Pokok-pokok
Materi
Isi Al-Qur’an bersifat
global yang memerlukan banyak
penjelasan. Untuk itu, datanglah Rasulullah SAW menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an secara
detail, baik tentang tatacara ritual maupun mu’amalah, dari mulai tatacara
shalat, sampai kepada cara berumah tangga dan bernegara. Segala penjelasan
rasulullah, baik berupa perbuatan (Fi;liyah) perkataan (qauliyah) maupun
sikap diam/ no coment (taqririyah) disebutlah Sunnah Rasul. Sebagai penjelas, nabi adalah whole
model (Uswah hasanah) yang ma’shum (terjaga dari
kesalahan).
A.
Pengertian Sunnah atau
Hadits
Dalam
hal ini tidak semua sahabat melihat langsung sunnah rasul, tetapi hanya
mendengar beritanya, apalagi orang-orang di bawah sahabat. Berita tentang
sunnah rasul itu disebutlah hadits.
Jadi, Sunnah Rasul adalah faktanya sedangkan hadits hanyalah beritanya. Sunnah
rasul pasti benar, sedangkan hadits (karena hanya berita) mungkin benar mungkin
salah. Semua mukmin diwajibkan mengikuti sunnah Rasul bukan diwajibkan
mengikuti hadits. Akan tetapi bagaimana mungkin mengetahui sunnah rasul apabila
tidak mempelajari haditsnya.
Kata al-Sunnah secara etimologis, berarti al-Thariqah,
al-Shirah (Jalan yang ditempuh) atau juga berarti tradisi, baik ataupun
buruk. Bentuk jamaknya adalah al-Sunan. Hal ini bisa dilhat dalam sebuah hadis
Nabi saw yang artinya:
“Barang siapa yang mengadakan suatu sunnah atau jalan
yang baik maka dia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang lain
yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa membuat kebiasaan yang
buruk maka dia akan menanggung dosa membuat sunnah tersebut dan dosa orang yang
mengerjakannya sampai pada hari kiamat” (Bukhari Muslim).
Sedangkan definisi al-Sunnah menurut istilah, ada
beberapa variasi yang disebabkan oleh pandangan ulama yang berbeda-beda ketika
menghadapi materi al-Sunnah yang sesuai dengan disiplin ilmunya baik hadits,
fiqh maupun ushul fiqh. Di samping itu, para ulama juga berbeda pendapat dalam
memberikan batasan pengertian sunnah dan hadis. Sebagian dari mereka
mengidentikkan antara hadis dan sunnah, sebaliknya sebagian yang lain
membedakannya. Para ahli hadis (muhadditsun) pada umumnya mengidentikkan
pengertian sunnah dan hadis. Mereka mendefinisikan sunnah atau hadis sebagai
berikut:
“Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad saw baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat moral (khuluqiyah), sifat khalqiyah
(jasmani) ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelum diangkat menjadi rasul
maupun sesudah diangkat menjadi rasul”.
Dalam kaitan ini, Muhammad Ajjaj al-Khatib memberikan
sedikit penjelasan, bila disebutkan istilah hadis, terutama yang mereka (muhadditsun)
maksudkan adalah riwayat-riwayat dari Rasul setelah beliau diangkat menjadi
Rasul (ba’da al-nubuwat). Dengan demikian, pengertian hadis lebih sempit
cakupannya dibandingkan dengan pengertian sunnah yang cakupannya meliputi
segala apa yang diriwayatkan dari nabi, baik sebelum bi’tsah mapun
sesudahnya.
Menurut ulama ushul (ushuliyun) sunnah dan hadis
merupakan dua istilah yang berbeda pengertiannya, bagi ahli ushul, sunnah
adalah: “Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw selain al-Qur’an al-Karim,
baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar
menetapkan hukum syara’”.
Sedangkan istilah hadis oleh ulama ushul hanya
dipergunakan untuk pengertian yang lebih terbatas lagi, yaitu hanya merujuk
kepada sunnah qauliyat (sunnah yang berwujud perkataan), tidak pada
lainnya. Jadi, pengertian hadis di sini memiliki cakupan lebih sempit
dibandingkan dengan sunnah.
