Wednesday, October 14, 2015

MODUL 5: AL HADITS*



Pokok-pokok Materi
Isi Al-Qur’an bersifat global yang  memerlukan banyak penjelasan. Untuk itu, datanglah Rasulullah SAW   menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an secara detail, baik tentang tatacara ritual maupun mu’amalah, dari mulai tatacara shalat, sampai kepada cara berumah tangga dan bernegara. Segala penjelasan rasulullah, baik berupa perbuatan (Fi;liyah) perkataan (qauliyah) maupun sikap diam/ no coment (taqririyah) disebutlah Sunnah Rasul. Sebagai penjelas, nabi adalah  whole model (Uswah hasanah) yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).

A.   Pengertian Sunnah atau Hadits
Dalam hal ini tidak semua sahabat melihat langsung sunnah rasul, tetapi hanya mendengar beritanya, apalagi orang-orang di bawah sahabat. Berita tentang sunnah rasul itu disebutlah hadits. Jadi, Sunnah Rasul adalah faktanya sedangkan hadits hanyalah beritanya. Sunnah rasul pasti benar, sedangkan hadits (karena hanya berita) mungkin benar mungkin salah. Semua mukmin diwajibkan mengikuti sunnah Rasul bukan diwajibkan mengikuti hadits. Akan tetapi bagaimana mungkin mengetahui sunnah rasul apabila tidak mempelajari haditsnya.
Kata al-Sunnah secara etimologis, berarti al-Thariqah, al-Shirah (Jalan yang ditempuh) atau juga berarti tradisi, baik ataupun buruk. Bentuk jamaknya adalah al-Sunan. Hal ini bisa dilhat dalam sebuah hadis Nabi saw yang artinya:
“Barang siapa yang mengadakan suatu sunnah atau jalan yang baik maka dia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang lain yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa membuat kebiasaan yang buruk maka dia akan menanggung dosa membuat sunnah tersebut dan dosa orang yang mengerjakannya sampai pada hari kiamat (Bukhari Muslim).
Sedangkan definisi al-Sunnah menurut istilah, ada beberapa variasi yang disebabkan oleh pandangan ulama yang berbeda-beda ketika menghadapi materi al-Sunnah yang sesuai dengan disiplin ilmunya baik hadits, fiqh maupun ushul fiqh. Di samping itu, para ulama juga berbeda pendapat dalam memberikan batasan pengertian sunnah dan hadis. Sebagian dari mereka mengidentikkan antara hadis dan sunnah, sebaliknya sebagian yang lain membedakannya. Para ahli hadis (muhadditsun) pada umumnya mengidentikkan pengertian sunnah dan hadis. Mereka mendefinisikan sunnah atau hadis sebagai berikut:
“Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat moral (khuluqiyah), sifat khalqiyah (jasmani) ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudah diangkat menjadi rasul”.
Dalam kaitan ini, Muhammad Ajjaj al-Khatib memberikan sedikit penjelasan, bila disebutkan istilah hadis, terutama yang mereka (muhadditsun) maksudkan adalah riwayat-riwayat dari Rasul setelah beliau diangkat menjadi Rasul (ba’da al-nubuwat). Dengan demikian, pengertian hadis lebih sempit cakupannya dibandingkan dengan pengertian sunnah yang cakupannya meliputi segala apa yang diriwayatkan dari nabi, baik sebelum bi’tsah mapun sesudahnya.
Menurut ulama ushul (ushuliyun) sunnah dan hadis merupakan dua istilah yang berbeda pengertiannya, bagi ahli ushul, sunnah adalah: “Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum syara’”.
Sedangkan istilah hadis oleh ulama ushul hanya dipergunakan untuk pengertian yang lebih terbatas lagi, yaitu hanya merujuk kepada sunnah qauliyat (sunnah yang berwujud perkataan), tidak pada lainnya. Jadi, pengertian hadis di sini memiliki cakupan lebih sempit dibandingkan dengan sunnah.
