A. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologis,
kata al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca. Lafadz al-Qur’an berbentuk isim
mashdar dengan “isim maf’ul”. Lafadz al-Qur’an dengan arti bacaan,
misalnya dapat dilihat pada firman Allah yang artinya sebagai berikut:
“Janganlah,
engkau menggerakkan lidahmu untuk terburu-buru membacanya. Sesungguhnya menjadi
tanggungan-Ku mengumpulkan dan membacanya. Maka apabila Kami membacanya, maka
ikutilah pembacaannya” (QS. Al-Qiyamah: 16-18).
Mengenai asal-usul kata
al-Qur’an, di kalangan ahli ada beberapa pendapat, yang antara lain adalah:[1]
1. Al-Syafi’i (150-204 H) berpendapat
bahwa kata al-Qur’an ditulis dan dibaca dengan tanpa hamzah (al-Quran) serta
tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama khusus yang diPakai untuk kitab
suci yang diberikan kepada nabi Muhamad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat
yang masing-masing diberikan kepada Isa dan Musa.
2. Al-Farra’ (w. 207 H), penulis kitab Ma’ani
al-Qur’an, berpendapat bahwa kata al-Qur’an tidak berhamzah, dan diambil
dari kata qara’in, bentuk jamak dari qarinah, yang bermakna indikator/petunjuk.
Hal ini dikarenakan sebagian ayat al-Qur’an serupa satu sama lain, sehingga
seolah-olah sebagian ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh
ayat lain yang serupa itu.
3. Al-Asy‘ari (w. 324 H) berpendapat bahwa
kata al-Qur’an tidak berhamzah dan diambil dari kata qarana yang berarti
menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an
dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
4. Al-Zajjaj (w. 311 H) berpendapat bahwa
kata al-Qur’an berhamzah, berwazan fu’lan dan diambil dari kata al-qar’u
yang berarti menghimpun. Hal ini karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang
menghimpun intisari dari ajaran-ajaran kitab sebelumnya.
5. Al-Lihyani (w. 215 H) berpendapat bahwa
kata al-Qur’an berhamzah, bentuk masdar dari qara’a yang berarti
membaca. Hanya saja menurut al-Lihyani merupakan masdar yang bermakna isim maf’ul.
Jadi al-Qur’an artinya maqru’ (yang dibaca).
Terhadap
pendapat-pendapat yang disebutkan di atas Shubhi al-Shalih mengemukakan
penilaiannya bahwa pendapat yang paling benar adalah “al-Qur’an masdar dan
muradif dengan qira’ah (bacaan),[2] sebagai tersebut di dalam Qs. al-Qiyamah ayat 17-18:
إنّ علينا جمعه و
قرأ نه. فإذا قرأنا ه فا تّبع قرأ نه
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu) pandai
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”.[3]
Adapun pengertian al-Qur’an secara terminologis dapat
dipahami dari pandangan beberapa tokoh berikut ini:
القرأ ن هو كلا م الله المعجز المنزّل
على النبىّ ص م باللفظ العربىّ المكتوب فى المصا حف المتعبّد بتلا وته المنقول عنه
بالتوا تر المبدوء بسورة الفا تحةالمختوم بسورة النّا س
“Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang
tertulis dalam mashahif menrupakan ibadah dalam mebacanya, yang diriwayatkan
secara mutawatir diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan an-Nas”.
2. Shubhi al-Shalih[5] merumuskan definisi al-Qur’an yang dipandang sebagai
definisi yang dapat diterima oleh para ulama’, terutama ahli bahasa, fikih dan
ahli ushul.
القرأن هو الكلا
م المعجز المنزّل على النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم المكتوب
فى المصا حف
المنقول عنه با التوا تر المتعبّد بتلا وته
“al-Qur’an
adalah kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada nabi saw, yang tertulis
dalam mashahif yang diriwayatkan secara mutawatir dan merupakan ibadah dalam
membacanya”.
“Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada nabi terakhir melalui
al-amin jibril yang tertulis dalam mashahif yang diriwayatkan kepada kita
secara mutawatir, merupaka ibadah dalam membacanya diawali dengan surat
al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas”.
Bila dilakukan analisis secara kritis, ada kelemahan yang
inheren pada rumusan definisi masing-masing di atas. Pada definisi pertama
tidak dimasukkan bi wasithah jibril sebagai indikasi kekurangannya,
mengingat al-Qur’an mesti diwahyukan dengan perantaraan Jibril, meski tidak
semua yang diwahyukan Tuhan melalui Jibril mesti berupa al-Qur’an. Sedangkan
kelemahan pada rumusan definisi yang kedua, di samping karena tidak
dimasukkannya unsur bi wasithah Jibril, juga karena tidak terdapatnya
unsur bahasa Arab ke dalam rumusan itu. Padahal yang dinamakan al-Qur’an pasti
berbahasa Arab (Lihat, Qs. Fushshilat: 3), sehingga tafsir dan terjemahnya
dalam bentuk bahasa apapun tidak bisa dinamakan al-Qur’an. Dan begitu pula
rumusan definisi yang ketiga, di dalamnya tidak disebutkan bahasa Arab sebagai
salah satu unsur substansialnya.
Bertolak dari analisa di atas, kiranya dapat ditegaskan
bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada Muhamad
dengan melalui Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis dalam mashahif, yang
membacanya sebagai suatu ibadah, dan diriwayatkan secara mutawatir. Dengan
demikian, unsur-unsur pokok yang mutlak terkandung dalam pengertian al-Qur’an
adalah:
1. Al-Qur’an adalah kalamullah yang
bersifat mu’jiz.
2. Al-Qur’an adalah kitab suci yang khusus
diturunkan kepada nabi Muhammad.
3. Metode pewahyuan al-Qur’an mesti
melalui Jibril, meski tidak semua yang diwahyukan lewat Jibril berwujud al-Qur’an.
4. Al-Qur’an berhasa Arab, yang lafadz—dan
tentu juga maknanya—berasal langsung dari Allah.
5. Al-Qur’an adalah kalamullah yang
eksistensinya sudah tertuliskan dalam mushaf.
6. Al-Qur’an merupakan kalamullah yang
membacanya saja sudah dinilai sebagai ibadah.
7. Al-Qur’an merupakan kalamullah yang
periwayatannya secara mutawatir.
Di samping sebutan atau nama al-Qur’an, para ulama’ juga
memberikan beberapa sebutan lain dengan jumlah yang sangat bervariasi, bahkan
kadangkala terkesan berlebihan. Abu Ma’ali ‘Uzaizi bin Abdul Malik menjelaskan
dalam kitabnya al-Burhan bahwa Allah telah menamai al-Qur’an dengan 55 nama.[7] Bahkan Abu Hasan al-Harali menegaskan bahwa ada lebih dari
90 nama untuk al-Qur’an.[8] Pendapat semacam ini sangat berlebihan, sebab telah terjadi
pencampur-adukan antara nama dan sifat al-Qur’an. Kebanyakan yang semula mereka
anggap sebagai nama-nama al-Qur’an ternyata hanya merupakan sifat-sifat
al-Qur’an. Adapun di antara pendapat yang lebih dapat dipegangi adalah yang
dikemukakan oleh al-Zuhaili yang menyatakan bahwa al-Qur’an memiliki 5 nama,
yakni al-Qur’an, al-kitab, al-mushaf, al-nur dan al-furqan.[9] Hanya saja sebagaimana disampaikan oleh Subhi al-shalih,
bahwa di antara lima nama itu terdapat dua nama atau sebutan yang paling
terkenal yakni al-Qur’an dan al-Kitab.[10]
B. I SI/KANDUNGAN
AL-QUR’AN
Seluruh
umat Islam sepakat bahwa Islam yang disampaikan oleh Muhamad adalah agama yang
sempurna, dan bahkan paling sempurna. Atas dasar ini kemudian ada sebagian
pemikir Islam yang berpendapat bahwa al-Qur’an telah menjelaskan
segala-galanya, tak ada sesuatupun yang alpa darinya. Relevan dengan pandangan
seperti ini Rasyid Ridla pernah mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung semua
ilmu pengetahuan yang ada di alam kosmis ini.[11] Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan kitab suci yang di
dalamnya sudah dijelaskan sistem perekonomian, politik, sosio-budaya, ilmu
pengetahuan dan seterusnya, sehingga tidak ada suatu pun yang terlupakan
olehnya. Hal ini didasarkan pada Qs. al-Ma’idah ayat 3:
وما من دابة فى الأرض ولا طا ئر يطير بجنا
حيه إلاّ أمم امثا لكم ما فرّطنافى الكتا ب من شيء ثمّ الى ربّهم يحشرون
ِِِArtinya: “Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi
agamamu”.
و يوم نبعث فى كلّ امّة شهيدا عليهم من
انفسهم وجئنا بك شهيدا على هؤلاءونزّلنا عليك الكتا ب تبيا نا لكلّ شيئ وهدى ورحمة
وبشرى للمسلمين
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari
(ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari
mereka sendiri. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”.
ِِAyat-ayat di atas dan yang senada dengannya memang dapat
diartikan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sempurna isinya dalam arti tidak
ada sesuatupun yang dilupakan dan segala-galanya telah dijelaskan di dalamnya.
Namun pernyataan semacam ini masih perlu diklarifikasi dan dielaborasi lebih
lanjut. Dalam konteks apa pernyataan itu muncul? Ringkasnya, pendapat yang
menyatakan bahwa al-Qur’an telah menjelaskan seluruh aspek kehidupan manusia,
seperti sistem ekonomi, politik, perindustrian, ketatanegaraan, ilmu
pengetahuan dan seterusnya masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
Sebagai standarnya, antara lain adalah komposisi keseluruhan ayat-ayat
al-Qur’an beserta rincian isi kandungannya.
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada
Muhammad dalam rentang waktu sekitar 23 tahun, periode Makkah selama 13 tahun
dan sisanya 10 tahun periode Madinah. Jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya ada 114,
dan disepakati bahwa 86 dari jumlah itu merupakan surat Makiyah dan 38
merupakan surat Madaniyah. Apabila ditinjau dari segi jumlah ayat, al-Qur’an
memuat 6236 ayat, 4780 ayat atau 76,65 prosen dari padanya adalah ayat-ayat
Makiyah.[12]
Ayat-ayat Makiyah yang prosentasinya
sekitar tiga perempat dari seluruh isi al-Qur’an, isinya secara umum berupa
penjelasan mengenai keimanan, dan sedikit hal terkait dengannya. Oleh karena
itu logis kiranya sebagian besar penjelasannya adalah mengenai Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, iman, kufr, islam, nifak, hidayah, syirk, khair dan syarr,
akhirat dan dunia, surga dan neraka, kitab-kitab sebelum al-Qur’an, umat serta
para nabi dan rasul sebelum Muhamad.[13]
Adapun ajaran yang berkaitan dengan
hidup bermasyarakat dan bernegara terkandung dalam ayat-ayat Madaniyah, yakni
ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan pada paska hijrah Nabi Muhamad ke Madinah.
Karena pada periode Madinah itu keberadaan umat Islam sudah merupakan suatu
tatanan masyarakat yang sudah memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan, angkatan
perang dan lembga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Ayat-ayat Madaniyah berjumlah
sekitar 1456 buah atau 23,35 prosen dari seluruh ayat al-Qur’an. Hanya saja
perlu ditegaskan bahwa tidak seluruh ayat Madaniyah yang berjumlah 1456 itu
mengandung ketentuan-ketentuan hukum tentang hidup kemasyarakatan umat Islam,[14] ada juga sebagian kecil darinya yang berbicara mengenai
keimanan.
