A.
ISLAM DAN WACANA SOSIAL-BUDAYA
Ada pertanyaan yang sangat
mendasar sebelum kita jelaskan apa kaitan antara Islam dengan budaya.
Pertanyaan itu adalah apakah Islam itu merupakan produk budaya, ataukah sebaliknya,
bahwa budaya itu merupakan produk Islam?
Dalam kaitan ini,
Norcholis Madjid pernah menjelaskan tentang hubungan agama dan budaya.
Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan namun tidak
dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu
dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada
agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer,
dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan,
karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.[1]
Harun Nasution[2] melihat, bahwa agama pada dasarnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok
pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada
manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang
terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti
maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini
diberikan oleh para pemuka atau oleh ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka
terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama.
Kelompok pertama, karena
merupakan wahyu dari Tuhan bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah
dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil
pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidak absolut, tidak mutlak
benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat
diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Harun Nasution[3] dalam bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, mengutip
hasil penelitian yang dilakukan Abd al-Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam
Universitas Kairo, mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur hidup
kemasyarakatan tidak lebih dari 5,8% dari seluruh ayat al-Qur’an. Abd al-Wahab
Khallaf merincinya sebagai berikut:
No
|
Bidang
|
Jumlah Ayat
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Ibadah
Al-Ahwal
al-Syakhsyiyah: kawin, thalaq, waris, dan wasiat
Muamalah:
jual beli, sewa, pinjam, gadai, perseroan, dan kontrak
Kriminal (jinayah)
Peradilan
Hubungan yang kaya dengan yang miskin
Kenegaraan
Hubungan Islam dan bukan Islam
|
140
70
70
30
13
10
10
25
|
|
Jumlah
|
368
|
Kita semua
tahu bahwa al-Qur’an itu terdiri dari 30 juz, 114 surat dan sekitar 6.000 ayat. Ayat hukum
hanya berjumlah 368 ayat. Harun nasution[4]
berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat atau 3,5% yang merupakan
ayat yang mengurus hidup kemasyarakatan. Dengan demikian, perhitungan Harun
Nasution tentang jumlah ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan lebih
sedikit dari pada hasil penelitian Abd al-Wahab Khallaf.
Ajaran dasar agama:
al-Qur’an dan sunnah yang periwayatannya shahih bukan termasuk budaya. Tetapi
pemahaman ulama terhadap ajaran dasar
agama merupakan hasil karya dan karsa ulama. Oleh karena itu, ia
merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat Islam meyakini bahwa
kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama
Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh
karenanya, ia disebut dengan kebudayaan Islam.
Dengan tidak bermaksud
menyelaraskan ajaran Islam dengan kebudayaan, kita akan mencoba mengikuti
unsur-unsur ajaran kebudayaan secara ilmu dan substansinya diambil dari ajaran
Islam, sebagai berikut:
Unsur-Unsur Kebudayaan Islam
Sistem kemasyarakatan dalam Islam kita sebut sebagai cultural
universals, karena ia terjadi di setiap tempat dan setiap waktu. Perkawinan
kita sebut cultural activity, karena perkawinan merupakan unsur yang
lebih kecil daripada unsur sistem kemasyarakatan. Salah satu kegiatan dalam
perkawinan adalah khitbah (lamaran atau pinangan). Ia kita sebut trait
complex, karena merupakan unsur yang lebih kecil daripada perkawinan. Dalam
khitbah terdapat muda-mudi yang hendak menikah; mereka disebut items,
karena dalam khitbah masih terdapat unsur wakil pelamar (biasanya tidak
langsung oleh yang bersangkutan), benda-benda yang dibawa ketika melamar
seperti daun sirih, pinang, ragi, dan kapur sirih. Dengan demikian, kita dapat
mengetahui bahwa pada tingkat praktis, agama islam merupakan produk budaya,
karena ia tumbuh dan berkembang melalui pemikiran ulama dengan cara ijtihad; di
samping itu, ia tumbuh dan berkembang karena terjadi interaksi sosial di
masyarakat.[5]
B. ISLAM DAN WACANA PEMBAHARUAN
Interaksi
manusia dengan sesama, lingkungan, maupun dengan kekuatan-kekuatan di luar
dirinya selalu melahirkan perubahan-perubahan di dalam kehidupannya. Dinamika
kehidupan manusia dapat dipastikan identik dengan lahirnya perubahan. Dalam
situasi perubahan seperti itu, tidak dapat dihindari munculnya tuntutan
penataan ulang terhadap tradisi-tradisi maupun aturan-aturan masyarakat (social order). Maka, pemaknaan ulang
terhadap teks-teks atau wacana-wacana, baik sosial maupun agama, yang
disesuaikan dengan konteks yang ada merupakan tawaran solusi yang kerap
dilakukan untuk menjawab tuntutan perubahan tadi. Pemaknaan ulang tersebut
selanjutnya melahirkan pembaruan-pembaruan dalam pengertian yang seluas-luasnya,
mulai dari sekadar pemikiran sampai pada aksi riil sebagai perwujudan dari
pemikiran itu.
Wacana
pembaruan pada dasarnya bukan merupakan hal yang baru dalam dunia Islam,
melainkan bagian dari warisan pengalaman sejarah kaum Muslimin. Ide pembaruan
merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam sepeninggal Nabi Muhamad
SAW. Ide pembaruan itu adalah buah atau konsekuensi logis dari dinamika
masyarakat yang senantiasa berubah. Kendati pembaruan dalam dunia Islam banyak
disebut terjadi pada abad 19,[6] bila dilacak ke belakang
dengan perspektif historis, sebenarnya pembaruan itu sudah lama ada. Meski
demikian, dalam literatur-literatur sejarah perkembangan Islam masih terjadi
perbedaan pandangan di kalangan para pemerhati dalam mempersepsi pembaruan-pembaruan
itu. Maka, muncul terma-terma seperti reformisme, modernisme, puritanisme,
revivalisme, dan bahkan fundamentalisme. Sebagian mereka memberikan pembedaan
pengertian di antara istilah-istilah tersebut,[7] dan sebagian yang lain
justru menyamakan.[8]
Artinya, bagi kelompok pertama, istilah-istilah tersebut mempunyai esensi yang
berbeda, sedangkan bagi kelompok kedua, istilah-istilah tadi mempunyai esensi
yang sama, pembaruan, terutama istilah purifikasi.
Pembaruan
Islam sebenarnya memiliki dasar kuat berupa landasan teologis. Landasan
tersebut mendorong dan melegitimasi munculnya gerakan-gerakan pembaruan. Dengan
kata lain, landasan teologis bersifat inspiring
bagi pemeluk Islam hingga menimbulkan gairah yang tinggi untuk melakukan
pembaruan demi pembaruan.
Pembahasan bagian ini akan mengelaborasi
landasan teologis yang digunakan sebagai basis legitimasi bagi gerakan-gerakan
pembaruan Islam. Selanjutnya, bagian ini juga akan diarahkan untuk
mendiskusikan karakter gerakan pembaruan sesungguhnya. Hal ini dimaksudkan untuk
memahami makna dan
esensi pembaruan itu
sendiri serta membuktikan
kekuatan argumentasi pandangan yang menyamakan pembaruan dengan purifikasi. Sementara itu, untuk menyebut
istilah pembaruan, penulis menggunakan istilah “pembaruan” itu sendiri dan
“modernisasi”[9],
sedangkan dalam bahasa asing renewal
(Inggris) dan tajdid (Arab).
