Thursday, June 16, 2016

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DINAMIKA ISLAM*

                                                        

A. PENGERTIAN DAN DASAR IJTIHAD

Ajaran Islam, yang secara normatif terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunah, masih memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh secara berkesinambu-ngan. Hal ini dikarenakan di dalam dua sumber ajaran Islam itu, dan terutama al-Qur’an, terdapat ayat-ayat, dan ada yang bilang, sebagian besar masih bersifat dzanni ad-dilalah, kategori ayat yang masih memerlukan suatu penjelasan. Oleh karena demikian itu maka mutlak diperlukan upaya penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nas itu, dan di sinilah peran dan urgensi ijtihad dalam konteks dinamaika Islam.
Secara bahasa “ijtihad” berasal dari kata jahada.[1] Terdapat redaksi cukup bervariasi yang disampaikan oleh para ulama menyangkut makna ijtihad secara bahasa. Diantaranya yang terkenal adalah disampaikan oleh al-Fayumi, di mana ia mengatakan bahwa ijtihad adalah “badl wus’ih wa thaqatih fi thalabih liyablugha majhuduh wa yashilu ila nihayatih” (pengerahan kesanggupan dan kekuatan dalam melakukan pencarian suatu upaya sampai kepada ujung yang ditujunya).[2]
Secara bahasa, arti ijtihad dalam makna jahada terdapat di dalam Qs. An-Nahl (16): 38, Qs. An-Nur (24): 53 dan Qs. Al-Fathir (35): 42. Semua kata itu, di dalam tiga ayat tersebut, memiliki arti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badl wus’ih wa thaqah).
Meski telah ada kesepakatan ulama’ mengenai arti ijtihad secara bahasa, namun mereka masih berbeda dalam makna terminologisnya. Abu Zahrah, misalnya, mendefi-nisikan ijtihad dengan “badzl faqih wus’ah fi istinbath al-ahkam al-‘amaliyyah min adillatiha at-tafshiliyyah” (upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil rinci).[3]
Sementara al-Amidi, sebagaimana dinukil al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijtihad adalah “istifrar al-wus’ fi thalab adz-dzann min al-ahkam asy-syar’iyyah” (pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang dzanni dari hukum-hukum syara’).[4]
Jika diperhatikan, definisi di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengn amal perbuatan manusia, dan memang ijtihad menurut fuqaha’ tidak bisa menyentuh wilayah pemikiran akidah (kalam).
Jalaludin Rahmat, dengan merujuk pendapat Ibrahim Hosein, mengatakan bahwa cakupan ijtihad hanyalah bidang fikih.[5] Dan pendapat yang mengatakan bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku di bidang akidah atau akhlak, lanjut Ibrahim Hosein, jelas tidak bisa dibenarkan.
Berlainan dengan pendapat ini, adalah pandangan Harun Nasution, yang memberikan wilayah otoritas ijtihad dalam wilayah yang kompleks, bukan hanya di bidang fikih. Bagi Harun Nasution, ijtihad harus dimaknai dengan pengertian yang lebih luas, di mana ijtihad juga bisa terjadi pada bidang politik, akidah, tasawuf dan filsafat.
Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi mendefinisikan ijtihad sebagai “pengerahan daya dan upaya untuk mencapai maksud”.[6] Bukan hanya Harun Nasution dan al-Dzarwi, Fakhrudin al-Razi, Ibn Taimiyah dan Muhamad Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada bidang fikih saja.
Dari penjelasan di atas terlihat betapa telah muncul persamaan dan sekaligus perbedaan. Adapun perbedaannya adalah: pertama, terletak pada penggunaan bahasa; sebagian menggunakan kata istifrag dan sebagian lainnya menggunakan kata badzl. Kedua, terletak pada subjek ijtihad; sebagian ada yang menisbahkan ijtihad hanya dalam bidang fikih, sedangkan yang lain melihat secara lebih kompleks lagi. Ketiga, terletak pada metode ijtihad: ada yang menggunakan metode manquli (dari al-Qur’an dan al-Sunah) dengan mengikuti metode Rasul yang selalu menunggu wahyu dalam menyelesaikan dalam setiap persoalan (Qs. An-Najm/53: 3-4, dan sebagian lagi menggunakan metode ma’quli, yang didasarkan pada asumsi bahwa Rasul saw diperbolehkan berijtihad (Qs. Al-Hasyr (59): 2).
Sedangkan persamaannya adalah: pertama, pruduk hukum yang dihasilkannya bersifat dzann; dan kedua, objek ijtihad berkisar pada hukum taklifi, yakni yang berkenaan dengan amaliah ibadah.
Adapun dasar hukum yang dapat diacu sebagai landasan kebolehan melakukan ijtihad dalam Islam, terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunah. Diantara ayat al-Qur’an dimaksud, adalah: Qs. An-Nisa’ (4): 59 dan 105; Qs. Ar-Rum (30): 21; Qs. Az-Zumar (39): 42; dan Qs. al-Jatsiyah (45): 13. Sementara al-Sunah yang menjadi dasar ijtihad antara lain adalah hadis ‘Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad :
إ ذا حكم الحاكم فاجتهد فأ صا ب فله اجران وإ ذا حكم فاجتهد ثمّ اخطأ فله أجر واحد
Artinya: Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala (HR. Imam Muslim).
Hadis lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadis Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh Nabi ke Yaman sebagai hakim:
بم تقضى ؟ قا ل: بما فى كتا ب الله. قا ل : فإ ن لم تجد فى كتا ب الله ؟ قا ل : اقضى بما قضى به رسو ل الله , قا ل : فإ ن لم تجد فيما قضى به رسو ل ا لله ؟ قال : الحمد لله الذى وفّق رسول رسو له
Artinya: Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz? Mu’adz menjawab: “Dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah”. Nabi bersabda, “kalau kamu tidak mendapatkannya dari kitabullah ? Mu’adz menjawab: saya akan memutuskannya dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh rasulullah. Nabi berkata, kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan oleh rasulullah ? Mu’adz menjawab, saya akan berijtihad dengan pikiran saya. Nabi bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan dari rasul-Nya.

