib percaya, bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an seperti sekarang ini tidak berbeda sedikit pun dengan al-Qur’an yang pernah dibaca oleh Rasulullah dan didengar serta dibacanya oleh para sahabat nabi. Inilah makna sebenarnya dari otentisitas al-Qur’an.
Lebih jauh dari itu setiap muslim juga dituntut untuk senantiasa berusaha bisa mengungkapkan bukti-bukti otentisitas al-Qur’an itu. Mengingat sebagaimana ditegaskan oleh Abdul Halim Mahmud, mantan syeikh al-Azhar, bahwa para orientalis selalu berusaha untuk mencari celah kelemahan al-Qur’an,[31] meskipun mereka tentu tidak akan pernah berhasil. Untuk menunjukkan bukti-bukti otentisitas al-Qur’an dapat dipergunakan berbagai pendekatan yakni dengan melihat ciri-ciri dan sifat dari al-Qur’an itu sendiri, melihat aspek kesejarahannya serta memperhatikan pengakuan-pengakuan dari para pemikir non-muslim terhadap kebenaran al-Qur’an itu sendiri.
1.       Bukti Otentisitas Al-Qur’an dilihat dari Ciri-ciri dan Sifatnya
a.       Keunikan Redaksi Al-Qur’an
             Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar nabi Muhammad, sebagai bukti kebenaran kerasulannya. Kemu’jizatannya itu tidak hanya terbatas pada makna-makna objektif yang terkandung di dalamnya, tetapi juga pada aspek marfologis atau lafad dan redaksinya yang merupakan kutipan langsung dari Allah.[32] Karena itu mustahil jika di dalamnya terdapat keganjilan-keganjilan redaksional. Kalau memang ada pihak yang bermaksud mengacaukannya, maka akan dengan mudah dan segera diketahuinya bahwa itu bukanlah redaksi al-Qur’an.
             Keseimbangan komposisi redaksi al-Qur’an telah ditata sedemikian rupa oleh Allah, sehingga di dalamnya sarat dengan muatan munasabah (keserasian) dalam berbagai bentuknya. Menurut al-Qattan, munasabah al-Qur’an itu mencakup munasabah antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak surat atau antara satu surat dengan surat yang lain.[33]
             Dalam konteks ini Musthafa Mahmud mengutip pendapat Rasyad Khalifah mengemukakan bahwa al-Qur’an sendiri memiliki bukti-bukti yang menjamin otentisitasnya.[34] Huruf-huruf hija’iyah pada permulaan beberapa surat al-Qur’an adalah salah satu jaminan keotentikan al-Qur’an sebagaimana diterima Rasulullah. Tidak berlebih atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh al-Qur’an. Kesemuanya habis dibagi 19, sesuai dengan jumlah huruf (B (i)sm All(a)h al-r(a)hm(a)n al-r(a)him, yaitu: ba’, sin’ mim, alif, lam, lam, ba’, alif, lam, ra’, ha’, mim, nun, alif, lam, ra’, ha’, ya’ dan mim, yang seluruhnya berjumlah 19 huruf. Adapun huruf (a) dan (i) yang tercantum dalam kurung tidak terhitung dalam aksara Arab.
             Huruf-huruf kaf, ha’, ya’, ‘ain, shad, di dalam surat Maryam ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19. Kedua huruf tha’ dan ha’ pada surat Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19x18. Kedua huruf ya’ dan sin pada surat Yasin, masing-masing ditemukan sebanyak 285 kali atau 15x19. Huruf qaf yang merupakan awal dari surat Qaf, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3x19. Huruf nun yang merupakan awal dari surat al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 kali atau 7x19. Huruf-huruf ha’ dan mim yang ada pada semua surat yang diawali dengan kedua huruf ini (ha mim), semuanya merupakan perkalian dari 114x19, yakni masing-masing itu berjumlah 2166.
             Selain itu masing-masing kata yang terdapat dalam bi ism Allah Rahman ar-Rahim, yaitu ism, Allah, al-rahman, ar-rahim, juga habis dibagi 19. Kata ism berulang sebanyak 19 kali dalam al-Qur’an; Allah sebanyak 2698 kali (142x19); ar-rahman sebanyak 57 kali (3x19); dan ar-rahim sebanyak 114 kali (6x19). Khusus mengenai kata ar-rahim memang ditemukan sebanyak 115 kali dalam al-Qu’an. Hanya saja satu kata ar-rahim yang terdapat di dalam surat at-Taubah ayat 128 itu bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat nabi Muhamad. Dengan demikian kata ar-rahman yang khusus menunjuk kepada sifat Allah jumlahnya ada 114, hasil dari 6x19.
             Bilangan-bilangan yang dapat ditemukan dari celah-celah (redaksi) al-Qur’an tersebut, kata Rasyad Khalifah, merupakan satu bukti otentisitas al-Qur’an. Oleh karena itu, lanjut Rasyad Khalifah, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau pun ditukar kata dan kalimatnya dengan kata dan kalimat lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
b.      Kemukjizatan al-Qur’an
Secara bahasa i’jaz (kemukjizatan) berarti menetapkan kelemahan, dan mu’jiz adalah sesuatu yang melemahkan, sehingga membuat tidak mampu pada pihak yang terkena penetapan kelemahan itu. Menurut pengertian umum, kelemahan adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, antonim dari kemampuan. Dengan demikian kalau kemu’jizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz, pihak yang melemahkan.
Selanjutnya istilah mu’jizat[35]—walaupun dengan redaksi yang berbeda—umumnya didefinisikan sebagai “sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan oleh Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian atau kerasulan itu”. Sementara itu ada kalangan—seperti al-Zarqani—yang menterjemahkan mu’jizat sebagai “sesuatu yang melemahkan manusia atau makhluk lainnya, baik secara individu maupun kolektif, untuk mendatangkan sesuatu yang lain yang serupa dengan mu’jizat tersebut”. Sedangkan al-Suyuthi memberikan arti mu’jizat sebagai perkara luar biasa yang disertai tantangan dan tidak ada yang sanggup menjawab tantangan tersebut.
Jika pengertian-pengertian di atas dapat dikompromikan, maka berturut-turut, hal-hal yang terkandung dalam lingkaran pengertian mu’jizat adalah: (1) mu’jizat itu sendiri merupakan perkara yang luar biasa, sifatnya yang luar biasa ini dapat dimaklumi, karena memang ia berasal dari Yang Maha luar biasa; (2) mu’jizat itu diberikan kepada para nabi atau rasul, dimaksudkan sebagai pembenaran atas risalah yang dibawanya; (3) mu’jizat juga dimaksudkan sebagai tantangan kepada para pengingkar kenabian atau kerasulan, sekaligus terhadap risalah yang dibawanya; dan (4) mu’jizat itu akan menang ketika ia berhadapan dengan penantangnya.
Meskipun keempat poin di atas dapat dilekatkan pada semua mu’jizat yang diterima oleh para nabi atau rasul, tetapi khusus al-Qur’an sebagai mu’jizat nabi Muhamad memiliki karakteristik. Mu’jizat para nabi atau rasul terdahulu (sebelum Muhamad) adalah mu’jizat hissi, sehingga ia bersifat temporal, lokal dan material. Hal ini disebabkan oleh jangkauan misi da’wah mereka, yang hanya dibatasi pada daerah, zaman dan umat tertentu saja. Sedangkan mu’jizat nabi Muhamad yang berupa al-Qur’an adalah jenis mu’jizat ma’nawi, sehingga ia bersifat universal, eternal dan ‘aqliyah (dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia di mana pun dan kapan pun).
Minimal terdapat tiga hal yang melatari kemu’jizatan al-Qur’an secara ma’nawi, dengan ketiga sifatnya tersebut yakni: pertama, nabi Muhamad diutus untuk seluruh umat manusia (rahmah li al-‘alamin);[36] kedua, Muhamad merupakan nabi terakhir, sekaligus sebagai pembawa pesan dan prinsip ajaran agama yang sempurna;[37] dan ketiga, al-Qur’an diturunkan pada saat akal fikiran manusia dianggap sudah cukup dewasa untuk mencerna pesan-pesan yang dibawa oleh kitab ini.[38] Dalam konteks ini al-Suyuthi memberikan komentar “karena syariat Islam bersifat abadi dan universal, maka kemu’jizatannya pun bersifat ‘aqliyah dan abadi agar dapat disaksikan oleh orang-orang yang mempunyai fikiran”.[39] Sebagai konsekuensinya, al-Qur’an mesti dipahami dengan pendekatan rasional pula, tentu dengan akal yang tidak liar tetapi terkendali.