1.
Landasan Teologis Pembaruan Islam
Ide pembaruan pada hakikatnya merupakan konsekuensi logis
dari semangat (watak) dasar yang dikembangkan oleh ajaran Islam. Semangat dasar
ajaran Islam seperti yang akan dijelaskan di bawah secara tegas didukung oleh
pernyataan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah Hadisnya yang sering dipahami banyak
orang sebagai apresiasi Nabi terhadap ide dan semangat pembaruan serta
legitimasinya terhadap setiap upaya untuk melakukan pembaruan dalam pemikiran
keagamaan. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah itu menegaskan bahwa Allah
akan mengutus pada setiap awal abad (at
the head of each century) seseorang yang akan memperbarui [pemahaman]
agamanya: “Inna Allah ta’ala yab’athu li
hadhihi al-ummah ‘ala ra’s kull mi’ati sanah man yujaddidu laha dinaha.”[10]
Sebagai respon terhadap hadith di atas, masyarakat Muslim
lalu mencoba melakukan identifikasi berdasarkan kondisi riil di lapangan
kehidupan masyarakat tentang siapa figur yang dimaksud oleh Nabi itu pada
setiap babakan [abad] sejarah masyarakat Muslim dunia. Maka, wajar saja terjadi
perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang siapa pembaru-pembaru (mujaddidun) itu.[11]
Perbedaan pendapat tentang figur mujaddidun di atas di samping disebabkan oleh perbedaaan identifikasi
mereka terhadap ide dan gerakan yang dilakukan oleh para tokoh Muslim, juga
oleh perbedaan penisbatan makna `ala ra’s
kull mi’ati sanah. Sebagian mereka mengatribusikan `ala ra’s kull mi’ati sanah (at the head of each century) kepada
masa kelahiran mujaddid, dan sebagian
yang lain kepada tanggal kematiannya.[12] Menurut Achmad Jainuri, penisbatan kepada
kelahiran kurang tepat karena beberapa mujaddid
yang disebutkan dalam literatur sejarah Islam meninggal dunia pada awal abad.[13] Ini berarti mereka tidak
sempat melakukan misi pembaruan seperti yang disebutkan. Oleh karena itu,
pandangan yang lebih dapat diterima keberadaannya adalah yang menyatakan bahwa
yang penting mujaddid bersangkutan
hidup dalam abad yang dimaksud.[14]
Terlepas dari perdebatan tentang figur mujaddid di atas, ide pembaruan, yang
oleh Nurcholish Madjid digambarkan dengan istilah modernisasi, mempunyai
hubungan yang positif dan menjadi watak
dasar Islam. Yang demikian itu karena secara teologis-doktrinal, Islam memiliki
watak dasar universal dan terbuka
di samping, secara historis, masyarakat Islam klasik sendiri mempunyai
kesamaan fundamental (semangat kebaruan dan kemajuan) dengan masyarakat modern Barat sekarang.[15]
2.
Watak Dasar Universal Islam
Kehadiran
Islam sebagai sebuah ajaran adalah untuk menyebarkan kemaslahatan universal.
Kemaslahatan itu oleh Islam didiseminasikan kepada semua manusia [dan makhluk
lainnya] tanpa mengenal adanya pembedaan kelompok, ras, maupun etnis.[16] Prinsip tidak mengenal
adanya pembedaan ini sangat dijunjung tinggi oleh Islam.[17] Cita-cita kultural Islam,
yakni kemaslahatan dan kesemestaan, itu
ditunjukkan oleh misi kerasulan yang diemban Muhammad SAW sebagai rahmat bagi
semesta.[18] Semangat kemaslahatan itu
menuntut penemuan dan pengembangan pirantinya untuk senantiasa menjaga dan
meningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Penemuan dan pengembangan itu
seharusnya dilakukan untuk menjaga keberadaan Islam agar tetap fungsional bagi
manusia.[19]
Mengingat bahwa situasi kehidupan masyarakat terus
berubah, maka konsep-konsep pemikiran Islam juga barang tentu ikut berubah
walaupun prinsip-prinsip fundamentalnya tidak harus mengalami hal yang sama;
bahkan perubahan pemikiran (baca: pembaruan) itu merupakan suatu keniscayaan.[20] Sajida Sultana Alvi
merespon positif wacana perubahan tersebut; bahkan, menurutnya, perubahan pada
hakikatnya adalah esensi dari Islam[21] karena pertimbangan
semangat dan cita-cita kultural Islam seperti disebut di atas.
Watak dasar
universalitas Islam yang dibungkus dalam cita-cita kulturalnya tersebut
meniscayakan adanya pemahaman yang selalu baru untuk menyikapi perkembangan
kehidupan manusia yang selalu berubah. Ini artinya bahwa di balik watak
universal atau cita-cita kultural Islam tersebut terkandung muatan-muatan
modernitas. Muatan-muatan modernitas dalam watak dasar tersebut
dikarenakan Islam berhubungan secara
simbiotik dengan semangat zaman: kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.[22]
Oleh karena
itu, sudah semestinya jika orang Islam menjadi pengembang semangat modernitas
yang selalu menunjuk kepada kebaruan dan kemajuan. Terlepas dari istilah
“modernis” yang dijadikan identitas kelompok tertentu masyarakat Muslim,
modernis Muslim seharusnya adalah orang yang mempunyai karakter seperti yang
digambarkan oleh Maryam Jameelah: memandang tidak cukup, untuk konteks
kekinian, Islam sebagaimana dipraktikkan pada saat nabi masih hidup serta berusaha untuk
mereinterpretasi keyakinan itu sedemikian rupa hingga terbukti tidak ada
konflik antara Islam dan peradaban modern yang harus diakui sebagai sarat
dengan muatan-muatan Barat.[23]
Upaya reinterpretasi pemahaman
terhadap ajaran-ajaran Tuhan tersebut[24] dinamakan dengan ijtihad. Upaya ijtihad tersebut sangat penting dijaga kesinambungan dan
keberlangsungannya karena universalitas Islam mempunyai implikasi terhadap
adanya pergulatan yang tidak pernah selesai (the
never-ending journey) untuk mencapai tujuan (kemaslahatan semesta).[25] Maka, watak universalitas
Islam tersebut menumbuhkan dan memberikan inspirasi di kalangan masyarakat
Islam untuk selalu mengadakan pembaruan pemahaman keagamaan dalam rangka
merespon perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia.
3.