B. PERSOALAN IJTIHAD, ITTIBA’ DAN TAQLID
1. Persoalan Ijtihad
Persolan  penting lain yang tidak dapat diabaikan dalam melakukan ijtihad adalah terpenuhinya syarat-syarat ijtihad. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat sebagai mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari hukum sumber syariat) dan tathbiq (penerapan hukum). Sebelum syarat-syarat mujtahid dikemukakan, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu mengenai rukun-rukun ijtihad:[7]
1.       Al-Waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas.
2.       Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.       Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariat yang bersifat amali (taklifi).
4.       dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih.
Menurut al-Ghazali,[8] syarat-syarat mujtahid itu ada dua; pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan; kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya. Orang yang tidak adil tidak dapat diterima fatwa dan pendapatnya. Syarat-syarat yang diajukan al-Ghazali itu masih bersifat umum sehingga memerlukan rincian, terutama syarat yang pertama. Al-Ghazali pun tidak menjelaskan yang dimaksud adil pada syarat kedua.
Menurut Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, syarat-syarat mujtahid adalah sebagai berikut:
1.       Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2.       Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasiannya.
3.       Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4.       Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki qarinah atau tidak.[9]
Berbeda dengan syarat-syarat di atas, al-Syaukani[10] menyodorkan beberapa syarat mujtahid berikut ini:
1.       Mengetahui al-Qur’an dan al-Sunah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’an sekitar 500 ayat.
2.       Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama.
3.       Mengetahui bahasa Arab karena al-Qur’an dan al-Sunnah disusun dengan bahasa Arab.
4.       Mengetahui ilmu ushul fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5.       Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Berbeda dengan al-Syaukani, Abu Zahrah[11] mempunyai pendapat lain tentang hal ini, syarat mujtahid menurutnya adalah sebagai berikut:
1.       Mengetahui bahasa Arab, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Al-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an juga ditulis dengan bahasa Arab.
2.       Mengetahui nasikh-mansukh dalam al-Qur’an.
3.       Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun penetapan.
4.       Mengetahui ijmak dan ikhtilaf.
5.       Mengetahui qiyas.
6.       Mengetahui maqashid al-Syariah.
7.       Memiliki pemahaman yang tepat (shihhat al-fahmi) yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu manthiq.
8.       Memiliki niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Walaupun syarat-syarat mujtahid yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas berbeda-beda, namun secara substansial tidak jauh berbeda. Dan hal ini bisa dilihat dari sisi yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
Majal al-ijtihad (lapangan ijtihad) adalah hal penting yang juga harus diketahui oleh seorang mujtahid. Majal al-Ijtihad adalah maslaah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid fih. Menurut al-Ghazali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qoth’i.[12]
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharurah dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah al-Zuhaili, sebagaimana dikutip Atang dan Jaih,[13] menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i al-tsubut wa dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ‘ulima min al-din bi al-dharurah, di antaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan ramadhan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian, dan meminum khamer.
Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua; pertama, sesutau yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan nabi Muhammad saw dalam al-Qur’an dan al-Sunnah (ma la nashsha fi ashlain); kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (dzanni al-tsubut atau dzanni al-dalalah).
2.       Persoalan Ittiba’
Ittiba’ ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan tersebut. Ittiba’ dalam Islam diperintahkan. Sebagai firman Allah SWT yang artinya: “Tanyakan kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak mengetahui” (QS. al-Nahl: 43).
Maksudnya adalah tanyakan kepada mereka yang mengetahui tentang al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan pendapat mereka semata-mata. Dzikir adalah kitabullah dan al-Sunnah, bukan yang lainnya. Syari’at Islam ini ada kalanya dari Allah, yaitu berbentuk al-Qur’an atau dari Rasulullah saw yang berwujud al-Sunnah/al-Hadis. Maka yang dimaksud ahli dzikir di sini adalah mereka yang ahli Qur’an dan Hadis. Apabila merka ditanya, maka mereka akan menjawab: “Allah berfirman begini, atau dalam hadis dikatakan begitu”, dan seterusnya.
3.       Persoalan Taqlid
Taqlid berasal dari kata qallada – yuqallidu – taqlidan, artinya mengikut, menurut, membuntuti, di belakang, orang yang mengikut, menurut dan mengikuti di belakang di sebut muqallid.
Menurut istilah, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber pengambilannya. Menurut Syekh Muhammad al-Khudlori dalam Tarikh al-Tasyri’ dinyatakan:
“Taqlid yaitu menerima dari seorang imam yang tertentu, seolah-olah hukum itu dari Tuhan yang menurunkan nashnya yang harus diikuti orang lain. Adapun muqallid adalah orang yang bertaqlid, yaitu orang yang tiada mempelajari kitab dan sunnah yang dapat memetik hukum dari keduanya”.[14]
KH. Machfudz Shiddieq, dalam bukunya Ijtihad dan Taqlid menyatakan:
“Muqallid artinya orang yang mengikuti jalan ijtihad mujtahid mustaqil. Mujtahid mustaqil adalah orang yang melakukan ijtihad, menciptakan dan langsung merancang sendiri dari dalil pokok yakni al-Qur’an dan al-Hadits”.[15]
Madzab empat melarang untuk bertaqlid kepada orang lain, kecuali kepada Nabi Muhammad saw, di samping berijtihad bagi yang cukup alim, supaya ittiba’ dengan memahami dalil al-Qur’an dan Hadis, taqlid buta itu jelas-jelas dilarang oleh agama.
H. A. Mukti Ali pernah menernagkan, bahwa pada dasarnya metode dalam mencari salah satu hukum dengan mempergunakan penyelidikan dan analisa yang bersumber al-Qur’an dan hadis, di mana Muhammadiyah degan istilah ijtihad dan ittiba’, sedang KH. Mahfudz Shiddieq (NU) dengan istilah taqlid, rupanya kedua metode ini tak ada perbedaan secara esensial.
Oleh karena itu, taqlid yang ada dalam pengertian mengikut dengan buta tanpa penyelidikan dan pengertian serta tidak tahu dalilnya atau sumbernya adalah dilarang. Sebaliknya, ijtihad tanpa menggunkan ilmu pengetahuan (tidak ‘alim) itu juga dilarang. Walaupun begitu taqlid kepada Nabi SAW adalah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dan pemelihara agama Allah SWT.
Terkait dengan ini, KH. Hasyim Asy’ari pernah memberikan fatwanya sebagai berikut:
“Hai para ulama yang menggolongkan dirinya pada madzab atau pendapat suatu ulama, tinggalkan rasa memihak dalam soal furu’. Dan takutlah pada Allah, kembalilah pada kitab Allah (al-Qur’an) dan beramallah mengikuti Rasulullah SAW”.[16]