Berbeda dengan muhadditsun dan ushuliyun,
ulama fiqh (fuqaha’) menggunakan istilah sunnah untuk menunjukkan salah
satu bentuk atau sifat dari hukum Islam, yaitu suatu perbuatan yang hukumnya
boleh ditinggalkan, namun lebih utama (aula) dilaksanakannya. Kata
mereka, sunnah adalah “Semua perbuatan yang ditetapkan Rasul, namun hukum
pelaksanaannya tidak sampai ke tingkat wajib atau fardlu”.
Adanya berbagai definisi tentang hadis dan sunnah
sebagaimana dikemukakan di atas merupakan bukti adanya perbedaan pendapat di
antara ahli hadis, ushul dan ahli fiqh. Perbedaan tersebut sebenarnya dapat
dipahami, karena masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dalam
memandang figur nabi. Ulama’ hadis lebih melihat figur Nabi Muhammad sebagai
manusia yang sempurna, yang dapat dijadikan uswatun hasanah (QS.
al-Ahzab: 21) sehingga mereka berusaha untuk merekam dan memotret figur beliau
secara lengkap dan utuh, baik perkataan, perbuatan, taqrir serta sifat-sifatnya
yang dapat dijadikan contoh dan anutan bagi mereka.
Ulama’ ushul lebih memandang figur Nabi sebagai musyarri’ (QS.
al-Hasyr: 7) (lihat lampiran no. 6), yaitu pembuat undang-undang di samping Tuhan,
sehingga pengertian sunnah bagi mereka hanya dibatasi pada perkataan, perbuatan
dan ketetapan nabi setelah beliau diutus menjadi rasul yang berkaitan dengan
hukum. Meskipun demikian, dengan pembatasan ini, mereka (ushuliyun)
tidak menolak apa yang disebut sunnah atau hadis oleh kalangan muhadditsun,
hanya saja yang tidak berkaitan dengan hukum tidak termasuk obyek kajian
mereka.
Ulama’ fiqh yang mengkaji masalah bentuk atau sifat hukum mengenai
perbuatan-perbuatan dari manusia, mereka mneggunakan istilah sunnah untuk
maksud menyatakan salah satu dari sifat hukum. Menurut mereka, sunnah adalah
jenis perbuatan yang dianjurkan untuk mengerjakannya, namun tidak termasuk ke
dalam kategori yang fardlu atau wajib. Atau menurut versi lain, sunnah
adalah suatu perbuatan yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan tidak mendapat siksa.
B.
Kedudukan As Sunnah
Al-Qur’an berisi petunjuk-petunjuk yang diperlukan oleh manusia dalam menjalani
hidupnya, namun petunjuk atau informasi itu masih bersifat global (mujmal). Misalnya
perintah shalat (aqimish shalat),
shaum (kutiba ‘alaikumus shiam), haji (wa atimmu hajj), berpakaian, berumah tangga, aktivitas
ekonomi, dll. Tetapi di dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara operasional
dan lebih rinci tentang tatacara (kaifiyat, how to do) perintah-perintah
itu. Oleh karena itu Al-Qur’an masih
memerlukan penjelasan-penjelasan (bayan) yang lebih rinci (tafshil).
Allah
mengutus rasul yang akan menjelaskan
segenap aturan Al-Qur’an. Rasullah lantas mendemonstrasikan tatacara shalat,
shaum, haji, berdagang, berpolitik, berumah tangga, dll.
Apa
yang dijelaskan oleh Rasullah, baik melalui perbuatannya (fi’liyah),
ucapan-ucapannya (qauliyah), maupun sikap diamnya (taqiriyah),
disebut sunnah rasul. Jadi sunnah rasul
adalah setiap perilaku, ucapan dan sikap diam nabi.
Kedudukan
rasul adalah sebagai penjelas (bayin), yang menjelaskan dan memberi
contoh tentang seluruh pesan-pesan Al-Qur’an, dari mulai persoalan etika makan
sampai kepada soal bernegara dan mengadakan hubungan antar negara. Oleh karena itu rasul adalah sebagai whole model (Uswah hasanah)
yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
Sebagai
gambaran umum, al-sunnah itu mempunyai tiga unsur pokok yaitu sanad, matan
dan rawi. Pemaparan unsur-unsur pokok al-sunnah atau hadis secara luas
dapat dibaca dalam kitab ilmu-ilmu hadis (‘ulum al-hadits). Namun
sebagai pengantar sederhana berikut contoh istilah-istilah hadis: mulai Muhammad sampai dengan
Anas disebut sanad. Mulai
tsalatsun sampai al-nar disebut matan. al-Bukhari disebut al-rawi. Dan al-Bukahari juga disebut sanad
pertama dan rawi terakhir.