Watak Dasar Terbuka Islam
Islam adalah agama yang terbuka untuk dipahami dengan
berbagai macam pemahaman (polyinterpretable
religion).[26]
Ungkapan al-Qur’an mengisyaratkan keterbukaan itu: “Lana a`maluna wa lakum a`malukum.”[27] Watak dasar ini menjauhi praktik-praktik
penyeragaman pemikiran karena hal itu tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan
yang sarat dengan nuansa perbedaan (al-furuq
al-fardiyah). Watak dasar tadi mengakui adanya keragaman serta tidak
mengapresiasi praktik-praktik sektarianisme atau eksklusvisme karena kedua hal
itu tidak membuat manusia progresif, melainkan sebaliknya, berwawasan sempit,
kontra-produktif, dan tidak memiliki sensitivitas terhadap perubahan ke depan,
satu hal yang tidak sesuai dengan semangat keterbukaan dan modernitas.
Watak dasar
terbuka ini sejatinya melahirkan kepribadian-kepribadian Muslim yang
kosmopolit, kepribadian yang mengembangkan semangat toleransi yang tinggi
terhadap hal-hal yang berbeda dengan yang diyakini atau dimiliki oleh
seseorang. Dalam kaitan ini, Abdurrahman Wahid menegaskan pentingnya umat Islam
untuk membuka diri melalui pandangan yang lebih kosmopolitan dengan
mengembangkan toleransi terhadap pengalaman-pengalaman yang lain serta kesiapan
untuk memperoleh wawasan baru guna pengembangan diri.[28] Kepribadian yang
kosmopolitan seperti ini menemukan signifikansinya tatkala dibuktikan melalui
perspektif sejarah bahwa kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang terjebak
dengan praktik-praktik truth claim sangat
kontra-produktif[29]
karena mereka tidak mau membuka diri untuk berdialog dengan lingkungannya serta
menganggap kelompok di luarnya sebagai kelompok yang sesat dan, oleh karena
itu, harus dijauhi. Kelompok semacam ini biasanya “tidak ramah lingkungan” dan
eksklusif.
Sebagai
bukti dari watak terbuka Islam sebagai polyinterpretable religion seperti di
atas, tercatat dalam sejarah beberapa aliran pemikiran (schools of thought) di dalam kajian fiqh, teologi, dan filsafat
Islam. Watak dasar Islam yang menerima penafsiran-penafsiran tadi telah
berfungsi sebagai basis dari fleksibilitas Islam serta menjadi petunjuk bagi
pentingnya pluralisme dalam tradisi Islam. Oleh karena itu, Islam tidak dapat
dipahami dengan pendekatan monolitik.[30]
Pandangan yang monolitik terhadap Islam pernah terjadi di
kalangan pengamat Barat hingga mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa Islam
secara inheren bertentangan dengan demokrasi (konsep modern).[31] Kecenderungan pemikiran
semacam itu berasal dari persepsi monolitik tentang Islam dengan referensi
eksklusif berupa praktik-praktik Islam radikal atau militan yang berkembang di
Timur Tengah. Praktik-praktik itu lalu diatribusikan kepada Islam [sebagai
ajaran], bukan kepada interpretasi yang dilakukan oleh individu-individu maupun
gerakan-gerakan politik masyarakat Muslim. Selain itu, bias pemikiran sekular (secular bias) dari para pemikir
non-Muslim juga memberikan kontribusi tersendiri terhadap kegagalan mereka
dalam memahami Islam sebagai polyinterpretable
religion secara benar.[32]
4.
Makna Pembaruan Islam dan Karakteristiknya
Tuntutan untuk dilakukannya pembaruan (renewal) muncul dalam sejarah Islam
dalam dua kategori: Pembaruan masa pra modern (premodern Islamic renewal) dan masa modern (modern Islamic renewal).[33] Di antara dua periode
pembaruan itu terdapat sedikit perbedaan (nuance).
Pada pembaruan pra modern, secara umum, peran renewer sebagai person lebih
menonjol dibanding dengan keharusan adanya penyokong secara organisatoris
terhadap gerakan itu; sedangkan pada pembaruan modern, peran renewer sebagai person, meski tetap menentukan keberadaan gerakan, melebur dalam
wadah gerakan yang terorganisir secara rapi,[34] dan karena itu tidak jarang ia berkolaborasi
dengan penguasa.
Pentingnya
berkolaborasi dengan penguasa di atas, menurut Thoha Hamim, karena mereka menyadari bahwa gerakannya tidak bisa dengan cepat menuai
keberhasilan jika tidak dengan kekuasaan. Kesadaran mereka seperti itu juga
dilatar-belakangi oleh kenyataan bahwa mereka bukan aktivis lapangan (LSM),
tetapi kaum elit yang tidak mempunyai basis massa yang kuat; sementara pada
saat yang sama, ide-ide mereka terbilang ekstrem sehingga bisa menimbulkan
resistensi di kalangan massa. Untuk mengatasi kenyataan itu, maka jalan yang
paling memungkinkan untuk ditempuh adalah berkolaborasi dengan penguasa.[35]
Pembaruan yang dikenal dalam sejarah Islam
dilatar-belakangi oleh dua faktor. Pertama,
faktor internal; adanya stagnasi pemikiran di kalangan masyarakat Muslim,
sementara pada saat yang sama semangat dasar Islam menghendaki terjadinya
perubahan secara terus menerus. Faktor internal ini bergerak dalam bentuk yang
sama pada kasus pembaruan dunia Islam, baik pada fase pra modern maupun modern
(abad 19 dan 20).
Kedua, faktor
eksternal. Pada kerangka faktor eksternal ini, terjadi pergeseran dari fase
pra-modern ke fase modern walaupun pergeseran itu tidak dalam bentuk yang ekstrem.
Pada fase pra-modern, terjadinya pembaruan
didasari oleh faktor religio-political
movement atau socio-moral decline
di kalangan komunitas Muslim sehingga timbul respon yang beragam untuk
mengatasinya. Salah satu respon itu berupa upaya untuk mendirikan negara Islam
seperti Saudi Arabia, Sudan, dan Libya.[36] Gerakan di Saudi Arabia
dilangsungkan oleh Muhammd b. `Abd Wahhab dan dikenal dengan gerakan Wahabi,
gerakan yang oleh Azyumardi Azra disebut sebagai gerakan fundamentalisme Islam
pertama yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalisme
Islam di Semenanjung Arabia.[37] Di Sudan, gerakan
pendirian negara Islam itu dikenal dengan Gerakan Mahdi dan di Libya dengan
Sanusi.[38]
Pada fase modern, latar belakang munculnya tuntutan
pembaruan itu dapat diklasifikasikan [walau tidak dalam bentuk yang ekstrem] ke
dalam dua masa: modern abad 19 dan modern abad 20.[39] Pada fase modern abad 19,
munculnya tuntutan dilakukannya pembaruan dimaksud adalah sebagai respon
terhadap kolonialisme Barat (Eropa) atas dunia Islam[40] seperti yang terjadi di
Maroko, Mesir, dan Indonesia. Respon tersebut berupa keasadaran akan kondisi
umat Islam sendiri yang mengalami kemandegan kultural (cultural stagnation) dan keterbelakangan.[41] Sementara itu, pada fase
modern abad 20 pembaruan terjadi sebagai evaluasi dari masyarakat Muslim
terhadap kenyataan versi mereka bahwa Barat dengan peradabannya yang pada masa
sebelumnya telah menghegemoni pikiran dan tindakan masyarakat Muslim ternyata
gagal mengangkat kualitas kehidupan manusia, baik dalam artian spiritual maupun
material. Anggapan masyarakat Muslim ini muncul setelah terjadi interaksi yang
cukup lama antara Barat dan masyarakat Muslim hingga memunculkan dua kelompok
Muslim: kelompok yang menolak sama sekali ide-ide Barat,[42] dan kelompok yang tetap
menerima bentuk-bentuk yang baik dari ide-ide Barat walau diiringi dengan
beberapa catatan.[43]
Kendati terdapat perbedaan latar belakang historis,
wacana pembaruan di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari wacana atau landasan
teologis, terutama sebuah hadith seperti diuraikan di atas, karena landasan
teologis itu tampak menjadi daya dorong (driving
force) bagi masyarakat Muslim untuk bermaksud melakukan pembaruan demi
pembaruan. Kenyataan ini selanjutnya menyebabkan para pemerhati masalah sejarah
perkembangan masyarakat Islam dunia mengidentifikasi setiap gerakan yang muncul
di dunia Islam sebagai gerakan pembaruan.