Berbeda dengan muhadditsun dan ushuliyun, ulama fiqh (fuqaha’) menggunakan istilah sunnah untuk menunjukkan salah satu bentuk atau sifat dari hukum Islam, yaitu suatu perbuatan yang hukumnya boleh ditinggalkan, namun lebih utama (aula) dilaksanakannya. Kata mereka, sunnah adalah “Semua perbuatan yang ditetapkan Rasul, namun hukum pelaksanaannya tidak sampai ke tingkat wajib atau fardlu”.
Adanya berbagai definisi tentang hadis dan sunnah sebagaimana dikemukakan di atas merupakan bukti adanya perbedaan pendapat di antara ahli hadis, ushul dan ahli fiqh. Perbedaan tersebut sebenarnya dapat dipahami, karena masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dalam memandang figur nabi. Ulama’ hadis lebih melihat figur Nabi Muhammad sebagai manusia yang sempurna, yang dapat dijadikan uswatun hasanah (QS. al-Ahzab: 21) sehingga mereka berusaha untuk merekam dan memotret figur beliau secara lengkap dan utuh, baik perkataan, perbuatan, taqrir serta sifat-sifatnya yang dapat dijadikan contoh dan anutan bagi mereka.
Ulama’ ushul lebih memandang figur Nabi sebagai musyarri’ (QS. al-Hasyr: 7) (lihat lampiran no. 6), yaitu pembuat undang-undang di samping Tuhan, sehingga pengertian sunnah bagi mereka hanya dibatasi pada perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi setelah beliau diutus menjadi rasul yang berkaitan dengan hukum. Meskipun demikian, dengan pembatasan ini, mereka (ushuliyun) tidak menolak apa yang disebut sunnah atau hadis oleh kalangan muhadditsun, hanya saja yang tidak berkaitan dengan hukum tidak termasuk obyek kajian mereka.
Ulama’ fiqh yang mengkaji masalah bentuk atau sifat hukum mengenai perbuatan-perbuatan dari manusia, mereka mneggunakan istilah sunnah untuk maksud menyatakan salah satu dari sifat hukum. Menurut mereka, sunnah adalah jenis perbuatan yang dianjurkan untuk mengerjakannya, namun tidak termasuk ke dalam kategori yang fardlu atau wajib. Atau menurut versi lain, sunnah adalah suatu perbuatan yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat siksa.
B.   Kedudukan As Sunnah
Al-Qur’an  berisi petunjuk-petunjuk  yang diperlukan oleh manusia dalam menjalani hidupnya, namun petunjuk atau informasi itu masih bersifat global (mujmal). Misalnya perintah shalat (aqimish shalat),  shaum (kutiba ‘alaikumus shiam), haji (wa atimmu hajj),  berpakaian, berumah tangga, aktivitas ekonomi, dll. Tetapi di dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara operasional dan lebih rinci tentang tatacara (kaifiyat, how to do) perintah-perintah itu.  Oleh karena itu Al-Qur’an masih memerlukan penjelasan-penjelasan (bayan) yang lebih rinci (tafshil).
Allah mengutus rasul  yang akan menjelaskan segenap aturan Al-Qur’an. Rasullah lantas mendemonstrasikan tatacara shalat, shaum, haji,  berdagang,  berpolitik, berumah tangga, dll. 
Apa yang dijelaskan oleh Rasullah, baik melalui perbuatannya (fi’liyah), ucapan-ucapannya (qauliyah), maupun sikap diamnya (taqiriyah), disebut sunnah rasul.  Jadi sunnah rasul adalah setiap perilaku, ucapan dan sikap diam nabi.