Inilah
penjelasan tentang al-sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Kedudukan
al-sunnah sangat penting sebab banyak ayat al-Qur’an yang tidak dapat dipahami
dengan baik dan dapat diamalkan tanpa penjelasan dari nabi Muhammad saw.
Bagi
mukminin, mengetahui perilaku dan seluk beluk kehidupan seorang model (idola)
sangat perlu. Akan tetapi pada kenyataannya, orang yang bisa melihat perbuatan
nabi sebagai model, baik tatacara shalat, tatacara shaum, maupun tatacara haji
hanya sebagian sahabat saja, apalagi menyangkut
tatacara berumah tangga dan hal-hal yang bersifat sangat pribadi, yang
hanya diketahui oleh isterinya.
Sebahagian
besar orang Islam pada saat itu hanya mendengat beritanya. Berita itu bahasa
Arabnya adalah khabar (akhbar)
atau hadits. Jadi hadits
adalah berita tentang sunnah rasul.
Jadi
sunnah rasul adalah faktanya, sedangkan hadits adalah beritanya. Sunnah rasul
sebagai sebuah fakta, pasti benar mustahil
salah. Sedangkan hadits hanyalah beritanya. Yang namanya berita sering bias,
ada distorsi, mungkin benar (shahih) bukan lemah (dhaif). Sumber hukum kita adalah sunnah bukan hadits.
Akan tetapi bagaimana mungkin bisa mengetahui sunnah rasul kalau tidak membaca
haditsnya.
Di dalam al-Qur’an sering didapati ayat-ayat yang secara
konotatif atau denotatif menyatakan tentang kewajiban kita untuk mengikuti
sunnah Nabi saw seperti dalam firman Allah yang artinya: “Apa-apa yang
disampaikan oleh Rasul maka terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah” (QS. al-Hasyr: 7).
Sedangkan dalam hadis nabi disebutkan: “Aku tinggalkan
untukmu dua perkara, apabila kamu berpegang padanya maka kamu tidak akan sesat
selamanya, yaitu al-Qur’an dan sunnahku” (HR. Malik). Dengan demikian, maka
para ulama telah ijma’ atas hukum wajibnya mengikuti sunnah Nabi saw.
Sunnah dalam Islam merupakan sumber hukum yang kedua
setelah al-Qur’an. Jika seorang mujtahid tidak menemukan jawaban tentang suatu
persoalan dari al-Qur’an, maka ia harus mencari dari sunnah-sunnah Nabi saw.
Dalam kaitan ini, al-Syatibi berpendapat bahwa tingkatan sunnah berada di bawah
tingkatan al-Qur’an, dengan alasan: al-Qur’an itu qath’i
baik secara ijmali maupun tafsili, sedangkan sunnah itu qath’i
secara ijmali dan dzanni secara tafsili. Yang qath’I tentu harus
didahulukan dari pada dzanni. Sunnah kadang-kadang
berfungsi sebagai penjelas dari al-Qur’an atau menambah keterangan yang belum
jelas dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, sunnah kedudukannya menempati nomor dua
setelah al-Qur’an. Dalam
suatu hadis dapat diambil pengertian bahwa sunnah kedudukannya nomor dua
setelah al-Qur’an.
Hal
ini sebagaimana ditegaskan oleh hadis Nabi saw: “Ketika Rasulullah akanmmengutus
Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu’adz, Bagaimana engkau memutuskan
suatu perkara apabila dihadapanmu muncul suatu perkara? Mu’adz menjawab: Aku
akan memutuskan dengan al-Qur’an. Nabi bertanya, Apabila engkau tidak
mendapatkannya dalam al-Qur’an? Mu’adz menjawab: dengan sunnah Rasululllah.
