Wednesday, February 15, 2017

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*




Makalah
Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember


Oleh:
Akhsin Ridho, M.Pd.I
NIP. 19830321 201503 1 002


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
2017



KATA PENGANTAR

Alhamdulilllah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas  rahmat dan karunia-NYA penulisan makalah ini yang dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Sebagai wujud syukur penulis berharap  kritik dan saran yang membangun dari peserta diskusi periodik dosen IAIN Jember sehingga dapat melengkapi data makalah yang dapat dikatakan kurang dari sempurna ini.
Makalah yang berjudul Gravitasi Pendidikan Tinjauan Umum Dinamika Pendidikan Islam diharapkan mampu memberikan kontribusi informasi baru serta menjadi kajian yang berkelanjutan demi perbaikan pendidikan Islam di masa yang akan datang, oleh karena itu penulis  sangat berterimakasih pada semua civitas akademika IAIN Jember khususnya Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Jember yang telah memberikan kesempatan atas waktu dan tenaganya untuk hadir serta memberikan kesempatan pada penulis dalam diskusi periodik sehingga makalah ini dapat tersampaikan.
Text Box: iAkhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kami semua dan tercatat sebagai amal baik disisi Allah SWT. Amin.

GRAVITASI PENDIDIKAN
TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM

A.    Pendahuluan
Validitas dunia pendidikan sekarang sedang menjadi tandatanya besar,  karena pendidikan yang diimplementasikan sekarang belum memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan mutu karakter bagi lulusannya, terlebih muncul berbagai kritik tajam yang ditujukan kepadanya, sehingga muncul berbagai spekulasi penyelesaian yang justru tidak mampu menyelesaikan akar persoalannya. Hal ini dilihat dengan semakin banyaknya prilaku  lulusan pendidikan -oknum- yang mencoreng dunia pendidikan, rentetan kritik tersebut tak akan pernah berhenti mengusik dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam di Indonesia.
Turun naiknya prestasi, kebijakan, dan tata kelolah pendidikan baik dari berbagai sisi yang dilihat dalam penelitian pustaka ini merupakan istilah sederhana yang di ambil sebagai istilah gravitasi. Penggunaan istilah tersebut hanya digunakan sebagai penyederhanaan istilah untuk tujuan supaya mudah diingat dan praktis dalam mendefisikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gravitasi  terhadap pendidikan Islam di Indonesia seperti cultural lag.[1] Penetrasi teknologi informasi menyebabkan perubahan sosial yang cukup cepat bahkan tidak terkendali, sedangkan laju pendidikan melaju dengan kecepatan yang super lambat dengan seabreg kurikulum yanag tidak pernah jelas -selalu berubah- baik kebijakan dan kontennya.
Pertama dalam sejarah, dunia sekolah diisi empat generasi sekaligus. Generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet dan generasi smartphone hal itu menyebabkan kesenjangan antar generasi.[2] Problem dunia pendidikan seperti fasilitas teknologi lembaga pendididkan yang dimiliki belum merata, jaringan internet yang jauh dari kata merata, belum lagi persoalan listrik.  Misalnya sebuah lembaga baru memiliki mesin ketik kini sudah muncul komputer dan LCD, kemudian muncul internet dan  smartphone hal itu menyebabkan perbedaan kemampuan antar generasi yang jelas menjadi celah ketersinggungan.
Dampak peralihan peran tersebut menjadikan peran guru senior dan junior sebagai agen perubahan mempunyai karakteristik kemampuan yang sangat berbeda, penyebabnya adalah tidak adanya kesinambungan ilmu pengetahuan yang diperoleh –cara dan metodenya- sehingga menyebabkan problem tersendiri antara guru senior dan guru junior.  Penyebabnya adalah diambilalihnya ketersediaan informasi –ilmu- yang tanpa batas oleh internet atau smartphone.
Media dan metode pembelajaranpun semakin komplek seperti penggunaan teleconference dalam kegiatan pembelajaran tatap muka semakin mereduksi fungsi ruang kelas dan jam pelajaran, karena belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja sesuai gurunya, hal ini pula bias menyebabkan celah konflik baru terhadap perkembangan dunia pendidikan. Banyak contoh cultural lag antara kebudayaan material (teknologi) dengan kebudayaan non-material (ilmu -pendidikan). Contoh cultural lag antar-kebudayaan non-material menjadi kritik yang sangat menohok dunia pendidikan seperti korupsi, LGBT, fenomena jihad, kejahatan anak dan lain sebagainya.
Faktor keduanya adalah,  peringkat pendidikan yang terus menurun. Pandangan second class masyarakat terhadap institusi pendidikan Islam menjadikan pendidikan Islam mempunyai tantangan tersendirta internasional, hal itu bisa kita rilis laporan terbaru Webometrics pada periode juli 2016.[3]
Melihat data Webometrics diatas tampak pendidikan Islam belum mempunyai tempat istimewa dihati masyarakat dibandingkan pendidikan umum. Artinya mahasiswa yang tertarik pada pendidikan Islam hanya mereka yang tidak diterima pada pendidikan  umum.[4] Ketua umum SPAN-UM PTKIN merilis beberapa prodi keagaamaan di PTKIN tidak punya banyak pendaftar. Seperti  prodi perbandingan Mazhab, Zakat dan Wakaf, perbandingan agama, ushuluddin, filsafat, tafsir, serta hadis masih menduduki posisi terendah dibandingkan dengan prodi umum yang tersedia di PTKIN. “ Biasanya, prodi ini hanya dijadikan pilihan kedua atau cadangan dari prodi lain.[5]
Faktor ketiga adalah fragmentasi. Pendidikan dalam amanat undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengamanatkan dengan jelas akan kewajiban negara sebagai penyelenggara penididikan, namun pada prakteknya masih ada sekat-sekat dalam pendidikan. Pendidikan yang dikelolah Negara dengan pendidikan yang dikelolah swasta terlihat sangat berbeda perlakuanya  begitu juga antara pendidikan yang dikelolah kementerian pendidikan dengan yang dikelolah kementrian agama.
Dikotomi pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan Islam masih terjadi seperti dalam konteks disiplin ilmu.  Fragmentasi dikotomi antara disiplin ilmu Islam  dengan disiplin ilmu umum masih sering terjadi. Berbagai upaya sudah dijalankan untuk mewujudkan integrasi  antar-disiplin ilmu, namun sekat dikotomi masih belum benar-benar hilang. Konteks politik pendidikan, kebijakan politik juga masih kentara seperti  perbedaan kebijakan pendidikan antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementrian Agama, kebijakan Direktorat Pendidikan Tinggi dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam   kerap memicu polemik di dunia pendidikan, misalnya menyangkut gaji atau sertifikasi pendidik, pelaksanaan ujian nasional, lomba-lomba skala nasional dan lain sebagainya.        
Konteks pemangku atau pelaksana  pendidikan. Persoalan split personality (kepribadian terbelah) merupakan masalah laten dalam dunia pendidikan,  tidak ada keseimbangan antara head (ilmu), heart (akhlak), dan hand (skill) menjadikan pelaku pendidikan kurang profesional dalam melaksanakannya baik secara teknis maupun manajerial. Lulusan sekolah yang beragam dan kompleks ada yang berilmu luas dan berakhlak luhur,  tapi tidak memiliki kemampuan atau skill yang memadai, akibatnya terjadi banyak pengangguran kerja. Demikian juga lulusan yang berilmu luas dan memiliki skill, namun akhlaknya tercela, dampaknya adalah membuat resah masyarakat. Dan lulusan yang berakhlak luhur dan memiliki skill, namun ilmunya terbatas pada tataran trdisional tidak memiliki kemampuan dalam bidang teknologi, mengakibatkan stagnasi dalam perkembangan pelaksana pendidikan.
Dinamika tersebut mengindikasikan adanya persoalan yang serius sedang dihadapi pendidikan khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Artikel  ini bermaksud menelaah permasalahan pendidikan Islam secara sistematis dalam dinamika pendidikan Islam tinjauan aspek metodologis, akademik dan kualitas
Dinamika pendidikan Islam mempunyai hikmah-hikmah tersendiri dalam merealisir kemaslahatan umat manusia baik dengan cara mendatangkan manfaat maupun menampik mafsadat.[6] Disinilah fungsi pendidikan Islam diharapkan untuk mampu memberikan solusi nyata bagi pendidikan di Indonesia.
Pentingnya menerapkan tujuan utama dalam pendidikaan Islam sebagai visi dalam ruh pendidikan setidaknya mempunyai beberapa alasan  dilihat dari sudut pandang esoteris (hikmah, batin) sharî‘ah Islam, diharapkan mampu memberikan  nuansa familier dan dinamis ketika bersinggungan dengan unsur-unsur yang secara eksoteris (legal formal, lahiriah). Artinya pendidikan harus bersifat fleksibel-dinamis, karena dapat menampung berbagai perkembangan terkini, asalkan mampu mengantarkan pada kemaslahatan alam semesta yang menjadi tujuan Islam rahmat li al-‘âlamîn maka hal itu patut untuk diperjuangkan. Seperti contoh teori Multiple Intelligences dalam sudut pandang Islam tidak tertulis, tapi tersirat sebagai tujuan penting  pendidikan dari sisi hifz al-‘aql atau memaksimalkan fungsi akal untuk tujuan memelihara dan mengembangkan fungsi akal atau intelektual peserta didik.
Totalitas kebutuhan hidup manusia merupakan alasan berikutya untuk menentukan tujuan pendidikan biasanya ini menjadi urgent untuk dijadikan sebagai acuan tujuan pendidikan. Seperti tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 “…mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Beriman, bertakwa dan berakhlak mulia masuk dalam fungsi hifz al-dîn,  sehat dan bertanggung-jawab masuk  dalam rana hifz al-nafs, berilmu, cakap dan kreatif  tercover dalam hifz al-‘aql, menjadi warga negara yang demokratis tujuan dalam hifz al-nasl dan mandiri tercakup dalam hifz al-mâl.
Tujuan berikutnya adalah merepresentasikan dimensi Ilahi yang bersifat absolut-permanen (al-thaawâbit), sekaligus dimensi Insani yang bersifat relatif-temporer (al-mutaghayyirât). Pendidika Islam hadir dalam setiap elemen pendidikan, tapi manifestasinya diharapkan selalu dinamis, sesuai konteks ruang dan waktu. Pendidikan Islam bertanggung-jawab mengeiplementasikan kompetensi hifz al-mâl supaya lulusan pendidikan Islam tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, bukan menjadi beban bagi orang lain. Penerapan program pendidikannya bersifat dinamis sebagai bentuk lain dalam apikasi keterampilan vokasional meliputi teknologi informasi dan komunikasi yang dibutuhkan oleh masyarakat kontemporer.
Penelitian ini bersifat deskriftif analisis dengan menggunakan kajian pustaka sebagai basis utama sumber datanya dan menggunakan metode kualitatif sebagai media analisisnya dimana banyak data yang diargumentasikan berdasarkan analisis kepustakaan dan sebagai pembandingnya menggunakan pendapat para ahli yang diambil dari data pustaka.

