Monday, August 15, 2016

ISLAM DAN WACANA BUDAYA KEAGAMAAN*



A. ISLAM DAN WACANA SOSIAL-BUDAYA
Ada pertanyaan yang sangat mendasar sebelum kita jelaskan apa kaitan antara Islam dengan budaya. Pertanyaan itu adalah apakah Islam itu merupakan produk budaya, ataukah sebaliknya, bahwa budaya itu merupakan produk Islam?
Dalam kaitan ini, Norcholis Madjid pernah menjelaskan tentang hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.[1]
Harun Nasution[2] melihat, bahwa agama pada dasarnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau oleh ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama.
Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Harun Nasution[3] dalam bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, mengutip hasil penelitian yang dilakukan Abd al-Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur hidup kemasyarakatan tidak lebih dari 5,8% dari seluruh ayat al-Qur’an. Abd al-Wahab Khallaf merincinya sebagai berikut:
No
Bidang
Jumlah Ayat
1.
2.

3.


4.
5.
6.
7.
8.
Ibadah
Al-Ahwal al-Syakhsyiyah: kawin, thalaq, waris, dan wasiat
Muamalah: jual beli, sewa, pinjam, gadai, perseroan, dan kontrak
Kriminal (jinayah)
Peradilan
Hubungan yang kaya dengan yang miskin
Kenegaraan
Hubungan Islam dan bukan Islam
140
70

70


30
13
10
10
25

Jumlah
368
Kita semua tahu bahwa al-Qur’an itu terdiri dari 30 juz, 114 surat dan sekitar 6.000 ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun nasution[4] berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat atau 3,5% yang merupakan ayat yang mengurus hidup kemasyarakatan. Dengan demikian, perhitungan Harun Nasution tentang jumlah ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan lebih sedikit dari pada hasil penelitian Abd al-Wahab Khallaf.
Ajaran dasar agama: al-Qur’an dan sunnah yang periwayatannya shahih bukan termasuk budaya. Tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar  agama merupakan hasil karya dan karsa ulama. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, ia disebut dengan kebudayaan Islam.
Dengan tidak bermaksud menyelaraskan ajaran Islam dengan kebudayaan, kita akan mencoba mengikuti unsur-unsur ajaran kebudayaan secara ilmu dan substansinya diambil dari ajaran Islam, sebagai berikut:
Unsur-Unsur Kebudayaan Islam


 



             
                                                                                               







Sistem kemasyarakatan dalam Islam kita sebut sebagai cultural universals, karena ia terjadi di setiap tempat dan setiap waktu. Perkawinan kita sebut cultural activity, karena perkawinan merupakan unsur yang lebih kecil daripada unsur sistem kemasyarakatan. Salah satu kegiatan dalam perkawinan adalah khitbah (lamaran atau pinangan). Ia kita sebut trait complex, karena merupakan unsur yang lebih kecil daripada perkawinan. Dalam khitbah terdapat muda-mudi yang hendak menikah; mereka disebut items, karena dalam khitbah masih terdapat unsur wakil pelamar (biasanya tidak langsung oleh yang bersangkutan), benda-benda yang dibawa ketika melamar seperti daun sirih, pinang, ragi, dan kapur sirih. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pada tingkat praktis, agama islam merupakan produk budaya, karena ia tumbuh dan berkembang melalui pemikiran ulama dengan cara ijtihad; di samping itu, ia tumbuh dan berkembang karena terjadi interaksi sosial di masyarakat.[5]

 

B.     ISLAM DAN WACANA PEMBAHARUAN

Interaksi manusia dengan sesama, lingkungan, maupun dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya selalu melahirkan perubahan-perubahan di dalam kehidupannya. Dinamika kehidupan manusia dapat dipastikan identik dengan lahirnya perubahan. Dalam situasi perubahan seperti itu, tidak dapat dihindari munculnya tuntutan penataan ulang terhadap tradisi-tradisi maupun aturan-aturan masyarakat (social order). Maka, pemaknaan ulang terhadap teks-teks atau wacana-wacana, baik sosial maupun agama, yang disesuaikan dengan konteks yang ada merupakan tawaran solusi yang kerap dilakukan untuk menjawab tuntutan perubahan tadi. Pemaknaan ulang tersebut selanjutnya melahirkan pembaruan-pembaruan dalam pengertian yang seluas-luasnya, mulai dari sekadar pemikiran sampai pada aksi riil sebagai perwujudan dari pemikiran itu.