Agar tidak terjebak dengan peristilahan-peristilahan yang
banyak dikenal dalam literatur sejarah Islam mengenai esensi dan ide dasar
pembaruan, maka penulis melihat perlu adanya batasan-batasan. Menurut penulis,
yang dinamakan gerakan pembaruan Islam itu harus mengacu kepada tiga
karakteristik berikut:[44] Pertama, pembaruan harus bergerak pada upaya rekonstruksi
moral-sosial masyarakat Muslim, bukan sekedar moral-individual. Menurut Fazlur
Rahman, karakteristik pertama ini tampak jelas pada gerakan pembaruan yang
terjadi di dunia Muslim abad 17, 18 dan 19. Gerakan-gerakan masa itu
mencurahkan pusat perhatiannya pada rekonstruksi moral-sosial (the socio-moral reconstruction) masyarakat
Muslim, bukan pada individu.[45]
Kedua, sesuai dengan namanya,
gerakan, maka pembaruan-pembaruan yang
diupayakan oleh para pemikir atau aktivis Muslim harus mempunyai
komponen-komponen sebagai berikut: 1) penggerak (tokoh sentral), 2) basis
massa, 3) institusi/organisasi sebagai rangka, dan 4) doktrin. Penentuan
komponen-komponen sebuah gerakan seperti
tadi sangat memungkinkan untuk diterapkan pula terhadap wacana pembaruan di
dunia Muslim karena hadith nabi yang dijadikan sebagai landasan pembaruan
seperti disebut di muka tidak menolak kemungkinan untuk itu. Kata “man” dalam hadith tersebut, menurut
al-Mawdudi, bisa merujuk kepada bilangan tunggal (singular) maupun jamak (plural).
Oleh karena itu, [pembaruan dan] pelaku pembaruan seperti yang digambarkan
hadith di muka tidak menutup kemungkinan untuk dipahami sebagai sebuah
organisasi massa (an organisation of
people) di samping, tentu saja, individu (a single person) dan kelompok (a
group of persons).[46] Selain itu, gambaran
hadith nabi tentang babakan satu abad (100 tahunan) tersebut juga bisa
mendukung wacana ini sebab pembaruan tidak muncul secara instan; ia melalui
sebuah proses yang, meminjam konsep paradigma Thomas S. Kuhn, diawali dengan
keteraturan (normal), anomali, krisis, dan akhirnya pembaruan.[47] Di tengah proses
itulah pembaruan memantapkan posisinya
dalam sebuah aktivitas yang terorganisasi
secara rapi. Oleh karena itu, sangat bisa dipahami mengapa gerakan
wahhabi yang semula merupakan gerakan intelektual (intellectual movement)[48] akhirnya berkolaborasi
dengan penguasa. Strategi ini muncul dari sebuah kesadaran bahwa gerakan yang
mereka jalankan tidak akan efektif jika tidak diorganisir melalui struktur
kekuasaan, yang dalam hal ini dengan pemimpin lokal, Muhammad b. Sa’ud.[49]
Ketiga,
pembaruan bergerak dalam upaya kontekstualisasi ajaran Islam dengan persoalan
ruang dan waktu yang ada. Hal ini sesuai dengan watak dasar Islam yang
universal, terbuka, dan demokratis seperti dikemukakan di depan. Upaya
kontekstualisasi ini tidak berarti menghapus shari’at, dan menggantinya dengan aturan yang lain, melainkan
mencoba menerapkan ide moral yang dikembangkan oleh shari’at ke dalam konteks yang dihadapi oleh pemeluknya
yang berbeda-beda latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan intelektual. Oleh
karena itu, pembaruan tidak identik dengan bentuk-bentuk propaganda “kembali
kepada al-Qur’an dan hadith” puritanisme.
Sebagai konsekuensi dari karakter ketiga di atas, maka
muncul karakter yang keempat, bahwa
di dalam gerakan pembaruan terdapat penyegaran pemikiran atau konsep-konsep
yang ditegakkan atas prinsip independensi melalui perangkat yang disebut dengan
ijtihad, proses interpretasi/analisis
yang terus menerus dan independen terhadap teks.[50] Dalam kaitan ini, kasus
kelompok Wahabi sekalipun menekankan pada pentingnya ijtihad (fresh thinking)
secara terus menerus dan menganggap taqlid
sebagai sesuatu yang terlarang (anathema)
karena dapat menyebabkan stagnasi kultural (cultural stagnation), ternyata solusi yang ditawarkan Ibn `Abd
al-Wahhab beserta gerakan Wahabi-nya tadi justru menekankan pada keharusan
untuk kembali kepada Islam generasi awal, tek-teks agama, dan
penafsiran-penafsiran klasiknya.[51] Bahkan, menurut mereka,
Islam yang sejati (true Islam) adalah
Islam yang seperti diyakini dan dipraktikkan oleh generasi Nabi Muhammad SAW.[52]
Kenyataan di
atas menjelaskan bahwa dari sisi
karakter ketiga dan keempat, gerakan Wahabi
patut dipertanyakan bila disebut sebagai gerakan pembaruan (renewal) karena gerakannya lebih
mengarah pada purifikasi dari pada pembaruan. Oleh karena itu, tesis Achmad
Jainuri yang menyatakan bahwa tajdid
mengemban misi ganda, purification
dan modernism,[53] menurut penulis, patut
dipertanyakan ulang. Esensi tajdid,
menurut penulis, tidak sebangun dengan purifikasi, memberikan solusi terhadap
persoalan-persoalan kontemporer dengan merujuk kepada referensi masa-masa awal
Islam secara literal, karena pandangan purifikasi seperti ini sama artinya
dengan menutup mata terhadap dua realitas yang berbeda ruang dan waktunya meski
esensinya bisa jadi tidak. Jika dua realitas dengan watak dasar seperti yang
disebutkan tadi didekati secara literal, kesimpulan yang akan dihasilkan bisa
tidak menepati sasaran semestinya (misleading)
akibat adanya penyamaan dua realitas yang berbeda tersebut.
