A. PENGERTIAN DAN DASAR IJTIHAD
Ajaran Islam, yang
secara normatif terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunah, masih memerlukan
penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh secara berkesinambu-ngan. Hal
ini dikarenakan di dalam dua sumber ajaran Islam itu, dan terutama al-Qur’an,
terdapat ayat-ayat, dan ada yang bilang, sebagian besar masih bersifat dzanni
ad-dilalah, kategori ayat yang masih memerlukan suatu penjelasan. Oleh
karena demikian itu maka mutlak diperlukan upaya penyelesaian secara
sungguh-sungguh atas persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nas
itu, dan di sinilah peran dan urgensi ijtihad dalam konteks dinamaika Islam.
Secara bahasa “ijtihad”
berasal dari kata jahada.[1]
Terdapat redaksi cukup bervariasi yang disampaikan oleh para ulama menyangkut
makna ijtihad secara bahasa. Diantaranya yang terkenal adalah disampaikan oleh
al-Fayumi, di mana ia mengatakan bahwa ijtihad adalah “badl wus’ih wa
thaqatih fi thalabih liyablugha majhuduh wa yashilu ila nihayatih”
(pengerahan kesanggupan dan kekuatan dalam melakukan pencarian suatu upaya
sampai kepada ujung yang ditujunya).[2]
Secara
bahasa, arti ijtihad dalam makna jahada terdapat di dalam Qs. An-Nahl
(16): 38, Qs. An-Nur (24): 53 dan Qs. Al-Fathir (35): 42. Semua kata itu, di
dalam tiga ayat tersebut, memiliki arti pengerahan segala kemampuan dan
kekuatan (badl wus’ih wa thaqah).
Meski
telah ada kesepakatan ulama’ mengenai arti ijtihad secara bahasa, namun mereka
masih berbeda dalam makna terminologisnya. Abu Zahrah, misalnya,
mendefi-nisikan ijtihad dengan “badzl faqih wus’ah fi istinbath al-ahkam
al-‘amaliyyah min adillatiha at-tafshiliyyah” (upaya seorang ahli fikih
dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil
rinci).[3]
Sementara
al-Amidi, sebagaimana dinukil al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijtihad adalah “istifrar
al-wus’ fi thalab adz-dzann min al-ahkam asy-syar’iyyah” (pengerahan segala
kemampuan untuk menentukan sesuatu yang dzanni dari hukum-hukum syara’).[4]
Jika
diperhatikan, definisi di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa ijtihad hanya
berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengn amal perbuatan
manusia, dan memang ijtihad menurut fuqaha’ tidak bisa menyentuh wilayah
pemikiran akidah (kalam).
Jalaludin
Rahmat, dengan merujuk pendapat Ibrahim Hosein, mengatakan bahwa cakupan
ijtihad hanyalah bidang fikih.[5] Dan pendapat yang mengatakan bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku di
bidang akidah atau akhlak, lanjut Ibrahim Hosein, jelas tidak bisa dibenarkan.
Berlainan
dengan pendapat ini, adalah pandangan Harun Nasution, yang memberikan wilayah
otoritas ijtihad dalam wilayah yang kompleks, bukan hanya di bidang fikih. Bagi
Harun Nasution, ijtihad harus dimaknai dengan pengertian yang lebih luas, di
mana ijtihad juga bisa terjadi pada bidang politik, akidah, tasawuf dan
filsafat.
Senada
dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi mendefinisikan ijtihad sebagai
“pengerahan daya dan upaya untuk mencapai maksud”.[6] Bukan hanya Harun Nasution dan al-Dzarwi, Fakhrudin al-Razi, Ibn Taimiyah
dan Muhamad Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada bidang fikih saja.