B.     Pembahasan
Dinamika pro dan kontra terhadap pendidikan Islam dalam tinjauan aspek  metodologis terbagi dalam dua sudut pandang yaitu insider dan outsider. Peran insider dan outsider, terbagi dalam empat peran yaitu: complete participant, participant-as-observer, observer as participant; dan complete observer. Konsep ini pertama kali diknalkan oleh Junker dan Gold pada tahun 1950-an.
Pandangan Junker dan Gold memberikan gambaran bahwa sudut pandang yang berbeda akan memberikan gambaran yang berbeda, sebagai contoh  pengamat penuh (complete observer) adalah hasil laporan webometrics yang mengamati pendidikan Islam dari luar (outside); contoh pengamat sebagai pelaku (observer as participant) adalah Rhenald Kasali, seorang pakar sekaligus praktisi pendidikan nasional; contoh pelaku sebagai pengamat (participant as observer) adalah Fazlur Rahman dan Muhammad Abduh; sedangkan contoh pelaku penuh (complete participant) adalah Munif Chatib dan K.H. Muhammad Tholhah Hasan, dan lain sebagainya.
Tinjauan ini memungkinkan keberagaman pendapat karena menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga sangat dimungkinkan untuk hasil yang berbeda. Disinilah kita sebagai pelaku pendidik mempunyai peran ganda dalam memberikan gambaran akan kelebihan dan kekurangan dari setiap sudut pandang tersebut sehingga mampu memberikan kejelasan kepada masyarakat akibat dari beragam sudut pandang tersebut. Diharapkan dari pelurusan aspek metodologis tersebut masyarakat mampu melihat secara objektif serta tidak membingungkan masyarakat pada umumnya.
Fazlur Rahman,  berpendapat di antara dinamika dalam pendidikan Islam adalah aspek ideologis. Banyak yang memisahkan hubungan pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya dampaknya adalah masyarakat Muslim tidak termotivasi untuk belajar. Masyarakat belum menyadari bahwa ummat Islam mempunyai kewajiban untuk menuntut ilmu pengetahuan akan tetapi itu hanya diterjemahkan sebagai kewajiban terhadap ilmu agama. [7] Merujuk pada Muhammad al-Ghazâlî, diantara penyebab tersebut  adalah umat Muslim terlalu fokus kepada bacaan al-Qur’ân, ilmu tajwîd dan hafalan teks al-Qur’ân semata dan belum mengaplikasikan apa yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Mereka tidak begitu mementingkan aspek dialogisnya, sehingga mengakibatkan ketertinggalan umat Muslim dari bangsa lain. Dengan kata lain, ketertinggalan umat Muslim dikarenakan tidak memahami al-Qur’ân.[8]
Persoalan ideologis di atas dapat diselesaikan dengan langkah-langkah seperti: Pertama, umat Muslim dituntut memiliki ilmu pengetahuan agama yang benar. Pengetahuan adalah tahap paling rendah dalam perspektif kognitif. Umat Muslim perlu membaca, mendengar dan memahami al Qur’an melalui ahlinya sehingga dapat  memperoleh pengetahuan agama yang benar dan kuat validitasnya.
Kedua, meningkatkan pengetahuan menjadi pemahaman yang kuat. Untuk memahaminya, dibutuhkan keseriusan dalam mengoptimalisasi daya pikir. Hal ini memerlukan proses psikologis yang kompleks, yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Ketiga, menerima hasil pemahaman agama itu dengan hati yang khusyu dan yakin. Artinya, setelah dipahami, agama diterima sebagai suatu kebenaran. Agama diterima karena ia benar baik secara akal ataupun tidak bertentangan dengan akal, bukan karena dipaksakan.
Keempat, melakukan aktivitas amaliyah,  pengabdian total pada kebenaran agama tersebut. Jika agama hanya diterima, tetapi tidak diamalkan dan mengabdikan diri padanya, sama halnya dengan menerima surat perintah dari orang terhormat, tetapi perintahnya diabaikan. Kelima, melakukan jihad, dengan menerapkan antara ilmu dengan amal dalam kehidupan sehari-hari. Ukuran kualitas keberagamaan seseorang adalah tingkat kesungguhan (jihad)-nya dalam menegakkan agama. Jihad di sini menyangkut fisik dan mental spiritual. Melalui tahap ini, konsistensi dan kepatuhan keberagamaan seseorang mampu menemukan bentuknya (aplikasi) dalam segala aktivitas hidup manusia.[9]
Kontekstualisasi dalam proses pendidikan memerlukan  beberapa tahapan proses yaitu: ilmu, akhlak, iman, amal, dan jihad. Penerapan proses pendidikan model ini berpotensi membuat peserta didik menerima ajaran Islam secara proporsional dan lebih rasional, bukan sekadar dogma atau doktrin sehingga ajaran Islam lebih dijiwai oleh peserta didik karena didasarkan pilihan rasional, bukan paksaan eksternal.
Satu sisi pelaku atau pemangku pendidikan Islam dalam kesehariannya masih melihat kelemahan fisik atau psikis dinilai sebagai penghalang proses pembelajaran. Thomas Amstrong: Sparking Creativity in Your Child (1993), meneliti bahwa banyak tokoh genius memiliki kelemahan fisik atau psikis yang cukup parah. Lingkungan yang tidak melihat kelemahan itu sebagai problem untuk terus belajar dan meraih sukses, mampu mendorong proses belajar bagi si calon tokoh untuk menemukan kondisi akhir terbaiknya. Hasilnya, tokoh-tokoh tersebut berhasil mengembangkan kecerdasan mereka dan membawa manfaat untuk banyak orang. Contoh diantara orang-orang yang terkenal dan lahir dari keterbatasan tetapi hidup pada guru yang tepat mampu menjadi insane yang luar biasa.
Pada akhirnya tidak ada ciptaan Tuhan yang terlahir dengan sia-sia atau main-main tetapi mereka mempunyai tujuan khusus kenapa diciptakan termasuk kita, dengan kata lain apabila kita mampu melihat kondisi lingkungan seseorang kemudian mampu memaksimalkan dengan kondusinya  dan selaras dengan kecerdasan yang dimilikinya, orang tersebut akan dengan cepat menemukan kondisi akhir terbaiknya.[10]
Problem lainnya adalah minimnya variasi strategi pembelajaran yang dapat memfasilitasi modalitas belajar peserta didik. Modalitas belajar adalah cara informasi masuk ke dalam otak melalui indra. Pada saat informasi akan ditangkap oleh indra, maka bagaimana proses informasi itu disampaikan, berpengaruh pada kecepatan otak menangkap dan menyimpan informasi dalam memori. Ada tiga modalitas belajar: Yaitu: Visual. Modalitas ini mengakses citra visual, warna, gambar, catatan, tabel, diagram, grafik, peta pikiran, dan hal-hal yang terkait. Auditorial. Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi, suara, musik, nada, irama, cerita, dialog, dan hal-hal yang terkait. Kinestetik. Modalitas ini mengakses segala jenis gerak, aktivitas tubuh, emosi, koordinasi, dan hal-hal yang terkait.
Venon Magnesen dari Texas University, meneliti kemampuan otak manusia lebih cepat menangkap informasi dari modalitas visual yang bergerak. Berikut adalah detail laporan penelitiannya: [11]