Adapun segi-segi kemu’jizatan al-Qur’an, menurut M. Quraish Shihab,[40] dapat dilihat pada tiga aspek berikut: pertama, segi keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya; kedua, pemberitaan-pemberitaan gaibnya; dan ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Sementara Manna’ al-Qattan menambahkan satu segi lagi di samping tiga hal yang telah disebutkan oleh M. Qurasih Shihab ini yakni kemu’jizatan tasyri’.
Pada aspek pertama—keindahan dan ketelitianredaksi-redaksinya—sebagaimana ikatakan oleh Qurasih Shihab memang tidak mudah untuk mengurai dan mengenalnya, terutama bagi kita yang tidak memiliki dan memahami “rasa bahasa” Arab. Karena keindahan itu sesungguhnya diperoleh melalui perasaan, dan bukan nalar. Namun demikian pendapat Abdurrazaq Naufal, sebagai dirujuk Quraish Shihab,[41] barangkali dapat membantu untuk memahami letak kemu’jizatan al-Qur’an dalam aspek bahasanya. Dalam hal ini Quraish Shihab lebih melihat keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, yang antara lain terdapat pada: (1) keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya; (2) keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya; (3) jumlah kata dengan kata-kata yang menunjuk kepada akibatnya; (4) keseimbangan jumlah kata dengan penyebabnya; dan (5) keseimbangan-keseimbangan khusus lainnya. Sebagai contoh keseimbangan tersebut, secara berurutan adalah:
a.        Kata al-hayah dan al-maut sama-sama disebutkan sebanyak 145 kali.
b.       Kata al-‘ushb dan al-dlurur muncul 27 kali.
c.        Kata al-infaq dan ar-ridla muncul 73 kali.
d.       Kata al-israf (pemborosan) dengan as-sur’ah (ketergesa-gesaan) muncul 23 kali.
e.        Kata yaum (hari), dalam bentuk tunggal muncul sebanyak 365 kali, sama dengan jumlah hari dalam setahun. Sedangkan dalam bentuk pluralnya (ayyam), kata ini muncul sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam sebulan.
Keistimewaan lain yang juga sering diangkat untuk menunjukkan kemu’jizatan al-Qur’an dalam aspek bahasanya adalah “masing-masing kata yang terdapat dalam kalimat bismillahirrahmanirrahim habis dibagi 19. Di samping itu, huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal surat juga habis dibagi angka 19.
Pada aspek kedua (pemberitaan gaibnya), kemu’jizatan al-Qur’an dapat dilihat dari dua hal: pertama, kebenaran futurologi al-Qur’an. Dua contoh kasus yang dapat diangkat untuk masalah ini adalah kebenaran futurologi al-Qur’an sehubungan dengan akan dikalahkannya Romawi oleh Persia,[42] yang terbukti pada tahun 622 M. Adapun contoh kedua adalah kebenaran futurologi yang berkaitan dengan pernyataan al-Qur’an bahwa jasad Fir’aun akan diselamatkan oleh Allah untuk menjadi pelajaran sejarah bagi generasi berikutnya.[43] Hal ini dibuktikan dengan telah ditemukannya jasad Fir’aun yang nampak masih utuh pada 8 Juli 1908 M, setelah dipastikan lewat penelitian ilmu pengetahuan. Kedua, kemampuan al-Qur’an untuk membahasakan sesuatu yang berada di luar batas kemampuan manusia untuk memahaminya secara lebih jauh. Contoh yang mewakili hal ini adalah kemampuan al-Qur’an untuk membahasakan Tuhan, nilai-nilai, realitas di luar manusia dan sebagainya. Keunikan sekaligus keistimewaan al-Qur’an dalam berbicara masalah ini adalah pengungkapan redaksionalnya yang bisa dicerna dan ditangkap oleh semua lapisan, baik lapisan awam maupun intelektual. Kemampuan al-Qur’an dalam masalah ini telah diakui oleh banyak kalangan, termasuk kalangan yang paling liberal dalam penggunaan akal.
Selanjutnya pada aspek ketiga (isyarat ilmiah), kemu’jizatan al-Qur’an sering dihubungkan dengan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini relevan untuk dikedepankan pernyataan Quraish Shihab berikut ini:
Membahas hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar….; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat yang bertentangan degan hasil penemuan ilmiah yang sudah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi social psychology, bukan pada sisi history of scientific progress.[44]
Hal semacam ini penting dikedepankan, mengingat ilmu pengetahuan merupakan produk intelektual manusia yang terikat dengan ruang dan waktu. Karena itu adalah sesuatu yang tidak beralasan pendapat yang mencoba memaksakan bahwa al-Qur’an megandung segala pengetahuan ilmiah, sebab hal ini selanjutnya juga akan mengandaikan terikatnya kebenaran al-Qur’an dengan ruang dan waktu. Pengandaian semacam ini akan menyebabkan pemahaman terhadap al-Qur’an menjadi absurd, sekaligus mereduksi nilai keagungannya sebagai kitab suci yang berasal dari Yang Maha mutlak.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, mufassir dalam hal ini menempatkan al-Qur’an sebagai kitab hidayah, yang di dalamnya tentu juga terkandung isyarat-isyarat ilmiah, dan untuk selanjutnya merangsang manusia mengembangkan dan menganlisanya secara lebih jauh. Untuk maksud ini, al-Qur’an mendorong manusia agar mempergunakan akalnya dalam sebuah obserbasi dan penelitian. Selanjutnya observasi dan penelitian tersebut oleh al-Qur’an diletakkan dalam kerangka menguatkan iman dan mengetahui lebih jauh keagungan Pencipta. Bahkan di dalam ayat-ayat tertentu al-Qur’an justru mengatributkan ilmu pengetahuan itu sebagai ciri keberimanan seseorang. Semua ini merupakan penyiasatan al-Qur’an sebagai kitab hidayah, agar seseorang yang bergelut di dalamnya kemudian tidak terjebak dan bahkan dikuasai oleh lingkaran ilmu pengetahuan yang liar dan menyesatkan.
Berkaitan dengan kemu’jizatan al-Qur’an, isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an terletak pada dorongannya untuk menggunakan akal dengan membaca ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam. Dorongannya untuk memperhatikan alam semesta ini, menurut Sirajuddin Dzar,[45] bertujuan untuk mengantarkan manusia agar mereka menyadari bahwa di balik tirai alam semesta—yang disebutnya sebagai kitab alam—ada Dzat yang Maha kuasa dan Maha esa, sekaligus untuk menguatkan bahwa Tuhan itu memang Maha kuasa dan Maha esa sebagaimana yang telah dipaparkan oleh kitab al-Qur’an.
Di antara dorongan untuk bersikap dan memiliki kesadaran ilmiah ini, secara lebih khusus lagi muncul dalam bentuk anjuran al-Qur’an untuk: (1) memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di bumi (Qs. Ali Imran: 190-191); (2) memikirkan manusia sendiri (Qs. az-Dzariyat: 21); memikirkan bumi dan alam yang mengitari manusia (Qs. ar-Rum: 8, al-Ghasyiyah: 17-20); (4) mengangkat kedudukan orang-orang berilmu dan membedakan kualifikasi mereka dengan orang yang tidak berilmu (Qs. al-Mujadalah: 11, az-Zumar: 9) dan sebagainya. Sebagai misal dalam hal ini adalah pengungkapan al-Qur’an tentang fenomena alam dan sekalitus mendorong manusia untuk memikirkannya.
هو الذى جعل الشمش ضيا ء و القمر نو را وقدّره منا زل لتعاموا عد د السنينوالحسا ب ما خلق الله ذ لك إلاّ بالحقّ يفصّل الأ يا ت لقو م يعلمون
Ayat ini memberikan isyarat bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari itu. Hal ini merupakan suatu pernyataan, yang jika ditinjau dari segi ilmiah dapat diterima kebenarannya. Dan sekaligus ia merupakan suatu kemu’jizatan, sebab kitab suci yang diturunkan pada beberapa abad yang silam dan diturunkan kepada nabi yang ummi itu, mampu berbicara tentang sesuatu yang lewat perspektif modern dapat diterima kebenarannya.