Berikut ini adalah perkiraan komposisi
ayat al-Qur’an dan isinya. Ayat al-Qur’an yang memuat ketentuan tentang iman, ibadah
dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya ada 500 buah ayat atau 8 prosen
dari keseluruhan ayat al-Qur’an. Dari sejumlah itu, ayat-ayat mengenai ibadah
ada 140, dan tentang hidup kemasyarakatan ada 228 ayat, dan kemudian sisanya
berisi tentang keimanan. Menyangkut ayat-ayat mengenai hidup kemasyarakatan
yang berjumlah 228 itu, Wahab Khalaf memberikan rincian lebih lanjut berikut
ini:
(a) hidup kekeluargaan, perkwinan, perceraian, hak waris dan
sebagainya ada 70 ayat; (b) hidup perdagangan/ perekonomian, jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya ada 70 ayat;
(c) soal hukum pidana ada 30 ayat; (d) hubungan orang Islam dengan non muslim
ada 25 ayat; (e) soal pengadilan ada 13 ayat; (f) hubungan orang kaya dengan orang
miskin 10 ayat; dan (g) soal kenegaraan ada 10 buah ayat.[15]
Masalah keuangan, perindustrian,
pertanian dan sebagainya tidak terdapat dalam teori rincian di atas. Memang
betul dalam rincian tersebut telah ada ayat-ayat mengenai kenegaraan, misalnya,
tetapi ayat-ayat itu tidak menjelaskan bentuk pemerintahan islami yang harus
ditegakkan oleh seluruh umat Islam. Misalnya, apakah sistem pemerintahan harus
mengambil bentuk khilafah, kerajaan, republik atau lainnya? Dalam konteks ini
ayat-ayat tersebut hanya menjelaskan dasar-dasar fundamental atau
prinsip-prinsip dasar berupa fundamental ideas yang harus dipegangi oleh
seluruh umat Islam dalam pengaturan negara. Salah satu prinsip fundamental itu
adalah permusyawaratan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat “wa syawirhum fi
al-amr”. Musyawarah boleh dijalankan dalam berbagai bentuk pemerintahan,
sebagaimana telah teruji dalam sejarah panjang politik umat Islam. Dan begitu
pula masalah ekonomi, ayat-ayat al-Qur’an tidak menetapkan sistem perekonomian
yang mesti ditegakkan, apakah model kapitalisme atau sosialisme; dalam hal ini
yang dijelaskan olehnya hanya sejumlah prinsip dasar yang harus ditegakkan
dalam tatanan perekenomian islam, diantaranya adalah haramnya riba dan wajibnya
keadilan dilaksanakan.
Dengan dasar uraian di atas kiranya
dapat dipahami bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak memberikan ketetapan tentang
berbagai sistem dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di dalam al-Qur’an belum
ditetapkan sistem kenegaraan, sistem perekonomian, sistem keuangan, sistem hidup bermasyarakat, perindustrian,
pertanian dan sebagainya yang harus ditegakkan oleh umat Islam. Yang ditetapkan
oleh al-Qur’an hanya dasar-dasar dan patokan-patokan umum semata, dan di atas
dasar-dasar umum itulah kemudian umat Islam mengatur hidup kemasyarakatannya,
sehingga muncul sistem pemerintahan Islam, ekonomi, keuangan, dan sistem
masyarakat Islam. Ringkasnya, meski al-Qur’an tidak mengandung sistem ekonomi,
kenegaraan, keuangan dan sebagainya, hal ini bukan berarti ekonomi, masyarakat, politik Islam dan
sebagainya tidak terdapat dalam al-Qur’an. Semua sistem ini telah ada, hanya
saja bukanlah merupakan doktrin absolut yang tidak dapat berubah menurut
perkembangan zaman; semua sistem itu merupakan hasil ijtihad dan karenanya
lebih merupakan hasil pikiran manusia, sehingga ia dapat berubah dan dirubah.
Hanya saja dalam perubahan itu dimensi prinsip dasarnya yang terdapat di dalam
al-Qur’an tidak boleh dilupakan dan tidak boleh dirubah, patokan-patokan itu
harus tetap dijadikan pegangan. Pemahaman seperti ini relevan dengan semangat
hadith “kalian lebih mengetahui soal-soal hidup keduniaanmu” (antum a’lam bi
umur dunyakum), dan jelas hidup kemasyarakatan lebih sebagai persoalan
keduniaan.
Ada hikmah agung terkait dengan konsep
doktrinal di atas. Masyarakat secara sosiologis memiliki karakter dasar
dinamis, berubah dan berkembang sejalan dengan tuntutan zaman. Sementara peraturan dan hukum memiliki efek mengikat.
Oleh karena itu kalau peraturan dan hukum absolut berjumlah banyak dan terinci,
maka dinamika masyarakat yang diaturnya tentu akan menjadi terikat olehnya,
sehingga menjadi statis. Agar masyarakat
menjadi dinamis, maka ayat-ayat yang mengaturnya jangan begitu banyak
jumlahnya terkecuali menyangkut dasar-dasar pokoknya. Dengan kata lain, dalam
masalah ini nampaknya Tuhan menyerahkan kepada akal manusia untuk mengaturnya,
sesuai dengan ayat-ayat yang mendasarinya yang berjumlah hanya sedikit lagi
global, tidak bersifat terinci. Di sinilah letak hikmah mengapa ayat-ayat
al-Qur’an tidak banyak membicarakan masalah hidup kemasyarakatan manusia.
Adapun mengenai ilmu pengetahuan,
fenomena alam memang disinggung oleh al-Qur’an, yang menurut perkiraan ahli
berjumlah sekitar 50 ayat.[16] Ayat-ayat yang biasa dinamakan ayat kauniyah ini, pada
dasarnya memuat perintah dan dorongan kepada manusia agar memperhatikan dan
memikirkan alam sekitar. Sebab dengan memperhatikan fenomena sekitarnya,
manusia akan sampai kepada kesimpulan bahwa fenomena-fenomena yang tedapat di
alam semesta tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan mesti diciptakan dan
digerakkan oleh dzat yang berada di balik alam ini yakni Tuhan. Dengan kata
lain, perenungan terhadap alam akan mengakibatkan iman manusia menjadi semakin
kokoh. Inilah tujuan sebenarnya dari ayat-ayat kauniah.
Selain hal di atas penyebutan ayat
kauniyah tidaklah diikuti oleh penjelasan terinci mengenai proses kejadiannya,
dan proses itu hendaknya diusahakan oleh fikiran manusia. Kalau memang demikian
maka kurang begitu tepat untuk dikatakan bahwa al-Qur’an itu telah membahas dan
menjelaskan ilmu pengetahuan. Sebagaimana ditegaskan oleh Harun Nasution, yang
tepat harus dikatakan bahwa ada di antara ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut
fenomena alam, yang mana ia juga menjadi objek kajian ilmu pengetahuan,[17] dan memang ilmu pengetahuan lebih merupakan hasil pemikiran
manusia tentang fenomena alam dengan menggunakan metode ilmiah.[18] Oleh karena tepat apa yang disampaikan oleh Moh. Abduh
bahwa al-Qur’an merupakan buku yang paling tidak ilmiah, meski di dalamnya
disinggung fenomena alam yang juga menjadi bahasan ilmu pengetahuan. Dalam hal
ini al-Qur’an lebih merupakan kitab petunjuk kehidupan yang berlaku sepanjang
masa.
Dan begitu pula mengenai teknologi.
Kalau makna yang terkandung dalam istilah teknologi adalah cara melakukan
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal, maka
al-Qur’an dalam penyebutan kisah umat terdahulu juga menyinggung hal-hal yang
berhubungan dengan teknologi. Tetapi hal demikian bukanlah berarti al-Qur’an
membahas soal teknologi, apalagi teknologi modern. al-Qur’an pada dasarnya
merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, dan dalam penjelasan mengenai
petunjuk dan pegangan itu al-Qur’an menyebut hal-hal yang ada hubungnnya dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uraian di atas menggambarkan betapa
pandangan yang mengatakan bahwa al-Qur’an sudah mengandung segala-galanya
adalah kurang tepat. Al-Qur’an tidak menguraikan sistem ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an hanya memuat penjelasan dasar-dasar
pokoknya saja, dan juga fenomena-fenomena alam yang ada hubungannya dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kalau demikian halnya, tiga ayat al-Qur’an yang
biasa dijadikan rujukan untuk alasan kelengkapan isi al-Qur’an yakni Qs.
al-Ma’idah ayat 3; al-An’am ayat 38 dan an-Nahl ayat 89 perlu ditelusuri
kembali makna kandungannya di dalam berbagai literatur kitab tafsir.
Yang pertama adalah Qs. al-Ma’idah ayat
3 “al-yaum akmaltu lakum dinakum….”. Dengan mengutip dari Ibn Abbas, Ibn
Katsir mengatakan bahwa menurut Ali bin Abi Thalib yang dimaksud oleh ayat ini
adalah “iman telah disempurnakan, tidak perlu ada tambahan lagi dan tidak pula
akan dikurangi”.[19] Sementara itu al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kata akmal
dalam ayat itu bermakna melindungi yakni Aku (Allah) melindungi dari musuh,
sehingga kamu mencapai kemenangan dan
musuh mengalami kekalahan. Mungkin juga kata al-Zamakhsyari ayat itu berarti
Tuhan pada hari itu telah menyempurnakan apa yang diperlukan manusia tentang
yang halal dan haram.[20] Sehingga sebagaimana dikatakan Asbat,[21] bahwa sesudah itu tidak pernah lagi turun apa yang
dihalalkan dan apa yang diharamkan. Menurut Rasyid Ridla, dengan menukil
penjelasan Ibn Jarir, bahwa yang dimaksudkan dengan penyempurnaan agama dalam
ayat ini adalah perginya kaum musyrikin dari Makah dan sucinya kota itu bagi
umat Islam, sehingga dalam pelaksanaan haji tidak terdapat kaum musyrikin di
kalangan umat Islam di Makah.[22] Menurut al-Baidlawi, yang dimaksudkan dengan penyempurnaan
agama adalah kemenangan yang membuat agama Islam berada di atas agama-agama
lainnya. Rasyid Ridla sendiri berpendapat bahwa bahwa yang dimaksudkan oleh
ayat itu adalah penyempurnaan iman, hukum, budi pakerti, ibadah dengan
terperinci dan muamalah dalam garis besar.[23]
Sedangkan ayat kedua (Qs. al-An’am 38)
membicarakan tentang binatang di bumi dan di langit dan dalam konteks inilah
penjelasan bahwa Tuhan tidak melupakan
suatu apa pun di dalam al-kitab. Oleh karena itu Ibn Katsir dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa Tuhan mengetahui semua binatang, tidak lupa memberikan rizki
kepadanya, baik di bumi maupun di langit. Selanjutnya ia mengutip ayat lain
untuk memperkuat tarsir di atas “tidak ada suatu binatangpun di bumi yang
rizkinya tidak tergantung pada Allah, dan Tuhan mengetahui tempat istirahat
serta tempat perbekalannya; semuanya disebut dalam al-kitab dengan nyata”.[24] Sementara al-Zamakhsyari menjelaskan yang dimaksud dengan
al-Kitab dalam ayat ini bukanlah al-Qur’an tetapi laukh makhfudh yang
ada di langit.[25] Penafsiran semacam ini dimungkinkan sebab menurut Rasyid
Ridla,[26] sebutan al-kitab itu mengandung berbagai arti yakni laukh
makhfudh, umm al-kitab dalam induk al-Qur’an, ilmu Tuhan yang
mencakup segala-galanya, dan juga berarti al-Qur’an. Jika yang dimaksudkan
al-kitab ayat ini adalah laukh makhfudh atau umm al-kitab apalagi
ilmu Tuhan, maka jelas itu mesti mengandung segala-galanya. Tetapi kalau yang
dimaksud olehnya adalah al-Qur’an, makna yang dikandung olehnya ialah soal-soal
agama secara umum. Dengan demikian arti yang terkandung di dalam kitab itu adalah
“tidak Kami lupakan di dalamnya soal-soal hidayah yakni dasar-dasar agama,
pegangan-pegangan, hukum-hukum, petunjuk tentang pemakaian daya jasmani serta
daya akal nntuk kemaslahatan manusia.
Selanjutnya mengenai ayat 89 Qs.
al-Nahl, al-Mujahid menafsirkan dengan “semua yang halal dan semua yang haram”.[27] Pemaknaan ini relevan dengan pedapat al-Zamakhsyari yang
menerangkan bahwa yang dimaksudkan adalah “segalanya mengenai soal agama, dan
itu pun dengan bantuan sunah nabi, ijma’, qiyas dan ijtihad.[28]
Dengan demikian semakin jelas bahwa
pendapat yang mengatakan al-Qur’an mencakup segala-galanya dan menjelaskan
segala-galanya, termasuk di dalamnya sistem hidup kemasyarakatan manusia, ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, tidak dapat diterima dan kurang beralasan.
Yang benar adalah bahwa dari 6236 ayat al-Qur’an ternyata hanya kurang dari 500
ayat yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup
kemasyarakatan manusia. Dan kurang lebih ada 150 ayat al-Qur’an yang mengandung
penjelasan tentang hal-hal yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan
fenomena alam.