Kedudukan rasul adalah sebagai penjelas (bayin), yang menjelaskan dan memberi contoh tentang seluruh pesan-pesan Al-Qur’an, dari mulai persoalan etika makan sampai kepada soal bernegara dan mengadakan hubungan antar negara.  Oleh karena itu rasul adalah sebagai whole model (Uswah hasanah) yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
Sebagai gambaran umum, al-sunnah itu mempunyai tiga unsur pokok yaitu sanad, matan dan rawi. Pemaparan unsur-unsur pokok al-sunnah atau hadis secara luas dapat dibaca dalam kitab ilmu-ilmu hadis (‘ulum al-hadits). Namun sebagai pengantar sederhana berikut contoh istilah-istilah hadis: mulai Muhammad sampai dengan Anas disebut sanad. Mulai tsalatsun sampai al-nar disebut matan. al-Bukhari disebut al-rawi. Dan al-Bukahari juga disebut sanad pertama dan rawi terakhir.
Inilah penjelasan tentang al-sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Kedudukan al-sunnah sangat penting sebab banyak ayat al-Qur’an yang tidak dapat dipahami dengan baik dan dapat diamalkan tanpa penjelasan dari nabi Muhammad saw.
Bagi mukminin, mengetahui perilaku dan seluk beluk kehidupan seorang model (idola) sangat perlu. Akan tetapi pada kenyataannya, orang yang bisa melihat perbuatan nabi sebagai model, baik tatacara shalat, tatacara shaum, maupun tatacara haji hanya sebagian sahabat saja, apalagi menyangkut  tatacara berumah tangga dan hal-hal yang bersifat sangat pribadi, yang hanya diketahui oleh isterinya.
Sebahagian besar orang Islam pada saat itu hanya mendengat beritanya. Berita itu bahasa Arabnya adalah khabar (akhbar) atau hadits. Jadi hadits adalah berita tentang sunnah rasul. 
Jadi sunnah rasul adalah faktanya, sedangkan hadits adalah beritanya. Sunnah rasul sebagai sebuah fakta,  pasti benar mustahil salah. Sedangkan hadits hanyalah beritanya. Yang namanya berita sering bias, ada distorsi, mungkin benar (shahih) bukan lemah (dhaif).  Sumber hukum kita adalah sunnah bukan hadits. Akan tetapi bagaimana mungkin bisa mengetahui sunnah rasul kalau tidak membaca haditsnya.
Di dalam al-Qur’an sering didapati ayat-ayat yang secara konotatif atau denotatif menyatakan tentang kewajiban kita untuk mengikuti sunnah Nabi saw seperti dalam firman Allah yang artinya: “Apa-apa yang disampaikan oleh Rasul maka terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (QS. al-Hasyr: 7).
Sedangkan dalam hadis nabi disebutkan: “Aku tinggalkan untukmu dua perkara, apabila kamu berpegang padanya maka kamu tidak akan sesat selamanya, yaitu al-Qur’an dan sunnahku” (HR. Malik). Dengan demikian, maka para ulama telah ijma’ atas hukum wajibnya mengikuti sunnah Nabi saw.
Sunnah dalam Islam merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Jika seorang mujtahid tidak menemukan jawaban tentang suatu persoalan dari al-Qur’an, maka ia harus mencari dari sunnah-sunnah Nabi saw. Dalam kaitan ini, al-Syatibi berpendapat bahwa tingkatan sunnah berada di bawah tingkatan al-Qur’an, dengan alasan: al-Qur’an itu qath’i baik secara ijmali maupun tafsili, sedangkan sunnah itu qath’i secara ijmali dan dzanni secara tafsili. Yang qath’I tentu harus didahulukan dari pada dzanni. Sunnah kadang-kadang berfungsi sebagai penjelas dari al-Qur’an atau menambah keterangan yang belum jelas dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, sunnah kedudukannya menempati nomor dua setelah al-Qur’an. Dalam suatu hadis dapat diambil pengertian bahwa sunnah kedudukannya nomor dua setelah al-Qur’an.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh hadis Nabi saw: “Ketika Rasulullah akanmmengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu’adz, Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara apabila dihadapanmu muncul suatu perkara? Mu’adz menjawab: Aku akan memutuskan dengan al-Qur’an. Nabi bertanya, Apabila engkau tidak mendapatkannya dalam al-Qur’an? Mu’adz menjawab: dengan sunnah Rasululllah. Nabi bertanya: Apabila engkau tidak mendapatkannya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan menyimpang. Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada rasul-Nya dan utusan rasul-Nya dalam mengerjakan sesuatu yang membuat puas Rasulullah” (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian dapat kita pahami, bahwa kedudukan sunnah dalam Islam adalah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dan merupakan hal terpenting yang tidak boleh dipisahkan dari al-Qur’an.