Adapun pada aspek keempat (tasyri’), kemu’jizatan al-Qur’an dapat dilihat dari kemampuannya mengubah wajah sejarah, yang diawali dengan sejarah kemanusiaan bangsa Arab. Prinsip-prinsip dasar tasyri’ yang ditawarkan sampai sekarang masih dianggap relevan. Jika ada yang berubah, perubahan itu hanya terjadi pada level pemahaman dan interpretasi terhadapnya, bukan pada aspek substansialnya. Dalam konteks ini tasyri’ al-Qur’an telah menempatkan dan memperlakukan manusia sebagai manusia yang mempunyai harkat, hak-hak individual dan sosial dan sebagainya secara proporsional. Sehingga tidak berlebihan kalau ada ungkapan yang menyatakan bahwa al-Qur’an melalui tangan Muhamad telah mampu melahirkan revolusi kemanusiaan dalam sejarah umat manusia.
Bagaimana al-Qur’an mensiasati perberla-kuan tasyri’? Secara berturut-turut, menurut al-Qattan,[46] al-Qur’an mengawalinya dengan pembinaan pada tingkat individu, selanjutnya pada tingkat keluarga dan terakhir pada tingkat masyarakat luas. Dilatari oleh sebuah misi untuk mewujudkan keselarasan pada tiga kepentingan ini, kemudian al-Qur’an menciptakan apa yang dalam bahasa agama disebut sebagai syari’at. Mengapa syari’at ini dinilai perlu bagi manusia?
Terhadap hal ini al-Qattan[47] mencoba menjawabnya dengan lebih dahulu menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat gharizah (naluri, instink). Jika akal sehat dapat menjaga pemiliknya dari ketergelinciran, maka arus kejiwaan yang menyimpang dapat menyebabkan kelahnya kekua-saan akal. Karenanya perlu pendidikan khusus terhadap gharizah-gharizah tersebut. Pada sisi lain, lanjut al-Qattan, manusia seebagai makhluk sosial juga membutuhkan aturan main khusus. Kenapa? Sebagai makhluk sosial manusia dihadapkan pada berbagai ragam kepentingan. Karenanya jika tidak ada peraturan yang mengikatnya, tidak mustahil dan bahkan hampir dapat dipastikan akan terjadi benturan dan kekacauan di dalamnya. Perbenturan dan kekacauan itu akan semakin parah, jika manusia—makhluk sosial itu—tidak mampu mengendalikan gharizahnya masing-masing. Atas dasar kenyataan tersebut, menurut al-Qattan, keberadaan peraturan dan undang-undang dalam sebuah masyarakat merupakan suatu keharusan.
Memang benar, kata al-Qattan, sebelum ada tasyri’ al-Qur’an sudah dikenal adanya berbagai macam doktrin, pandangan, sistem dan tasyri’ yang bertujuan untuk menegakkan masyarakat yang ideal, namun tidak satu pun yang dapat menandingi al-Qur’an. Kitab ini lewat pembinaan kesalehan individual dan kesalehan sosialnya, di samping kemampuannya untuk melindungi jiwa, agama, kehormatan, harta benda dan akal, relatif dapat dinilai berhasil dalam menciptakan masyarakat ideal itu. Karenanya pemaknaan terhadap syari’ah idealnya tidak dipahami sebatas kerangka ibadah an sich, dakan tetapi juga dalam konteks penciptaan masyarakat ideal ini. Karena lewat cara inilah salah satu kemu’jizatan al-Qur’an itu dapat dirasakan.
2.       Bukti Otentisitas Al-Qur’an Dilihat Dari Aspek Kesejarahannya
            Menurut Quraish Shihab,[48] ada beberapa faktor yang mendukung pembuktian otentitas al-Qur’an dilihat dari aspek kesejarahannya. Faktor-faktor tersebut adalah: (a) masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca-tulis, sehingga satu-satunya andalan bagi mereka adalah hafalan; (b) masyarakat Arab—khususnya pada masa turunnya al-Qur’an dikenal sebagai masyarakt sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan ini menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup untuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan; (c) masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusasteraan; mereka bahkan mengada-kan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada musim-musim tertentu; (d) al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang-orang kafir. Bahkan dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa para tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin; (e) al-Qur’an demikian juga rasul menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memperbanyak membaca dan mempelajari al-Qur’an, dan anjuran tersebut mendapat respon positif; (f) ayat-ayat al-Qur’an turun dan berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Di samping itu ayat-ayat al-Qur’an turun sedikit demi sedikit, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mencerna maknanya dan menghafalkannya; (g) dalam al-Qur’an, demikian pula hadis-hadis nabi, banyak ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk senantiasa bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita, terutama kalau berita itu merupakan firman Allah atau sabda rasul-Nya.
            Di samping faktor-faktor pendukung di atas, fakta sejarah telah menunjukkan tentang adanya berbagai langkah nyata umat Islam—sejak nabi Muhamad, bahkan kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudahnya—untuk memelihara otentisitas al-Qur’an. Dalam konteks ini jam’ul al-Qur’an (pengumpulan al-Qur’an) dapat dipandang sebagai realisasi upaya pemeliharaan otentitas al-Qur’an. Menurut al-Qattan,[49] istilah jam’ al-Qur’an memililki dua pengertian yakni:
a.        Pengumpulan dalam arti hifdhuh (menghafal dalam hati). Sehubungan dengan hal ini, setiap wahyu (al-Qur’an) turun, Rasulullah memahaminya dan menghafalkannya. Karena itu beliau adalah hafidh al-Qur’an pertama kali dan sekaligus merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafal, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setelah itu beliau menyampaikannya kepada sahabat untuk mereka hafalkan pula.
Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa ada tujuh sahabat penghafal al-Qur’an.[50] Penyebutan hafizh sebanyak tujuh orang ini bukan berarti hanya mereka saja yang hafal al-Qur’an, tetapi lebih mengandung arti bahwa hanya merekalah yang telah hafal seluruh isi al-Qur’an dan telah mentashihkan hafalannya itu ke hadapan nabi, serta isnad-isnadnya telah sampai kepada kita, sedangkan lainnya tidak memenuhi kriteria ini. Minimal ada dua argumen yang menunjukkan betapa banyaknya sahaat yang hafal al-Qur’an di luar tujuh orang tersebut yakni: pertama, para sahabat telah berlomba-lomba menghafalkan al-Qur’an dan bahkan mereka memerintah anak-istrinya untuk menghafalkannya juga, mereka pun juga membacanya dalam shalat di tengah malam. Kedua, data sejarah menunjukkan bahwa dalam beberapa saat sepeninggal rasul, sekitar 70 orang sahabat penghafal al-Qur’an, yang semuanya disebut qurra’ telah terbunuh dalam peperangan Yamamah. Jadi jelaslah bahwa penghafal al-Qur’an di zaman rasul sangatlah banyak jumlahnya, meskipun yang memenuhi kriteria istimewa hanya tujuh orang saja.
Usaha mengahafal al-Qur’an telah berkembang dan diteruskan oleh generasi sesudahnya sampai zaman sekarang. Di Mesir, misalnya, hafalan al-Qur’an merupakan prasyarat utama bagi peserta didik yang akan masuk atau menamatkan studinya di sekolah atau perguruan tinggi tertentu. Demikian juga halnya di negara-negara Arab yang lain juga di Indonesia, kegiatan menghafal al-Qur’an dapat dilihat secara jelas.
b.       Pengumpulan al-Qur’an dalam arti kitabuh kullih (penulisan al-Qur’an seluruhnya), baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, atau pun menertibkan ayat-ayat dan surat-surat nya dalam lembaran-lembaran yang telah terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian yang lain.[51]
Sehubungan dengan itu meski Rasulullah dan para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, namun untuk menjamin otentisitas al-Qur’an beliau tidak hanya mengandalkan pada kekuatan hafalan semata, tetapi juga tulisan. Rasul telah mengangkat beberapa penulis wahyu dari kalangan sahabat terkemuka seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Setiap ada ayat atau wahyu turun, beliau memanggil dan memerintahkan mereka agar menulisnya, dan bahkan beliau juga menunjukkan tempat dan urutan ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu pengahafalan dalam hati. Di samping itu, ada sebagian sahabat yang juga menuliskan al-Qur’an atas inisiatif sendiri, tanpa ada instruksi Rasulullah.