Wacana pembaruan pada dasarnya bukan merupakan hal yang baru dalam dunia Islam, melainkan bagian dari warisan pengalaman sejarah kaum Muslimin. Ide pembaruan merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam sepeninggal Nabi Muhamad SAW. Ide pembaruan itu adalah buah atau konsekuensi logis dari dinamika masyarakat yang senantiasa berubah. Kendati pembaruan dalam dunia Islam banyak disebut terjadi pada abad 19,[6] bila dilacak ke belakang dengan perspektif historis, sebenarnya pembaruan itu sudah lama ada. Meski demikian, dalam literatur-literatur sejarah perkembangan Islam masih terjadi perbedaan pandangan di kalangan para pemerhati dalam mempersepsi pembaruan-pembaruan itu. Maka, muncul terma-terma seperti reformisme, modernisme, puritanisme, revivalisme, dan bahkan fundamentalisme. Sebagian mereka memberikan pembedaan pengertian di antara istilah-istilah tersebut,[7] dan sebagian yang lain justru menyamakan.[8] Artinya, bagi kelompok pertama, istilah-istilah tersebut mempunyai esensi yang berbeda, sedangkan bagi kelompok kedua, istilah-istilah tadi mempunyai esensi yang sama, pembaruan, terutama istilah purifikasi.
Pembaruan Islam sebenarnya memiliki dasar kuat berupa landasan teologis. Landasan tersebut mendorong dan melegitimasi munculnya gerakan-gerakan pembaruan. Dengan kata lain, landasan teologis bersifat inspiring bagi pemeluk Islam hingga menimbulkan gairah yang tinggi untuk melakukan pembaruan demi pembaruan.
Pembahasan bagian ini akan mengelaborasi landasan teologis yang digunakan sebagai basis legitimasi bagi gerakan-gerakan pembaruan Islam. Selanjutnya, bagian ini juga akan diarahkan untuk mendiskusikan karakter gerakan pembaruan sesungguhnya. Hal ini dimaksudkan   untuk  memahami   makna   dan   esensi   pembaruan   itu   sendiri  serta membuktikan kekuatan argumentasi pandangan yang menyamakan pembaruan dengan  purifikasi. Sementara itu, untuk menyebut istilah pembaruan, penulis menggunakan istilah “pembaruan” itu sendiri dan “modernisasi”[9], sedangkan dalam bahasa asing renewal (Inggris) dan tajdid (Arab).
1. Landasan Teologis Pembaruan Islam
            Ide pembaruan pada hakikatnya merupakan konsekuensi logis dari semangat (watak) dasar yang dikembangkan oleh ajaran Islam. Semangat dasar ajaran Islam seperti yang akan dijelaskan di bawah secara tegas didukung oleh pernyataan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah Hadisnya yang sering dipahami banyak orang sebagai apresiasi Nabi terhadap ide dan semangat pembaruan serta legitimasinya terhadap setiap upaya untuk melakukan pembaruan dalam pemikiran keagamaan. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah itu menegaskan bahwa Allah akan mengutus pada setiap awal abad (at the head of each century) seseorang yang akan memperbarui [pemahaman] agamanya: “Inna Allah ta’ala yab’athu li hadhihi al-ummah ‘ala ra’s kull mi’ati sanah man yujaddidu laha dinaha.”[10]
            Sebagai respon terhadap hadith di atas, masyarakat Muslim lalu mencoba melakukan identifikasi berdasarkan kondisi riil di lapangan kehidupan masyarakat tentang siapa figur yang dimaksud oleh Nabi itu pada setiap babakan [abad] sejarah masyarakat Muslim dunia. Maka, wajar saja terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang siapa pembaru-pembaru (mujaddidun) itu.[11] 
            Perbedaan pendapat tentang figur mujaddidun di atas di samping disebabkan  oleh perbedaaan identifikasi mereka terhadap ide dan gerakan yang dilakukan oleh para tokoh Muslim, juga oleh perbedaan penisbatan makna `ala ra’s kull mi’ati sanah. Sebagian mereka mengatribusikan `ala ra’s kull mi’ati sanah (at the head of each century) kepada masa kelahiran mujaddid, dan sebagian yang lain kepada tanggal kematiannya.[12]  Menurut Achmad Jainuri, penisbatan kepada kelahiran kurang tepat karena beberapa mujaddid yang disebutkan dalam literatur sejarah Islam meninggal dunia pada awal abad.[13] Ini berarti mereka tidak sempat melakukan misi pembaruan seperti yang disebutkan. Oleh karena itu, pandangan yang lebih dapat diterima keberadaannya adalah yang menyatakan bahwa yang penting mujaddid bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud.[14]     