Sejalan dengan dasar pemikiran
sebagaimana telah dijelaskan di atas, Harun Nasution membagi ayat-ayat
al-Qur’an—sesuai dengan kandungannya—menjadi sembilan bagian yakni:
(1)
ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan, yang dari situ kemudian lahir teologi
Islam; (2) ayat-ayat yang mengenai soal hukum yang kemudian melahirkan ilmu
hukum Islam atau fikih; (3) ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan
yang membawa ketentuan-ketentuan tentang ibadah dalam Islam: (4) ayat-ayat
mengenai budi pakerti luhur yang melahirkan etika Islam; (5) ayat-ayat mengenai
dekat dan rapatnya hubungan manusia dengan Tuhan yang kemudian melahirkan
mistisime atau tasawuf dalam Islam; (6) ayat-ayat mengenai tanda-tanda dalam
alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di
sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan pemikiran filosofis
dalam Islam; (7) ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan miskin dan
ini membawa pada ajaran sosiologis dalam Islam: (8) ayat-ayat yang ada
hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabi-nabi dan umat mereka, sebelum
Muhamad dan umat lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka. Dari ayat ini
dapat diambil pelajaran dan (9) ayat-ayat mengenai hal-hal lainnya.[29]
Selain itu terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa
al-Qur’an itu pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut: (1) masalah
tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang gaib; (2) masalah
ibadah yakni pengabdian kepada Tuhan; (3) masalah janji dan ancaman; (4) jalan
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan
aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar mendapatkan ridla Allah; (5) riwayat
atau cerita, yakni sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa,
tokoh-tokoh tertentu maupun para nabi dan rasul.[30]
C. OTENTISITAS AL-QUR’AN
Al-Qur’an
merupakan satu-satunya kitab suci yang terpelihara nilai otentisitasnya. Di
dalam surat al-Hijr ayat 9 Allah menyatakan sendiri jaminan atas keaslian
al-Qur’an.
إنّا نحن نزّلنا الذ كر و إنّا له لحا فظو ن
Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Qs.
al-Hijr: 9).
Ayat tersebut memuat janji Allah untuk mejaga otentisitas
al-Qur’an. Penggalan ayat “wa inna lahu lahafidhun” mengandung dua
pengertian penting terkait engan pemeliharaan al-Qur’an. Pertama, secara
bahasa susunan kalimat semacam ini memiliki faedah makna “istimrar”
yakni terus-menerus; kedua, dipergunakannya kata “inna” sebagai
kata ganti bagi Allah dalam penggalan ayat itu menunjukkan perlunya
keterlibatan manusia (selain Allah) dalam pemeliharaan al-Qur’an itu. Atas
dasar kedua hal ini dapatlah dipahami bahwa Allah senantiasa menjaga
otentisitas al-Qur’an sampai akhir zaman. Hanya saja dalam aktivitas
pemeliharaannya itu, Tuhan menuntut kepada manusia agar ikut berperan aktif di
dalamnya. Dengan adanya jaminan setegas ini maka setiap muslim percaya betul,
dan wajib percaya, bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an
seperti sekarang ini tidak berbeda sedikit pun dengan al-Qur’an yang pernah
dibaca oleh Rasulullah dan didengar serta dibacanya oleh para sahabat nabi.
Inilah makna sebenarnya dari otentisitas al-Qur’an.
Lebih
jauh dari itu setiap muslim juga dituntut untuk senantiasa berusaha bisa
mengungkapkan bukti-bukti otentisitas al-Qur’an itu. Mengingat sebagaimana
ditegaskan oleh Abdul Halim Mahmud, mantan syeikh al-Azhar, bahwa para
orientalis selalu berusaha untuk mencari celah kelemahan al-Qur’an,[31] meskipun mereka tentu tidak akan pernah berhasil. Untuk
menunjukkan bukti-bukti otentisitas al-Qur’an dapat dipergunakan berbagai
pendekatan yakni dengan melihat ciri-ciri dan sifat dari al-Qur’an itu sendiri,
melihat aspek kesejarahannya serta memperhatikan pengakuan-pengakuan dari para
pemikir non-muslim terhadap kebenaran al-Qur’an itu sendiri.
1. Bukti Otentisitas Al-Qur’an dilihat
dari Ciri-ciri dan Sifatnya
a. Keunikan Redaksi Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan mu’jizat terbesar nabi Muhammad, sebagai bukti kebenaran
kerasulannya. Kemu’jizatannya itu tidak hanya terbatas pada makna-makna
objektif yang terkandung di dalamnya, tetapi juga pada aspek marfologis atau
lafad dan redaksinya yang merupakan kutipan langsung dari Allah.[32] Karena itu mustahil jika di dalamnya terdapat
keganjilan-keganjilan redaksional. Kalau memang ada pihak yang bermaksud
mengacaukannya, maka akan dengan mudah dan segera diketahuinya bahwa itu
bukanlah redaksi al-Qur’an.
Keseimbangan
komposisi redaksi al-Qur’an telah ditata sedemikian rupa oleh Allah, sehingga
di dalamnya sarat dengan muatan munasabah (keserasian) dalam berbagai
bentuknya. Menurut al-Qattan, munasabah al-Qur’an itu mencakup munasabah antara
satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat
lain dalam banyak surat atau antara satu surat dengan surat yang lain.[33]
Dalam
konteks ini Musthafa Mahmud mengutip pendapat Rasyad Khalifah mengemukakan
bahwa al-Qur’an sendiri memiliki bukti-bukti yang menjamin otentisitasnya.[34] Huruf-huruf hija’iyah pada permulaan beberapa surat
al-Qur’an adalah salah satu jaminan keotentikan al-Qur’an sebagaimana diterima
Rasulullah. Tidak berlebih atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang
digunakan oleh al-Qur’an. Kesemuanya habis dibagi 19, sesuai dengan jumlah huruf
(B (i)sm All(a)h al-r(a)hm(a)n al-r(a)him, yaitu: ba’, sin’ mim, alif, lam,
lam, ba’, alif, lam, ra’, ha’, mim, nun, alif, lam, ra’, ha’, ya’ dan mim, yang
seluruhnya berjumlah 19 huruf. Adapun huruf (a) dan (i) yang tercantum dalam
kurung tidak terhitung dalam aksara Arab.
Huruf-huruf
kaf, ha’, ya’, ‘ain, shad, di dalam surat Maryam ditemukan sebanyak 798 kali
atau 42x19. Kedua huruf tha’ dan ha’ pada surat Thaha masing-masing berulang
sebanyak 342 kali, sama dengan 19x18. Kedua huruf ya’ dan sin pada surat Yasin,
masing-masing ditemukan sebanyak 285 kali atau 15x19. Huruf qaf yang merupakan
awal dari surat Qaf, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3x19. Huruf nun
yang merupakan awal dari surat al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 kali atau 7x19.
Huruf-huruf ha’ dan mim yang ada pada semua surat yang diawali dengan kedua
huruf ini (ha mim), semuanya merupakan perkalian dari 114x19, yakni
masing-masing itu berjumlah 2166.
Selain
itu masing-masing kata yang terdapat dalam bi ism Allah Rahman ar-Rahim,
yaitu ism, Allah, al-rahman, ar-rahim, juga habis dibagi 19. Kata ism berulang
sebanyak 19 kali dalam al-Qur’an; Allah sebanyak 2698 kali (142x19); ar-rahman
sebanyak 57 kali (3x19); dan ar-rahim sebanyak 114 kali (6x19). Khusus mengenai
kata ar-rahim memang ditemukan sebanyak 115 kali dalam al-Qu’an. Hanya saja
satu kata ar-rahim yang terdapat di dalam surat at-Taubah ayat 128 itu bukannya
menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat nabi Muhamad. Dengan demikian kata
ar-rahman yang khusus menunjuk kepada sifat Allah jumlahnya ada 114, hasil dari
6x19.
Bilangan-bilangan yang dapat
ditemukan dari celah-celah (redaksi) al-Qur’an tersebut, kata Rasyad Khalifah,
merupakan satu bukti otentisitas al-Qur’an. Oleh karena itu, lanjut Rasyad
Khalifah, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau pun ditukar
kata dan kalimatnya dengan kata dan kalimat lain, maka tentu
perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
b. Kemukjizatan al-Qur’an
Secara
bahasa i’jaz (kemukjizatan) berarti menetapkan kelemahan, dan mu’jiz adalah
sesuatu yang melemahkan, sehingga membuat tidak mampu pada pihak yang terkena
penetapan kelemahan itu. Menurut pengertian umum, kelemahan adalah
ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, antonim dari kemampuan. Dengan demikian
kalau kemu’jizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz,
pihak yang melemahkan.
Selanjutnya
istilah mu’jizat[35]—walaupun dengan redaksi yang berbeda—umumnya didefinisikan
sebagai “sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan oleh Allah melalui para
nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian atau
kerasulan itu”. Sementara itu ada kalangan—seperti al-Zarqani—yang
menterjemahkan mu’jizat sebagai “sesuatu yang melemahkan manusia atau makhluk
lainnya, baik secara individu maupun kolektif, untuk mendatangkan sesuatu yang
lain yang serupa dengan mu’jizat tersebut”. Sedangkan al-Suyuthi memberikan
arti mu’jizat sebagai perkara luar biasa yang disertai tantangan dan tidak ada
yang sanggup menjawab tantangan tersebut.
Jika
pengertian-pengertian di atas dapat dikompromikan, maka berturut-turut, hal-hal
yang terkandung dalam lingkaran pengertian mu’jizat adalah: (1) mu’jizat itu
sendiri merupakan perkara yang luar biasa, sifatnya yang luar biasa ini dapat
dimaklumi, karena memang ia berasal dari Yang Maha luar biasa; (2) mu’jizat itu
diberikan kepada para nabi atau rasul, dimaksudkan sebagai pembenaran atas
risalah yang dibawanya; (3) mu’jizat juga dimaksudkan sebagai tantangan kepada
para pengingkar kenabian atau kerasulan, sekaligus terhadap risalah yang
dibawanya; dan (4) mu’jizat itu akan menang ketika ia berhadapan dengan
penantangnya.
Meskipun
keempat poin di atas dapat dilekatkan pada semua mu’jizat yang diterima oleh
para nabi atau rasul, tetapi khusus al-Qur’an sebagai mu’jizat nabi Muhamad
memiliki karakteristik. Mu’jizat para nabi atau rasul terdahulu (sebelum
Muhamad) adalah mu’jizat hissi, sehingga ia bersifat temporal, lokal dan
material. Hal ini disebabkan oleh jangkauan misi da’wah mereka, yang hanya
dibatasi pada daerah, zaman dan umat tertentu saja. Sedangkan mu’jizat nabi
Muhamad yang berupa al-Qur’an adalah jenis mu’jizat ma’nawi, sehingga ia
bersifat universal, eternal dan ‘aqliyah (dapat dipikirkan dan
dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia di mana pun dan kapan pun).
Minimal
terdapat tiga hal yang melatari kemu’jizatan al-Qur’an secara ma’nawi,
dengan ketiga sifatnya tersebut yakni: pertama, nabi Muhamad diutus
untuk seluruh umat manusia (rahmah li al-‘alamin);[36] kedua, Muhamad merupakan nabi terakhir, sekaligus
sebagai pembawa pesan dan prinsip ajaran agama yang sempurna;[37] dan ketiga, al-Qur’an diturunkan pada saat akal
fikiran manusia dianggap sudah cukup dewasa untuk mencerna pesan-pesan yang
dibawa oleh kitab ini.[38] Dalam konteks ini al-Suyuthi memberikan komentar “karena
syariat Islam bersifat abadi dan universal, maka kemu’jizatannya pun bersifat ‘aqliyah
dan abadi agar dapat disaksikan oleh orang-orang yang mempunyai fikiran”.[39] Sebagai konsekuensinya, al-Qur’an mesti dipahami dengan
pendekatan rasional pula, tentu dengan akal yang tidak liar tetapi terkendali.
Adapun
segi-segi kemu’jizatan al-Qur’an, menurut M. Quraish Shihab,[40] dapat dilihat pada tiga aspek berikut: pertama, segi
keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya; kedua,
pemberitaan-pemberitaan gaibnya; dan ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya.
Sementara Manna’ al-Qattan menambahkan satu segi lagi di samping tiga hal yang
telah disebutkan oleh M. Qurasih Shihab ini yakni kemu’jizatan tasyri’.