Dengan demikian ada tiga unsur yang saling melengkapi guna memelihara otentitas al-Qur’an yang telah diturunkan di masa nabi, yaitu: (1) hafalan dari para sahabat; (2) kepingan naskah-naskah yang dituliskan atas instruksi rasulullah; dan (3) kepingan naskah-naskah yang ditulis atas inisiatif pribadi. Kemudian pada zaman Abu Bakar kepingan-kepingan naskah tersebut dihimpun ke dalam bentuk mushaf. Dalam hal ini Abu Bakar hanya menerima naskah yang memenuhi dua syarat yakni: (1) harus sesuai dengan hafalan sahabat lain; dan (2) naskah harus benar-benar ditulis atas perintah nabi, bukan inisiatif pribadi. Untuk membuktikan syarat kedua ini, diharuskan adanya dua orang saksi.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, di kalangan umat Islam terjadi perbedaan cara pembacaan al-Qur’an. Menghadapi persoalan krusial ini, atas usul Hudzaifah bin al-Yamani, khalifah Utsman mengambil kebijaksanaan untuk melakukan penyatuan dialek bacaan al-Qur’an. Untuk merealisasikan tujuan itu Utsman membentuk panitia penulisan (penyalinan) mushaf yang terdiri atas Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam; tiga sahabat yang disebut terakhir berasal dari suku Quraisy. Dan Usman berpesan kepada ketiga orang dari suku Quraisy itu, dengan mengatakan: “jika kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka”.
Sungguhpun demikian, mushaf yang disalin atas perintah Usman masih memungkinkan timbulnya perbedaan bacaan, sebab ia belum diberi harakat dan titik. Karena itu para ulama sesudahnya banyak yang bermaksud  melakukan penyempurnaan sebagai upaya untuk memelihara otentisitas al-Qur’an.
3.       Bukti Otentisitas al-Qur’an dilihat dari Pengakuan Pemikir Non-Muslim
Banyak pemikir non-muslim yang mengakui secara objektif, jujur dan ikhlas mengenai otentisitas al-Qur’an, seperti:[52]
a.        Prof. George Sale, cendekiawan asal Inggris, yang pendapatnya dikutip oleh Dr. Joseph Charles Merdus dalam Preliminary Discourse, menyatakan: “di seluruh dunia diakui bahwa al-Qur’an tertulis dalam bahasa Arab dengan gaya yang paling tinggi, paling murni…..diakui sebagai standar bahasa Arab…. Dan tidak dapat ditiru oleh pena manusia…oleh karena itu diakui sebagai mu’jizat yang besar, lebih besar daripada kebangkitan orang mati, dan itu saja sudah cukup untuk meyakinkan dunia bahwa kitab itu berasal dari Tuhan. Dengan demikian dengan u’jizat ini Muhamad tampil untuk menguatkan kenabiannya, terang-terangan menentang sastrawan-sastrawan Arab yang paling cakap—yang pada masa itu ada beribu-ribu, yang pekerjaan serta ambisi mereka hanya untuk ketinggian gaya bahasanya—untuk menciptakan satu pasal pun yang dapat dibandingkan dengan gaya bahasa al-Qur’an.
b.       Prof. G. Margoliouth dalam De Karacht Van Den Islam mengatakan: “Adapun al-Qur’an itu menempati kedudukan yang maha penting di barisan agama-agama yang besar di seluruh dunia. Meskipun al-Qur’an itu sangat muda usianya, tetapi ia menempati bagian terpenting dalam ilmu kitab. Ia dapat menghasilkan suatu akibatnya yang tidak pernah dan tidak akan dapat seseorang menghasilkannya…..”.
c.        Dr. Joseph Charles Mardus, seorang pemikir Perancis, dalam L Alcoran mengatakan: “Gaya bahasa al-Qur’an seakan-akan gaya bahasa al-Khaliq sendiri. Karena gaya bahasa itu mengandung esensi dari al-Khaliq yang menjadi sumbernya, tentulah mengandung sifat-sifat ilahi pula. Kenyataan jelas menunjukkan bahwa penulis-penulis yang sangat ragu sekalipun menyerah pada keindahannya……”.

D. POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN
Tak ada khilaf sedikitpun di kalangan umat Islam, bahwa al-Qur’an adalah landasan pokok bagi syari’at Islam. Darinya diambil segala pokok-pokok syariat dan cabang-cabangnya, dari padanya diambil dalil-dalil syar’i. Dengan demikian, al-Qur’an adalah landasan kully bagi syari’at Islam dan pengumpul segala hukumnya. Sebagaimana Firman Allah yang artinya: “Tiadalah Kami alpakan sedikitpun dalam al-Kitab” (QS. Al-An’am: 38).
Imam Ibnu Hazm berkata: “Segala pintu fiqh, tak ada suatu pintu dari padanya, melainkan mempunyai pokok dalam al-Qur’an dan al-Sunnah menyatakannya”. Karena al-Qur’an adalah mengandung dasar-dasar pokok (kully), tentunya dalam penerapannya bersifat ijmaly yang memerlukan perincian (tafshil), dan bersifat kully yang memerlukan penjelasan (tabyin).  Dengan demikian, untuk bisa mengambil hukum dari padanya kita memerlukan pertolongan al-Sunah.
Selanjutnya, karena al-Qur’an merupakan sumber utama, maka para ulama terus-menerus berusaha untuk mempelajarinya dan menggalinya dengan melakukan ijtihad untuk mengeluarkan hukum-hukum dari ‘ibarat-‘ibarat, isyarat-isyarat, dzahir, dan nash al-Qur’an. Sebagaimana mereka telah sungguh-sungguh mencari jalan menakwilkan ayat-ayat mutasyabih, mentafshilkan ayat-yat yang mujmal, menerangkan yang belum jelas, serta menerangkan mana yang dikatakan ‘am, nasikh, mansukh, dan sebagainya.
Karena al-Qur’an diturunkan dengan memakai bahasa Arab, maka walaupun dalam susunan bahasa yang tidak dapat ditandingi oleh Bangsa Arab, namun kita memerlukan adanya pemahaman terhadap segala uslub Arab di dalam mengistimbathkan hukum dari al-Qur’an. Orang yang meyelidiki ayat-ayat al-Qur’an satu demi satu, tentu akan mendapati bahwa sebagian hukum yang terkandung di dalamnya, ada yang tidak lagi memerlukan penjelsasan, seperti ayat yang menjelaskan tentang  had tuduhan zina dan ayat yang menerangkan li’an dan sebagainya. Namun ada juga yang masih memerlukan penjelasan-penjelasan, seperti ayat-ayat yang bersifat mujmal, yang tentunya memerlukan tafshil, yang kurang terang memerlukan tafsir dan takwil, yang bersifat muthlaq memerlukan taqyid, dan begitulah seterusnya. Adapun penjelas al-Qur’an yang pertama adalah al-Sunnah. Dan ini sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Dalam hal ini, al-Qur’an berarti mempunyai kedudukan tertinggi dalam berhujjah, dan mutlak bersifat pasti. Dengan demikian, al-Qur’an dalam kerangka urutan dalil-dalil hukum atau sumber ajaran Islam adalah menempati kedudukan yang paling tinggi. Dalam kaitan ini, maka al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai dasar pokok, yaitu sebagai alat kontrol atau alat ukur mengenai apakah dalil-dalil hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan ketentuan-ketentuan al-Qur’an? Apabila ternyata ditemukan adanya ketidaksesuaian atau bahkan bertentangan, maka kekuatan hukum itu tidak sah dan tidak diberlakukan.

E. Al-QUR’AN SEBAGAI SISTEM NILAI
Wacana-wacana tekstual yang dipergunakan al-Qur’an dalam memperkenalkan ajaran-ajaran Islam memungkinkan dipahami oleh seseorang secara berbeda dengan lainnya, terutama dalam kaitannya dengan peran  kesejarahan kekhalifahan  manusia di muka bumi, sehingga penafsiran yang beragam merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Keberagaman penafsiran ini merupakan perwujudan dari watak dasar yang dibawa oleh al-Qur’an, terbuka terhadap beragam penafsiran (interpretable) atau qabil li al-niqash dalam pemaknaannya.[53]
Watak dasar al-Qur’an yang menimbulkan keberagaman penafsiran di atas digambarkan oleh Abdullah Darraz dengan: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”[54]
Dari sekian ragam penafsiran terhadap al-Qur’an, bagian pembahasan  ini akan mendiskusikan tafsir al-Qur’an dari sisi metode serta kondisi [sistem] penafsiran periode pasca Rasul Allah SAW. Metode tafsir yang didiskusikan dalam bagian pembahasan ini pada hakikatnya adalah metode tafsir yang dilihat dari perspektif landasan tafsir seperti yang akan dijelaskan berikut.