Terlepas dari perdebatan tentang figur mujaddid di atas, ide pembaruan, yang oleh Nurcholish Madjid digambarkan dengan istilah modernisasi, mempunyai hubungan yang positif  dan menjadi watak dasar Islam. Yang demikian itu karena secara teologis-doktrinal, Islam memiliki watak dasar universal  dan terbuka di samping, secara historis, masyarakat Islam klasik sendiri mempunyai kesamaan fundamental (semangat kebaruan dan kemajuan) dengan  masyarakat modern Barat sekarang.[15]
2. Watak Dasar Universal Islam
Kehadiran Islam sebagai sebuah ajaran adalah untuk menyebarkan kemaslahatan universal. Kemaslahatan itu oleh Islam didiseminasikan kepada semua manusia [dan makhluk lainnya] tanpa mengenal adanya pembedaan kelompok, ras, maupun etnis.[16] Prinsip tidak mengenal adanya pembedaan ini sangat dijunjung tinggi oleh Islam.[17] Cita-cita kultural Islam, yakni kemaslahatan  dan kesemestaan, itu ditunjukkan oleh misi kerasulan yang diemban Muhammad SAW sebagai rahmat bagi semesta.[18] Semangat kemaslahatan itu menuntut penemuan dan pengembangan pirantinya untuk senantiasa menjaga dan meningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Penemuan dan pengembangan itu seharusnya dilakukan untuk menjaga keberadaan Islam agar tetap fungsional bagi manusia.[19]
            Mengingat bahwa situasi kehidupan masyarakat terus berubah, maka konsep-konsep pemikiran Islam juga barang tentu ikut berubah walaupun prinsip-prinsip fundamentalnya tidak harus mengalami hal yang sama; bahkan perubahan pemikiran (baca: pembaruan) itu merupakan suatu keniscayaan.[20] Sajida Sultana Alvi merespon positif wacana perubahan tersebut; bahkan, menurutnya, perubahan pada hakikatnya adalah esensi dari Islam[21] karena pertimbangan semangat dan cita-cita kultural Islam seperti disebut di atas.
Watak dasar universalitas Islam yang dibungkus dalam cita-cita kulturalnya tersebut meniscayakan adanya pemahaman yang selalu baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Ini artinya bahwa di balik watak universal atau cita-cita kultural Islam tersebut terkandung muatan-muatan modernitas. Muatan-muatan modernitas dalam watak dasar tersebut dikarenakan  Islam berhubungan secara simbiotik dengan semangat zaman: kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.[22]
Oleh karena itu, sudah semestinya jika orang Islam menjadi pengembang semangat modernitas yang selalu menunjuk kepada kebaruan dan kemajuan. Terlepas dari istilah “modernis” yang dijadikan identitas kelompok tertentu masyarakat Muslim, modernis Muslim seharusnya adalah orang yang mempunyai karakter seperti yang digambarkan oleh Maryam Jameelah: memandang tidak cukup, untuk konteks kekinian, Islam sebagaimana dipraktikkan pada saat nabi  masih hidup serta berusaha untuk mereinterpretasi keyakinan itu sedemikian rupa hingga terbukti tidak ada konflik antara Islam dan peradaban modern yang harus diakui sebagai sarat dengan muatan-muatan Barat.[23]           
            Upaya reinterpretasi pemahaman terhadap ajaran-ajaran Tuhan tersebut[24] dinamakan dengan ijtihad. Upaya ijtihad tersebut sangat penting dijaga kesinambungan dan keberlangsungannya karena universalitas Islam mempunyai implikasi terhadap adanya pergulatan yang tidak pernah selesai (the never-ending journey) untuk mencapai tujuan (kemaslahatan semesta).[25] Maka, watak universalitas Islam tersebut menumbuhkan dan memberikan inspirasi di kalangan masyarakat Islam untuk selalu mengadakan pembaruan pemahaman keagamaan dalam rangka merespon perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia.
 3. Watak Dasar Terbuka Islam
            Islam adalah agama yang terbuka untuk dipahami dengan berbagai macam pemahaman (polyinterpretable religion).[26] Ungkapan al-Qur’an mengisyaratkan keterbukaan itu: “Lana a`maluna wa lakum a`malukum.”[27]  Watak dasar ini menjauhi praktik-praktik penyeragaman pemikiran karena hal itu tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang sarat dengan nuansa perbedaan (al-furuq al-fardiyah). Watak dasar tadi mengakui adanya keragaman serta tidak mengapresiasi praktik-praktik sektarianisme atau eksklusvisme karena kedua hal itu tidak membuat manusia progresif, melainkan sebaliknya, berwawasan sempit, kontra-produktif, dan tidak memiliki sensitivitas terhadap perubahan ke depan, satu hal yang tidak sesuai dengan semangat keterbukaan dan modernitas.