Pada
aspek pertama—keindahan dan ketelitianredaksi-redaksinya—sebagaimana ikatakan
oleh Qurasih Shihab memang tidak mudah untuk mengurai dan mengenalnya, terutama
bagi kita yang tidak memiliki dan memahami “rasa bahasa” Arab. Karena keindahan
itu sesungguhnya diperoleh melalui perasaan, dan bukan nalar. Namun demikian
pendapat Abdurrazaq Naufal, sebagai dirujuk Quraish Shihab,[41] barangkali dapat membantu untuk memahami letak kemu’jizatan
al-Qur’an dalam aspek bahasanya. Dalam hal ini Quraish Shihab lebih melihat
keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, yang antara
lain terdapat pada: (1) keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan
antonimnya; (2) keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna
yang dikandungnya; (3) jumlah kata dengan kata-kata yang menunjuk kepada
akibatnya; (4) keseimbangan jumlah kata dengan penyebabnya; dan (5)
keseimbangan-keseimbangan khusus lainnya. Sebagai contoh keseimbangan tersebut,
secara berurutan adalah:
a.
Kata al-hayah dan al-maut sama-sama disebutkan
sebanyak 145 kali.
b. Kata al-‘ushb dan al-dlurur
muncul 27 kali.
c.
Kata al-infaq dan ar-ridla muncul 73 kali.
d. Kata al-israf (pemborosan)
dengan as-sur’ah (ketergesa-gesaan) muncul 23 kali.
e.
Kata yaum (hari), dalam bentuk tunggal muncul
sebanyak 365 kali, sama dengan jumlah hari dalam setahun. Sedangkan dalam
bentuk pluralnya (ayyam), kata ini muncul sebanyak 30 kali, sama dengan
jumlah hari dalam sebulan.
Keistimewaan
lain yang juga sering diangkat untuk menunjukkan kemu’jizatan al-Qur’an dalam
aspek bahasanya adalah “masing-masing kata yang terdapat dalam kalimat bismillahirrahmanirrahim
habis dibagi 19. Di samping itu, huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal
surat juga habis dibagi angka 19.
Pada
aspek kedua (pemberitaan gaibnya), kemu’jizatan al-Qur’an dapat dilihat dari
dua hal: pertama, kebenaran futurologi al-Qur’an. Dua contoh kasus yang
dapat diangkat untuk masalah ini adalah kebenaran futurologi al-Qur’an
sehubungan dengan akan dikalahkannya Romawi oleh Persia,[42] yang terbukti pada tahun 622 M. Adapun contoh kedua adalah
kebenaran futurologi yang berkaitan dengan pernyataan al-Qur’an bahwa jasad
Fir’aun akan diselamatkan oleh Allah untuk menjadi pelajaran sejarah bagi
generasi berikutnya.[43] Hal ini dibuktikan dengan telah ditemukannya jasad Fir’aun
yang nampak masih utuh pada 8 Juli 1908 M, setelah dipastikan lewat penelitian
ilmu pengetahuan. Kedua, kemampuan al-Qur’an untuk membahasakan sesuatu
yang berada di luar batas kemampuan manusia untuk memahaminya secara lebih
jauh. Contoh yang mewakili hal ini adalah kemampuan al-Qur’an untuk
membahasakan Tuhan, nilai-nilai, realitas di luar manusia dan sebagainya.
Keunikan sekaligus keistimewaan al-Qur’an dalam berbicara masalah ini adalah
pengungkapan redaksionalnya yang bisa dicerna dan ditangkap oleh semua lapisan,
baik lapisan awam maupun intelektual. Kemampuan al-Qur’an dalam masalah ini
telah diakui oleh banyak kalangan, termasuk kalangan yang paling liberal dalam
penggunaan akal.
Selanjutnya
pada aspek ketiga (isyarat ilmiah), kemu’jizatan al-Qur’an sering dihubungkan
dengan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini relevan untuk dikedepankan
pernyataan Quraish Shihab berikut ini:
Membahas
hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan melihat, misalnya, adakah
teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar….; tetapi yang lebih utama
adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan
atau sebaliknya, serta adakah satu ayat yang bertentangan degan hasil penemuan
ilmiah yang sudah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi social
psychology, bukan pada sisi history of scientific progress.[44]
Hal
semacam ini penting dikedepankan, mengingat ilmu pengetahuan merupakan produk
intelektual manusia yang terikat dengan ruang dan waktu. Karena itu adalah
sesuatu yang tidak beralasan pendapat yang mencoba memaksakan bahwa al-Qur’an
megandung segala pengetahuan ilmiah, sebab hal ini selanjutnya juga akan
mengandaikan terikatnya kebenaran al-Qur’an dengan ruang dan waktu. Pengandaian
semacam ini akan menyebabkan pemahaman terhadap al-Qur’an menjadi absurd,
sekaligus mereduksi nilai keagungannya sebagai kitab suci yang berasal dari
Yang Maha mutlak.
Berangkat
dari kerangka pemikiran di atas, mufassir dalam hal ini menempatkan al-Qur’an
sebagai kitab hidayah, yang di dalamnya tentu juga terkandung isyarat-isyarat
ilmiah, dan untuk selanjutnya merangsang manusia mengembangkan dan
menganlisanya secara lebih jauh. Untuk maksud ini, al-Qur’an mendorong manusia
agar mempergunakan akalnya dalam sebuah obserbasi dan penelitian. Selanjutnya
observasi dan penelitian tersebut oleh al-Qur’an diletakkan dalam kerangka
menguatkan iman dan mengetahui lebih jauh keagungan Pencipta. Bahkan di dalam
ayat-ayat tertentu al-Qur’an justru mengatributkan ilmu pengetahuan itu sebagai
ciri keberimanan seseorang. Semua ini merupakan penyiasatan al-Qur’an sebagai
kitab hidayah, agar seseorang yang bergelut di dalamnya kemudian tidak terjebak
dan bahkan dikuasai oleh lingkaran ilmu pengetahuan yang liar dan menyesatkan.
Berkaitan
dengan kemu’jizatan al-Qur’an, isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an terletak pada
dorongannya untuk menggunakan akal dengan membaca ayat-ayat kauniyah yang
terdapat di alam. Dorongannya untuk memperhatikan alam semesta ini, menurut
Sirajuddin Dzar,[45] bertujuan untuk mengantarkan manusia agar mereka menyadari
bahwa di balik tirai alam semesta—yang disebutnya sebagai kitab alam—ada Dzat
yang Maha kuasa dan Maha esa, sekaligus untuk menguatkan bahwa Tuhan itu memang
Maha kuasa dan Maha esa sebagaimana yang telah dipaparkan oleh kitab al-Qur’an.
Di antara dorongan untuk bersikap dan memiliki kesadaran
ilmiah ini, secara lebih khusus lagi muncul dalam bentuk anjuran al-Qur’an
untuk: (1) memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di bumi (Qs. Ali Imran:
190-191); (2) memikirkan manusia sendiri (Qs. az-Dzariyat: 21); memikirkan bumi
dan alam yang mengitari manusia (Qs. ar-Rum: 8, al-Ghasyiyah: 17-20); (4)
mengangkat kedudukan orang-orang berilmu dan membedakan kualifikasi mereka
dengan orang yang tidak berilmu (Qs. al-Mujadalah: 11, az-Zumar: 9) dan
sebagainya. Sebagai misal dalam hal ini adalah pengungkapan al-Qur’an tentang
fenomena alam dan sekalitus mendorong manusia untuk memikirkannya.
هو الذى جعل الشمش ضيا ء و القمر نو را
وقدّره منا زل لتعاموا عد د السنينوالحسا ب ما خلق الله ذ لك إلاّ بالحقّ يفصّل
الأ يا ت لقو م يعلمون
Ayat ini
memberikan isyarat bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri,
sedangkan cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari itu. Hal ini
merupakan suatu pernyataan, yang jika ditinjau dari segi ilmiah dapat diterima
kebenarannya. Dan sekaligus ia merupakan suatu kemu’jizatan, sebab kitab suci
yang diturunkan pada beberapa abad yang silam dan diturunkan kepada nabi yang
ummi itu, mampu berbicara tentang sesuatu yang lewat perspektif modern dapat
diterima kebenarannya.
Adapun
pada aspek keempat (tasyri’), kemu’jizatan al-Qur’an dapat dilihat dari
kemampuannya mengubah wajah sejarah, yang diawali dengan sejarah kemanusiaan
bangsa Arab. Prinsip-prinsip dasar tasyri’ yang ditawarkan sampai sekarang
masih dianggap relevan. Jika ada yang berubah, perubahan itu hanya terjadi pada
level pemahaman dan interpretasi terhadapnya, bukan pada aspek substansialnya.
Dalam konteks ini tasyri’ al-Qur’an telah menempatkan dan memperlakukan manusia
sebagai manusia yang mempunyai harkat, hak-hak individual dan sosial dan
sebagainya secara proporsional. Sehingga tidak berlebihan kalau ada ungkapan
yang menyatakan bahwa al-Qur’an melalui tangan Muhamad telah mampu melahirkan
revolusi kemanusiaan dalam sejarah umat manusia.
Bagaimana
al-Qur’an mensiasati perberla-kuan tasyri’? Secara berturut-turut, menurut
al-Qattan,[46] al-Qur’an mengawalinya dengan pembinaan pada tingkat
individu, selanjutnya pada tingkat keluarga dan terakhir pada tingkat
masyarakat luas. Dilatari oleh sebuah misi untuk mewujudkan keselarasan pada
tiga kepentingan ini, kemudian al-Qur’an menciptakan apa yang dalam bahasa
agama disebut sebagai syari’at. Mengapa syari’at ini dinilai perlu bagi
manusia?
Terhadap
hal ini al-Qattan[47] mencoba menjawabnya dengan lebih dahulu menyebutkan bahwa
dalam diri manusia terdapat gharizah (naluri, instink). Jika akal sehat dapat
menjaga pemiliknya dari ketergelinciran, maka arus kejiwaan yang menyimpang
dapat menyebabkan kelahnya kekua-saan akal. Karenanya perlu pendidikan khusus
terhadap gharizah-gharizah tersebut. Pada sisi lain, lanjut al-Qattan, manusia
seebagai makhluk sosial juga membutuhkan aturan main khusus. Kenapa? Sebagai
makhluk sosial manusia dihadapkan pada berbagai ragam kepentingan. Karenanya
jika tidak ada peraturan yang mengikatnya, tidak mustahil dan bahkan hampir
dapat dipastikan akan terjadi benturan dan kekacauan di dalamnya. Perbenturan
dan kekacauan itu akan semakin parah, jika manusia—makhluk sosial itu—tidak
mampu mengendalikan gharizahnya masing-masing. Atas dasar kenyataan tersebut,
menurut al-Qattan, keberadaan peraturan dan undang-undang dalam sebuah masyarakat
merupakan suatu keharusan.
Memang benar, kata al-Qattan, sebelum ada tasyri’ al-Qur’an
sudah dikenal adanya berbagai macam doktrin, pandangan, sistem dan tasyri’ yang
bertujuan untuk menegakkan masyarakat yang ideal, namun tidak satu pun yang
dapat menandingi al-Qur’an. Kitab ini lewat pembinaan kesalehan individual dan
kesalehan sosialnya, di samping kemampuannya untuk melindungi jiwa, agama,
kehormatan, harta benda dan akal, relatif dapat dinilai berhasil dalam
menciptakan masyarakat ideal itu. Karenanya pemaknaan terhadap syari’ah
idealnya tidak dipahami sebatas kerangka ibadah an sich, dakan tetapi juga
dalam konteks penciptaan masyarakat ideal ini. Karena lewat cara inilah salah
satu kemu’jizatan al-Qur’an itu dapat dirasakan.
2. Bukti Otentisitas Al-Qur’an Dilihat
Dari Aspek Kesejarahannya
Menurut
Quraish Shihab,[48] ada beberapa faktor yang mendukung pembuktian otentitas
al-Qur’an dilihat dari aspek kesejarahannya. Faktor-faktor tersebut adalah: (a)
masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an adalah masyarakat yang
tidak mengenal baca-tulis, sehingga satu-satunya andalan bagi mereka adalah
hafalan; (b) masyarakat Arab—khususnya pada masa turunnya al-Qur’an dikenal
sebagai masyarakt sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan ini menjadikan mereka
memiliki waktu luang yang cukup untuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan;
(c) masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusasteraan; mereka
bahkan mengada-kan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada musim-musim
tertentu; (d) al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan
bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi
juga orang-orang kafir. Bahkan dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa para tokoh
kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan
ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin; (e) al-Qur’an demikian juga
rasul menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memperbanyak membaca dan
mempelajari al-Qur’an, dan anjuran tersebut mendapat respon positif; (f)
ayat-ayat al-Qur’an turun dan berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan
peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. Di samping itu ayat-ayat al-Qur’an turun sedikit demi sedikit, sehingga
lebih mudah bagi mereka untuk mencerna maknanya dan menghafalkannya; (g) dalam
al-Qur’an, demikian pula hadis-hadis nabi, banyak ditemukan petunjuk-petunjuk
yang mendorong para sahabatnya untuk senantiasa bersikap teliti dan hati-hati
dalam menyampaikan berita, terutama kalau berita itu merupakan firman Allah
atau sabda rasul-Nya.