Faktanya, kerapkali strategi pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam masih berkutat pada empat aktivitas yang pertama saja, yaitu: membaca, mendengar, melihat, dan mengucapkan. Sedangkan aktivitas kelima dan keenam jarang sekali diimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Sebagai alternatif solusinya, penulis mengajukan usulan agar proses pembelajaran menggunakan tiga pendekatan belajar dengan memadukannya antara teacher-centris, individual-student centris dan collaborative-student centris. Pendidikan Islam, mendudukkan seorang guru memiliki posisi yang terhormat dan peran yang signifikan. Oleh sebab itu, metode pembelajaran yang bersifat teacher-centris harus tetap diprioritaskan. Metode pembelajaran yang bersifat student-centris perlu dipilah menjadi individual-student centris dan collaborative-student centris.
Posisi pelajar sebagai makhluk individu perlu ditempatkan pada metode pembelajaran berbasis individual-student centris, sedangkan posisi pelajar sebagai makhluk sosial ditempatkan pada metode pembelajaran berbasis collaborative-student centris. Sebagai contoh aplikatif, penulis menyajikan langkah-langkah praktis penerapan metode STAD (Student Teams Achievement Division) yang mengakomodir ketiga pendekatan belajar di atas, berdasarkan pengalaman aktual penulis ketika mengampu mata kuliah pengembangan materi SKI.
Pertama, pendidik membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok sesuai dengan sub topik materi bahasan. Disarankan agar nama kelompok mengacu pada subtopik tersebut. Misalnya kelompok Kulafaurrosyidin, Kelompok Sahabat, dan kelompok Tabiin.
Kedua, pendidik menyajikan berbagai jenis kompetisi yang harus diikuti oleh seluruh kelompok misal jenis kompetisinya adalah a) Cerdas Cermat: Pendidik menunjuk delegasi dari masing-masing kelompok untuk mengikuti cerdas cermat terkait materi bahasan. Juara kompetisi ini didasarkan pada perolehan poin selama mengikuti cerdas cermat; b) Game Puzzle: Pendidik menunjuk dua delegasi atau lebih dari masing-masing kelompok untuk mengikuti game puzzle terkait materi bahasan. Game puzzle ini memanfaatkan kartu pembelajaran.
Tugas masing-masing delegasi tim adalah mencocokkan pasangan antar-kartu pembelajaran. Misalnya: kartu berwarna kuning memuat contoh sejarah Nabi Muhammad SAW, sedangkan kartu berwarna hijau memuat sejarah sahabat Nabi Muhammad SAW. Kemudian para peserta berkompetisi untuk menyusun contoh kasus sejarah sesuai dengan sejarah tersebut dalam waktu yang ditentukan terlebih dahulu, misalnya lima menit. Juara ditentukan dari total poin kartu pembelajaran yang disusun dengan benar. Jika poinnya sama, maka ditentukan berdasarkan durasi waktu penyelesaian; c) Peer Teaching: Pendidik menunjuk satu delegasi dari masing-masing kelompok untuk tampil sebagai “guru” dalam aplikasi metode peer teaching.
Juara kompetisi ini didasarkan pada penilaian subjektif pendidik yang didasarkan pada performa peserta didik yang berperan sebagai “guru” dan respons para peserta didik yang berperan sebagai “murid”; d) Sorogan atau talqîn (Individual Learning): Pendidik menunjuk satu delegasi terbaik dari masing-masing kelompok untuk berperan sebagai “penguji” bagi anggota kelompok yang lain.
Kemudian dia melaporkan “hasil ujiannya” tersebut kepada pendidik. Hanya saja, sebelum delegasi tersebut menguji anggota kelompok lain, terlebih dahulu dia harus diuji oleh anggota kelompok lain tersebut. Selanjutnya pendidik menentukan pemenang kompetisi ini berdasarkan rata-rata poin yang diperoleh seluruh anggota tim; e) Ujian Tim: pendidik menunjuk satu delegasi dari masing-masing kelompok sebagai “pengawas ujian” yang bertugas mengawasi ujian atau evaluasi terkait materi pembelajaran.
Delegasi tersebut diberi tugas mengawasi pengerjaan ujian yang dilakukan oleh anggota kelompok lain. Apabila ada salah satu anggota kelompok lain yang bersikap tidak jujur atau tidak sportif, misalnya mencontek, maka dia diminta untuk mem-black list seluruh anggota tim lainnya. Metode ini dimaksudkan sebagai evaluasi pembelajaran. Lebih dari itu, metode ini juga berfungsi untuk melatih kepercayaan diri dan kejujuran masing-masing anggota tim.
Apabila kompetisi dilakukan secara bergelombang dalam beberapa sesi -misalnya karena banyaknya jumlah kelompok-, maka pemenang lomba pada masing-masing sesi berhak masuk final. Adapun format final boleh menggunakan pilihan kompetisi yang sama maupun yang berbeda dengan sesi sebelumnya. Selain itu, pendidik dituntut aktif mengembang-kan aneka jenis kompetisi yang dapat menggugah semangat siswa untuk belajar dan memenangkan kompetisi.
Ketiga, pendidik menentukan juara umum berdasarkan total gelar juara yang diperoleh masing-masing tim. Sebaran gelar juara dibuat beragam berdasarkan keunggulan masing-masing, kemudian juara umum ditentukan berdasarkan total poin yang diperoleh masing-masing tim. Keempat, pendidik menutup metode STAD dengan memberikan pandangan ahli sekaligus menyimpulkan materi perkuliahan.
Pada contoh aplikasi metode STAD di atas, tampak jelas adanya kombinasi tiga pendekatan belajar secara proporsional. Model pembelajaran seperti inilah yang berpotensi mengakhiri kesan statis dan membosankan dalam proses pembelajaran, diganti dengan kesan aktif dan kreatif sehingga proses pembelajaran berjalan  menarik dan menyenangkan.
Dualisme sistem pendidikan. Sistem pendidikan salaf yang dilaksanakan di Madrasah, dianggap begitu tertinggal sehingga sekarang hasilnya betul-betul mengecewakan. Produknya tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Parahnya lagi, sistem pendidikan modern yang dilaksanakan di universitas  sama sekali tidak menyentuh ideologi, nilai-nilai social, nilai-nilai agama serta budaya Islam. Akibatnya mahasiswa tidak terinspirasi sama sekali dengan cita-cita yang mulia seperti apa yang telah dicontohkan dalam agamanya.
Hasil tragis lainya adalah standar pendidikan Islam turun drastis, keluar dari rel menjadi pengikut pendidikan sekuler, bahkan dasar minimal dari rasa jujur dan tanggung jawab tidak muncul dikarenakan sudah sangat liberal dalam pembentukan pola berfikir mahasiswanya. Jadi, kedua sistem pendidikan (Islam-tradisional dan Barat-sekuler) ini tersakiti oleh bentuk fragmentasi yang paling buruk yaitu hilangnya ruh nilai-nilai agama dalam proses pendidikan.
Dampak nyata dari akibat pendidikan yang tidak lagi menerapkan nilai-nilai agama adalah pencarian pengetahuan umat secara umum menjadi sia-sia, pasif dan tidak kreatif. Meskipun umat Muslim berada pada abad pendidikan modern, namun cara belajar mereka belum mampu menambah orisinalitas dan investasi pengetahuan kemanusiaan, terutama pada ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial; bahkan kualitas sarjana Muslim benar-benar rendah.[12]