Watak dasar terbuka ini sejatinya melahirkan kepribadian-kepribadian Muslim yang kosmopolit, kepribadian yang mengembangkan semangat toleransi yang tinggi terhadap hal-hal yang berbeda dengan yang diyakini atau dimiliki oleh seseorang. Dalam kaitan ini, Abdurrahman Wahid menegaskan pentingnya umat Islam untuk membuka diri melalui pandangan yang lebih kosmopolitan dengan mengembangkan toleransi terhadap pengalaman-pengalaman yang lain serta kesiapan untuk memperoleh wawasan baru guna pengembangan diri.[28] Kepribadian yang kosmopolitan seperti ini menemukan signifikansinya tatkala dibuktikan melalui perspektif sejarah bahwa kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang terjebak dengan praktik-praktik truth claim sangat kontra-produktif[29] karena mereka tidak mau membuka diri untuk berdialog dengan lingkungannya serta menganggap kelompok di luarnya sebagai kelompok yang sesat dan, oleh karena itu, harus dijauhi. Kelompok semacam ini biasanya “tidak ramah lingkungan” dan eksklusif.
Sebagai bukti dari watak terbuka Islam  sebagai polyinterpretable religion seperti di atas, tercatat dalam sejarah beberapa aliran pemikiran (schools of thought) di dalam kajian fiqh, teologi, dan filsafat Islam. Watak dasar Islam yang menerima penafsiran-penafsiran tadi telah berfungsi sebagai basis dari fleksibilitas Islam serta menjadi petunjuk bagi pentingnya pluralisme dalam tradisi Islam. Oleh karena itu, Islam tidak dapat dipahami dengan pendekatan monolitik.[30]
            Pandangan yang monolitik terhadap Islam pernah terjadi di kalangan pengamat Barat hingga mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa Islam secara inheren bertentangan dengan demokrasi (konsep modern).[31] Kecenderungan pemikiran semacam itu berasal dari persepsi monolitik tentang Islam dengan referensi eksklusif berupa praktik-praktik Islam radikal atau militan yang berkembang di Timur Tengah. Praktik-praktik itu lalu diatribusikan kepada Islam [sebagai ajaran], bukan kepada interpretasi yang dilakukan oleh individu-individu maupun gerakan-gerakan politik masyarakat Muslim. Selain itu, bias pemikiran sekular (secular bias) dari para pemikir non-Muslim juga memberikan kontribusi tersendiri terhadap kegagalan mereka dalam memahami Islam sebagai polyinterpretable religion  secara benar.[32] 
4. Makna Pembaruan Islam dan Karakteristiknya
            Tuntutan untuk dilakukannya pembaruan (renewal) muncul dalam sejarah Islam dalam dua kategori: Pembaruan masa pra modern (premodern Islamic renewal) dan masa modern (modern Islamic renewal).[33] Di antara dua periode pembaruan itu terdapat sedikit perbedaan (nuance). Pada pembaruan pra modern, secara umum, peran renewer sebagai person lebih menonjol dibanding dengan keharusan adanya penyokong secara organisatoris terhadap gerakan itu; sedangkan pada pembaruan modern, peran renewer sebagai person, meski tetap menentukan keberadaan gerakan, melebur dalam wadah gerakan yang terorganisir secara rapi,[34]  dan karena itu tidak jarang ia berkolaborasi dengan penguasa.
Pentingnya berkolaborasi dengan penguasa di atas, menurut Thoha Hamim, karena mereka  menyadari bahwa  gerakannya tidak bisa dengan cepat menuai keberhasilan jika tidak dengan kekuasaan. Kesadaran mereka seperti itu juga dilatar-belakangi oleh kenyataan bahwa mereka bukan aktivis lapangan (LSM), tetapi kaum elit yang tidak mempunyai basis massa yang kuat; sementara pada saat yang sama, ide-ide mereka terbilang ekstrem sehingga bisa menimbulkan resistensi di kalangan massa. Untuk mengatasi kenyataan itu, maka jalan yang paling memungkinkan untuk ditempuh adalah berkolaborasi dengan penguasa.[35]
            Pembaruan yang dikenal dalam sejarah Islam dilatar-belakangi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal; adanya stagnasi pemikiran di kalangan masyarakat Muslim, sementara pada saat yang sama semangat dasar Islam menghendaki terjadinya perubahan secara terus menerus. Faktor internal ini bergerak dalam bentuk yang sama pada kasus pembaruan dunia Islam, baik pada fase pra modern maupun modern (abad 19 dan 20).