Di samping
faktor-faktor pendukung di atas, fakta sejarah telah menunjukkan tentang adanya
berbagai langkah nyata umat Islam—sejak nabi Muhamad, bahkan kemudian
dilanjutkan oleh generasi sesudahnya—untuk memelihara otentisitas al-Qur’an.
Dalam konteks ini jam’ul al-Qur’an (pengumpulan al-Qur’an) dapat
dipandang sebagai realisasi upaya pemeliharaan otentitas al-Qur’an. Menurut
al-Qattan,[49] istilah jam’ al-Qur’an memililki dua pengertian
yakni:
a.
Pengumpulan dalam arti hifdhuh (menghafal dalam
hati). Sehubungan dengan hal ini, setiap wahyu (al-Qur’an) turun, Rasulullah
memahaminya dan menghafalkannya. Karena itu beliau adalah hafidh
al-Qur’an pertama kali dan sekaligus merupakan contoh paling baik bagi para
sahabat dalam menghafal, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama
dan sumber risalah. Setelah itu beliau menyampaikannya kepada sahabat untuk
mereka hafalkan pula.
Di dalam kitab Shahih Bukhari
disebutkan bahwa ada tujuh sahabat penghafal al-Qur’an.[50] Penyebutan hafizh sebanyak tujuh orang ini bukan berarti
hanya mereka saja yang hafal al-Qur’an, tetapi lebih mengandung arti bahwa
hanya merekalah yang telah hafal seluruh isi al-Qur’an dan telah mentashihkan
hafalannya itu ke hadapan nabi, serta isnad-isnadnya telah sampai kepada kita,
sedangkan lainnya tidak memenuhi kriteria ini. Minimal ada dua argumen yang
menunjukkan betapa banyaknya sahaat yang hafal al-Qur’an di luar tujuh orang
tersebut yakni: pertama, para sahabat telah berlomba-lomba menghafalkan
al-Qur’an dan bahkan mereka memerintah anak-istrinya untuk menghafalkannya
juga, mereka pun juga membacanya dalam shalat di tengah malam. Kedua,
data sejarah menunjukkan bahwa dalam beberapa saat sepeninggal rasul, sekitar
70 orang sahabat penghafal al-Qur’an, yang semuanya disebut qurra’ telah
terbunuh dalam peperangan Yamamah. Jadi jelaslah bahwa penghafal al-Qur’an di
zaman rasul sangatlah banyak jumlahnya, meskipun yang memenuhi kriteria
istimewa hanya tujuh orang saja.
Usaha mengahafal al-Qur’an telah berkembang
dan diteruskan oleh generasi sesudahnya sampai zaman sekarang. Di Mesir,
misalnya, hafalan al-Qur’an merupakan prasyarat utama bagi peserta didik yang
akan masuk atau menamatkan studinya di sekolah atau perguruan tinggi tertentu.
Demikian juga halnya di negara-negara Arab yang lain juga di Indonesia,
kegiatan menghafal al-Qur’an dapat dilihat secara jelas.
b. Pengumpulan al-Qur’an dalam arti kitabuh
kullih (penulisan al-Qur’an seluruhnya), baik dengan memisah-misahkan
ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap
surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, atau pun menertibkan
ayat-ayat dan surat-surat nya dalam lembaran-lembaran yang telah terkumpul yang
menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian yang lain.[51]
Sehubungan dengan itu meski Rasulullah
dan para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, namun untuk menjamin otentisitas
al-Qur’an beliau tidak hanya mengandalkan pada kekuatan hafalan semata, tetapi
juga tulisan. Rasul telah mengangkat beberapa penulis wahyu dari kalangan
sahabat terkemuka seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit dan lain-lain. Setiap ada ayat atau wahyu turun, beliau memanggil
dan memerintahkan mereka agar menulisnya, dan bahkan beliau juga menunjukkan tempat
dan urutan ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu
membantu pengahafalan dalam hati. Di samping itu, ada sebagian sahabat yang
juga menuliskan al-Qur’an atas inisiatif sendiri, tanpa ada instruksi
Rasulullah.
Dengan demikian ada tiga unsur yang
saling melengkapi guna memelihara otentitas al-Qur’an yang telah diturunkan di
masa nabi, yaitu: (1) hafalan dari para sahabat; (2) kepingan naskah-naskah
yang dituliskan atas instruksi rasulullah; dan (3) kepingan naskah-naskah yang ditulis
atas inisiatif pribadi. Kemudian pada zaman Abu Bakar kepingan-kepingan naskah
tersebut dihimpun ke dalam bentuk mushaf. Dalam hal ini Abu Bakar hanya
menerima naskah yang memenuhi dua syarat yakni: (1) harus sesuai dengan hafalan
sahabat lain; dan (2) naskah harus benar-benar ditulis atas perintah nabi,
bukan inisiatif pribadi. Untuk membuktikan syarat kedua ini, diharuskan adanya
dua orang saksi.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, di
kalangan umat Islam terjadi perbedaan cara pembacaan al-Qur’an. Menghadapi
persoalan krusial ini, atas usul Hudzaifah bin al-Yamani, khalifah Utsman
mengambil kebijaksanaan untuk melakukan penyatuan dialek bacaan al-Qur’an.
Untuk merealisasikan tujuan itu Utsman membentuk panitia penulisan (penyalinan)
mushaf yang terdiri atas Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam; tiga sahabat yang disebut terakhir berasal
dari suku Quraisy. Dan Usman berpesan kepada ketiga orang dari suku Quraisy
itu, dengan mengatakan: “jika kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit
tentang sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena
al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka”.
Sungguhpun
demikian, mushaf yang disalin atas perintah Usman masih memungkinkan timbulnya
perbedaan bacaan, sebab ia belum diberi harakat dan titik. Karena itu para
ulama sesudahnya banyak yang bermaksud
melakukan penyempurnaan sebagai upaya untuk memelihara otentisitas
al-Qur’an.
3. Bukti Otentisitas al-Qur’an dilihat
dari Pengakuan Pemikir Non-Muslim
Banyak pemikir non-muslim yang mengakui secara objektif,
jujur dan ikhlas mengenai otentisitas al-Qur’an, seperti:[52]
a.
Prof. George Sale, cendekiawan asal Inggris, yang
pendapatnya dikutip oleh Dr. Joseph Charles Merdus dalam Preliminary
Discourse, menyatakan: “di seluruh dunia diakui bahwa al-Qur’an tertulis
dalam bahasa Arab dengan gaya yang paling tinggi, paling murni…..diakui sebagai
standar bahasa Arab…. Dan tidak dapat ditiru oleh pena manusia…oleh karena itu
diakui sebagai mu’jizat yang besar, lebih besar daripada kebangkitan orang
mati, dan itu saja sudah cukup untuk meyakinkan dunia bahwa kitab itu berasal
dari Tuhan. Dengan demikian dengan u’jizat ini Muhamad tampil untuk menguatkan
kenabiannya, terang-terangan menentang sastrawan-sastrawan Arab yang paling
cakap—yang pada masa itu ada beribu-ribu, yang pekerjaan serta ambisi mereka
hanya untuk ketinggian gaya bahasanya—untuk menciptakan satu pasal pun yang
dapat dibandingkan dengan gaya bahasa al-Qur’an.
b. Prof. G. Margoliouth dalam De
Karacht Van Den Islam mengatakan: “Adapun al-Qur’an itu menempati kedudukan
yang maha penting di barisan agama-agama yang besar di seluruh dunia. Meskipun
al-Qur’an itu sangat muda usianya, tetapi ia menempati bagian terpenting dalam
ilmu kitab. Ia dapat menghasilkan suatu akibatnya yang tidak pernah dan tidak
akan dapat seseorang menghasilkannya…..”.
c.
Dr. Joseph Charles Mardus, seorang pemikir Perancis, dalam L
Alcoran mengatakan: “Gaya bahasa al-Qur’an seakan-akan gaya bahasa
al-Khaliq sendiri. Karena gaya bahasa itu mengandung esensi dari al-Khaliq yang
menjadi sumbernya, tentulah mengandung sifat-sifat ilahi pula. Kenyataan jelas
menunjukkan bahwa penulis-penulis yang sangat ragu sekalipun menyerah pada
keindahannya……”.
D. POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN
Tak
ada khilaf sedikitpun di kalangan umat Islam, bahwa al-Qur’an adalah landasan
pokok bagi syari’at Islam. Darinya diambil segala pokok-pokok syariat dan
cabang-cabangnya, dari padanya diambil dalil-dalil syar’i. Dengan
demikian, al-Qur’an adalah landasan kully bagi syari’at Islam dan
pengumpul segala hukumnya. Sebagaimana Firman Allah yang artinya: “Tiadalah
Kami alpakan sedikitpun dalam al-Kitab” (QS. Al-An’am: 38).
Imam
Ibnu Hazm berkata: “Segala pintu fiqh, tak ada suatu pintu dari padanya,
melainkan mempunyai pokok dalam al-Qur’an dan al-Sunnah menyatakannya”. Karena
al-Qur’an adalah mengandung dasar-dasar pokok (kully), tentunya dalam
penerapannya bersifat ijmaly yang memerlukan perincian (tafshil),
dan bersifat kully yang memerlukan penjelasan (tabyin). Dengan demikian, untuk bisa mengambil hukum
dari padanya kita memerlukan pertolongan al-Sunah.
Selanjutnya,
karena al-Qur’an merupakan sumber utama, maka para ulama terus-menerus berusaha
untuk mempelajarinya dan menggalinya dengan melakukan ijtihad untuk mengeluarkan
hukum-hukum dari ‘ibarat-‘ibarat, isyarat-isyarat, dzahir, dan nash
al-Qur’an. Sebagaimana mereka telah sungguh-sungguh mencari jalan menakwilkan
ayat-ayat mutasyabih, mentafshilkan ayat-yat yang mujmal,
menerangkan yang belum jelas, serta menerangkan mana yang dikatakan ‘am,
nasikh, mansukh, dan sebagainya.
Karena
al-Qur’an diturunkan dengan memakai bahasa Arab, maka walaupun dalam susunan
bahasa yang tidak dapat ditandingi oleh Bangsa Arab, namun kita memerlukan
adanya pemahaman terhadap segala uslub Arab di dalam mengistimbathkan
hukum dari al-Qur’an. Orang yang meyelidiki ayat-ayat al-Qur’an satu demi satu,
tentu akan mendapati bahwa sebagian hukum yang terkandung di dalamnya, ada yang
tidak lagi memerlukan penjelsasan, seperti ayat yang menjelaskan tentang had tuduhan zina dan ayat yang
menerangkan li’an dan sebagainya. Namun ada juga yang masih memerlukan
penjelasan-penjelasan, seperti ayat-ayat yang bersifat mujmal, yang
tentunya memerlukan tafshil, yang kurang terang memerlukan tafsir
dan takwil, yang bersifat muthlaq memerlukan taqyid, dan
begitulah seterusnya. Adapun penjelas al-Qur’an yang pertama adalah al-Sunnah.
Dan ini sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Dalam
hal ini, al-Qur’an berarti mempunyai kedudukan tertinggi dalam berhujjah, dan
mutlak bersifat pasti. Dengan demikian, al-Qur’an dalam kerangka urutan
dalil-dalil hukum atau sumber ajaran Islam adalah menempati kedudukan yang
paling tinggi. Dalam kaitan ini, maka al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai dasar
pokok, yaitu sebagai alat kontrol atau alat ukur mengenai apakah dalil-dalil
hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan ketentuan-ketentuan al-Qur’an?
Apabila ternyata ditemukan adanya ketidaksesuaian atau bahkan bertentangan,
maka kekuatan hukum itu tidak sah dan tidak diberlakukan.