Dari
penjelasan di atas terlihat betapa telah muncul persamaan dan sekaligus
perbedaan. Adapun perbedaannya adalah: pertama, terletak pada penggunaan
bahasa; sebagian menggunakan kata istifrag dan sebagian lainnya
menggunakan kata badzl. Kedua, terletak pada subjek ijtihad; sebagian
ada yang menisbahkan ijtihad hanya dalam bidang fikih, sedangkan yang lain
melihat secara lebih kompleks lagi. Ketiga, terletak pada metode
ijtihad: ada yang menggunakan metode manquli (dari al-Qur’an dan
al-Sunah) dengan mengikuti metode Rasul yang selalu menunggu wahyu dalam
menyelesaikan dalam setiap persoalan (Qs. An-Najm/53: 3-4, dan sebagian lagi
menggunakan metode ma’quli, yang didasarkan pada asumsi bahwa Rasul saw
diperbolehkan berijtihad (Qs. Al-Hasyr (59): 2).
Sedangkan
persamaannya adalah: pertama, pruduk hukum yang dihasilkannya bersifat
dzann; dan kedua, objek ijtihad berkisar pada hukum taklifi, yakni yang
berkenaan dengan amaliah ibadah.
Adapun dasar hukum yang dapat diacu sebagai landasan kebolehan melakukan
ijtihad dalam Islam, terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunah. Diantara ayat al-Qur’an dimaksud, adalah: Qs. An-Nisa’ (4): 59 dan 105; Qs.
Ar-Rum (30): 21; Qs. Az-Zumar (39): 42; dan Qs. al-Jatsiyah (45): 13. Sementara
al-Sunah yang menjadi dasar ijtihad antara lain adalah hadis ‘Amr bin Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad :
إ ذا حكم الحاكم فاجتهد فأ صا ب فله اجران وإ ذا حكم فاجتهد ثمّ اخطأ فله أجر واحد
Artinya:
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika
ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala
(HR. Imam Muslim).
Hadis lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadis Mu’adz bin Jabal ketika
ia diutus oleh Nabi ke Yaman sebagai hakim:
بم تقضى ؟ قا ل: بما فى كتا ب الله. قا ل : فإ ن لم تجد فى كتا ب الله ؟
قا ل : اقضى بما قضى به رسو ل الله , قا ل : فإ ن لم تجد فيما قضى به رسو ل ا لله
؟ قال : الحمد لله الذى وفّق رسول رسو له
Artinya: Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz? Mu’adz
menjawab: “Dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah”. Nabi bersabda,
“kalau kamu tidak mendapatkannya dari kitabullah ? Mu’adz menjawab: saya akan
memutuskannya dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh rasulullah. Nabi
berkata, kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan oleh
rasulullah ? Mu’adz menjawab, saya akan berijtihad dengan pikiran saya. Nabi
bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan dari
rasul-Nya.
B. PERSOALAN IJTIHAD, ITTIBA’ DAN TAQLID
1. Persoalan Ijtihad
Persolan penting lain yang tidak dapat diabaikan dalam
melakukan ijtihad adalah terpenuhinya syarat-syarat ijtihad. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat sebagai mujtahid.
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan
hukum dari hukum sumber syariat) dan tathbiq (penerapan hukum). Sebelum
syarat-syarat mujtahid dikemukakan, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu
mengenai rukun-rukun ijtihad:[7]
1. Al-Waqi’, yaitu adanya kasus yang
terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas.
2. Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fih, ialah hukum-hukum
syariat yang bersifat amali (taklifi).
4. dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid
fih.
Menurut al-Ghazali,[8]
syarat-syarat mujtahid itu ada dua; pertama, mengetahui syariat serta
hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya
didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan; kedua,
adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya. Orang yang tidak adil tidak dapat diterima fatwa dan pendapatnya.
Syarat-syarat yang diajukan al-Ghazali itu masih bersifat umum sehingga
memerlukan rincian, terutama syarat yang pertama. Al-Ghazali pun tidak
menjelaskan yang dimaksud adil pada syarat kedua.
Menurut Fakhruddin
Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, syarat-syarat mujtahid adalah sebagai
berikut:
1.
Mukalaf,
karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2. Mengetahui
makna-makna lafadz dan rahasiannya.
3. Mengetahui
keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.