Memang, masa klasik yang dikenal dengan masa salaf adalah
masa yang penting dan berotoritas dalam kerangka pemikiran keislaman. Meski
demikian, pemahaman komunitas Muslim terhadap konsep-konsep Islam semestinya
tidak “bercermin” dan berhenti pada produk-produk pemikiran masa itu karena
konteks ruang dan waktunya berbeda, dan sebaliknya, juga tidak semestinya ditinggalkan sama sekali dengan cara
berijtihad dari titik nol. Kalau hal itu dilakukan, akan terjadi apa yang
dikenal dengan proses pemiskinan intelektual (intellectual impoverishment). Semestinya, yang lebih patut diacu
dari kaum salaf adalah prosesnya, dan tidak selalu produknya. Oleh karena itu,
pembaruan Islam dimaknai sebagai penyegaran pemahaman, up-dating pemahaman terhadap ajaran agama dan cara mewujudkan
ajaran itu di tengah-tengah masyarakat.[54]
Pemaknaan semacam itu perlu ditegaskan karena Islam
sebagai sebuah ajaran (moral) sudah sempurna (perfect model);[55] hanya pemahaman umat
Islam sendiri terhadap Islam secara teknis-operasional yang selalu mengalami
perubahan. Karena itu, dilakukannya pembaruan itu adalah untuk membuat Islam
lebih fungsional dalam kehidupan mereka.[56] Dalam konteks ini, konsep
reaktualiasi Islam[57] Munawir Sjadzali dan Cak
Nur serta pribumisasi Islam[58] Gus Dur menemukan
penjelasannya secara tepat dan benar karena esensi dari ide pembaruan tercermin
dalam kedua konsep tersebut.
C. ISLAM DAN WACANA OTENTISITAS
Islam ibarat
bola salju (snow ball). Semakin lama
dan semakin jauh Islam “menggelinding”, semakin banyak wajah yang akan muncul
sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu.
Perbedaan ruang dan waktu itu akan melahirkan perbedaan tantangan yang akan
dihadapi oleh masyarakat. Karena tantangannya berbeda, Islam sebagai sebuah
agama, yang nota bene turunnya untuk memecahkan persoalan masyarakat, akan
dipahami oleh masyarakat bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka hadapi.
Maka,
muncullah wajah yang beragam, baik secara sinkronis (antara masyarakat di
tempat yang satu dengan masyarakat di tempat lain pada waktu yang bersamaan)
maupun secara diakronis (antara generasi satu dengan generasi lain, sebelum
atau sesudahnya); atau, bisa jadi antara setting
wilayah geografis satu dengan
wilayah lainnya. Islam yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda dengan di
Timur Tengah. Hal ini dikarenakan perbedaan pemahaman masyarakatnya akibat setting ruang yang tidak sama. Begitu
pula Islam yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami
generasi abad pertengahan maupun abad modern ini.
Perbedaan
pemaknaan tersebut sudah barang tentu berimbas pada timbulnya perbedaan bentuk
dalam praktik-praktik Islam. Dalam konteks ini, timbul persoalan mendasar: Manakah Islam yang otentik itu? Apakah
seperti yang saat ini ada di Timur Tengah (baca: Saudi Arabia), tempat turunnya Islam? Apakah ia seperti yang
dipahami dan dipraktikkan oleh generasi awal Islam? Ataukah justru tidak ada
batasan yang pasti? Persoalan-persoalan ini patut didiskusikan dengan membuka wacana
seputar pencarian Islam otentik. Hal ini penting dilakukan karena dalam wacana
pencarian Islam otentik sering terjadi absolutisasi pemaknaan dan klaim-klaim
kebenaran (truth claim) di
masing-masing golongan umat Islam.
Dalam proses
pencarian Islam yang otentik itu, seorang muslim akan dihadapkan pada
persoalan-persoalan mendasar. Pertama,
persoalan batasan normativitas Islam, yakni apakah, secara normatif,
otentisitas Islam itu muncul secara murni oleh Nabi Muhammad? Dengan kata lain,
apakah Islam seperti yang diajarkan, diyakini, dan dipraktikkan Nabi Muhammad
dan sahabatnya itu otentik sama sekali, tanpa adanya penyerapan dari ajaran
sebelumnya? Sebab, jika jawabannya ya, persoalan tersebut akan berhadapan
dengan kenyataan historis bahwa ajaran-ajaran Islam tidak muncul dari nol. Ia
merupakan akumulasi dari ajaran-ajaran sebelumnya yang masih dianggap relevan.
Islam sendiri mengakui ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Muhammad
walaupun pengakuan itu disertai dengan kritisisme yang tinggi. Islam datang
untuk menyempurnakan ajaran-ajaran itu. Ini artinya bahwa otentisitas Islam
tidak bisa dibatasi sejak masa nabi Muhammad, tetapi sudah ada mulai sejak masa
kenabian Adam.
Kedua, persoalan
paradigmatik, yakni persoalan pola pengedepanan
dalam proses pemahaman Islam antara ketentuan legal-formal (skriptural)
dengan nilai keadilan masyarakat (substansial atau maqashid al-shari’ah)). Wacana otentisitas Islam tidak bisa
dilepaskan dari tarik-menarik antara paradigma legal-formal al-Qur’an dengan
paradigma semangat atau nilai keadilan masyarakat. Bila otentisitas Islam
dilihat dari paradigma legal-formal al-Qur’an, ia segera akan berhadapan dengan
realitas sosial bahwa tidak semua ketentuan legal-formal al-Qur’an itu
mempunyai kompatibilitas dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian,
otentisitas akan berhadapan secara vis a
vis dengan fungsionalitas. Dalam
beberapa hal, terdapat persoalan sosial yang tidak terakomodasi oleh teks-teks
al-Qur’an, dan teks-teks al-Qur’an itu sendiri tidak bisa memecahkan seluruh
persoalan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, teks tidak mewakili semua realitas
masyarakat, dan tidak semua realitas diwadahi
oleh teks.
Oleh karena
itu, paradigma kedua, nilai keadilan masyarakat, yang menjadi semangat
prinsipil Islam patut diajukan untuk melihat otentisitas Islam. Paradigma ini
menunjuk kepada perlunya posisi teks al-Qur’an senantiasa bergerak kepada
keadilan masyarakat yang menjadi semangat awal Islam sehingga pemaknaan
terhadap ketentuan legal-formal al-Qur’an di atas selalu dinamis, seiring
dengan konteks dan tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat. Memang, paradigma
kedua ini tidak berarti steril dari persoalan lanjutan. Yakni, jika teks
bergerak mengikuti nilai keadilan masyarakat, berarti teks tidak lagi berguna
sebagai acuan formal di dalam pengambilan keputusan agama. Walaupun
demikian, yang lebih fundamental dari
keberadaan teks adalah semangatnya, bukan nilai literalnya, sehingga teks masih
menjadi acuan dalam pengambilan keputusan agama, yakni sebagai acuan moral.
Dengan
memiliki konsekuensi masing-masing, kedua
paradigma di atas selalu mengiringi wacana pencarian Islam otentik.