C.   Fungsi Sunnah Terhadap al Qur’an
Fungsi hadits / sunnah Rasul sebagai bayan (penjelasan) terhadap Al-Qur’an, tanpa memahami hadits tidak akan mampu memahami Al-Qur’an dengan jelas. Bayan tersebut adalah: Bayan taukid (taukid = menguatkan) yakni menguatkan pernyataan Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an menyatakan bahwa berbohong itu adalah sebuah dosa, kemudian dikuatkan oleh hadits.  Bayan tafshil (tafshil = merinci), yakni merinci apa yang masih global di dalam al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an menegaskan aqimish shalat (tegakkanlah shalat) sedangkan tata cara shalat diuraikan oleh hadits. Bayan itsbat (itsbat = pengecualian). Misalnya Al-Qur’an surat 5 ayat 3 menegaskan bahwa bangkai dan darah haram dimakan. Kemudian datanglah hadits riwayat Ahmad, Ibn Majah, Baihaki dan Daruquthni, bahwa ada bangkai yang dihalalkan yakni ikan dan belalang. Juga ada darah yang dihalalkan yakni hati dan limpa.  
Bayan al-Majal, memerinci atau memberi penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global, seperti tentang cara-cara shalat, manasik haji, dan sebagainya. Taqyid al-mutlaq, memberikan batasan pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak (belum ada batasnya). Seperti dalam sunnah yang memberi batasan atas kata yadun dalam masalah had pencurian, yaitu sebatas pergelangan saja yang dipotong. Takhshish al-‘am, memberikan kekhususan pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Seperti keumuman ayat yang menerangkan bahwa anak bisa menjadi ahli waris, kemudian dikhususkan oleh sunnah dengan diberikan syarat tidak beda agama dan Taudlih al-musykil, menjelaskan ayat yang rumit difahami.
al-Sunnah adalah dari Nabi Muhammad saw yang berfungsi menjelaskan maksud kandungan dari firman Allah (al-Qur’an) yang sebgaian besar masih bersifat global. Sebagaimana firman Allah dalam suarat al-Nahl: 44, yang artinya sebagai berikut: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya”.
Secara umum al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an memiliki beberapa fungsi terhadap al-Qur’an, yaitu: al-Sunnah berfungsi sebagai penguat dari hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an, seperti perintah wajibnya zakat dalam al-Qur’an juga termasuk dalam sunnah nabi. al-Sunnah berfungsi sebagai penjelas, penafsir, dan pemerinci dari ayat-ayat al-Qur’an, yang meliputi empat kategori: dan al-Sunnah berfungsi menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Jadi, ada suatu hukum yang hanya berdasarkan sunnah semata, seperti sunnah yang menerangkan keharamannya mengawini saudara sesusuan, hukum ini berdasarkan al-sunnah.

D.   Penelitian Hadits
Apabila anatomi hadits dibedah sebagaimana membedah anatomi berita, kita akan menemukan tiga unsur berita, yakni sumber berita, kredibiltas sumber berita dan isi berita itu sendiri. Demikian pula hadits terdiri dari tiga unsur yakni  Sanad (sumber berita), Rawi  (Kredibilitas kepribadian periwayatnya) dan Matan ( isi berita).