1.       Perbedaan Metode dan Kecenderungan dalam Memaha-mi al-Qur’an

Sebagai sistem nilai, al-Qur’an tidak selalu memberikan ketentuan-ketentuan dalam bentuknya yang matang pada tataran praksis. Tidak sedikit bahwa nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an harus diwujudkan atau diturunkan kepada nilai praksis agar dapat menjawab persoalan-persoalan manusia dan sekaligus menyelesaikan-nya.[55]
Untuk kepentingan menurunkan sistem nilai kepada nilai praksis tersebut dibutuhkan apa yang disebut dengan instrumen, sebuah perangkat yang berupa upaya atau proses yang dalam istilah keagamaan  disebut dengan ijtihad.[56]
Upaya untuk menurunkan sistem nilai kepada nilai praksis tersebut tidak lain adalah upaya untuk menerjemahkan kemauan atau maksud-maksud Tuhan dalam teks-teks suci-Nya. Maka, lahirlah produk-produk pemikiran  baik berupa konsep, teori dan semacamnya yang kebenaran dari kesemuanya bersifat relatif. Relativitas tersebut adalah sebuah kemestian karena merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil dari proses penerjemahan kebenaran-kebenaran absolut Tuhan (divine truth).[57] Oleh karena itu, produk-produk pemikiran tersebut tidak bisa terlepas dari realitas keberagamannya. Hal itu tak lain sebagai akibat dari perbedaan kemampuan (tingkat kecerdasan), ilmu yang ditekuni, pengalaman serta latar belakang penafsirnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya.[58]
Maka, lahirlah berbagai model penafsiran terhadap wacana-wacana tekstual al-Qur’an. Dalam studi ilmu al-Qur’an, dikenal adanya klasifikasi berbagai macam penafsiran yang, menurut hemat penulis, tidak jarang menimbulkan kekaburan pemahaman atau kekurangcer-matan dasar-dasar yang dijadikan pijakan klasifikasi antara metode dan pendekatan.[59] Oleh karena itu, di dalam memahami ragam penafsiran yang selama ini muncul terhadap al-Qur’an perlu dipahami perbedaan antara kedua hal tersebut.
Pertama,  Metode, yakni cara untuk menurunkan sistem nilai al-Qur’an kepada nilai-nilai praksis;  atau dengan kata lain, cara untuk menginterpretasikan wacana-wacana tekstual (ayat) yang diintrodusir oleh al-Qur’an.
Kedua,Pendekatan, yakni  perangkat, kecenderungan atau perspektif yang digunakan seseorang  sebagai dasar pijakan untuk menafsirkan wacana-wacana tekstual (ayat) al-Qur’an.[60]
2.       Menyorot Pengertian Tafsir bi al-Ma’thur dan  bi al-Ra’yi
Dalam realitas sosial, ada kecenderungan-kecenderungan yang tidak bisa dihindari: kebanggaan terhadap kelompok yang sering kemudian menimbulkan klaim-klaim kebenaran terhadap kelompok yang bersangkutan. Al-Qur’an menyebut kecenderungan ini dengan Kullu hizb bima ladayhim farihun.[61]
Kecenderungan akan kebanggaan terhadap kelompok ini pada tataran tertentu senantiasa mengambil strategi ‘hancur-ubah’ (break and change) dan mengupayakan adanya ‘keterputusan sejarah’ (historical discontinuity) melalui penciptaan istilah-istilah atau konsep-konsep yang diberikan pemaknaan secara ketat untuk kepentingan kelompoknya serta mengeluarkan (excluding) kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kelompoknya. Contoh konkret yang bisa disitir di sini adalah penamaan Orde Baru oleh rezim Soeharto terhadap pemerintahannya dan Orde Lama terhadap pemerintahan Soekarno walaupun rezim Soekarno sendiri tidak pernah menamakan dirinya dengan Orde Lama. Hal itu dilakukan oleh rezim Soeharto untuk menciptakan keterputusan sejarah terhadap rezim Soekarno serta menjadikannya sebagai ‘musuh utama’ (common enemy) untuk menarik simpati massa terhadap konsep-konsep yang dikembangkan oleh rezimnya. Maka, dibuatlah oleh rezim Soeharto istilah-istilah, konsep-konsep dan klaim-klaim kebenaran untuk menciptakan kesan pada pikiran massa bahwa rezimnyalah yang paling berhak dan benar dalam memaknai dan menjalankan amanat UUD 1945, bahkan tidak jarang untuk kepentingan itu substansi UUD 1945 direduksi dan dipelintir sedemikian rupa.
Menurut hemat penulis, pemikiran semacam di atas dapat juga digunakan untuk melihat wacana seputar klasifikasi tafsir bi al-ma’thur dan  bi al-ra’yi. Dari beberapa pemahaman oleh para ahli, terutama yang terdahulu, terkesan bahwa ada kecenderungan penciptaan ‘keterputusan sejarah’ dari kelompok tafsir bi al-ma’thur terhadap kelompok tafsir  bi al-ra’y, bahwa mereka yang berusaha  memaksimalkan fungsionalisasi argumentasi-rasional (ijtihad) melalui perangkat-perangkat kontekstual terhadap wacana-wacana tekstual (nashsh-nashsh) al-Qur’an disebut sebagai kelompok anti nashsh (bi al-ra’y) walaupun kelompok ini tidak pernah menamai atau mengidentifikasi diri sebagaimana yang dilontarkan oleh kelompok  bi al-ma’thur. Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada para `ulama’ terdahulu tidak sedikit bahwa labelisasi atau pemberian cap-cap tertentu tersebut digunakan untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok yang mencoba  memberi ‘warna’ lain terhadap ragam penafsirannya. Hal itu tampak dari pemaknaan literal mereka terhadap dalil yang mereka pergunakan untuk mengidentifikasi dan menamai kelompok lain tersebut:
·         Ittaqu al-Hadith ‘anni illa ma ‘alimtum, fa man kadhiba ‘alaiya muta’ammidan falyatabawaa’ maq’adahu min al-nar [62]
·         Man qala fi al-Qur’an bi ra’yihi fa ashaba fa akhtha’a [63]
Dalam kerangka berpikir semacam di atas, maka perlu diadakan peninjauan ulang terhadap pemaknaan dari tafsir bi al-ma’thur  dan bi al-ra’y agar tidak terjadi klaim-klaim kebenaran (truth claim) yang disertai upaya menafikan kebenaran dari pihak lain.
a.       Tafsir bi al-Ma’thur
Menurut hemat penulis, tafsir bi al-ma’thur[64] adalah suatu jenis penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan cara penyandaran secara ketat-tekstual-menyeluruh kepada wacana-wacana keislaman tekstual (nashsh-nashsh), baik kepada al-Qur’an itu sendiri, hadith, athar sahabat, maupun pendapat tabi’in.[65]
1.       Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lain.
Dalam beberapa kasus, al-Qur’an mengintrodusir persoalan secara singkat atau  globa       l dalam satu tempat. Kemudian, al-Qur’an membicarakan persoalan yang sama secara lebih terinci atau terurai di tempat lain. Pendek kata, dalam banyak hal al-Qur’an menerangkan dirinya sendiri (self explanatory).[66]
Contoh, ayat yang berbunyi: “Alladhina amanu wa lam yulbisu imanahum bi zhulm ulaika lahum al-amn.” [67]
Ayat tersebut menggunakan lafal zhulm dalam bentuk yang belum jelas pengertiannya. Oleh karena itu, dilakukanlah sebuah upaya penafsiran dengan cara melihat ayat lain yang berbicara secara lebih jelas, yakni: “Inna al-shirk la zhulm ‘azhim.” [68]
2.       Penafsiran ayat al-Qur’an dengan Hadith
Hadith merupakan sumber kedua dari penafsiran bi al-ma’thur. Hal itu dilatarbelakangi oleh keberadaan nabi sebagai pelaku pertama dalam sosialisasi ajaran Islam dalam konteks kemanusiaan, atau dengan kata lain sebagai guru pertama terhadap ajaran Islam, serta mufassir pertama terhadap firman Allah.[69]
Keberadaan Hadith nabi terhadap al-Qur’an bisa diklasifikasikan sebagai berikut.
·         Sebagai penjelas terhadap lafal al-Qur’an.
Contoh: ayat “Wa a’iddu lahum ma istatha’tum min quwwah wa min ribath al-khayl.” [70]
Nabi menafsirkan kata “Quwwah” dalam ayat tersebut dengan  “memanah” seperti tampak dalam Hadithnya: “Ala inna al-quwwah al-ramyu, ala inna al-quwwah al-ramyu, ala inna al-quwwah al-ramyu.” [71]
·         Sebagai petunjuk konkret terhadap konsep al-Qur’an.
Contoh: ayat “Wa la ta’kulu amwalakum baynakum bi al-bathil.”
Nabi memberikan petunjuk konkret terhadap makna ­“al-Bathil” dengan memberikan contoh-contoh konkret seperti riba, menipu sukatan (curang) dan sebagainya.