C.  HUKUM DAN LAPANGAN IJTIHAD
Jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya mengenai suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum melakukan ijtihad ada bermacam-macam. Sebagaimana diuraikan oleh Wahbah al-Zuhaili,[17] boleh jadi hukum ijtihad itu adalah wajib ‘ain, wajib kifayah, sunah dan bahkan atau haram, tergantung pada kapasitas orang yang berangkutan.
Pertama, bagi muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain. Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas sautu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi. Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunah; atau ijtihad atas masalah yang hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’.
Adapun lapangan ijtihad (majal al-ijtihad), adalah masalah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad, yang dalam istilah teknis ushul fiqh disebut mujtahid fih. Dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, bahwa lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qath’i. Sedangkan hukum yang dapat diketahui dari agama secara dlaruri dan badihi, maka sama sekali bukan merupakan wilayah ijtihad. Dalam konteks ini secara tegas al-Zuhaili mengatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i ats-tsubut wa dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad. Lebih jauh, al-Zuhaili menegaskan adanya dua lapangan ijtihad: pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan nabi Muhamad dalam al-Qur’an dan al-Sunah (ma la nashshaha fi ashlain). Dan kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanni ats-tsubut wa ad-dalalah atau salah satunya—dzanni ats-tsubut atau dzanni ad-dalalah.

D. IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DINAMIKA ISLAM
Dewasa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian secara seksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas penunjukannya oleh nas. Di samping itu, kata Rager Graudi, sebagai dikutip oleh Jalaludin Rahmat, tantangan umat Islam sekarang ada dua macam, yakni taklid kepada Barat dan kepada masa lalu. Taklid model pertama terjadi karena ketidakmampuan melakukan pemilahan antara modernisasi dan cara hidup Barat; sedangkan taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara agama (wahyu) dengan pemikiran ulama masa lalu.
Melihat persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu, yakni dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
1.       Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakannya beberapa nas, khususnya dalam al-Sunah, yakni masuknya hadith-hadith palsu dan perubahan pemahaman terhadap nas. Oleh karena itu para mujtahid dituntut secara sungguh-sungguh menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.
2.       Syariat disampaikan dalam al-Qur’an dan al-Sunah secara komprehensif; memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Di dalamnya terdapat sejumlah ayat, yang bisa dikatakan masih dalam kategori memerlukan penjelasan.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad sebagai penyalur kreativitas pribadi atau kelompok dalam merespons peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Di samping itu, ijtihadpun memberi tafsiran kembali atas perundang-undangan yang sifatnya insidental sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku pada masanya dengan tidak melanggar prinsip-prinsip umum, dalail-dalil kulli dan maqahid al-syari’ah yang merupakan aturan-aturan pengarah dalam hidup.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang dzanni ad-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil tersebut memerlukan kerja akal fikiran lewat ijtihad. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos kejumudan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran Islam, mencari pemecahan islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga menjadi saksi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya. 



*Ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber

Daftar Rujukan:



[1] Kata ini dan seluruh variannya menunjuk pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang kurang disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan, kekuatan dan berat. Lihat, al-Fayumi, al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir li ar-Rafi’ (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, t.th.), h. 112.
[2] Ibid.
[3] Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 379.
[4] Wahbah az-Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Kutub, 1978), h. 480.
[5] Jalaludin Rahmat, “Ijtihad Sulit tapi Perlu”, dalam Istiqra’ No. 3 (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1998), h. 33.
[6] Ibrahim Abbas adz-Dzarwi, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam (Semarang: Dina Utama, 1983), h. 9.
[7] Nadiyah Safari al-Umari, al-Ijtihad fi al-Islam: Ushuluh, Ahkamuh, Afqahuh, (beirut: Muassasah Risalah, 1981), h. 199-200.
[8] Al-Ghazali, al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 350.
[9] Faruddin al-Razi, al-Mashhul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), h. 496-7.
[10] Al-Syaukani, Irsyad, h. 250-2.
[11] Abu Zahrah, Ushul, h. 250-2.
[12] Al-Ghazali, al-Mustasyfa, h. 354.
[13] Hakim & Mubarak, Metodologi, h. 104.
[14] Hamzah Tualeka ZN, Diktat Dirasah Islamiyah I, (Biro Penerbitan Ilmiah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1996), h. 102.
[15] Machfudz Shiddieq, Sekitar Ijtihad dan Taqlid, (Surabaya: PBNU, 1959).
[16] Tulaeka, Diktat, h. 103-4.
[17] Wahbah az-Zuhaili, op. cit., h. 498-499.

No comments:

Post a Comment

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...