            Kedua, faktor eksternal. Pada kerangka faktor eksternal ini, terjadi pergeseran dari fase pra-modern ke fase modern walaupun pergeseran itu tidak dalam bentuk yang ekstrem. Pada fase pra-modern, terjadinya pembaruan  didasari oleh faktor religio-political movement atau socio-moral decline di kalangan komunitas Muslim sehingga timbul respon yang beragam untuk mengatasinya. Salah satu respon itu berupa upaya untuk mendirikan negara Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, dan Libya.[36] Gerakan di Saudi Arabia dilangsungkan oleh Muhammd b. `Abd Wahhab dan dikenal dengan gerakan Wahabi, gerakan yang oleh Azyumardi Azra disebut sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama  yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalisme Islam di Semenanjung Arabia.[37] Di Sudan, gerakan pendirian negara Islam itu dikenal dengan Gerakan Mahdi dan di Libya dengan Sanusi.[38]
            Pada fase modern, latar belakang munculnya tuntutan pembaruan itu dapat diklasifikasikan [walau tidak dalam bentuk yang ekstrem] ke dalam dua masa: modern abad 19 dan modern abad 20.[39] Pada fase modern abad 19, munculnya tuntutan dilakukannya pembaruan dimaksud adalah sebagai respon terhadap kolonialisme Barat (Eropa) atas dunia Islam[40] seperti yang terjadi di Maroko, Mesir, dan Indonesia. Respon tersebut berupa keasadaran akan kondisi umat Islam sendiri yang mengalami kemandegan kultural (cultural stagnation) dan keterbelakangan.[41] Sementara itu, pada fase modern abad 20 pembaruan terjadi sebagai evaluasi dari masyarakat Muslim terhadap kenyataan versi mereka bahwa Barat dengan peradabannya yang pada masa sebelumnya telah menghegemoni pikiran dan tindakan masyarakat Muslim ternyata gagal mengangkat kualitas kehidupan manusia, baik dalam artian spiritual maupun material. Anggapan masyarakat Muslim ini muncul setelah terjadi interaksi yang cukup lama antara Barat dan masyarakat Muslim hingga memunculkan dua kelompok Muslim: kelompok yang menolak sama sekali ide-ide Barat,[42] dan kelompok yang tetap menerima bentuk-bentuk yang baik dari ide-ide Barat walau diiringi dengan beberapa catatan.[43]
            Kendati terdapat perbedaan latar belakang historis, wacana pembaruan di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari wacana atau landasan teologis, terutama sebuah hadith seperti diuraikan di atas, karena landasan teologis itu tampak menjadi daya dorong (driving force) bagi masyarakat Muslim untuk bermaksud melakukan pembaruan demi pembaruan. Kenyataan ini selanjutnya menyebabkan para pemerhati masalah sejarah perkembangan masyarakat Islam dunia mengidentifikasi setiap gerakan yang muncul di dunia Islam sebagai gerakan pembaruan.
            Agar tidak terjebak dengan peristilahan-peristilahan yang banyak dikenal dalam literatur sejarah Islam mengenai esensi dan ide dasar pembaruan, maka penulis melihat perlu adanya batasan-batasan. Menurut penulis, yang dinamakan gerakan pembaruan Islam itu harus mengacu kepada tiga karakteristik berikut:[44] Pertama, pembaruan harus bergerak pada upaya rekonstruksi moral-sosial masyarakat Muslim, bukan sekedar moral-individual. Menurut Fazlur Rahman, karakteristik pertama ini tampak jelas pada gerakan pembaruan yang terjadi di dunia Muslim abad 17, 18 dan 19. Gerakan-gerakan masa itu mencurahkan pusat perhatiannya pada rekonstruksi moral-sosial (the socio-moral reconstruction) masyarakat Muslim, bukan pada individu.[45]