Muhammad ‘Abduh mengingatkan bahwa di antara faktor yang membawa kemunduran dunia Islam adalah adanya pandangan dikotomis umat Muslim, yaitu mempertentangkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai lembaga pendidikan Islam di dunia pada umumnya hanya mementingkan ilmu agama dan kurang mementingkan ilmu umum. Corak pendidikan yang demikian itu banyak berdampak negatif dalam dunia pendidikan, karena produknya adalah lulusan yang ahli agama, namun tidak memiliki visi dan wawasan ilmu umum.[13]
Dinamika  pendidikan Islam dalam rana dikotomis tersebut diperparah dengan kelemahan proses pembelajaran. Menurut Fazlur Rahman, kelemahan pokok yang dirasakan dalam proses pembelajaran di lingkungan masyarakat Muslim pada abad pertengahan dan masa pramodern, adalah konsepsi tentang pengetahuan.
Bertolak-belakang dengan sikap dan cara berpikir keilmuan modern yang memandang bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang pada dasarnya harus dicari dan ditemukan atau dibangun secara sistematis oleh akal pikiran manusia sendiri, sehingga manusia perlu mengandalkan peran akal pikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Sebaliknya, sikap keilmuan mayoritas umat Muslim justru menekankan keyakinan bahwa pengetahuan adalah sesuatu anugrah yang “diperoleh secara dogma”. Dengan demikian, sikap dan posisi akal pikiran lebih bersifat pasif dan reseptif, alih-alih bersikap kreatif dan positif.[14]
Contoh lainnya adalah plagiarisme di dunia pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Plagiarisme menimbulkan keprihatinan yang besar di dunia pendidikan. Masalahnya, itu justru dilakukan para pendidik, mahasiswa dan civitas akademik lainnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, ternyata plagiarisme tidak hanya mengutip tanpa menyebutkan sumber aslinya, melainkan pemalsuan 99% dengan hanya mengganti judul dan nama penulis dari karya orang lain.
Karya ilmiah adalah cermin keilmuan seseorang, lebih baik mengawali karier dengan karya orisinil yang buruk daripada plagiarisme yang sempurna. Setiap pendidik harus percaya diri dengan kemampuannya dan tidak boleh malas berpikir. Menulis menurut Thomas Szaz membutuhkan proses yang panjang bukan instan tapi lebih dari sekadar pengetahuan, yaitu keterampilan dan mencintai profesi.
Plagiarisme mungkin hanya dianggap masalah kecil, tetapi bagi ilmu pengetahuan merupakan masalah yang sangat serius, karena bisa membuat malas anak bangsa. Plagiarisme membuat generasi suatu bangsa malas berpikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai orisinalitas dan kreativitas, hingga akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa itu sendiri.[15]
Ternyata pintar atau cerdas saja belum cukup membuat seseorang mampu melahirkan karya-karya ilmiah. Karya ilmiah adalah gabungan dari pengetahuan, pengalaman, observasi-interaksi, dan keterampilan merajut pemikiran dalam bentuk tulisan. Menulis membutuhkan latihan. Latihan-latihan itulah yang menurut para ahli memori akan mempertebal  lapisan-lapisan myelin yang membungkus sel-sel saraf di sekujur tubuh manusia, membentuk muscle memory. Memori itu akan menggerakkan tangan manusia secara otomatis sehingga melancarkan apa yang diproses oleh brain memory.
Temuan-temuan terbaru juga menemukan hubungan yang erat antara latihan dan pembentukan intangibles (hal-hal yang tidak dapat diraba) yang melekat pada manusia dan menjadi akar keberhasilan universitas-universitas terkenal yang melahirkan riset-riset unggulan yang orisinil.[16]
Jika dilacak secara filosofis, ada pengaruh budaya pragmatis dalam proses pembelajaran pendidikan Islam saat ini. Proses pembelajaran hanya ditekankan pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki ilmu pengetahuan, sehingga menghasilkan rasionalitas teknokratik atau instrumental yang lebih menekankan pada konformitas (adaptasi) dan uniformitas.
Bentuk rasional ini berkontribusi dalam mendegradasi kesadasaran historis-kritis peserta didik dengan cara menggeser ide tentang pengembangan diri mereka yang bersifat moral dan etis, dengan hanya menekankan pada pengembangan diri yang bersifat teknis-material.
Rasionalitas teknokratik hanya menekankan pada kepentingan-kepentingan pragmatis (what is), tapi tidak memberi perhatian pada kepentingan-kepentingan yang bersifat idealis-utopis (what should dan can be). Akibatnya, nilai-nilai korporasi yang lebih pragmatis-teknis dikedepankan, sementara nilai-nilai moral-etis terpinggirkan. Akibat lainnya adalah menghilangkan proses edukatif yang penting, seperti menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity), bertanya, berdialog dan berdiskusi. Model pedagogis seperti ini sulit melahirkan critical subjectivity, subjek yang bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan,  subjek yang bisa membedakan antara fakta sesungguhnya dan fakta yang didapatkan dari media,  subjek yang mampu memahami struktur terdalam dari realitas.
Sebaliknya, akan melahirkan passive subjectivity, subjek yang banyak adaptif dan konformatif dengan realitas kehidupan. Sedangkan jika budaya idealisme yang mendominasi pendidikan, maka penekanan utama dalam pedagogis adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya. Jadi, proses pedagogis lebih diarahkan untuk mengembangkan kesadaran kritis peserta didik, yaitu kemampuan berpikir kritis yang di dalamnya terkandung dimensi politik dan kultural. Dalam perspektif pendidikan kritis, ukuran keberhasilan lebih ditekankan pada sejauhmana peserta didik mampu menjadi warga negara yang kritis, aktif, dan bertanggung-jawab.[17]
Untuk merealisir proses pendidikan yang ideal seperti itu, maka dibutuhkan pendidik yang inspiratif, atau seorang great teacher, jika mengacu pada klasifikasi Munif Chatib yang membagi jenjang kompetensi pendidik menjadi lima: probation period, pendidik masa percobaan. Medium teacher, pendidik yang punya moto just tell. Good teacher, pendidik yang punya moto explain. Excellent teacher, pendidik yang punya moto demonstrate. Great teacher, pendidik yang punya moto inspire.[18]
Pentingnya guru inspiratif juga dikumandangkan oleh Rhenald Kasali yang membagi pendidik menjadi dua jenis, yaitu pendidik kurikulum dan pendidik inspiratif. Pendidik kurikulum adalah pendidik yang amat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Jumlahnya mencapai 99%. Sedangkan pendidik inspiratif hanya mencapai 1%.