E. Al-QUR’AN SEBAGAI SISTEM NILAI
Wacana-wacana
tekstual yang dipergunakan al-Qur’an dalam memperkenalkan ajaran-ajaran Islam
memungkinkan dipahami oleh seseorang secara berbeda dengan lainnya, terutama
dalam kaitannya dengan peran kesejarahan
kekhalifahan manusia di muka bumi,
sehingga penafsiran yang beragam merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Keberagaman penafsiran ini merupakan perwujudan dari watak dasar yang dibawa
oleh al-Qur’an, terbuka terhadap beragam penafsiran (interpretable) atau qabil li
al-niqash dalam pemaknaannya.[53]
Watak
dasar al-Qur’an yang menimbulkan keberagaman penafsiran di atas digambarkan
oleh Abdullah Darraz dengan: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan
cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan
tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan
melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”[54]
Dari sekian ragam penafsiran terhadap al-Qur’an, bagian pembahasan ini akan mendiskusikan tafsir al-Qur’an dari
sisi metode serta kondisi [sistem] penafsiran periode pasca Rasul Allah SAW.
Metode tafsir yang didiskusikan dalam bagian pembahasan ini pada hakikatnya
adalah metode tafsir yang dilihat dari perspektif landasan tafsir seperti yang
akan dijelaskan berikut.
1. Perbedaan Metode dan Kecenderungan dalam Memaha-mi al-Qur’an
Sebagai sistem nilai, al-Qur’an tidak selalu
memberikan ketentuan-ketentuan dalam bentuknya yang matang pada tataran
praksis. Tidak sedikit bahwa nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an harus
diwujudkan atau diturunkan kepada nilai
praksis agar dapat menjawab persoalan-persoalan manusia dan sekaligus
menyelesaikan-nya.[55]
Untuk
kepentingan menurunkan sistem nilai kepada
nilai praksis tersebut dibutuhkan apa
yang disebut dengan instrumen, sebuah
perangkat yang berupa upaya atau proses yang dalam istilah keagamaan disebut dengan ijtihad.[56]
Upaya untuk
menurunkan sistem nilai kepada nilai praksis tersebut tidak lain adalah
upaya untuk menerjemahkan kemauan atau maksud-maksud Tuhan dalam teks-teks
suci-Nya. Maka, lahirlah produk-produk pemikiran baik berupa konsep, teori dan semacamnya yang
kebenaran dari kesemuanya bersifat relatif. Relativitas tersebut adalah sebuah
kemestian karena merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil dari proses
penerjemahan kebenaran-kebenaran absolut Tuhan (divine truth).[57] Oleh karena itu,
produk-produk pemikiran tersebut tidak bisa terlepas dari realitas
keberagamannya. Hal itu tak lain sebagai akibat dari perbedaan kemampuan
(tingkat kecerdasan), ilmu yang ditekuni, pengalaman serta latar belakang
penafsirnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya.[58]
Maka,
lahirlah berbagai model penafsiran terhadap wacana-wacana tekstual al-Qur’an.
Dalam studi ilmu al-Qur’an, dikenal adanya klasifikasi berbagai macam
penafsiran yang, menurut hemat penulis, tidak jarang menimbulkan kekaburan
pemahaman atau kekurangcer-matan dasar-dasar yang dijadikan pijakan klasifikasi
antara metode dan pendekatan.[59] Oleh karena itu, di dalam
memahami ragam penafsiran yang selama ini muncul terhadap al-Qur’an perlu
dipahami perbedaan antara kedua hal tersebut.
Pertama, Metode,
yakni cara untuk menurunkan sistem nilai
al-Qur’an kepada nilai-nilai praksis; atau dengan kata lain, cara untuk
menginterpretasikan wacana-wacana tekstual (ayat) yang diintrodusir oleh
al-Qur’an.
Kedua,Pendekatan, yakni perangkat, kecenderungan atau perspektif yang
digunakan seseorang sebagai dasar pijakan untuk menafsirkan
wacana-wacana tekstual (ayat) al-Qur’an.[60]
2.
Menyorot
Pengertian Tafsir bi al-Ma’thur dan bi
al-Ra’yi
Dalam realitas
sosial, ada kecenderungan-kecenderungan yang tidak bisa dihindari: kebanggaan
terhadap kelompok yang sering kemudian menimbulkan klaim-klaim kebenaran
terhadap kelompok yang bersangkutan. Al-Qur’an menyebut kecenderungan ini
dengan Kullu hizb bima ladayhim farihun.[61]
Kecenderungan akan
kebanggaan terhadap kelompok ini pada tataran tertentu senantiasa mengambil
strategi ‘hancur-ubah’ (break and change)
dan mengupayakan adanya ‘keterputusan sejarah’ (historical discontinuity) melalui penciptaan istilah-istilah atau
konsep-konsep yang diberikan pemaknaan secara ketat untuk kepentingan
kelompoknya serta mengeluarkan (excluding)
kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan
kelompoknya. Contoh konkret yang bisa disitir di sini adalah penamaan Orde Baru oleh rezim Soeharto terhadap
pemerintahannya dan Orde Lama terhadap
pemerintahan Soekarno walaupun rezim
Soekarno sendiri tidak pernah menamakan dirinya dengan Orde Lama. Hal itu dilakukan oleh rezim Soeharto untuk menciptakan
keterputusan sejarah terhadap rezim Soekarno serta menjadikannya sebagai ‘musuh
utama’ (common enemy) untuk menarik
simpati massa terhadap konsep-konsep yang dikembangkan oleh rezimnya. Maka,
dibuatlah oleh rezim Soeharto istilah-istilah, konsep-konsep dan klaim-klaim
kebenaran untuk menciptakan kesan pada pikiran massa bahwa rezimnyalah yang
paling berhak dan benar dalam memaknai dan menjalankan amanat UUD 1945, bahkan
tidak jarang untuk kepentingan itu substansi UUD 1945 direduksi dan dipelintir
sedemikian rupa.
Menurut hemat
penulis, pemikiran semacam di atas dapat juga digunakan untuk melihat wacana
seputar klasifikasi tafsir bi al-ma’thur
dan bi al-ra’yi. Dari beberapa pemahaman oleh
para ahli, terutama yang terdahulu, terkesan bahwa ada kecenderungan penciptaan
‘keterputusan sejarah’ dari kelompok tafsir bi
al-ma’thur terhadap kelompok tafsir bi al-ra’y, bahwa mereka yang
berusaha memaksimalkan fungsionalisasi
argumentasi-rasional (ijtihad) melalui perangkat-perangkat kontekstual terhadap
wacana-wacana tekstual (nashsh-nashsh) al-Qur’an
disebut sebagai kelompok anti nashsh (bi al-ra’y) walaupun kelompok ini tidak
pernah menamai atau mengidentifikasi diri sebagaimana yang dilontarkan oleh
kelompok bi al-ma’thur. Dengan tidak mengurangi
rasa hormat penulis kepada para `ulama’ terdahulu tidak sedikit bahwa
labelisasi atau pemberian cap-cap tertentu tersebut digunakan untuk
mendiskreditkan kelompok-kelompok yang mencoba
memberi ‘warna’ lain terhadap ragam penafsirannya. Hal itu tampak dari
pemaknaan literal mereka terhadap dalil yang mereka pergunakan untuk
mengidentifikasi dan menamai kelompok lain tersebut:
·
Ittaqu al-Hadith ‘anni illa ma ‘alimtum, fa man kadhiba
‘alaiya muta’ammidan falyatabawaa’ maq’adahu min al-nar [62]
Dalam kerangka berpikir semacam di atas, maka perlu diadakan peninjauan
ulang terhadap pemaknaan dari tafsir bi
al-ma’thur dan bi al-ra’y agar tidak terjadi klaim-klaim kebenaran (truth claim) yang disertai upaya
menafikan kebenaran dari pihak lain.
a. Tafsir
bi al-Ma’thur
Menurut
hemat penulis, tafsir bi al-ma’thur[64]
adalah suatu jenis penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan cara penyandaran
secara ketat-tekstual-menyeluruh kepada wacana-wacana keislaman tekstual (nashsh-nashsh), baik kepada al-Qur’an
itu sendiri, hadith, athar sahabat,
maupun pendapat tabi’in.[65]
1. Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lain.
Dalam
beberapa kasus, al-Qur’an mengintrodusir persoalan secara singkat atau globa l
dalam satu tempat. Kemudian, al-Qur’an membicarakan persoalan yang sama secara
lebih terinci atau terurai di tempat lain. Pendek kata, dalam banyak hal
al-Qur’an menerangkan dirinya sendiri (self
explanatory).[66]
Contoh,
ayat yang berbunyi: “Alladhina amanu wa
lam yulbisu imanahum bi zhulm ulaika lahum al-amn.” [67]
Ayat
tersebut menggunakan lafal zhulm dalam
bentuk yang belum jelas pengertiannya. Oleh karena itu, dilakukanlah sebuah
upaya penafsiran dengan cara melihat ayat lain yang berbicara secara lebih
jelas, yakni: “Inna al-shirk la zhulm
‘azhim.” [68]
2. Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan Hadith
Hadith
merupakan sumber kedua dari penafsiran bi
al-ma’thur. Hal itu dilatarbelakangi oleh keberadaan nabi sebagai pelaku
pertama dalam sosialisasi ajaran Islam dalam konteks kemanusiaan, atau dengan
kata lain sebagai guru pertama terhadap ajaran Islam, serta mufassir pertama
terhadap firman Allah.[69]
Keberadaan
Hadith nabi terhadap al-Qur’an bisa diklasifikasikan sebagai berikut.
·
Sebagai penjelas
terhadap lafal al-Qur’an.
Contoh:
ayat “Wa a’iddu lahum ma istatha’tum min
quwwah wa min ribath al-khayl.” [70]
Nabi
menafsirkan kata “Quwwah” dalam ayat
tersebut dengan “memanah” seperti tampak
dalam Hadithnya: “Ala inna al-quwwah
al-ramyu, ala inna al-quwwah al-ramyu, ala inna al-quwwah al-ramyu.” [71]
·
Sebagai petunjuk
konkret terhadap konsep al-Qur’an.
Contoh:
ayat “Wa la ta’kulu amwalakum baynakum bi
al-bathil.”
Nabi
memberikan petunjuk konkret terhadap makna “al-Bathil”
dengan memberikan contoh-contoh konkret seperti riba, menipu sukatan (curang)
dan sebagainya.
·
Sebagai perinci
terhadap ajaran-ajaran umum al-Qur’an.
Contoh:
seperti menjelaskan atau menguraikan macam-macam harta yang wajib dizakati
serta batas minimal (nishab)nya.
·
Sebagai wacana edukatif
terhadap kasus-kasus yang diuraikan dalam al-Qur’an.
Contoh: Seperti hadith “La dharara wa la dhirara.[72]
3. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan athar sahabat.
Penafsiran
sahabat (athar) bisa dijadikan
referensi dalam memahami konsep-konsep al-Qur’an. Diterimanya athar sahabat yang nota bene berada di
bawah al-Qur’an itu sendiri dan Hadith Nabi SAW. dalam hal penafsiran al-Qur’an
dikarenakan oleh kenyataan bahwa mereka hidup dan bersama dengan nabi saw.
menyaksikan nilai-nilai kesejarahan dari wahyu serta mengetahui kondisi sosiologis
pewahyuan (the circumstances of
revelation), serta menerima ajaran Islam dari sumbernya yang masih murni
(nabi SAW.).[73]
Dalam
hal ini, Ibnu Kathir menegaskan:
“Jika kita tidak menemukan keterangan dari
al-Qur’an atau dari hadith, maka kita
harus berpaling kepada perkataan-perkataan para sahabat yang banyak mengetahui
hal itu. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka menyaksikan
[turunnya] wahyu dan mengetahui kondisi serta karakter yang tepat dalam
memahami pengetahuan dan perbuatan yang benar.”[74]
Walau
demikian bukan berarti bahwa mereka (para sahabat) mempunyai kadar pemahaman
dan tingkat penerimaan yang sama. Dalam banyak hal dijumpai bahwa mereka
berselisih pendapat dalam memahami al-Qur’an sekalipun perselisihan tersebut
tidak lalu menurunkan derajat keaslian penafsiran mereka kepada derajat (thabaqah) tabi’in. Contoh yang dapat
dirujuk di sini di antaranya adalah penafsiran terhadap ayat “Idha ja’a nashr Allah.”[75] Beberapa sahabat
menjelaskan makna ayat tersebut: “Kita diperintah untuk memuji Allah dan
meminta ampun kepada-Nya tatkala Ia telah menolong kita menaklukkan [Makkah]
buat kita.” Beberapa sahabat yang lain tidak memberi komentar apa-apa. Namun,
menurut Ibnu Abbas, ayat tersebut menunjukkan kepada para sahabat akan dekatnya
ajal nabi.[76]
Adapun
sahabat yang terkemuka sebagai mufassir dan yang terbilang banyak dilakukan
periwayatan dari diri mereka adalah al-Khulafa’ al-Rashidun (Abu Bakar, `Umar
bin Khaththab, Uthman bin `Affan, `Ali bin Abi Thalib), Ibnu Mas’ud, Ibnu
`Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Thabit, Abu Musa al-Ash’ari, dan `Abdullah bin
Zubayr.[77]
Dari
keempat khalifah (al-Khulafa’ al-Rashidun), `Ali bin Abi Thalib adalah khalifah
yang darinya paling banyak dilakukan periwayatan, sedangkan periwayatan dari
tiga khalifah sebelumnya tidak sesignifikan dari ‘Ali. Penyebab utama dari
kenyataan ini adalah bahwa ketiga khalifah tersebut dipanggil oleh Allah SWT.
lebih dulu dari `Ali di samping karena ketiganya hidup di tengah-tengah
komunitas (sahabat) yang mengetahui banyak tentang al-Qur’an, sedangkan pada
masa `Ali telah terjadi gesekan-gesekan yang berpeluang terhadap timbulnya
pemahaman yang menyimpang terhadap Islam serta masuknya orang-orang non Arab
kepada Islam. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kemudian periwayatan dari `Ali
lebih banyak daripada ketiga khalifah sebelumnya.