·         Sebagai perinci terhadap ajaran-ajaran umum al-Qur’an.
Contoh: seperti menjelaskan atau menguraikan macam-macam harta yang wajib dizakati serta batas minimal (nishab)nya.
·         Sebagai wacana edukatif terhadap kasus-kasus yang diuraikan dalam al-Qur’an.
Contoh: Seperti hadith “La dharara wa la dhirara.[72]
3.        Penafsiran ayat al-Qur’an dengan athar sahabat.
Penafsiran sahabat (athar) bisa dijadikan referensi dalam memahami konsep-konsep al-Qur’an. Diterimanya athar sahabat yang nota bene berada di bawah al-Qur’an itu sendiri dan Hadith Nabi SAW. dalam hal penafsiran al-Qur’an dikarenakan oleh kenyataan bahwa mereka hidup dan bersama dengan nabi saw. menyaksikan nilai-nilai kesejarahan dari wahyu serta mengetahui kondisi sosiologis pewahyuan (the circumstances of revelation), serta menerima ajaran Islam dari sumbernya yang masih murni (nabi SAW.).[73]
Dalam hal ini, Ibnu Kathir menegaskan:
“Jika kita tidak menemukan keterangan dari al-Qur’an  atau dari hadith, maka kita harus berpaling kepada perkataan-perkataan para sahabat yang banyak mengetahui hal itu. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka menyaksikan [turunnya] wahyu dan mengetahui kondisi serta karakter yang tepat dalam memahami pengetahuan dan perbuatan yang benar.”[74]
Walau demikian bukan berarti bahwa mereka (para sahabat) mempunyai kadar pemahaman dan tingkat penerimaan yang sama. Dalam banyak hal dijumpai bahwa mereka berselisih pendapat dalam memahami al-Qur’an sekalipun perselisihan tersebut tidak lalu menurunkan derajat keaslian penafsiran mereka kepada derajat (thabaqah) tabi’in. Contoh yang dapat dirujuk di sini di antaranya adalah penafsiran terhadap ayat “Idha ja’a nashr Allah.”[75] Beberapa sahabat menjelaskan makna ayat tersebut: “Kita diperintah untuk memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya tatkala Ia telah menolong kita menaklukkan [Makkah] buat kita.” Beberapa sahabat yang lain tidak memberi komentar apa-apa. Namun, menurut Ibnu Abbas, ayat tersebut menunjukkan kepada para sahabat akan dekatnya ajal nabi.[76]
Adapun sahabat yang terkemuka sebagai mufassir dan yang terbilang banyak dilakukan periwayatan dari diri mereka adalah al-Khulafa’ al-Rashidun (Abu Bakar, `Umar bin Khaththab, Uthman bin `Affan, `Ali bin Abi Thalib), Ibnu Mas’ud, Ibnu `Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Thabit, Abu Musa al-Ash’ari, dan `Abdullah bin Zubayr.[77]
Dari keempat khalifah (al-Khulafa’ al-Rashidun), `Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang darinya paling banyak dilakukan periwayatan, sedangkan periwayatan dari tiga khalifah sebelumnya tidak sesignifikan dari ‘Ali. Penyebab utama dari kenyataan ini adalah bahwa ketiga khalifah tersebut dipanggil oleh Allah SWT. lebih dulu dari `Ali di samping karena ketiganya hidup di tengah-tengah komunitas (sahabat) yang mengetahui banyak tentang al-Qur’an, sedangkan pada masa `Ali telah terjadi gesekan-gesekan yang berpeluang terhadap timbulnya pemahaman yang menyimpang terhadap Islam serta masuknya orang-orang non Arab kepada Islam. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kemudian periwayatan dari `Ali lebih banyak daripada ketiga khalifah sebelumnya.
Sementara itu, dengan tidak mengurangi penghormatan terhadap sahabat-sahabat lainnya, menurut penulis, Ibnu `Abbas dan Ibnu Mas’ud keduanya merupakan sosok yang dari mereka paling banyak dilakukan periwayatan, bahkan dalam beberapa kasus, komentar-komentar Ibnu `Abbas justru dijadikan rujukan oleh khalifah `Umar  karena derajat keilmuannya yang tinggi terhadap al-Qur’an dan kelebihan-kelebihan personal lainnya,[78] sampai-sampai ia dijuluki dengan ‘Tinta Umat’ atau ‘Laut Umat’  (Hibr al-Ummah wa Bahruha),[79] mufassir al-Qur’an,[80] serta Bapak Tafsir.[81]
Adapun banyaknya riwayat dari Ibnu Mas’ud bisa dipahami karena faktor tingginya tingkat mulazamah, kedekatannya dengan nabi; ia adalah seorang khadim, asisten nabi. Bahkan oleh al-Shabuni, kedekatan Ibnu Mas’ud ini digambarkan dengan kebiasaannya memakaikan alas kaki kepada nabi serta berjalan bersama beliau.[82]
4.        Kedudukan pendapat tabi’in dalam menafsirkan al-Qur’an.
Berbeda dengan ketiga jenis penafsiran bi al-ma’thur sebelumnya,[83] jenis penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat tabi’in ini masih diperdebatkan untuk bisa disebut bi al-ma’thur. Pandangan yang menerimanya karena menganggap pendapat tabi’in diperoleh dari sahabat, sedangkan yang menolaknya karena memandangnya sebagai opini mereka semata, tanpa terkait dengan sahabat sehingga lebih layak masuk kategori bi al-ra’y.[84] Namun demikian, menurut hemat penulis, selama terjadi penyandaran terhadap wacana-wacana tekstual (nashsh-nashsh),  baik al-Qur’an, Hadith ataupun athar sahabat secara ketat-tekstual-menyeluruh maka selama itu pula masih dalam koridor tafsir bi al-ma’thur.
b.      Tafsir bi al-Ra’yi
Menurut hemat penulis, tafsir bi al-ra’y adalah suatu jenis penafsiran yang dilakukan dengan mengembangkan wacana-wacana tekstual (nash-nash) al-Qur’an melalui perangkat-perangkat kontekstual dengan memaksimalkan fungsionalisasi argumentasi-rasional (ijtihad) daripada penyandaran secara ketat-tekstual-menyeluruh terhadap nash-nash atau wacana-wacana tekstual.
Tafsir bi al-ra’y tidak berarti meninggalkan wacana-wacana tekstual, baik al-Qur’an, Hadith, athar sahabat maupun produk-produk ijtihad generasi pendahulu, tetapi mendekati wacana-wacana tekstual itu dengan penghampiran argumentatif-rasional (ijtihad).[85] Hal itu bisa dipahami dari definisi yang disampaikan oleh al-Dhahabi: “Tafsir  bi al-ra’y adalah suatu upaya untuk menafsirkan dengan cara ijtihad setelah memahami ujaran-ujaran orang Arab, lafal-lafal Arab beserta maksudnya, sya’ir-sya’ir jahiliyah, asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh dari ayat-ayat al-Qur’an dan selainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an… .”[86]
Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan suatu pernyataan, seperti oleh Manna’ al-Qaththan, bahwa tafsir bi al-ra’y adalah tafsir dengan akal (akal-akalan), suatu tafsir yang pemahamannya tidak sesuai dengan ruh syari’at dan tidak bersandarkan pada nash.[87] Hal demikian karena pernyataan itu berindikasi politis, untuk mendiskreditkan kelompok yang mencoba untuk memaksimalkan peran akal dengan melalui berbagai pendekatan terhadap wacana-wacana tekstual (nashsh).
Dalam kasus penafsiran terhadap nash menyangkut pembagian warisan sebagai misal, Munawir Syadzali bukan berarti meninggalkan nash tersebut[88] sama sekali, melainkan mengembangkan nash tersebut dengan memaksimalkan pemanfaatan argumentasi-rasional (ijtihad) melalui upaya pemaknaannya dalam kerangka tujuan disyari’atkannya sesuatu (maqashid al-shari’ah).[89] Bagi Munawir, sesuai dengan kandungannya ayat tersebut bukanlah ayat teologis, tapi merupakan ayat hukum yang keterkaitannya dengan persoalan-persoalan ruang dan waktu tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, ayat tersebut sangat sosiologis yang pemaknaannya harus melihat konteks waktu dan tempat diturunkannya ayat tersebut.