Contoh konkretnya adalah dalam persoalan ketentuan waris. Bila yang
dikedepankan adalah paradigma pertama, ketentuan legal-formal al-Qur’an,
pembagian harta warisan antara ahli waris laki-laki dan perempuan tidak akan
pernah mengalami perubahan, yakni laki-laki mendapatkan harta warisan lebih
besar dua kali dari perempuan. Hal ini karena al-Qur’an secara eksplisit
memberikan ketentuan seperti itu.[59] Namun, bila yang
dikedepankan adalah paradigma kedua,
nilai keadilan masyarakat (substansial), ketentuan legal-formal itu harus
bergerak sesuai dengan tuntutan dan gerak masyarakat, yakni laki-laki dan
perempuan sama bagian warisannya, mengingat konteks sosial saat ini berbeda
dari saat al-Qur’an diturunkan. Saat ini, perempuan juga mencari nafkah
sebagaimana suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Ketentuan persamaan jumlah warisan ini sesuai
dengan tujuan utama dihadirkannya agama sebagai instrumen untuk memecahkan
persoalan masyarakat, baik dalam konteks horisontal maupun vertikal. Jika
ketentuan legal-formal itu tetap bergeming pada posisinya semula, berarti
posisi agama tidak lagi fungsional karena eksistensinya tidak bisa menyentuh
persoalan-persoalan yang dihadapi pemeluknya.
Berdasarkan
uraian di atas, penentuan otentisitas Islam akan ditakar oleh batasan
normativitas dan paradigma yang digunakan oleh seorang muslim. Oleh karena
itu, untuk mendekati persoalan tersebut,
patut direnungkan bersama hal-hal berikut. Pertama,
bahwa historisitas (realitas sosial pemeluk agama) merupakan refleksi dari
normativitas; dan sebaliknya, normativitas dibangun dari pengalaman
historisitas; atau, pengalaman historisitas akan menjadi bahan untuk
reformulasi normativitas. Artinya, selalu ada proses dialogis antara semangat
historisitas dengan normativitas. Proses itu selalu dinamis dan tidak akan
berhenti pada satu titik selama gerak manusia itu ada. Hal demikian berarti
bahwa dalam mencari Islam otentik itu tidak perlu adanya fanatisme terhadap
ketentuan legal-formal al-Qur’an. Karena, ketentuan legal-formal itu harus
terus didialogkan dengan realitas masyarakat.
Kedua, bahwa agama, yang
merupakan refleksi dari kemauan Tuhan secara konseptual-ilahiah, bersifat mutlak, namun, ketika turun kepada
manusia, telah menjadi relatif, tergantung pada latar belakang dan kemampuan
manusia. Oleh karena itu, pemahaman atau penangkapan terhadap pesan-pesan agama
akan berbeda dari satu orang ke yang lain. Perbedaan itu harus diakui
keberadannya, dan tidak boleh terjadi pemaksaan pemahaman. Dalam kaitannya
dengan penentuan otentisitas Islam, maka otentisitas itu ada pada tataran
individual. Yakni, Islam otentik adalah
Islam yang merupakan hasil pemahaman atau keyakinan seseorang terhadap
wacana-wacana keislaman yang dia terima, dan hasil tersebut tidak boleh
diintervensi oleh kekuatan sosial di luar dirinya. Hal ini karena, meminjam
istilah Robert D. Lee, masing-masing orang
mempunyai apa yang disebut dengan otonomi individual (human autonomy) dalam mendekati dan
memahami Islam.[60]
Masing-masing individu memiliki akses yang sama terhadap agamanya. Ini berarti
bahwa Islam sangat mengedepankan nilai-nilai pluralitas (keragaman) daripada
nilai-nilai uniformitas (keseragaman). Dengan demikian, otentisitas Islam itu
ada seperti yang dipahami oleh umatnya secara individual, bukan komunal, dengan
tetap menjaga prinsip-prinsip dasar Islam. Oleh karena itu, ada prinsip hidup
yang sederhana dalam beragama: “Lakukanlah apa yang anda yakini benar tentang
Islam dan jangan hanya diperdebatkan.” Karena, begitu persoalan Islam
diperbincangkan sebagai wacana, maka Islam akan muncul dalam banyak wajah.
*Ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
Daftar Pustaka:
[1] Yustion
dkk., (Dewan Redaksi), Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok,
(Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993), h. 172-3.
[2] Parsudi
Suparlan, (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian
Masalah-Maslah Agama, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur
Agama Balitbang Agama) 1982), h. 18.
[3] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II, (Jakarta: UI Press,
1985), h. 7-8.
[4] Ibid.,
h. 8.
[5] Hakim &
Mubarak, Metodologi, h. 38.
[6] Penyebutan
semacam ini lebih mengacu kepada perkembangan masa modern daripada perkembangan
secara menyeluruh sejarah Islam.
[7] Mengenai
makna istilah-istilah tersebut lihat ed. John L. Esposito, The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, (New York
& Oxford: Oxford University Press, 1995).
[8] Lihat,
misalnya, Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam,” Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, (Tahun 1995),
h. 38.
[9] Kata
“modernisasi” dalam beberapa tempat dari pembahasan ini mengalami perubahan
sesuai dengan konteks dan segala konsekuensinya: modernitas, modernisme, dan
modernis.
[10] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. IV (Kairo: Mat}ba’at Musthafa Mahmud,
1353/1950), h. 159.
[11] Abu
al-`A’la al-Mawdudi mengidentifikasi mujaddidun
yang beredar di kalangan Islam sampai abad kesembilan Hijriyah sebagai berikut:
1) `Umar b. Abd al-`Aziz, 2) Imam Abu Hanifah, 3) Imam Malik, 4) Imam Shafi’i,
5) Imam Ahmad b. Hanbal, 6) Imam Ghazali, 7) Ibn Taymiyah, dan 8) Shaykh Ahmad
Shirhindi. Lihat Abu al`A’la al-Mawdudi, A
Short History of the Revivalist Movement in Islam, terj. al-Ash’ari (Lahore:
Islamic Publications Limited, 1981), 45-81. Sementara itu, merespon hadith tentang
pembaruan di atas, Saiful Jazil juga berhasil mengidentifikasi mujaddidun itu secara berurutan abadnya sebagaimana
berikut: Umar b. `Abd al-`Aziz (abad ke-1), Imam Shafi’i (ke-2), Ibn Surayj
(ke-3), Abu Hamid al-Asfarayini (ke-4), al-Ghazali (ke-5), Fakhr al-Din al-Razi
(ke-6), Ibn Daqiq al-`Id (ke-7), Siraj al-Din al-Bulqayni (ke-8), Jalal al-Din
al-Suyuti (ke-9), Shams al-Din al-Ramli (ke-10), `Abd al-Qadir al-`Aydrus
(ke11), Ahmad al-Dayrabi (ke 12) dan `Abdullah al-Sharqawi (ke-13). Lihat Saiful
Jazil, “Pemikiran Modern tentang Pembaharuan Hukum Islam,” Nizamia, Vol.1, No. 2, (1998), h. 57.
[12] Al-Mawdudi,
A Short History, hal. 33-34; Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 40.