Pendidik inspiratif bukan pendidik yang mengejar kurikulum, melainkan mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking) dan melihat sesuatu dari luar (thinking out of the box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika pendidik kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, maka pendidik inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Dunia memerlukan keduanya, namun sistem sekolah di Indonesia hanya memberi tempat bagi pendidik kurikulum. Contoh: Kriteria dosen teladan hanya dibatasi pada dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal yang ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar absensi. Padahal yang demikian itu adalah pendidik kurikulum yang hanya membentuk kompetensi beberapa mahasiswa. Sedangkan pendidik inspiratif membentuk bukan hanya sekelompok mahasiswa, melainkan ribuan orang.[19]
Alternatif solusi dinamika pendidikan Islam dari sudut pandang akademik adalah memperbaiki kualitas tenaga didik terlebih dahulu. Intinya, peningkatan kompetensi profesional melalui kesadaran atas kewajiban asasi pendidik (bagi dosen adalah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan penulisan karya ilmiah; pengabdian masyarakat).
  Peningkatan kompetensi pedagogik melalui kesadaran atas hak asasi peserta didik memenuhi lima kebutuhan utama manusia yaitu kebutuhan spiritual, jasmani-rohani, intelektual, sosial dan vokasional.
Peningkatan kompetensi kepribadian melalui kesadaran atas kekurangan diri sendiri yaitu memperbaiki empat komponen utama yang disorot oleh al-Ghazâlî: Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, yaitu ibadah, adat kebiasaan, akhlak tercela dan akhlak terpuji. Pendidik dituntut untuk terus-menerus memperbaiki kekurangan diri pada empat komponen tersebut, sehingga layak menjadi teladan (uswah) bagi peserta didik); peningkatan kompetensi sosial melalui kesadaran atas kelebihan orang lain (melalui K4P, yaitu Komunikasi, Kolaborasi, Kompetisi, Kontribusi dan Prestasi).[20]
Rhenald Kasali berpendapat sekolah atau perguruan tinggi telah berubah menjadi lembaga pendidikan yang meresahkan anak didik. Pendidik menuntut bekerja tertib, berkompetisi dan prestasi akademis. Para peserta didik pun bersaing mengejar ranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa dan penghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh, meski di masyarakat terbukti sukses. Pendidik yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalah pemburu. Pemburu menatap tajam anak didiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa.
Matthew McKay dan Patrick Fanning (1991) menyebutkan banyak sekali peserta didik yang memiliki keunikan, akhirnya menjadi narapidana keyakinan (prisoners of belief) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit untuk mengendalikan diri.
Untuk membongkar narapidana keyakinan yang mengikat anak didik dapat dilkukan dengan peningkatan rasa percaya diri, rasa nyaman kontrol diri, cinta, pemberian kewenangan atau otonomi, perhatian keluarga, rasa adil, perbaikan kinerja, perubahan system dan kepercayaan (trust). Elemen-elemen ini dapat dibagi lagi menjadi tiga: rasa percaya diri, hubungan personal dan pengendalian hidup. Elemen tersebut dapat mempengaruhi tingkat kecemasan, pengambilan keputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan atau kecemasan, dan keberhasilan hidup.[21]
          Lingkungan pendidikan juga berpengaruh terhadap munculnya berbagai jenis kenakalan peserta didik. Potensi pengaruh lingkungan negatif lebih besar seiring perkembangan zaman. Oleh sebab itu, alternatif solusi atas problematika ini adalah dibutuhkan kerjasama yang solid antara orangtua dan pendidik.
 Untuk itu, patut kiranya untuk meniru paradigma pendidik dan orangtua di Finlandia yang hubungannya bagaikan sahabat sejati: penghormatan terhadap pendidik dan sekolah. Orangtua sangat menghormati pendidik dan sekolah. Mereka menganggap bahwa pendidik adalah orangtua kedua dan sekolah adalah rumah kedua. Sekolah bukan tempat yang menyeramkan, penyebab tekanan batin dan ketegangan.
Mengajar adalah pekerjaan rumit. Orangtua memahami bahwa mengajar adalah pekerjaan yang kompleks dan penuh dinamika, sehingga perlu didukung dari semua aspek. Ketika pendidik mengalami kesulitan mengajar kepada siswa, maka orangtua mereka akan membantu semaksimal mungkin.
 Pendidik adalah pahlawan. Orangtua menganggap bahwa pendidik adalah pahlawan kesuksesan anak mereka. Banyak peserta didik yang menghias dan memajang foto pendidik di kamarnya, bahkan dengan diberi tambahan kalimat, you are my inspiration.
Mementingkan proses. Orangtua cenderung tidak terlalu peduli terhadap hasil belajar anak, mereka lebih peduli terhadap proses belajar anak. Setiap usaha anak selalu mendapatkan apresiasi dari orangtua, apapun hasilnya.
Kritik santun dan bekerjasama. Orangtua menyampaikan kritik kepada sekolah dengan cara santun, sebab mereka memahami bahwa mengajar bukanlah pekerjaan yang ringan. Orangtua pun selalu bekerjasama dengan pendidik dan sekolah demi keberhasilan anak didik. Keenam, kognitif bukan utama. Justru kemampuan emosional dan problem solving yang diutamakan, karena dibutuhkan dalam sekolah dan bekerja.
Rapor dan ijazah dalam dunia kerja hanya dipakai sebagai formalitas, sumber daya manusia dihargai kompetensi psikomotorik dan afektifnya, sedangkan kemampuan kognitif diserahkan kepada sebuah alat hitung dan analisis yang bernama komputer.[22]
Paradigma yang berlaku di Finlandia tersebut diperkokoh oleh pandangan Kasali yang menegaskan bahwa pendidikan itu melewati tiga jalur: sekolah, keluarga dan lingkungan. Jadi, sekolah (lembaga pendidikan formal) hanya mengisi sepertiga dari seluruh kurikulum kehidupan. Oleh sebab itu, anak yang di lembaga formal biasa-biasa saja, bisa menjadi ilmuwan gigih atau wirausahawan hebat, kerena didukung oleh keluarga dan lingkungan. Sementara anak yang di sekolah diberi predikat genius, hanya bisa memajang ijazah, menjadi penumpang dalam kehidupan.[23]
Saat ini ada anggapan kuat bahwa sekolah itu identik dengan mencari kerja. Pertimbangan utama orangtua menyekolahkan anaknya adalah agar kelak mendapatkan pekerjaan yang memadai, sesuai dengan investasi yang telah ditanamkan di sekolah. Opini publik yang demikian kuat ini akibat dominannya budaya pragmatisme di masyarakat dan pendidikan. Pragmatisme yang berasal dari habitus ekonomi telah merambah ke dunia pendidikan. Ketika ideologi pasar yang bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik mendominasi dunia pendidikan, maka pendidikan akan mengedepankan nilai-nilai korporasi yang menekankan penguasaan teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja, dengan mengorbankan nilai-nilai etis-humanistik.