Karena pada prinsipnya tafsir bi al-ra’y  itu merupakan proses dan produk ijtihad, maka berlaku padanya ketentuan-ketentuan ijtihad dan watak-wataknya. Produk yang dihasilkan oleh proses ijtihad bisa benar (ashaba) dan bisa pula salah (akhtha’a). Dalam kaitannya dengan produk pemikiran yang salah, Nurcholis Madjid memberikan catatan dan mempertanyakan sesuatu hal disebut sebagai hasil ijtihad jika sesuatu itu salah dan kesalahan itu sengaja dibuat, bahkan merupakan suatu kejahatan.[90]  Dalam konteks inilah bisa dipahami adanya klasifikasi tafsir bi al-ra’y ke dalam dua hal: ja’iz  dan madhmum[91]  walaupun harus dicatat bahwa penerimaan tafsir bi al-ra’y itu bukan karena alasan-alasan protektif (untuk kepentingan [kebenaran] kelompok), tetapi lebih karena alasan-alasan substantif,  bisa diterima oleh perangkat argumentasi-rasional.
Memang, persoalan penilaian (judgement) terhadap klasifikasi ja’iz  dan madhmum itu agak sulit, membutuhkan diskusi lebih detail, karena berkaitan dengan motivasi yang hal itu merupakan persoalan internal individu yang tidak kasat mata, bahkan lebih-lebih bila sudah menyangkut kepentingan kelompok. Suatu contoh yang perlu didiskusikan di sini adalah penafsiran terhadap ayat ke-3 surat al-Nisa’: “Fa inkihu ma thaba lakum min al-nisa’ mathna wa thulatha wa ruba’, fa in khiftum an la ta’dilu fa wahidah.”
Ayat di atas oleh sekelompok orang ditafsirkan dalam kerangka rukhshah sebagaimana rukhshah dalam pelaksanaan shalat: jika seseorang tidak mampu bersholat dengan berdiri, ia bisa dengan duduk, dan seterusnya. Demikian pula halnya dengan persoalan perkawinan, jika seorang laki-laki tidak mampu mengawini dua, tiga atau empat wanita, maka cukup satu wanita saja. Jadi, kesimpulan mereka, monogami adalah alternatif terakhir setelah poligami (ta’addud al-zawjah) tidak mampu dilaksanakan oleh seorang pria.
Namun, menurut kelompok lain, ayat di atas tidak dapat dimaknai seperti oleh kelompok di atas, yakni sebagai dasar dibolehkannya berpoligami. Cuplikan ayat tersebut harus ditafsirkan dalam konteks satu ayat secara utuh, tidak dengan mencukupkan potongannya saja serta harus dipahami dalam konteks meninggikan harkat dan martabat perempuan karena ayat tersebut terkait dengan perlindungan terhadap anak yatim. Ayat tersebut melarang para lelaki mewarisi perempuan (janda) secara paksa seperti yang terjadi pada masa jahiliyah, yakni perempuan yatim piatu menjadi sasaran empuk laki-laki yang ingin menguasai tubuh dan hartanya sekaligus.[92]

3.       Kondisi [sistem] Penafsiran Pasca Rasul Allah

Wafatnya Rasul Allah menjadi kontribusi besar terhadap pola yang dikembangkan oleh para sahabat dalam memahami arti dan kandungan al-Qur’an, terutama menyangkut ayat yang tidak diterangkan oleh Rasulullah saw. Pada intinya, dalam kasus-kasus seperti itu mereka, khususnya yang memiliki kemampuan seperti `Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud, terpaksa melakukan ijtihad.[93]
Satu hal yang tipikal dari penafsiran sahabat terhadap al-Qur’an adalah bahwa mereka banyak merujuk kepada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Penafsiran sahabat tidak bermuara pada kajian dari segi nah}wu, i’rab, dan macam-macam balaghah seperti ma’ani, badi’, bayan, majaz dan kinayah. Kajian dari segi lafal, susunan kalimat, hubungan satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya baru muncul pada kalangan mufassir terkemudian (muta’akhkhirin). Hal yang demikian karena para sahabat mempunyai al-dhawq al-lughawi (rasa kebahasaan) yang tinggi sehingga mereka bisa menangkap pesan-pesan yang tersampaikan melalui aspek linguistik al-Qur’an.[94]
Al-Hakim menyatakan bahwa penafsiran sahabat itu berbasis atas persaksian secara langsung terhadap wahyu.[95] Dalam beberapa masalah yang berkaitan dengan sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang disitir oleh al-Qur’an, para sahabat mengkonfirmasikan hal-hal tersebut kepada tokoh-tokoh Ahl al-Kitab yang telah memeluk agama Islam, misalnya ‘Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-ahbar. Kenyataan seperti inilah yang menjadi cikal bakal dan asal dari munculnya israiliyat.[96]
Sebagai tambahan, perlu dicatat di sini bahwa pada masa pasca sahabat dan tabi’in muncul permasalahan-permasalahan yang belum pernah terjadi dan berbeda sama sekali dengan sebelumnya, sementara pada saat yang sama hadith-hadith telah beredar sedemikian luas di masyarakat. Maka, muncullah hadith-hadith palsu dan lemah (dha’if) di tengah-tengah masyarakat.[97] Di sinilah wacana tafsir untuk perkembangan selanjutnya tidak jarang harus berhadapan dengan berkembang dan masuknya riwayat-riwayat dha’if  ke dalamnya.
Dari uraian di atas tampak bahwa wacana-wacana tekstual keislaman, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai kesejarahan kemanusiaan, terbuka terhadap upaya kaji-ulang karena persoalan kesejarahan kemanusiaan sangat erat kaitannya dengan persoalan kontekstual: ruang dan waktu. Hasil dari upaya kaji-ulang tersebut relatif sifatnya dan bisa berbeda dari kesimpulan yang diambil oleh para ulama’ terdahulu walaupun wacana tekstualnya tidak berbeda.



*Ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber


Daftar Pustaka:


[1] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 2-3.
[2] Subhi as-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1988), h. 19.
[3] Depag. RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an), h. 999.
[4] Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, Juz 1 (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1991), h. 13.
[5] Subhi as-Shalih, op. cit., h. 21.
[6] As-Shabuni, ‘Ulum al-Qur’an, terj. Saiful Islam Jamaludin (Surabaya: al-Ikhlas, 1983), h. 17.
[7] Dawud al-Aththar, Mujaz ‘Ulum al-Qur’an, terj. Afif Muhamad dan Ahsin Muhamad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 43.
[8] Masjfuk Zuhdi, op. cit., h. 3.
[9] Az-Zuhaili, op. cit., h. 14-15.
[10] Subhi as-Shalih, op. cit., h. 17.
[11] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 33.
[12] Harun Nasution, op. cit., h. 26.
[13] Ibid., h. 27.
[14] Ibid.
[15] A. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, terj. Nor Iskandar al-Barsani dan Moh. Tholhah Mansur (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 41-42.
[16] Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 293.
[17] Ibid., h. 30.
[18] Jujun S. Suriasumantri, Pengantar Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 119.
[19] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz 1 (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1969), h. 12.
[20] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, juz 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 404.
[21] Ibn Katsir, loc. cit.
[22] Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 155.
[23] Ibid., h. 156.
[24] Lihat, Qs. Hud: 6.
[25] Az-Zamakhsyari, op. cit., h. 450.
[26] Rasyid Ridla, Juz VII, op. cit., h. 394.
[27] Ibn Katsir, Juz II, op. cit., h. 528.
[28] Az-Zamakhsyari, op. cit., h. 692.
[29] Saiful Muzani (ed.), op. cit., h. 20-21.
[30] Masjfuk Zuhdi, op. cit., h. 18-20.
[31] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op. cit., h. 21.
[32] Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta: Sa’diyah Putra, 1983), h. 102.
[33] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Muczakir AS (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992), h. 140.
[34] Quraish Shihab, op. cit., h. 22.
[35] Agil Munawwar dan Masykur Hakim mencoba memilah mu’jizat kepada yang hissi dan maknawi. Yang disebut pertama dapat dilihat, didengar dan disaksikan lewat pancaindera. Mu’jizat jenis pertama ini sengaja ditunjukkan pada manusia yang tidak cakap atau dan tak biasa menggunakan kecerdasan fikirannya. Sedangkan jenis mu’jizat kedua (maknawi) tak mungkin hanya dicapai dengan pancaindera saja, tetapi juga melilbatkan akal di dalamnya. Karenanya, jenis mu’jizat ini ditujukan lada orang yang memiliki kecerdasan akal fikirannya.
[36] Lihat, Qs. as-Saba’: 28.
[37] Lihat, Qs. al-Ma’idah: 3.
[38] M. Yunan Yusuf, dalam Budhy Munawwar-Rachman, Kontekstualilsasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 538.