Sementara
itu, dengan tidak mengurangi penghormatan terhadap sahabat-sahabat lainnya,
menurut penulis, Ibnu `Abbas dan Ibnu Mas’ud keduanya merupakan sosok yang dari
mereka paling banyak dilakukan periwayatan, bahkan dalam beberapa kasus,
komentar-komentar Ibnu `Abbas justru dijadikan rujukan oleh khalifah `Umar karena derajat keilmuannya yang tinggi
terhadap al-Qur’an dan kelebihan-kelebihan personal lainnya,[78] sampai-sampai ia dijuluki
dengan ‘Tinta Umat’ atau ‘Laut Umat’ (Hibr al-Ummah wa Bahruha),[79]
mufassir al-Qur’an,[80] serta Bapak Tafsir.[81]
Adapun
banyaknya riwayat dari Ibnu Mas’ud bisa dipahami karena faktor tingginya
tingkat mulazamah, kedekatannya
dengan nabi; ia adalah seorang khadim,
asisten nabi. Bahkan oleh al-Shabuni, kedekatan Ibnu Mas’ud ini digambarkan
dengan kebiasaannya memakaikan alas kaki kepada nabi serta berjalan bersama
beliau.[82]
4. Kedudukan pendapat tabi’in dalam menafsirkan
al-Qur’an.
Berbeda dengan ketiga jenis penafsiran bi al-ma’thur sebelumnya,[83] jenis penafsiran ayat
al-Qur’an dengan pendapat tabi’in ini masih diperdebatkan untuk bisa disebut bi al-ma’thur. Pandangan yang
menerimanya karena menganggap pendapat tabi’in diperoleh dari sahabat,
sedangkan yang menolaknya karena memandangnya sebagai opini mereka semata,
tanpa terkait dengan sahabat sehingga lebih layak masuk kategori bi al-ra’y.[84] Namun demikian, menurut
hemat penulis, selama terjadi penyandaran terhadap wacana-wacana tekstual (nashsh-nashsh), baik al-Qur’an, Hadith ataupun athar sahabat secara
ketat-tekstual-menyeluruh maka selama itu pula masih dalam koridor tafsir bi al-ma’thur.
b.
Tafsir bi al-Ra’yi
Menurut
hemat penulis, tafsir bi al-ra’y
adalah suatu jenis penafsiran yang dilakukan dengan mengembangkan wacana-wacana
tekstual (nash-nash) al-Qur’an
melalui perangkat-perangkat kontekstual dengan memaksimalkan fungsionalisasi
argumentasi-rasional (ijtihad) daripada penyandaran secara
ketat-tekstual-menyeluruh terhadap nash-nash
atau wacana-wacana tekstual.
Tafsir bi al-ra’y tidak berarti meninggalkan
wacana-wacana tekstual, baik al-Qur’an, Hadith, athar sahabat maupun produk-produk ijtihad generasi pendahulu,
tetapi mendekati wacana-wacana tekstual itu dengan penghampiran
argumentatif-rasional (ijtihad).[85] Hal itu bisa dipahami
dari definisi yang disampaikan oleh al-Dhahabi: “Tafsir bi
al-ra’y adalah suatu upaya untuk menafsirkan dengan cara ijtihad setelah
memahami ujaran-ujaran orang Arab, lafal-lafal Arab beserta maksudnya,
sya’ir-sya’ir jahiliyah, asbab al-nuzul,
nasikh dan mansukh dari ayat-ayat al-Qur’an dan selainnya yang dibutuhkan
dalam menafsirkan al-Qur’an… .”[86]
Oleh karena
itu, tidak bisa dibenarkan suatu pernyataan, seperti oleh Manna’ al-Qaththan,
bahwa tafsir bi al-ra’y adalah tafsir
dengan akal (akal-akalan), suatu tafsir yang pemahamannya tidak sesuai dengan
ruh syari’at dan tidak bersandarkan pada nash.[87]
Hal demikian karena pernyataan itu berindikasi politis, untuk
mendiskreditkan kelompok yang mencoba untuk memaksimalkan peran akal dengan
melalui berbagai pendekatan terhadap wacana-wacana tekstual (nashsh).
Dalam kasus
penafsiran terhadap nash menyangkut
pembagian warisan sebagai misal, Munawir Syadzali bukan berarti meninggalkan nash tersebut[88] sama sekali, melainkan
mengembangkan nash tersebut dengan
memaksimalkan pemanfaatan argumentasi-rasional (ijtihad) melalui upaya
pemaknaannya dalam kerangka tujuan disyari’atkannya sesuatu (maqashid al-shari’ah).[89] Bagi Munawir, sesuai
dengan kandungannya ayat tersebut bukanlah ayat teologis, tapi merupakan ayat
hukum yang keterkaitannya dengan persoalan-persoalan ruang dan waktu tidak bisa
dipisahkan. Oleh karena itu, ayat tersebut sangat sosiologis yang pemaknaannya
harus melihat konteks waktu dan tempat diturunkannya ayat tersebut.
Karena pada
prinsipnya tafsir bi al-ra’y itu merupakan proses dan produk ijtihad, maka
berlaku padanya ketentuan-ketentuan ijtihad dan watak-wataknya. Produk yang
dihasilkan oleh proses ijtihad bisa benar (ashaba)
dan bisa pula salah (akhtha’a). Dalam
kaitannya dengan produk pemikiran yang salah, Nurcholis Madjid memberikan
catatan dan mempertanyakan sesuatu hal disebut sebagai hasil ijtihad jika
sesuatu itu salah dan kesalahan itu sengaja dibuat, bahkan merupakan suatu
kejahatan.[90] Dalam konteks inilah bisa dipahami adanya
klasifikasi tafsir bi al-ra’y ke
dalam dua hal: ja’iz dan madhmum[91] walaupun harus dicatat bahwa penerimaan
tafsir bi al-ra’y itu bukan karena
alasan-alasan protektif (untuk kepentingan [kebenaran] kelompok), tetapi lebih
karena alasan-alasan substantif, bisa
diterima oleh perangkat argumentasi-rasional.
Memang,
persoalan penilaian (judgement)
terhadap klasifikasi ja’iz dan madhmum
itu agak sulit, membutuhkan diskusi lebih detail, karena berkaitan dengan
motivasi yang hal itu merupakan persoalan internal individu yang tidak kasat
mata, bahkan lebih-lebih bila sudah menyangkut kepentingan kelompok. Suatu
contoh yang perlu didiskusikan di sini adalah penafsiran terhadap ayat ke-3
surat al-Nisa’: “Fa inkihu ma thaba lakum
min al-nisa’ mathna wa thulatha wa ruba’, fa in khiftum an la ta’dilu fa
wahidah.”
Ayat di atas
oleh sekelompok orang ditafsirkan dalam kerangka rukhshah sebagaimana rukhshah
dalam pelaksanaan shalat: jika seseorang tidak mampu bersholat dengan berdiri,
ia bisa dengan duduk, dan seterusnya. Demikian pula halnya dengan persoalan
perkawinan, jika seorang laki-laki tidak mampu mengawini dua, tiga atau empat
wanita, maka cukup satu wanita saja. Jadi, kesimpulan mereka, monogami adalah
alternatif terakhir setelah poligami (ta’addud
al-zawjah) tidak mampu dilaksanakan oleh seorang pria.
Namun, menurut kelompok
lain, ayat di atas tidak dapat dimaknai seperti oleh kelompok di atas, yakni
sebagai dasar dibolehkannya berpoligami. Cuplikan ayat tersebut harus
ditafsirkan dalam konteks satu ayat secara utuh, tidak dengan mencukupkan
potongannya saja serta harus dipahami dalam konteks meninggikan harkat dan
martabat perempuan karena ayat tersebut terkait dengan perlindungan terhadap
anak yatim. Ayat tersebut melarang para lelaki mewarisi perempuan (janda)
secara paksa seperti yang terjadi pada masa jahiliyah, yakni perempuan yatim
piatu menjadi sasaran empuk laki-laki yang ingin menguasai tubuh dan hartanya
sekaligus.[92]
3. Kondisi [sistem] Penafsiran Pasca Rasul Allah
Wafatnya Rasul Allah menjadi kontribusi besar terhadap pola
yang dikembangkan oleh para sahabat dalam memahami arti dan kandungan
al-Qur’an, terutama menyangkut ayat yang tidak diterangkan oleh Rasulullah saw.
Pada intinya, dalam kasus-kasus seperti itu mereka, khususnya yang memiliki
kemampuan seperti `Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu
Mas’ud, terpaksa melakukan ijtihad.[93]
Satu hal yang tipikal dari penafsiran sahabat terhadap
al-Qur’an adalah bahwa mereka banyak merujuk kepada pengetahuan mereka tentang
sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya
ayat. Penafsiran sahabat tidak bermuara pada kajian dari segi nah}wu, i’rab, dan macam-macam balaghah
seperti ma’ani, badi’, bayan, majaz
dan kinayah. Kajian dari segi lafal,
susunan kalimat, hubungan satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya baru
muncul pada kalangan mufassir terkemudian (muta’akhkhirin).
Hal yang demikian karena para sahabat mempunyai al-dhawq al-lughawi (rasa kebahasaan) yang tinggi sehingga mereka
bisa menangkap pesan-pesan yang tersampaikan melalui aspek linguistik
al-Qur’an.[94]
Al-Hakim menyatakan bahwa penafsiran sahabat itu berbasis
atas persaksian secara langsung terhadap wahyu.[95] Dalam beberapa masalah yang berkaitan dengan sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang disitir oleh al-Qur’an, para sahabat
mengkonfirmasikan hal-hal tersebut kepada tokoh-tokoh Ahl al-Kitab yang telah
memeluk agama Islam, misalnya ‘Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-ahbar. Kenyataan
seperti inilah yang menjadi cikal bakal dan asal dari munculnya israiliyat.[96]
Sebagai tambahan, perlu dicatat di sini bahwa pada masa
pasca sahabat dan tabi’in muncul permasalahan-permasalahan yang belum pernah
terjadi dan berbeda sama sekali dengan sebelumnya, sementara pada saat yang
sama hadith-hadith telah beredar sedemikian luas di masyarakat. Maka, muncullah
hadith-hadith palsu dan lemah (dha’if)
di tengah-tengah masyarakat.[97] Di sinilah wacana tafsir untuk perkembangan selanjutnya
tidak jarang harus berhadapan dengan berkembang dan masuknya riwayat-riwayat dha’if
ke dalamnya.
Dari uraian di atas tampak bahwa wacana-wacana tekstual
keislaman, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai kesejarahan kemanusiaan,
terbuka terhadap upaya kaji-ulang karena persoalan kesejarahan kemanusiaan
sangat erat kaitannya dengan persoalan kontekstual: ruang dan waktu. Hasil dari
upaya kaji-ulang tersebut relatif sifatnya dan bisa berbeda dari kesimpulan
yang diambil oleh para ulama’ terdahulu walaupun wacana tekstualnya tidak
berbeda.