4. Mengetahui
keadaan lafadz, apakah memiliki qarinah atau tidak.[9]
Berbeda dengan syarat-syarat di atas,
al-Syaukani[10]
menyodorkan beberapa syarat mujtahid berikut ini:
1.
Mengetahui
al-Qur’an dan al-Sunah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah
ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’an sekitar 500 ayat.
2.
Mengetahui
ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama.
3.
Mengetahui
bahasa Arab karena al-Qur’an dan al-Sunnah disusun dengan bahasa Arab.
4.
Mengetahui
ilmu ushul fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena
membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5.
Mengetahui
nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan
dalil yang sudah mansukh.
Berbeda dengan
al-Syaukani, Abu Zahrah[11] mempunyai pendapat lain tentang hal ini, syarat mujtahid menurutnya adalah
sebagai berikut:
1.
Mengetahui
bahasa Arab, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Al-Sunnah sebagai
penjelas al-Qur’an juga ditulis dengan bahasa Arab.
2.
Mengetahui
nasikh-mansukh dalam al-Qur’an.
3.
Mengetahui
Sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun penetapan.
4. Mengetahui
ijmak dan ikhtilaf.
5. Mengetahui
qiyas.
6. Mengetahui
maqashid al-Syariah.
7. Memiliki
pemahaman yang tepat (shihhat al-fahmi) yang karenanya mujtahid dapat
memahami ilmu manthiq.
8. Memiliki
niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Walaupun syarat-syarat mujtahid yang telah
dikemukakan oleh para ulama di atas berbeda-beda, namun secara substansial
tidak jauh berbeda. Dan hal ini bisa dilihat dari sisi yang saling melengkapi
antara yang satu dengan yang lainnya.
Majal al-ijtihad (lapangan ijtihad)
adalah hal penting yang juga harus diketahui oleh seorang mujtahid. Majal
al-Ijtihad adalah maslaah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya
dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid
fih. Menurut al-Ghazali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil qoth’i.[12]
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharurah
dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk
lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah al-Zuhaili, sebagaimana dikutip Atang
dan Jaih,[13]
menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i al-tsubut
wa dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang
tergolong ma ‘ulima min al-din bi al-dharurah, di antaranya kewajiban
shalat lima
waktu, puasa pada bulan ramadhan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian, dan
meminum khamer.
Selanjutnya Wahbah
al-Zuhaili menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua; pertama,
sesutau yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan nabi Muhammad saw
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah (ma la nashsha fi ashlain); kedua,
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanni al-tsubut wa al-dalalah
atau salah satunya (dzanni al-tsubut atau dzanni al-dalalah).
2. Persoalan
Ittiba’
Ittiba’ ialah menerima perkataan orang lain
dengan mengetahui sumber atau alasan tersebut. Ittiba’ dalam Islam
diperintahkan. Sebagai firman Allah SWT yang artinya: “Tanyakan kepada ahli
dzikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak mengetahui” (QS. al-Nahl: 43).
Maksudnya adalah
tanyakan kepada mereka yang mengetahui tentang al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan
pendapat mereka semata-mata. Dzikir adalah kitabullah dan al-Sunnah, bukan yang
lainnya. Syari’at Islam ini ada kalanya dari Allah, yaitu berbentuk al-Qur’an
atau dari Rasulullah saw yang berwujud al-Sunnah/al-Hadis. Maka yang dimaksud
ahli dzikir di sini adalah mereka yang ahli Qur’an dan Hadis. Apabila merka
ditanya, maka mereka akan menjawab: “Allah berfirman begini, atau dalam hadis
dikatakan begitu”, dan seterusnya.
3. Persoalan
Taqlid
Taqlid berasal dari kata qallada – yuqallidu
– taqlidan, artinya mengikut, menurut, membuntuti, di belakang, orang yang
mengikut, menurut dan mengikuti di belakang di sebut muqallid.