[39] As-Suyuthi, Apa itu al-Qur’an?, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: GIP, 1993), h. 111.
[40] Quraish Shihab, op. cit., h. 29-32.
[41] Ibid.
[42] Lihat, Qs. ar-Rum: 2-6.
[43] Lihat, Qs. Yunus: 92.
[44] Quraish Shihab, op. cit., h. 41.
[45] Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam Menurut Islam, Sains dan al-Qur’an (Jakarta: Grafinso, 1994), h. 28-29.
[46] Al-Qattan, op. cit., h. 391-396.
[47] Ibid., h. 390.
[48] Quraish Shihab, op. cit., h. 23.
[49] Al-Qattan, op. cit., h. 181-182.
[50] Mereka itu adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
[51] Ibid., h. 145-148.
[52] Lihat, Sjahminan Zaini dan Ananta Kusuma Seta, Bukti-bukti Kebenaran al-Qur’ani Sebagai Wahyu Allah (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 176-181.
[53] Amin Abdullah, Falsafat Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 35.
[54] ‘Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim (Mesir: Dar al-`Urubah, 1960), 11, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992),  hal. 72.
[55] Dalam persoalan ini, Komaruddin Hidayat mendiskusikan dialektika antara agama dan manusia dengan sebuah pertanyaan mendasar: Apakah agama untuk manusia ataukah manusia untuk agama? Dalam pernyataannya, Komaruddin menegaskan bahwa agama diwahyukan untuk manusia, bukan manusia tercipta untuk agama. Artinya, bahwa konsep-konsep agama harus dekat dan bisa menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan, bukan justeru menjadi konsep menara gading (ivory tower) yang tidak membumi serta menyendiri dari persoalan kemanusiaan. Lihat Komaruddin Hidayat, “Agama Untuk Kemanusiaan,” dalam  Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (ed.) Andito (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 14.
[56] Satu hal yang perlu ditegaskan bahwa sebagai teks seluruh perangkat ijtihad yang posisinya di bawah al-Qur’an dan Hadith kedudukannya adalah sama, tidak mempunyai kekuatan memaksa. Artinya, produk-produk ijtihad dari generasi belakangan tidak selalu harus sejalan dengan apa yang sudah disepakati oleh generasi pendahulu sekalipun itu hasil ijma’ atau qiyas. Lebih lanjut lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisme dan Arabisme, (terj.) Khairon Nahdliyyin (Yogyakarta: LKIS, 1997), hal. 93.
[57] Produk pemikiran ini merupakan tradisi keilmuan Islam yang tidak diterima utuh secara apa adanya (taken for granted), tetapi hasil akumulasi pengalaman sejarah kemanusiaan ‘biasa’ yang selalu terkait dengan persoalan ruang dan waktu. Pengalaman  sejarah kemanusiaan abad pertengahan sangat berbeda dengan yang ada pada abad modern walaupun aspek normativitasnya bisa jadi tidak berbeda. Lihat Amin, Falsafat Kalam, hal. 35.
[58] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,  hal. 77.
[59] Muhammad `Ali al-Shabuni, misalnya, mencampuradukkan antara metode dan pendekatan dalam penafsiran; ia menggabungkan antara tafsir bi al-ma’thur, bi al-ra’y dan tafsir  bi al-Ishari walaupun ketiganya tidak bisa dikategorikan ke dalam satu kelompok. Lihat Muhammad ‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Alam al-Kitab, t.t.), 67. Selain itu, Goldziher, seorang ahli studi Qur’an dari Jerman, juga tidak cermat dalam klasifikasinya ketika menguraikan kecenderungan penafsiran Muslim terhadap al-Qur’an; ia masih tidak membedakan antara metode dan kecenderungan sehingga ia menyebut lima kecenderungan penafsiran: (1) Penafsiran dengan bantuan Hadith Nabi dan athar sahabat (2) Penafsiran dogmatis (3) Penafsiran mistik (4) Penafsiran sektarian (5) Penafsiran modernis. Lihat J.J. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1980), hal. 6. 
[60] Sebagai perbandingan, M. Ridwan Nasir membuat klasifikasi ragam penafsiran terhadap al-Qur’an ke dalam tiga hal: kecenderungan aliran (al-naz’ah atau al-ittijah), metode (al-manhaj), dan sumber (al-mashadir). Lihat M. Ridwan Nasir, Penelitian Tafsir (Makalah disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Tingkat Dasar Tenaga Edukatif IAIN Sunan Ampel 1 September – 27 November 1998), hal. 26.
[61] Al-Qur’an, 23: 53.
[62] Hadith ini menurut Abu Isa termasuk Hadith Hasan. Lihat Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, (t.t.: t.p, 1976), hal. 258.
[63] Ibid.
[64] Jenis tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bi al-riwayah  atau al-tafsir al-athari. Lihat Al-Sayyid Ahmad Khalil, Dirasat fi al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), hal. 111-116.
[65] Sebagai perbandingan, Bakri Shaykh Amin menyebut tafsir bi al-ma’thur sebagai menerangkan maksud-maksud yang dikehendaki Allah dalam Kitab-Nya dengan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri, Sunnah, dan perkataan Sahabat yang sahih. Lihat Bakri Shaykh Amin, Al-Ta’bir al-Fanni fi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Shuruq, 1973), hal. 102.
[66] Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995), hal. 8.
[67] Al-Qur’an, 6: 82.
[68] Al-Qur’an, 31: 13.
[69] Musthafa al-Shawi al-Juwayni, Manahij fi al-Tafsir (Mesir: Minsha’at al-Ma’arif, t.t.), hal. 15.
[70] Al-Qur’an, 8: 60.
[71] Hadith tersebut diriwayatkan oleh Muslim. Lihat al-Shan’ani, Subul al-Salam, Vol. IV (Semarang: Toha Putera, t.t.), hal. 71.
[72] Bakri Shaykh Amin, al-Ta’bir al-Fanni fi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Shuruq, 1973), hal. 103.
[73] Amin, al-Ta’bir al-Fanni , hal. 104; al-Shabuni,  al-Tibyan, hal. 70; serta Ushama, Metodologies, hal. 10-11.
[74] Lihat al-Suyuti, al-Itqan  fi ‘Ulum al-Qur’an, vol II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 192.
[75] Al-Qur’an, 110: 1.
[76] Lihat al-Shabuni, alTibyan, hal.  73.
[77] Lihat Amin, al-Ta’bir al-Fanni, hal. 105; serta al-Suyuti,  al-Itqan, vol. II, hal. 187.
[78] Misalnya tercermin pada Hadith Bukhari tersebut sebelumnya. Lihat halaman 10.
[79] Amin, al-Ta’bir al-Fanni, hal. 105; al-Shabuni, al-Tibyan, hal. 72.
[80] Muhammad ‘Abd. Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. II. (t.tp: t.t. ), hal. 15.
[81] Al-Suyuti, al-Itqan, Vol. II, hal. 187.
[82] Al-Shabuni, al-Tibyan,  hal. 75.
[83] Khusus untuk penafsiran ayat al-Qur’an dengan athar  sahabat masih terjadi tarik menarik di kalangan para ahli tentang kualitas dan kadar tafsirannya karena masih terkandung kemungkinan lemahnya substansi yang ada pada pendapat sahabat. Lihat Ushama, Metodologies, hal. 12.
[84] Amir ‘Abd. `Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, (‘Amman: Dar al-Furqan, 1983), hal. 158.
[85] Lihat Muhammad Husayn al-Dhahabi, alTafsir wa al-Mufassirun, juz I, (t.tp.: t.p, 1976), hal. 256. Menurut hemat penulis, Penghampiran argumentatif-rasional ini bisa berupa sosiologi, filologi, hermeunetik dan sebagainya.
[86] Ibid,  al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, hal. 255.
[87] Manna’ al-Qaththan, Mabahith  fi ‘Ulum al-Qur’an (t.tp.: Manshurat al-‘Ashr al-Hadith, t.t.), hal. 351.
[88] Lihat al-Qur’an , 4: 10.
[89] Uraian lebih lanjut lihat Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (ed.) Iqbal Abdulrauf Saimima, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 1-11.
[90] Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 124.
[91] Lihat Amin, al-Ta’bir al-Fanni,101; Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir,  (terj.) Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hal. 49.
[92] Nursyahbani Katjasungkana, “Kedudukan Wanita dalam Perspektif Islam,” dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, ed. Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (Jakarta: INIS, 1993), hal. 59.
[93] M. Quraih Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal. 71.
[94] Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, hal. 15-16.
[95] Ushama, Metodologies , hal. 11.
[96] Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal.  71.
[97] Ibid, hal. 72.

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...