Katagorisasi hadits,  baik secara kuantitas maupun kualitas ditentukan oleh tiga unsur hadits tadi. Dari sisi kuantitas,  hadits terbagi kepada tiga, yakni : (1). Hadits Mutawatir, ialah hadits yang diterima oleh orang banyak kemudian disampaikan lagi kepada orang banyak, demikian seterusnya. Secara adat, tidak mungkin orang banyak sepakat untuk  berdusta. Oleh karena itu kedudukan hadits mutawatir sangat tinggi. (2). Hadits Masyhur ialah hadits yang diriwatkan oleh orang banyak tetapi tidak sebanyak mutawatir. (3). Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat masyhur.
Dari sisi kualitasnya hadits terbagi dua yakni hadits Shahih dan hadits Dhaif. Hadits dinilai shahih apabila ketiga unsur hadits itu sah, yakni  (1). Dari sisi Sanad, antara pembawa berita dan penerima berita harus bersambung (muttasil sanad). (2). Dari sisi kredibilitas Rawi,  harus kuat ingatan (dhabit) dan jujur (‘adalah). Kalau ia memiliki sifat dhabith dan ‘adalah maka rawi tersebut dianggap kuat  (tsiqah). (3). Dari sisi Matan (isi berita), tidak ada cacat  (ghair mu’allal ) dan tidak janggal (ghair syadz). Apabila tidak memenuhi syarat di atas maka hadts dinilai Hadits Dhaif.
Sikap Hati-hati dalam Menghadapi Hadits sangat diperlukan karena tidak semua hadits itu shahih, maka seorang mukmin jangan tergesa-gesa meyakini keabsahan suatu hadits lantas mengamalkannya, sebelum meneliti kualitas hadits tersebut, paling tidak bertanya kepada ahlinya.
Amal-amal ibadah yang bid’ah yang dilaksanakan oleh masyarakat pada umumnya disebabkan oleh kecerobohan menerima dan mengamalkan hadits. Apalagi kalau memiliki persepsi bahwa hadits dhaif boleh dijadikan landasan penambahan amal ibadah, itu sangat keliru dan menyesatkan. Padahal di tengah masyarakat sangat banyak amal ibadah yang berdasarkjan hadits dhaif, misalnya shaum nisfu sya’ban, shalat Tasbih, termasuk bacaan qunut di dalam shalat Subuh.
Selain itu, kesalahan pun sering terjadi akibat misinterpretasi dalam memahami teks hadits yang sahih, misalnya hadits yang menyatakan bahwa nabi makan dengan tiga jari. Apabila hanya melihat teks hadits tanpa melihat konteksnya, akan lahir kesimpulan bahwa makan dengan tiga jari adalah sunnah rasul, padahal konteks hadits tersebut adalah makan kurma, bukan makan nasi.

 *Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber








DAFTAR PUSTAKA

_________  Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun, 1992.
A. Qodri A. Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo, Edisi 13, Tahun 1999
Abbas Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M. Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir: Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2001
Abu A’la  al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.            
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister, “Introduction,”  dalam Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons, 1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran. Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir, Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut, Dar El-Fikr, 1986     
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global  Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun   XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe, 1960.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,”  dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1980
Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia,  Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul ‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli : The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits. Beirut, Dar El-Fikr, 1981          
John. L. Esposito, “Islamic Studies,”  The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford & New York: Oxford University Press, 1995
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana,  Vol 2, No. 2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.  ‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,” Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun, hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren Persis Garut, 1408 H    
M. Atho Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No. 1, April 2000
Mastuhu & Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris: EHESS, 1994
Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H. 
Muhammad Yususf Musa, al-Insan wa Hajah Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali, 1988
Nasaruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1982
Neil Muider, Kepribadian jawa, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal of Asian Studies, 1987
Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul aslinya: Sociology of Religion, Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan, Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Sutan Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.      
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,   Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir,  Beirut , 1991 Juz 30, 
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985
 










GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...