*Ditulis dan dikutip langsung dari
berbagai sumber
Daftar Pustaka:
[1] Masjfuk
Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 2-3.
[2] Subhi
as-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1988), h.
19.
[3] Depag. RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an), h.
999.
[4] Az-Zuhaili,
At-Tafsir al-Munir, Juz 1 (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1991), h. 13.
[5] Subhi
as-Shalih, op. cit., h. 21.
[6] As-Shabuni,
‘Ulum al-Qur’an, terj. Saiful Islam Jamaludin (Surabaya: al-Ikhlas,
1983), h. 17.
[7] Dawud
al-Aththar, Mujaz ‘Ulum al-Qur’an, terj. Afif Muhamad dan Ahsin Muhamad
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 43.
[8] Masjfuk
Zuhdi, op. cit., h. 3.
[9] Az-Zuhaili,
op. cit., h. 14-15.
[10] Subhi
as-Shalih, op. cit., h. 17.
[11] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 33.
[12] Harun
Nasution, op. cit., h. 26.
[13] Ibid.,
h. 27.
[14] Ibid.
[15] A. Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, terj. Nor Iskandar al-Barsani dan Moh. Tholhah
Mansur (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 41-42.
[16] Saiful
Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1995), h. 293.
[17] Ibid., h.
30.
[18] Jujun S.
Suriasumantri, Pengantar Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993), h. 119.
[19] Ibn Katsir,
Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz 1 (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1969),
h. 12.
[20]
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, juz 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h.
404.
[21] Ibn Katsir,
loc. cit.
[22] Rasyid
Ridla, Tafsir al-Manar, Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 155.
[23] Ibid., h.
156.
[24] Lihat, Qs.
Hud: 6.
[25]
Az-Zamakhsyari, op. cit., h. 450.
[26] Rasyid
Ridla, Juz VII, op. cit., h. 394.
[27] Ibn Katsir,
Juz II, op. cit., h. 528.
[28]
Az-Zamakhsyari, op. cit., h. 692.
[29] Saiful
Muzani (ed.), op. cit., h. 20-21.
[30] Masjfuk
Zuhdi, op. cit., h. 18-20.
[31] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, op. cit., h. 21.
[32] Abdul Hamid
Hakim, al-Bayan (Jakarta: Sa’diyah Putra, 1983), h. 102.
[33] Manna’
al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Muczakir AS (Jakarta:
Litera Antar Nusa, 1992), h. 140.
[34] Quraish
Shihab, op. cit., h. 22.
[35] Agil
Munawwar dan Masykur Hakim mencoba memilah mu’jizat kepada yang hissi dan
maknawi. Yang disebut pertama dapat dilihat, didengar dan disaksikan
lewat pancaindera. Mu’jizat jenis pertama ini sengaja ditunjukkan pada manusia
yang tidak cakap atau dan tak biasa menggunakan kecerdasan fikirannya.
Sedangkan jenis mu’jizat kedua (maknawi) tak mungkin hanya dicapai
dengan pancaindera saja, tetapi juga melilbatkan akal di dalamnya. Karenanya,
jenis mu’jizat ini ditujukan lada orang yang memiliki kecerdasan akal
fikirannya.
[36] Lihat, Qs.
as-Saba’: 28.
[37] Lihat, Qs.
al-Ma’idah: 3.
[38] M. Yunan
Yusuf, dalam Budhy Munawwar-Rachman, Kontekstualilsasi Doktrin Islam dalam
Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 538.
[39] As-Suyuthi,
Apa itu al-Qur’an?, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: GIP,
1993), h. 111.
[40] Quraish
Shihab, op. cit., h. 29-32.
[41] Ibid.
[42] Lihat, Qs.
ar-Rum: 2-6.
[43] Lihat, Qs.
Yunus: 92.
[44] Quraish
Shihab, op. cit., h. 41.
[45] Sirajuddin
Zar, Konsep Penciptaan Alam Menurut Islam, Sains dan al-Qur’an (Jakarta:
Grafinso, 1994), h. 28-29.
[46] Al-Qattan, op.
cit., h. 391-396.
[47] Ibid., h.
390.
[48] Quraish
Shihab, op. cit., h. 23.
[49] Al-Qattan, op.
cit., h. 181-182.
[50] Mereka itu
adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
[51] Ibid., h.
145-148.
[52] Lihat,
Sjahminan Zaini dan Ananta Kusuma Seta, Bukti-bukti Kebenaran al-Qur’ani
Sebagai Wahyu Allah (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h. 176-181.
[53] Amin
Abdullah, Falsafat Kalam di Era
Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 35.
[54] ‘Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim (Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960), 11, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1992), hal. 72.
[55] Dalam
persoalan ini, Komaruddin Hidayat mendiskusikan dialektika antara agama dan
manusia dengan sebuah pertanyaan mendasar: Apakah
agama untuk manusia ataukah manusia untuk agama? Dalam pernyataannya, Komaruddin
menegaskan bahwa agama diwahyukan untuk manusia, bukan manusia tercipta untuk
agama. Artinya, bahwa konsep-konsep agama harus dekat dan bisa menjawab
persoalan-persoalan kemanusiaan, bukan justeru menjadi konsep menara gading (ivory tower) yang tidak membumi serta
menyendiri dari persoalan kemanusiaan. Lihat Komaruddin Hidayat, “Agama Untuk
Kemanusiaan,” dalam Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (ed.)
Andito (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 14.
[56] Satu hal
yang perlu ditegaskan bahwa sebagai teks seluruh perangkat ijtihad yang
posisinya di bawah al-Qur’an dan Hadith kedudukannya adalah sama, tidak
mempunyai kekuatan memaksa. Artinya, produk-produk ijtihad dari generasi
belakangan tidak selalu harus sejalan dengan apa yang sudah disepakati oleh
generasi pendahulu sekalipun itu hasil ijma’ atau qiyas. Lebih lanjut lihat
Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i:
Moderatisme, Eklektisme dan Arabisme, (terj.) Khairon Nahdliyyin
(Yogyakarta: LKIS, 1997), hal. 93.
[57] Produk
pemikiran ini merupakan tradisi keilmuan Islam yang tidak diterima utuh secara
apa adanya (taken for granted), tetapi
hasil akumulasi pengalaman sejarah kemanusiaan ‘biasa’ yang selalu terkait
dengan persoalan ruang dan waktu. Pengalaman
sejarah kemanusiaan abad pertengahan sangat berbeda dengan yang ada pada
abad modern walaupun aspek normativitasnya bisa jadi tidak berbeda. Lihat Amin,
Falsafat Kalam, hal. 35.
[58] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal. 77.
[59] Muhammad
`Ali al-Shabuni, misalnya, mencampuradukkan antara metode dan pendekatan dalam
penafsiran; ia menggabungkan antara tafsir bi
al-ma’thur, bi al-ra’y dan tafsir bi al-Ishari walaupun ketiganya tidak bisa
dikategorikan ke dalam satu kelompok. Lihat Muhammad ‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut:
Alam al-Kitab, t.t.), 67. Selain itu, Goldziher, seorang ahli studi Qur’an dari
Jerman, juga tidak cermat dalam klasifikasinya ketika menguraikan kecenderungan
penafsiran Muslim terhadap al-Qur’an; ia masih tidak membedakan antara metode
dan kecenderungan sehingga ia menyebut lima kecenderungan penafsiran: (1)
Penafsiran dengan bantuan Hadith Nabi dan athar sahabat (2) Penafsiran dogmatis
(3) Penafsiran mistik (4) Penafsiran sektarian (5) Penafsiran modernis. Lihat
J.J. Jansen, The Interpretation of the
Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1980), hal. 6.
[60] Sebagai
perbandingan, M. Ridwan Nasir membuat klasifikasi ragam penafsiran terhadap
al-Qur’an ke dalam tiga hal: kecenderungan aliran (al-naz’ah atau al-ittijah), metode
(al-manhaj), dan sumber (al-mashadir). Lihat M. Ridwan Nasir, Penelitian Tafsir (Makalah disampaikan
pada Pelatihan Metodologi Penelitian Tingkat Dasar Tenaga Edukatif IAIN Sunan
Ampel 1 September – 27 November 1998), hal. 26.
[61] Al-Qur’an,
23: 53.
[62] Hadith ini
menurut Abu Isa termasuk Hadith Hasan. Lihat Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, (t.t.: t.p, 1976), hal. 258.
[63] Ibid.
[64] Jenis tafsir ini dinamakan
juga dengan tafsir bi al-riwayah atau al-tafsir
al-athari. Lihat Al-Sayyid Ahmad Khalil, Dirasat fi al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), hal. 111-116.
[65]
Sebagai perbandingan, Bakri Shaykh Amin menyebut tafsir bi al-ma’thur sebagai menerangkan maksud-maksud yang dikehendaki
Allah dalam Kitab-Nya dengan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri, Sunnah, dan
perkataan Sahabat yang sahih. Lihat Bakri Shaykh Amin, Al-Ta’bir al-Fanni fi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Shuruq, 1973),
hal. 102.
[66] Thameem
Ushama, Methodologies of the Qur’anic
Exegesis, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995), hal. 8.
[67] Al-Qur’an, 6:
82.
[68] Al-Qur’an,
31: 13.
[69] Musthafa
al-Shawi al-Juwayni, Manahij fi al-Tafsir
(Mesir: Minsha’at al-Ma’arif, t.t.), hal. 15.
[70] Al-Qur’an,
8: 60.
[71] Hadith
tersebut diriwayatkan oleh Muslim. Lihat al-Shan’ani, Subul al-Salam, Vol. IV (Semarang: Toha Putera, t.t.), hal. 71.
[72] Bakri
Shaykh Amin, al-Ta’bir al-Fanni fi
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Shuruq, 1973), hal. 103.
[73] Amin, al-Ta’bir al-Fanni , hal. 104; al-Shabuni, al-Tibyan,
hal. 70; serta Ushama, Metodologies, hal. 10-11.
[74] Lihat
al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, vol II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 192.
[75] Al-Qur’an,
110: 1.
[76] Lihat
al-Shabuni, alTibyan, hal. 73.
[77] Lihat Amin,
al-Ta’bir al-Fanni, hal. 105; serta al-Suyuti, al-Itqan, vol. II, hal. 187.
[78] Misalnya
tercermin pada Hadith Bukhari tersebut sebelumnya. Lihat halaman 10.
[79] Amin, al-Ta’bir al-Fanni, hal. 105; al-Shabuni, al-Tibyan, hal. 72.
[80] Muhammad
‘Abd. Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan
fi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. II. (t.tp: t.t. ), hal. 15.
[81] Al-Suyuti, al-Itqan, Vol. II, hal. 187.
[82] Al-Shabuni,
al-Tibyan, hal. 75.
[83] Khusus
untuk penafsiran ayat al-Qur’an dengan athar
sahabat masih terjadi tarik menarik
di kalangan para ahli tentang kualitas dan kadar tafsirannya karena masih
terkandung kemungkinan lemahnya substansi yang ada pada pendapat sahabat. Lihat
Ushama, Metodologies, hal. 12.
[84] Amir ‘Abd.
`Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, (‘Amman:
Dar al-Furqan, 1983), hal. 158.
[85] Lihat
Muhammad Husayn al-Dhahabi, alTafsir wa
al-Mufassirun, juz I, (t.tp.:
t.p, 1976), hal. 256. Menurut hemat penulis, Penghampiran argumentatif-rasional
ini bisa berupa sosiologi, filologi, hermeunetik dan sebagainya.
[86] Ibid, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, hal.
255.
[87] Manna’
al-Qaththan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (t.tp.: Manshurat
al-‘Ashr al-Hadith, t.t.), hal. 351.
[88] Lihat
al-Qur’an , 4: 10.
[89] Uraian
lebih lanjut lihat Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (ed.)
Iqbal Abdulrauf Saimima, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 1-11.
[90] Nurcholis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta:
Paramadina, 1997), hal. 124.
[91] Lihat Amin,
al-Ta’bir al-Fanni,101; Ali Hasan
al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir,
(terj.)
Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hal. 49.
[92] Nursyahbani
Katjasungkana, “Kedudukan Wanita dalam Perspektif Islam,” dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual
dan Kontekstual, ed. Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman
(Jakarta: INIS, 1993), hal. 59.
[93] M. Quraih
Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal. 71.
[94] Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, hal. 15-16.
[95] Ushama, Metodologies , hal. 11.
[96] Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal. 71.
[97] Ibid, hal.
72.