Nabi bertanya: Apabila engkau tidak mendapatkannya di dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak
akan menyimpang. Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata: Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada rasul-Nya dan utusan
rasul-Nya dalam mengerjakan sesuatu yang membuat puas Rasulullah” (HR. Abu
Dawud).
Dengan
demikian dapat kita pahami, bahwa kedudukan sunnah dalam Islam adalah sebagai
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dan merupakan hal terpenting yang tidak
boleh dipisahkan dari al-Qur’an.
C.
Fungsi Sunnah Terhadap al Qur’an
Fungsi hadits
/ sunnah Rasul sebagai bayan
(penjelasan) terhadap Al-Qur’an, tanpa memahami hadits tidak akan mampu
memahami Al-Qur’an dengan jelas. Bayan tersebut adalah: Bayan taukid (taukid = menguatkan) yakni menguatkan pernyataan
Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an menyatakan bahwa berbohong itu adalah sebuah
dosa, kemudian dikuatkan oleh hadits. Bayan tafshil (tafshil = merinci),
yakni merinci apa yang masih global di dalam al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an
menegaskan aqimish shalat (tegakkanlah shalat) sedangkan tata cara
shalat diuraikan oleh hadits. Bayan
itsbat (itsbat = pengecualian). Misalnya Al-Qur’an surat 5 ayat 3
menegaskan bahwa bangkai dan darah haram dimakan. Kemudian datanglah hadits
riwayat Ahmad, Ibn Majah, Baihaki dan Daruquthni, bahwa ada bangkai yang
dihalalkan yakni ikan dan belalang. Juga ada darah yang dihalalkan yakni hati
dan limpa.
Bayan
al-Majal,
memerinci atau memberi penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global,
seperti tentang cara-cara shalat, manasik haji, dan sebagainya. Taqyid al-mutlaq, memberikan batasan pada
ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak (belum ada batasnya). Seperti dalam
sunnah yang memberi batasan atas kata yadun dalam masalah had
pencurian, yaitu sebatas pergelangan saja yang dipotong. Takhshish al-‘am, memberikan kekhususan
pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Seperti keumuman ayat yang
menerangkan bahwa anak bisa menjadi ahli waris, kemudian dikhususkan oleh
sunnah dengan diberikan syarat tidak beda agama dan Taudlih al-musykil,
menjelaskan ayat yang rumit difahami.
al-Sunnah
adalah dari Nabi Muhammad saw yang berfungsi menjelaskan maksud kandungan dari
firman Allah (al-Qur’an) yang sebgaian besar masih bersifat global. Sebagaimana
firman Allah dalam suarat al-Nahl: 44, yang artinya sebagai berikut: “Dan Kami
turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya”.
Secara umum al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an
memiliki beberapa fungsi terhadap al-Qur’an, yaitu: al-Sunnah berfungsi sebagai
penguat dari hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an, seperti perintah wajibnya
zakat dalam al-Qur’an juga termasuk dalam sunnah nabi. al-Sunnah berfungsi sebagai
penjelas, penafsir, dan pemerinci dari ayat-ayat al-Qur’an, yang meliputi empat
kategori: dan al-Sunnah
berfungsi menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Jadi, ada suatu
hukum yang hanya berdasarkan sunnah semata, seperti sunnah yang menerangkan
keharamannya mengawini saudara sesusuan, hukum ini berdasarkan al-sunnah.
D.
Penelitian Hadits
Apabila
anatomi hadits dibedah sebagaimana membedah anatomi berita, kita akan menemukan
tiga unsur berita, yakni sumber berita, kredibiltas sumber berita dan isi
berita itu sendiri. Demikian pula hadits terdiri dari tiga unsur yakni Sanad
(sumber berita), Rawi (Kredibilitas kepribadian
periwayatnya) dan Matan (
isi berita).
Katagorisasi
hadits, baik secara kuantitas maupun
kualitas ditentukan oleh tiga unsur hadits tadi. Dari sisi kuantitas, hadits terbagi kepada tiga, yakni : (1). Hadits Mutawatir, ialah hadits yang
diterima oleh orang banyak kemudian disampaikan lagi kepada orang banyak,
demikian seterusnya. Secara adat, tidak mungkin orang banyak sepakat untuk berdusta. Oleh karena itu kedudukan hadits
mutawatir sangat tinggi. (2). Hadits
Masyhur ialah hadits yang diriwatkan oleh orang banyak tetapi tidak
sebanyak mutawatir. (3). Hadits Ahad
ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang, tiga orang atau
lebih tetapi tidak mencapai derajat masyhur.