Peserta didik akan diorientasi-kan untuk beradaptasi engan dunia masyarakat industri. Paling tidak ada dua dampak pragmatisme terhadap dunia pendidikan yaitu ideologi kompetisi dijadikan sebagai dasar dan praksis pendidikan; sehingga pendidikan melahirkan pemenang (kaya atau pintar) dan pecundang (miskin atau bodoh). Selanjutnya orientasi pendidikan yang pragmatis, dalam pengertian fakultas-fakultas yang dibuka seluas-luasnya adalah fakultas yang praktis-pragmatis yang cepat mendapatkan pekerjaan. Sementara fakultas-fakultas yang berbau pemikiran dan filsafat menjadi kurang laku.[24]
Gejala arus pragmatisme pendidikan semakin menguat, ditandai dengan semakin dominannya corporate values dalam pendidikan. Bahkan di beberapa institusi pendidikan, nilai korporasi telah menjadi core values mengalahkan academic values yang seharusnya selalu menjadi basis institusi pendidikan.
Tidak aneh jika sejumlah institusi pendidikan berbondong-bondong mengajukan sertifikat ISO. Civitas akademia pun lebih fasih berbicara tentang efisiensi, efektivitas, profit, produk, TQM, pasar kerja, dan lainnya yang berasal dari domain ekonomi. Jika kecenderungan ini terus berlangsung, maka pendidikan diragukan memiliki peran yang signifikan dalam membentuk kehidupan publik, politik dan kultural. Sebaliknya, pendidikan dibentuk oleh dunia pasar sehingga pembelajaran ditekankan pada bagaimana adaptasi dengan dunia industri dan ilmu yang diajarkan bersifat teknis-praktis.[25]
Mengacu daftar yang dilansir www.mbctimes.com tentang 20 negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik pada tahun 2015/2016 adalah: 1) Korea Selatan; 2) Jepang; 3) Singapura; 4) Hong Kong; 5) Finlandia; 6) Inggris Raya (UK); 7) Kanada; 8) Belanda; 9) Irlandia; 10) Polandia; 11) Denmark; 12) Jerman; 13) Rusia; 14) Amerika Serikat; 15) Australia; 16) Selandia Baru; 17) Israel; 18) Belgia; 19) Republik Ceko; 20) Swiss. Demikian halnya dengan daftar perguruan tinggi (universitas) terbaik edisi tahun 2015/2016 yang dilansir www.webometrics.info bahwa mayoritas masih didominasi oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (Harvard University (1), Stanford University (2), Massachusetts Institute of Technology (3), Inggris (University of Oxford (13), University of Cambridge (14) dan Kanada (University of Toronto (16).[26]  Sungguh miris jika menengok laporan ini, karena tidak ada satu pun negara mayoritas Muslim yang masuk di dalamnya. Data ini menunjukkan sistem pendidikan Islam dipandang sebelah mata oleh sistem pendidikan Barat.
Berdasarkan hasil penelusuran Munif Chatib terhadap sekolah-sekolah di Indonesia, ada empat kategori sekolah. (1). Sekolah yang tidak mati dan tidak hidup. Cirinya antara lain: a) Tidak mendapatkan kepercayaan masyarakat di sekitarnya; b) Jumlah siswa sedikit; c) Kualitas guru yang masih rendah; d) Manajemen sekolah yang amburadul. (2). Sekolah tumbuh. Cirinya antara lain: a) Kepercayaan masyarakat sangat besar; b) Jumlah siswa yang mendaftar lebih banyak dibandingkan dengan kapasitas sekolah; c) Masih berada pada jenjang tertentu, misalnya: baru ada jenjang SD, belum punya jenjang SMP; d) Membutuhkan perekrutan guru baru setiap tahun; e) Manajemen sekolah yang sedang mencari bentuk. (3). Sekolah yang punya manajemen internasional. Cirinya antara lain: a) Kepercayaan masyarakat sangat besar; b) Jumlah siswa yang mendaftar lebih banyak dibandingkan dengan kapasitas sekolah; c) Fokus pada peningkatan kualitas guru dengan pelatihan dan pengembangan guru yang terstruktur; d) Manajemen sekolah yang sudah stabil. (4). Sekolah yang baru akan dibangun. Cirinya antara lain penyelenggara sekolah, baru memiliki niat membangun sekolah, semisal dimulai dari pembangunan fisik sekolah dan perekrutan guru.[27]
Sebagai alternatif solusi atas problematika pendidikan Islam di atas, penulis mengacu pada pengalaman K.H. Tholhah Hasan yang selama berpuluh-puluh tahun telah mengembangkan berbagai lembaga pendidikan Islam dengan beragam prestasi prestisius. Menurut beliau, lembaga pendidikan Islam harus dibangun di atas tiga fondasi utama: ke-Islam-an, kecedekiaan dan ke-Indonesia-an.
Lembaga pendidikan Islam seharusnya dibangun di atas tiga fondasi utama, sebagaimana yang disarankan oleh, yaitu ke-Islam-an, kecedekiaan dan ke-Indonesia-an.[28]Basis ke-Islam-an mengacu pada nilai-nilai Islami yang bersifat abadi yang relevan dengan setiap dimensi ruang dan waktu misalnya: siddîq, amânah, tablîgh, dan fatânah. Oleh sebab itu, tirakat atau riyâdah mendapatkan porsi yang menentukan dalam pendidikan Islam. Misalnya, pendidik maupun peserta didik sama-sama gemar berpuasa sunnah senin-kamis. Basis kecendekiaan mengacu pada budaya cendekia yang dibangun di atas tiga elemen utama: budaya membaca, meneliti (riset) dan menulis.
Perpaduan ketiga budaya ini akan menghasilkan berbagai jenis kreativitas, inovasi, dan keterampilan. Oleh sebab itu, proses pembelajaran harus didesain untuk memfasilitasi ketiga budaya tersebut. Misalnya, aplikasi metode Problem Based Learning  (PBL). Basis ke-Indonesia-an ditujukan pada nilai-nilai nasionalisme yang berupa budaya bangsa maupun komitmen nasional. Dengan basis ini, civitas akademika pendidikan Islam dididik agar negara tidak sampai menjadi korban cinta agama. Di sinilah terhimpun makna hubb al-watan min al-îmân, cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
          Ketiga basis tersebut ibarat akar pohon yang kemudian menumbuhkan batang yang memiliki empat ciri khas yaitu: dinamis, relevan, professional dan Kompetitif. Dinamis berarti lembaga pendidikan Islam harus selalu bergerak maju, berani melakukan perubahan dan inovasi. Berbekal ciri khas ini, lembaga pendidikan Islam akan selalu up to date (aktual), bukan malah out of date (kedaluwarsa).
 Perubahan dan inovasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam harus sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan (relevansi) masyarakat. Lembaga pendidikan Islam dituntut mampu merealisir tujuan ideal pendidikan yang bernuansa akademik (academic values) dan tujuan aktual pendidikan yang bernuansa vokasional (corporate values).
Profesionalisme merupakan jawaban dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam. Artinya, lembaga pendidikan Islam dikelola dengan prinsip keahlian dan keilmuan. Dampaknya adalah siap bersaing secara sehat dengan lembaga pendidikan lain dalam rangka menguji kualitas diri bukan hanya sebagai jago kandang bukan sebagai pengekor.