[13] Jainuri,
“Landasan Teologis,” hal. 40. Sebagai contoh dari pernyataan Jainuri ini, `Umar
b. `Abd al-`Aziz meninggal pada tahun 101 H (720 M), Imam Abu Hanifah 150 H
(767 M), Ima>m Shafi’i 205 H (820 M), dan Imam Ahmad b. Hanbal 233 H (855
M). Lihat Montgomary Watt, The Formative
Period of Islamic Thought, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973),
hal. 71, 132; Thaha Jabir al-Alwani, Ushul
al-Fiqh al-Islami; Source Methodology in Islamic Jurisprudence, (Herndon
Virginia USA: The International Institute of Islamic Thought, 1990), hal. 33,
45; K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi:
Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980), 185; Cryl Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, (New York: HaperColiins
Publishers, 1989), h. 19,170, 359.
[14] Jainuri,
“Landasan Teologis,” h. 40.
[15] Nurcholish
Madjid, “Peranan Ummat dan Cendekiawan Muslim dalam Memasuki Era
Industrialisasi,” (Orasi Ilmiah di Unisba Bandung, 1989, hal. 15), seperti
dikutip oleh Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan
Aksi Politik (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 191.
[16] Kemaslahatan
universal Islam ini juga diakui oleh Frances Fukuyama: “Daya tarik Islam adalah
secara potensial bersifat universal, melintasi semua manusia, laki-laki maupun
perempuan, dan bukan diperuntukkan bagi anggota etnis atau kelompok nasional
tertentu.” Lihat Frances Fukuyama, The
End of History and the Last Man, (New
York: Avon Books, 1992), h. 45.
[17] Al-Qur’an
menyatakan: “Ya ayyuha al-nas inna
khalaqnakum min dhakar wa untha wa ja`alnakum shu`uban wa qaba’ila lita`arafu;
inna akramakum `inda Allah atqakum (Wahai orang-orang beriman sesungghnya
Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa
dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal; sungguh yang paling mulia di sisi
Allah adalah yang paling bertakwa).”
Lihat al-Qur’an, 49: 13.
[18] Al-Qur’an
secara jelas menyatakan: “Wa ma arsalnaka
illa rah}matan li al-`alamin (Tidaklah Kami mengutus kamu kecuali sebagai
rahmat bagi semesta).” Lihat
al-Qur’an, 21: 107.
[19] Wacana ini
diperkuat lagi oleh encouragement
al-Qur’an: “Inna la nudli`u ajr
al-mushlihin (Sungguh Kami tidak menyia-nyiakan upaya para pembaru).” Lihat
al-Qur’an, 7: 170. Berdasarkan ayat ini, John O. Voll mengidentifikasi ide
pembaruan dengan konsep ishlah}.
Lihat John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,” dalam ed. John L. Esposito, Voices of Resurgent Islam (New York & Oxford: Oxford University
Press, 1983), h. 33.
[20] Ahmad,
“Pembaharuan Pemikiran Agama Islam,” Menara
Intan, edisi I, tahun 1999, h. 17. Bahkan, menurut Hasan al-Turabi, tajdid itu diperlukan untuk perbaikan
secara total pada semua aspek kehidupan. Lihat ed. John L. Esposito, The Oxford Encyclopaedia of the Modern
Islamic World, vol. 3, (New York
& Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 433.
[21] Pernyataan
Sajida S. Alvi tersebut diungkapkan saat wawancara dengan Mary Pat Fisher pada
15 Juni 1992. Lihat Mary Pat Fisher, An
Encyclopaedia of the World’s Faith; Living Religions, (London & New
York: I.B. Tauris Publishers, 1997), h. 369-370.
[22] M. Din
Syamsuddin, “Mengapa Pembaruan Islam?,” Ulumul
Qur’an, No. 1, Vol. IV, Tahun 1993, h. 68.
[23] Maryam
Jameelah, Islam and Modernisme, (Sant
Nagar-Lahore: Mohammad Yusuf Khan, 1977), h. 53.
[24] Dalam
wacana sosiologis, ajaran-ajaran Tuhan (agama) disebut dengan teks, yang notabene tidak berubah,
sedangkan pemahaman manusia merupakan salah satu bentuk ekspresi atau apresiasi
manusia terhadap teks dikaitkan
dengan konteks yang notabene selalu
berubah. (Ceramah Soetandyo Wignyosoebroto pada perkuliahan Sosiologi Agama, Konsentrasi Pemikiran Islam
Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 20 Maret 2000, 09.00 WIB).
[25] Nurcholish
Madjid, “The Universality of Islam, the Peculiarity of Languages and Cultures,
and the Prospect of Islam of Southeast Asia,” (Makalah disampaikan pada
kesempatan Pertemuan Bersama ke-4 Menteri-menteri Agama dan Wakaf OKI di
Jakarta, 29 Oktober - 1 November 1997, 7).
[26] Bahtiar
Effendy, ”Islam and Democracy; In Search
of a Viable Synthesis,” (Kumpulan Makalah Seminar Dialog Internasional: Islam dan Barat dalam Era Globalisasi,
Jakarta, 22-23 Maret 1995, hal. 53).
[27] Al-Qur’an,
15: 20.
[28] Malik &
Ibrahim, Zaman Baru Islam, h. 221.
[29] Secara
riil, Thoha Hamim menjelaskan dengan memberikan contoh bahwa gerakan
puritanisme, gerakan yang akrab dengan praktik-praktik truth claim, seperti Persis,
rawan mengalami stagnasi. Hal itu karena gerakan tersebut hanya berdasar pada
puritanisme dan ukuran hitam putih. (Ceramah Thoha Hamim pada perkuliahan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam,
Konsentrasi Pemikiran Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 9 Maret 2000, jam 08.00 WIB).
[30] Effendy,
“Islam and Democracy,” h. 56.
[31] Fukuyama, The End , h. 45.
[32] Lihat John
L. Esposito,” Secular Bias and Islamic Revivalism,” The Chronicle of Higher Education, 26 Mei 1993, A.44, seperti dikutip
oleh Effendy, “Islam and Democracy,” h. 53.
[33] Lihat John
L. Esposito, Islam and Politics, (Syracuse
New York: Syracuse University Press, 1991), h. 32-59. Sementara itu, Harun
Nasution juga mempunyai pendapat yang sama dengan Esposito bahwa abad 18 ke atas
adalah masa modern dan sebelumnya masa pra modern. Secara rinci, Harun Nasution
membuat periodisasi sejarah Islam sebagaimana berikut. Pertama, Periode klasik
(650-1250 M). Periode ini dibagi ke
dalam dua fase: fase ekspansi, dan puncak kemajuan (650-1000 M) serta fase
integrasi (1000-1250 M). Kedua, Periode Pertengahan (1250-1800 M). Periode ini
dibagi ke dalam dua fase: fase kemunduran (1250-1500 M) serta fase tiga
kerajaan besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan diakhiri dengan zaman
kemunduran (1700-1800 M). Ketiga, Periode Modern (1800 M-dan seterusnya).
Periode ini merupakan periode kebangkitan umat Islam. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 12-14.
[34] Dalam
konteks ini, Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa agama pada masa Nabi Muhammad
SAW, seperti halnya masa Yesus Kristus, lebih merupakan kesadaran-kesadaran
nilai karena agama masa itu belum terwujud ke dalam lembaga-lembaga atau institusi-institusi
sehingga kesadaran-kesadaran itu bisa digerakaan oleh person-person. Namun demikian, saat ini agama sudah terlembagakan.