Kedua, sesuai dengan namanya, gerakan, maka  pembaruan-pembaruan yang diupayakan oleh para pemikir atau aktivis Muslim harus mempunyai komponen-komponen sebagai berikut: 1) penggerak (tokoh sentral), 2) basis massa, 3) institusi/organisasi sebagai rangka, dan 4) doktrin. Penentuan komponen-komponen  sebuah gerakan seperti tadi sangat memungkinkan untuk diterapkan pula terhadap wacana pembaruan di dunia Muslim karena hadith nabi yang dijadikan sebagai landasan pembaruan seperti disebut di muka tidak menolak kemungkinan untuk itu. Kata “man” dalam hadith tersebut, menurut al-Mawdudi, bisa merujuk kepada bilangan tunggal (singular) maupun jamak (plural). Oleh karena itu, [pembaruan dan] pelaku pembaruan seperti yang digambarkan hadith di muka tidak menutup kemungkinan untuk dipahami sebagai sebuah organisasi massa (an organisation of people) di samping, tentu saja, individu (a single person) dan kelompok (a group of persons).[46] Selain itu, gambaran hadith nabi tentang babakan satu abad (100 tahunan) tersebut juga bisa mendukung wacana ini sebab pembaruan tidak muncul secara instan; ia melalui sebuah proses yang, meminjam konsep paradigma Thomas S. Kuhn, diawali dengan keteraturan (normal), anomali, krisis, dan akhirnya pembaruan.[47] Di tengah proses itulah  pembaruan memantapkan posisinya dalam sebuah aktivitas yang terorganisasi  secara rapi. Oleh karena itu, sangat bisa dipahami mengapa gerakan wahhabi yang semula merupakan gerakan intelektual (intellectual movement)[48] akhirnya berkolaborasi dengan penguasa. Strategi ini muncul dari sebuah kesadaran bahwa gerakan yang mereka jalankan tidak akan efektif jika tidak diorganisir melalui struktur kekuasaan, yang dalam hal ini dengan pemimpin lokal, Muhammad b. Sa’ud.[49]
            Ketiga, pembaruan bergerak dalam upaya kontekstualisasi ajaran Islam dengan persoalan ruang dan waktu yang ada. Hal ini sesuai dengan watak dasar Islam yang universal, terbuka, dan demokratis seperti dikemukakan di depan. Upaya kontekstualisasi ini tidak berarti menghapus shari’at, dan menggantinya dengan aturan yang lain, melainkan mencoba menerapkan ide moral yang dikembangkan oleh shari’at   ke dalam konteks yang dihadapi oleh pemeluknya yang berbeda-beda latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan intelektual. Oleh karena itu, pembaruan tidak identik dengan bentuk-bentuk propaganda “kembali kepada al-Qur’an dan hadith” puritanisme.
            Sebagai konsekuensi dari karakter ketiga di atas, maka muncul karakter yang keempat, bahwa di dalam gerakan pembaruan terdapat penyegaran pemikiran atau konsep-konsep yang ditegakkan atas prinsip independensi melalui perangkat yang disebut dengan ijtihad, proses interpretasi/analisis yang terus menerus dan independen terhadap teks.[50] Dalam kaitan ini, kasus kelompok Wahabi sekalipun menekankan pada pentingnya ijtihad (fresh thinking) secara terus menerus dan menganggap taqlid sebagai sesuatu yang terlarang (anathema) karena dapat menyebabkan stagnasi kultural (cultural stagnation), ternyata solusi yang ditawarkan Ibn `Abd al-Wahhab beserta gerakan Wahabi-nya tadi justru menekankan pada keharusan untuk kembali kepada Islam generasi awal, tek-teks agama, dan penafsiran-penafsiran klasiknya.[51] Bahkan, menurut mereka, Islam yang sejati (true Islam) adalah Islam yang seperti diyakini dan dipraktikkan oleh generasi Nabi Muhammad SAW.[52]
Kenyataan di atas menjelaskan bahwa dari  sisi karakter ketiga dan keempat, gerakan Wahabi  patut dipertanyakan bila disebut sebagai gerakan pembaruan (renewal) karena gerakannya lebih mengarah pada purifikasi dari pada pembaruan. Oleh karena itu, tesis Achmad Jainuri yang menyatakan bahwa tajdid mengemban misi ganda, purification dan modernism,[53] menurut penulis, patut dipertanyakan ulang. Esensi tajdid, menurut penulis, tidak sebangun dengan purifikasi, memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan kontemporer dengan merujuk kepada referensi masa-masa awal Islam secara literal, karena pandangan purifikasi seperti ini sama artinya dengan menutup mata terhadap dua realitas yang berbeda ruang dan waktunya meski esensinya bisa jadi tidak. Jika dua realitas dengan watak dasar seperti yang disebutkan tadi didekati secara literal, kesimpulan yang akan dihasilkan bisa tidak menepati sasaran semestinya (misleading) akibat adanya penyamaan dua realitas yang berbeda tersebut.