C.    Penutup
           
        Pendidikan Islam selalu menghadapi dinamika yang beragam. Dalam tataran aktual hal itu mempunyai  potensi tantangan dalam setiap elemennya. Dinamika pendidikan Islam yang mendera pada seluruh aspek seperti mutu akademik, keterbatasan teknologi informasi, dan rendahnya daya saing lulusan memberikan gambaran bahwa bukan lagi saatnya kita berdiam diri dalam zona nyaman tetapi harus mampu memberikan jawaban konkrit terhadap dinamika tersebut.  
Mengetahui dinamika yang terjadi di dunia pendidikan Islam sekaligus alternatif solusinya, maka seyogianya ummat Muslim selalu mempertimbangkan perspektif insider  dan outsider sehingga tidak serta merta membenarkan informasi yang diterima tetapi kita harus mempunyai peran sebagai pengamat penuh (complete observer), pengamat sekaligus sebagai pelaku (observer as participant), pelaku tapi sebatas sebagai pengamat (participant as observer), atau pelaku penuh (complete participant) untuk meluruskan informasi yang sebenarnya.
        Dinamika pendidikan Islam yang telah dikategorisisasi dan dipetakan untuk mempermudah pemecahan masalah sehingga solusi masalah yang didasarkan pada sudut pandang insider dan outsider dapat menjadi energi baru dalam menata peningkatan mutu pendidikan Islam, sehingga sifatnya tuntas-komprehensif, serta mampu menunjukkan inklusivitas pendidikan Islam.