Oleh karena itu, peran-peran untuk menggerakkan kesadaran itu mesti juga
dilakukan secara bersama-sama melalui lembaga-lembaga itu. (Lihat wawancara
Komaruddin Hidayat dengan TVRI dalam acara Talkshow
“Wacana,” TVRI, 15 Juni 2000, jam 22.30-22.45 WIB).
[35] Pernyataan
ini diungkapkan oleh Thoha Hamim dalam perkuliahan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam, Konsentrasi Pemikiran
Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2 Maret 2000, 08.00 WIB.
[36] Esposito, Islam and Politics, h. 32.
[37] Gerakan itu
memunculkan Islam pada titik ekstrem: fundamentalisme Islam radikal. Lihat
Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam; Survei Historis dan
Doktrinal,” Ulumul Qur’an, No.3, Vol,
IV, (Tahun 1993), h. 19.
[38] Esposito, Islam and Politics, h. 32.
[39] Dalam
konteks untuk melihat, mengidentfifikasi, dan memahami gerakan pembaruan di
dunia Islam abad modern, John O. Voll menawarkan pendekatan tiga dimensi (Three-Dimensional Approach). Pertama, Gerakan kebangkitan Islam
muncul dari dan sebagai respon terhadap kondisi lokal yang khas. Kedua, Gerakan-Gerakan kebangkitan Islam
muncul dari hubungan yang berubah antara dunia Islam dengan dinamika sejarah
modern. Ketiga, kebangkitan Islam
erat kaitannya dengan perubahan dari pramodern ke modern. Lihat John O. Voll, Islam; Continuity and Change in the Modern
World, (Colorado & England: Westview Press, Inc., 1982), h. 2-4.
[40] Lihat
“Revival and Renewal,” dalam ed. John L. Esposito, The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, vol. 3, (New
York & Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 432.
[41] Ibid.
Gerakan pembaruan di Maroko, misalnya, di antaranya pernah dilontarkan oleh
seorang pemikir, Muhammad al-Saffar. Lihat Ibrahim M. Abu Rabi`, Intellectual Origins of Islamic Resurgence
in the Modern Arab World, (New York: State University of New York, 1996),
hal. 7. Adapun untuk konteks pembaruan di Mesir, Esposito mencatat beberapa nama
penggeraknya di antaranya Khedive Ismail, Khedive Tawfiq, dan Urabi Pasha,
Menteri Peperangan Mesir. Lihat Esposito, Islam
and Politics, h. 45-46.
[42] Kelompok
ini diidentifikasi oleh Leonard Blinder sebagai gerakan fundamentalisme Islam
modern yang mempunyai tipologi skripturalistik. Lihat Leonard Blinder, Islamic Liberalism: A Critique of
Development Ideologies, (Chicago & London: The University of Chicago
Press, 1988), h. 170.
[43] Lihat John
O. Voll, “Islamic Renewal and the Failure of the West,” dalam eds. Richard T.
Anton & Mary Elaine Hegland,
Religious Resurgence; Contemporary Cases in Islam, Christianity, and Judaism (Syracuse
New York: Syracuse University Press, 1987), h. 127-128.
[44] Perlu
ditegaskan bahwa karakteristik-karakteristik tersebut bukan dalam kerangka jami’ (including) dan mani’
(excluding), melainkan bersifat kumulatif-progresif. Artinya, semakin
banyak karakteristik yang melekat pada figur sebuah gerakan, maka semakin
tinggi status gerakan itu untuk disebut sebagai gerakan pembaruan.
[45] Fazlur
Rahman, “Revival and Reform in Islam,” dalam eds. PM. Holt, et.al., The Cambridge History of Islam, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1970), h. 637.
[46] Al-Mawdudi,
A Short History, h. 34.
[47] Paradigma
keilmuan menurut Thomas S. Kuhn berproses sebagaimana berikut: pra ilmu (pre paradigm), ilmu (normal science/paradigm), anomali,
krisis paradigma, dan revolusi sains. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago
& London: The University of Chicago Press, 1970), h. 1-175. Konsep
paradigma Kuhn ini dielaborasi lebih lanjut oleh George Ritzer dalam bukunya, Sociology; A Multiple Paradigm Science, (Boston:
Allyn and Bacon, Inc., 1980), h. 31-32.
[48] Bassam
Tibi, Islam and the Cultural
Accommodation of Social Change, terj. Clare Krojzl (Boulder-San Fransisco
& Oxford: Westview Press, 1991), h. 21.
[49] Esposito, Islam and Politics, h. 36.
[50] Lihat
“Revival and Renewal,” dalam Esposito, the
Oxford, 432; John O. Voll, “Renewal and Reform,” h. 37.
[51] Lihat
“Revival and Renewal,” dalam Esposito, The
Oxford, 431; Rahman, “Revival and Reform,” h. 638.
[52] Tibi, Islam and the Cultural, h. 20.
[53] Menurut
Jainuri, tajdid mempunyai misi ganda.
Pertama, mengembalikan semua bentuk
kehidupan keagamaan pada contoh zaman awal Islam (purification). Kedua, mengimplementasikan
ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan, terutama dalam
persoalan-persoalan sosial kemanusian (modernism/renewal).
Lihat Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 41.
[54] Lihat,
Malik & Ibrahim, Zaman Baru, h. 178.
[55] Mengenai perfect model ajaran Islam ini, sebagian komunitas Muslim
meyakini bahwa nabi telah membentuk komunitas yang merupakan sebuah model
masyarakat seperti yang dikehendaki oleh wahyu (revelation). Karena itu, mereka berupaya membentuk masyarakat
persis seperti zaman Nabi; padahal renewer
itu tidak harus meng-create kembali
kondisi-kondisi abad I Islam, melainkan
proses renewal itu diinspirasi
oleh contoh pengalaman masa lalu. Lihat John. O. Voll, “Renewal and Reform,” h.
34.
[56] Untuk
memahami persoalan seputar wacana Islam sebagai sebuah ajaran (moral) dengan
pemahaman umatnya sendiri terhadap Islam secara teknis-operasional patut dibaca
tulisan Masdar F. Mas’udi, terutama bab “Bagaimana Memahami Islam?”. Hal ini
dikarenakan Masdar F. Mas’udi mampu menampilkan persoalan tersebut dalam
kemasan dialogis sehingga mudah dicerna esensinya. Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan;
Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 25-40.
[57] Maksudnya,
menafsirkan kembali teks-teks suci dengan melihat realitas sosial yang terjadi
di lapangan. Lihat Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam ed.
Iqbal Abdurrauf Saimima, Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 1-11.
[58] Maksudnya,
upaya melakukan pemahaman terhadap nas}s}
dikaitkan dengan masalah-masalah domestik. Lihat Abdurrahman Wahid,
“Pribumisasi Islam,” dalam ed. M. Dawam Rahardjo, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h. 86.
[59] Al-Qur’an,
17: 82.
[60] Robert D.
Lee, Overcoming Tradition and Modernity;
The Search for Islamic Authenticity (Oxford: Westview Press, 1997), h. 16
dan 26.