            Memang, masa klasik yang dikenal dengan masa salaf adalah masa yang penting dan berotoritas dalam kerangka pemikiran keislaman. Meski demikian, pemahaman komunitas Muslim terhadap konsep-konsep Islam semestinya tidak “bercermin” dan berhenti pada produk-produk pemikiran masa itu karena konteks ruang dan waktunya berbeda, dan sebaliknya, juga tidak semestinya  ditinggalkan sama sekali dengan cara berijtihad dari titik nol. Kalau hal itu dilakukan, akan terjadi apa yang dikenal dengan proses pemiskinan intelektual (intellectual impoverishment). Semestinya, yang lebih patut diacu dari kaum salaf adalah prosesnya, dan tidak selalu produknya. Oleh karena itu, pembaruan Islam dimaknai sebagai penyegaran pemahaman, up-dating pemahaman terhadap ajaran agama dan cara mewujudkan ajaran itu di tengah-tengah masyarakat.[54] 
            Pemaknaan semacam itu perlu ditegaskan karena Islam sebagai sebuah ajaran (moral) sudah sempurna (perfect model);[55] hanya pemahaman umat Islam sendiri terhadap Islam secara teknis-operasional yang selalu mengalami perubahan. Karena itu, dilakukannya pembaruan itu adalah untuk membuat Islam lebih fungsional dalam kehidupan mereka.[56] Dalam konteks ini, konsep reaktualiasi Islam[57] Munawir Sjadzali dan Cak Nur serta pribumisasi Islam[58] Gus Dur menemukan penjelasannya secara tepat dan benar karena esensi dari ide pembaruan tercermin dalam kedua konsep tersebut.

C.     ISLAM DAN WACANA OTENTISITAS
Islam ibarat bola salju (snow ball). Semakin lama dan semakin jauh Islam “menggelinding”, semakin banyak wajah yang akan muncul sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu. Perbedaan ruang dan waktu itu akan melahirkan perbedaan tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat. Karena tantangannya berbeda, Islam sebagai sebuah agama, yang nota bene turunnya untuk memecahkan persoalan masyarakat, akan dipahami oleh masyarakat bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka hadapi.
Maka, muncullah wajah yang beragam, baik secara sinkronis (antara masyarakat di tempat yang satu dengan masyarakat di tempat lain pada waktu yang bersamaan) maupun secara diakronis (antara generasi satu dengan generasi lain, sebelum atau sesudahnya); atau, bisa jadi antara setting wilayah geografis satu dengan  wilayah lainnya. Islam yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda dengan di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan perbedaan pemahaman masyarakatnya akibat setting ruang yang tidak sama. Begitu pula Islam yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami generasi abad pertengahan maupun abad modern ini.
Perbedaan pemaknaan tersebut sudah barang tentu berimbas pada timbulnya perbedaan bentuk dalam praktik-praktik Islam. Dalam konteks ini, timbul persoalan mendasar: Manakah Islam yang otentik itu? Apakah seperti yang saat ini ada di Timur Tengah (baca: Saudi Arabia), tempat  turunnya Islam? Apakah ia seperti yang dipahami dan dipraktikkan oleh generasi awal Islam? Ataukah justru tidak ada batasan yang pasti? Persoalan-persoalan ini patut didiskusikan dengan membuka wacana seputar pencarian Islam otentik. Hal ini penting dilakukan karena dalam wacana pencarian Islam otentik sering terjadi absolutisasi pemaknaan dan klaim-klaim kebenaran (truth claim) di masing-masing golongan umat Islam.
Dalam proses pencarian Islam yang otentik itu, seorang muslim akan dihadapkan pada persoalan-persoalan mendasar. Pertama, persoalan batasan normativitas Islam, yakni apakah, secara normatif, otentisitas Islam itu muncul secara murni oleh Nabi Muhammad? Dengan kata lain, apakah Islam seperti yang diajarkan, diyakini, dan dipraktikkan Nabi Muhammad dan sahabatnya itu otentik sama sekali, tanpa adanya penyerapan dari ajaran sebelumnya? Sebab, jika jawabannya ya, persoalan tersebut akan berhadapan dengan kenyataan historis bahwa ajaran-ajaran Islam tidak muncul dari nol. Ia merupakan akumulasi dari ajaran-ajaran sebelumnya yang masih dianggap relevan. Islam sendiri mengakui ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Muhammad walaupun pengakuan itu disertai dengan kritisisme yang tinggi. Islam datang untuk menyempurnakan ajaran-ajaran itu. Ini artinya bahwa otentisitas Islam tidak bisa dibatasi sejak masa nabi Muhammad, tetapi sudah ada mulai sejak masa kenabian Adam. 