 *Ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber

Sumber Rujukan:
Arif, Mukhrizal dkk. Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.
Auda, Jasser. al-Maqasid untuk Pemula, terj. Ali ‘Abdelmon’im. Yogyakarta: UIN-Suka Press, 2012.
-----. Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah: Pendekatan Sistem, terj. Rosidin dan Ali Moen’im. Bandung: Mizan, 2015.
Chatib, Munif. Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa, 2014.
-----. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung: Kaifa, 2015
Hasan, K.H. Muhammad Tholhah. “Arah Baru Pengembangan Madrasah: Perluasan Akses Lembaga dan Peningkatan Mutu Civitas Akademika”, Seminar Nasional Pendidikan di Madrasah Aliyah Almaarif Singosari tanggal 3 September 2016.
http://www.mbctimes.com/english/20-best-education-systems-world dan http://www.webometrics.info/en/world diakses 1 Juni 2016.
Kasali, Rhenald. Let’s Change: Kepemimpinan, Keberanian dan Perubahan. Jakarta: Kompas, 2014.
Knott, Kim. “Insider/Outsider Perspectives” dalam John R. Hinnells (ed.), The Routledge Companion to the Study of Religion. New York: Routledge, 2005.
Makbuloh, Deden. Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 37-39.
Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Prodi Keagamaan Sepi Peminat, Jawa Pos, 22 Maret 2016, dalam http://www. pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20160322/ 282 467118014336 diakses 20 September 2016.
Ranking Web of Universities edisi Juli 2016, dalam http://www.webo metrics.info/en /Asia/indonesia%20 diakses 30 Agustus 2016.
Rosidin. “Strategi Peningkatan Kinerja Pendidik Profesional Berbasis Etos Kerja Qur’âni”, dalam Seminar Nasional Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta 2016.
Veenat. “Concepts: Cultural Lag, Assimilation, Acculturation and Cultural Pluralism” dalam cms.gcg11.ac.in/attachments /article/214/unit%203-%20concepts.pdf diakses 30 Agustus 2016.
Zuhaylî (al), Wahbah. Uṣûl al-Fiqh al-Islâmî. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1968.




[1] Cultural lag pertama kali diintroduksi oleh William. F. Obgurn dalam studi perubahan sosial. Ogburn menyatakan bahwa kebudayaan material (material culture) berubah terlebih dahulu, karena banyaknya penemuan (discoveries) dan produk penemuan (invention); sedangkan kebudayaan non-material meresponnya. Mengingat kebudayaan material selalu berubah lebih cepat dibandingkan kebudayaan non-material, akhirnya tercipta ‘jurang pemisah’(gap0 antara kedua jenis kebudayaan. Inilah yang disebut cultural lag atau ketertinggalan budaya. Dari sini cultural lag dimaknai sebgai ‘bagian tertentu kebudayaan berubah lebih cepat dibandingkan yang lain; sedangkan bagian yang lain berubah relatif lebih lambat’. Karena tidak ada koordinasi antara kedua bagian kebudayaan tersebut, maka muncullah ‘ketertinggalan’ (lag) atau ‘jurang pemisah’ (gap) antara keduanya; hingga suatu saat terjadi penyesuaian-kembali antara kedua kebudayaan tersebut. Veenat, “Concepts: Cultural Lag, Assimilation, Acculturation an Cultural Pluralism” dalam cms.gcg11.ac.in/attachments/article/214/unit%203-%20concepts.pdf diakses 30 Agustus 2016.
[2] Rhenald Kasali, Let’s Change: Kepemimpinan, Keberanian, dan perubahan (Jakarta:Kompas, 2014), 116.
[3] Ranking Web of Universities edisi juli 2016, dalam http://www.webometrics.info/ en/Asia/indonesia%20diakses 30 Agustus 2016.
[4] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 322-325.  
[5] Prodi Keagamaan Sepi Peminat, Jawa Pos, 22 Maret 2016, dalam http://www. pressreader.com/ indonesia/jawa-pos/20160322/282467118014336 diakses 20 September 2016.  
[6] Wahbah al-Zuhaylî, Us}ûl al-Fiqh al-Islâmî  (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1968), 1017-1020.  
[7] Nata, Pemikiran Pendidikan, 322-325.  
[8] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 37-39.  
[9] Ibid., 37-39.  
[10] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (Bandung: Kaifa, 2015), 70-72.  
[11] Ibid., 122-123.  
[12] Nata, Pemikiran Pendidikan, 322-325.  
[13] Ibid., 309. 
[14] Ibid., 322-325. 
[15] Kasali, Let’s Change, 128-129.  
[16] Daniel Coyle menunjukkan kemajuan dalam neuroscience bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell menemukan bahwa anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas, berpotensi menyandang mindset tetapi, sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat. Ibid., 123-131.  
[17] Mukhrizal Arif, dkk., Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 13-14.  
[18] Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara (Bandung: Kaifa, 2014), 32.  
[19] Kasali, Let’s Change, 137-140.  
[20] Rosidin, “Strategi Peningkatan Kinerja Pendidik Profesional Berbasis Etos Kerja Qur’âni”, dalam Seminar Nasional Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta 2016.
diakses 20 September 2016.  
[21] Kasali, Let’s Change, 133-135.  
[22] Chatib, Gurunya Manusia, 59-62.  
[23] Kasali, Let’s Change, 113.  
[24] Arif, dkk., Pendidikan Posmodernisme, 11-12.  
[25] Ibid., 12-13.  
[27] Chatib, Gurunya Manusia, 4.  
[28] Berdasarkan materi lisan (presentasi) dan tulisan (makalah) berjudul “Dinamika Pengembangan Madrasah” yang dipresentasikan K.H. Muhammad Tholhah Hasan pada Seminar Nasional Pendidikan di Madrasah Aliyah Almaarif Singosari tanggal 3 September 2016 dengan tema Arah Baru Pengembangan Madrasah: Perluasan Akses Lembaga dan Peningkatan Mutu Civitas Akademika.  

No comments:

Post a Comment

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...