Menurut istilah, taqlid
adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber
pengambilannya. Menurut Syekh Muhammad al-Khudlori dalam Tarikh al-Tasyri’
dinyatakan:
“Taqlid yaitu menerima
dari seorang imam yang tertentu, seolah-olah hukum itu dari Tuhan yang
menurunkan nashnya yang harus diikuti orang lain. Adapun muqallid adalah orang
yang bertaqlid, yaitu orang yang tiada mempelajari kitab dan sunnah yang dapat
memetik hukum dari keduanya”.[14]
KH. Machfudz Shiddieq, dalam bukunya Ijtihad
dan Taqlid menyatakan:
“Muqallid
artinya orang yang mengikuti jalan ijtihad mujtahid mustaqil. Mujtahid
mustaqil adalah orang yang melakukan ijtihad, menciptakan dan langsung
merancang sendiri dari dalil pokok yakni al-Qur’an dan al-Hadits”.[15]
Madzab empat melarang untuk bertaqlid kepada
orang lain, kecuali kepada Nabi Muhammad saw, di samping berijtihad bagi yang
cukup alim, supaya ittiba’ dengan memahami dalil al-Qur’an dan Hadis, taqlid
buta itu jelas-jelas dilarang oleh agama.
H. A. Mukti Ali pernah menernagkan, bahwa pada
dasarnya metode dalam mencari salah satu hukum dengan mempergunakan
penyelidikan dan analisa yang bersumber al-Qur’an dan hadis, di mana
Muhammadiyah degan istilah ijtihad dan ittiba’, sedang KH. Mahfudz Shiddieq
(NU) dengan istilah taqlid, rupanya kedua metode ini tak ada perbedaan secara
esensial.
Oleh karena itu, taqlid yang ada dalam
pengertian mengikut dengan buta tanpa penyelidikan dan pengertian serta tidak
tahu dalilnya atau sumbernya adalah dilarang. Sebaliknya, ijtihad tanpa
menggunkan ilmu pengetahuan (tidak ‘alim) itu juga dilarang. Walaupun begitu
taqlid kepada Nabi SAW adalah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dan
pemelihara agama Allah SWT.
Terkait dengan ini, KH. Hasyim Asy’ari pernah
memberikan fatwanya sebagai berikut:
“Hai para
ulama yang menggolongkan dirinya pada madzab atau pendapat suatu ulama,
tinggalkan rasa memihak dalam soal furu’. Dan takutlah pada Allah,
kembalilah pada kitab Allah (al-Qur’an) dan beramallah mengikuti Rasulullah
SAW”.[16]
C. HUKUM DAN
LAPANGAN IJTIHAD
Jika
seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya mengenai suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum melakukan ijtihad ada
bermacam-macam. Sebagaimana diuraikan oleh Wahbah al-Zuhaili,[17]
boleh jadi hukum ijtihad itu adalah wajib ‘ain, wajib kifayah, sunah dan bahkan
atau haram, tergantung pada kapasitas orang yang berangkutan.
Pertama,
bagi muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan
hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami
peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib
‘ain. Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang
diminta fatwa hukum atas sautu peristiwa yang terjadi, tetapi ia
mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya,
maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Ketiga, hukum ijtihad menjadi
sunah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi. Keempat,
hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah
jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunah; atau
ijtihad atas masalah yang hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’.
Adapun
lapangan ijtihad (majal al-ijtihad), adalah masalah-masalah yang
diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad, yang dalam istilah teknis
ushul fiqh disebut mujtahid fih. Dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, bahwa
lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qath’i.
Sedangkan hukum yang dapat diketahui dari agama secara dlaruri dan badihi,
maka sama sekali bukan merupakan wilayah ijtihad. Dalam konteks ini secara
tegas al-Zuhaili mengatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i
ats-tsubut wa dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad. Lebih jauh,
al-Zuhaili menegaskan adanya dua lapangan ijtihad: pertama, sesuatu yang
tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan nabi Muhamad dalam al-Qur’an dan
al-Sunah (ma la nashshaha fi ashlain). Dan kedua, sesuatu
yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanni ats-tsubut wa ad-dalalah atau
salah satunya—dzanni ats-tsubut atau dzanni ad-dalalah.
D. IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DINAMIKA ISLAM
Dewasa
ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang menyangkut
berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian
secara seksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas penunjukannya oleh
nas. Di samping itu, kata Rager Graudi, sebagai dikutip oleh Jalaludin Rahmat,
tantangan umat Islam sekarang ada dua macam, yakni taklid kepada Barat dan
kepada masa lalu. Taklid model pertama terjadi karena ketidakmampuan melakukan
pemilahan antara modernisasi dan cara hidup Barat; sedangkan taklid model kedua
muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara agama (wahyu) dengan
pemikiran ulama masa lalu.
Melihat
persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu,
yakni dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat
penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya
itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
1.
Jarak
antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan
terlupakannya beberapa nas, khususnya dalam al-Sunah, yakni masuknya
hadith-hadith palsu dan perubahan pemahaman terhadap nas. Oleh karena itu para
mujtahid dituntut secara sungguh-sungguh menggali ajaran Islam yang sebenarnya
melalui kerja ijtihad.
2.
Syariat
disampaikan dalam al-Qur’an dan al-Sunah secara komprehensif; memerlukan
penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Di dalamnya terdapat sejumlah
ayat, yang bisa dikatakan masih dalam kategori memerlukan penjelasan.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad sebagai penyalur
kreativitas pribadi atau kelompok dalam merespons peristiwa yang dihadapi
sesuai dengan pengalaman mereka. Di samping itu, ijtihadpun memberi tafsiran
kembali atas perundang-undangan yang sifatnya insidental sesuai dengan
syarat-syarat yang berlaku pada masanya dengan tidak melanggar prinsip-prinsip
umum, dalail-dalil kulli dan maqahid al-syari’ah yang merupakan aturan-aturan
pengarah dalam hidup.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap
dalil-dalil yang dzanni ad-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil
tersebut memerlukan kerja akal fikiran lewat ijtihad. Ijtihad diperlukan untuk
menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos kejumudan kebekuan,
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran Islam, mencari pemecahan
islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga menjadi saksi
keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
*Ditulis dan
dikutip langsung dari berbagai sumber
Daftar Rujukan:
[1] Kata ini
dan seluruh variannya menunjuk pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan, atau yang kurang disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan,
kekuatan dan berat. Lihat, al-Fayumi, al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh
al-Kabir li ar-Rafi’ (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, t.th.), h. 112.
[2] Ibid.
[3] Abu Zahrah,
Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 379.
[4] Wahbah
az-Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Kutub,
1978), h. 480.
[5] Jalaludin
Rahmat, “Ijtihad Sulit tapi Perlu”, dalam Istiqra’ No. 3 (Bandung: IAIN
Sunan Gunung Jati, 1998), h. 33.
[6] Ibrahim
Abbas adz-Dzarwi, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam (Semarang: Dina Utama,
1983), h. 9.
[7] Nadiyah
Safari al-Umari, al-Ijtihad fi al-Islam: Ushuluh, Ahkamuh, Afqahuh,
(beirut: Muassasah Risalah, 1981), h. 199-200.
[8] Al-Ghazali,
al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 350.
[9] Faruddin
al-Razi, al-Mashhul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1998), h. 496-7.
[10]
Al-Syaukani, Irsyad, h. 250-2.
[11] Abu Zahrah,
Ushul, h. 250-2.
[12] Al-Ghazali,
al-Mustasyfa, h. 354.
[13] Hakim &
Mubarak, Metodologi, h. 104.
[14] Hamzah Tualeka
ZN, Diktat Dirasah Islamiyah I, (Biro Penerbitan Ilmiah Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1996), h. 102.
[15] Machfudz
Shiddieq, Sekitar Ijtihad dan Taqlid, (Surabaya: PBNU, 1959).
[16] Tulaeka,
Diktat, h. 103-4.
[17] Wahbah
az-Zuhaili, op. cit., h. 498-499.
No comments:
Post a Comment