Dari
sisi kualitasnya hadits terbagi dua yakni hadits Shahih dan
hadits Dhaif. Hadits dinilai shahih apabila ketiga unsur hadits itu
sah, yakni (1). Dari sisi Sanad, antara pembawa berita dan
penerima berita harus bersambung (muttasil sanad). (2). Dari sisi
kredibilitas Rawi, harus kuat ingatan (dhabit) dan jujur
(‘adalah). Kalau ia memiliki sifat dhabith dan ‘adalah maka rawi
tersebut dianggap kuat (tsiqah).
(3). Dari sisi Matan (isi
berita), tidak ada cacat (ghair
mu’allal ) dan tidak janggal (ghair syadz). Apabila tidak memenuhi
syarat di atas maka hadts dinilai Hadits
Dhaif.
Sikap Hati-hati dalam Menghadapi Hadits sangat diperlukan karena tidak semua hadits itu shahih,
maka seorang mukmin jangan tergesa-gesa meyakini keabsahan suatu hadits lantas
mengamalkannya, sebelum meneliti kualitas hadits tersebut, paling tidak
bertanya kepada ahlinya.
Amal-amal
ibadah yang bid’ah yang
dilaksanakan oleh masyarakat pada umumnya disebabkan oleh kecerobohan menerima
dan mengamalkan hadits. Apalagi kalau memiliki persepsi bahwa hadits dhaif
boleh dijadikan landasan penambahan amal ibadah, itu sangat keliru dan
menyesatkan. Padahal di tengah masyarakat sangat banyak amal ibadah yang
berdasarkjan hadits dhaif, misalnya shaum nisfu sya’ban, shalat Tasbih, termasuk
bacaan qunut di dalam shalat Subuh.
Selain
itu, kesalahan pun sering terjadi akibat misinterpretasi dalam memahami teks
hadits yang sahih, misalnya hadits yang menyatakan bahwa nabi makan dengan tiga
jari. Apabila hanya melihat teks hadits tanpa melihat konteksnya, akan lahir
kesimpulan bahwa makan dengan tiga jari adalah sunnah rasul, padahal konteks
hadits tersebut adalah makan kurma, bukan makan nasi.
*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
DAFTAR PUSTAKA
_________ Perbandingan
Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.
Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun,
1992.
A. Qodri A. Azizy,
“Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, Tahun 1999
Abbas
Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M.
Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS,
2001
Abu A’la al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar
El-Fikr. t.t.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ
Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh
Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah
al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister,
“Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons,
1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran.
Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir,
Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang
Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits,
Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra,
"Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The
Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami.
Beirut, Dar El-Fikr, 1986
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global Jakarta : Penerbit Paramadina,
2001
Cik
Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama:
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin
Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet
K. Nottingham, Agama dan Masyarakat
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam
di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed.
Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika
dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of
Chicago Press, 1980
Hartono
Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di
Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2002
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI
Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul
‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il
R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi,
Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli :
The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits.
Beirut, Dar El-Fikr, 1981
John. L. Esposito, “Islamic
Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford
& New York: Oxford University Press, 1995
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan
Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No.
2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.
‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama.
Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,”
Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun,
hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren
Persis Garut, 1408 H
M. Atho Mudzhar, "In
the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam
in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem
Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang
Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No.
1, April 2000
Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris:
EHESS, 1994
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam
bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án
al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman
al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H.
Muhammad
Yususf Musa, al-Insan wa Hajah
Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali,
1988
Nasaruddin
Razak, Dinul Islam, Bandung:
al-Ma’arif, 1982
Neil
Muider, Kepribadian jawa,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The
Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and
Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and
Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico
Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan
Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert
N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief,
New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics
in Rural East Java.” The Journal of Asian
Studies, 1987
Roland
Robertson, ed., Agama: dalam Analisa
dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul
aslinya: Sociology of Religion,
Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful
Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar
Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono
Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan,
Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba,
"Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993
Sutan
Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad
al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz
I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah
Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ
al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,
Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir, Beirut , 1991 Juz 30,
WJS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986
Zakiah
Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1985