Kedua, persoalan paradigmatik, yakni persoalan pola pengedepanan  dalam proses pemahaman Islam antara ketentuan legal-formal (skriptural) dengan nilai keadilan masyarakat (substansial atau maqashid al-shari’ah)). Wacana otentisitas Islam tidak bisa dilepaskan dari tarik-menarik antara paradigma legal-formal al-Qur’an dengan paradigma semangat atau nilai keadilan masyarakat. Bila otentisitas Islam dilihat dari paradigma legal-formal al-Qur’an, ia segera akan berhadapan dengan realitas sosial bahwa tidak semua ketentuan legal-formal al-Qur’an itu mempunyai kompatibilitas dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian, otentisitas akan berhadapan secara vis a vis  dengan fungsionalitas. Dalam beberapa hal, terdapat persoalan sosial yang tidak terakomodasi oleh teks-teks al-Qur’an, dan teks-teks al-Qur’an itu sendiri tidak bisa memecahkan seluruh persoalan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain,  teks tidak mewakili semua realitas masyarakat, dan tidak semua realitas diwadahi  oleh teks.
Oleh karena itu, paradigma kedua, nilai keadilan masyarakat, yang menjadi semangat prinsipil Islam patut diajukan untuk melihat otentisitas Islam. Paradigma ini menunjuk kepada perlunya posisi teks al-Qur’an senantiasa bergerak kepada keadilan masyarakat yang menjadi semangat awal Islam sehingga pemaknaan terhadap ketentuan legal-formal al-Qur’an di atas selalu dinamis, seiring dengan konteks dan tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat. Memang, paradigma kedua ini tidak berarti steril dari persoalan lanjutan. Yakni, jika teks bergerak mengikuti nilai keadilan masyarakat, berarti teks tidak lagi berguna sebagai acuan formal di dalam pengambilan keputusan agama. Walaupun demikian,  yang lebih fundamental dari keberadaan teks adalah semangatnya, bukan nilai literalnya, sehingga teks masih menjadi acuan dalam pengambilan keputusan agama, yakni sebagai acuan moral.
Dengan memiliki konsekuensi masing-masing, kedua  paradigma di atas selalu mengiringi wacana pencarian Islam otentik. Contoh konkretnya adalah dalam persoalan ketentuan waris. Bila yang dikedepankan adalah paradigma pertama, ketentuan legal-formal al-Qur’an, pembagian harta warisan antara ahli waris laki-laki dan perempuan tidak akan pernah mengalami perubahan, yakni laki-laki mendapatkan harta warisan lebih besar dua kali dari perempuan. Hal ini karena al-Qur’an secara eksplisit memberikan ketentuan seperti itu.[59] Namun, bila yang dikedepankan  adalah paradigma kedua, nilai keadilan masyarakat (substansial), ketentuan legal-formal itu harus bergerak sesuai dengan tuntutan dan gerak masyarakat, yakni laki-laki dan perempuan sama bagian warisannya, mengingat konteks sosial saat ini berbeda dari saat al-Qur’an diturunkan. Saat ini, perempuan juga mencari nafkah sebagaimana suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.  Ketentuan persamaan jumlah warisan ini sesuai dengan tujuan utama dihadirkannya agama sebagai instrumen untuk memecahkan persoalan masyarakat, baik dalam konteks horisontal maupun vertikal. Jika ketentuan legal-formal itu tetap bergeming pada posisinya semula, berarti posisi agama tidak lagi fungsional karena eksistensinya tidak bisa menyentuh persoalan-persoalan yang dihadapi pemeluknya.
Berdasarkan uraian di atas, penentuan otentisitas Islam akan ditakar oleh batasan normativitas dan paradigma yang digunakan oleh seorang muslim. Oleh karena itu,  untuk mendekati persoalan tersebut, patut direnungkan bersama hal-hal berikut. Pertama, bahwa historisitas (realitas sosial pemeluk agama) merupakan refleksi dari normativitas; dan sebaliknya, normativitas dibangun dari pengalaman historisitas; atau, pengalaman historisitas akan menjadi bahan untuk reformulasi normativitas. Artinya, selalu ada proses dialogis antara semangat historisitas dengan normativitas. Proses itu selalu dinamis dan tidak akan berhenti pada satu titik selama gerak manusia itu ada. Hal demikian berarti bahwa dalam mencari Islam otentik itu tidak perlu adanya fanatisme terhadap ketentuan legal-formal al-Qur’an. Karena, ketentuan legal-formal itu harus terus didialogkan dengan realitas masyarakat.
Kedua, bahwa agama, yang merupakan refleksi dari kemauan Tuhan secara konseptual-ilahiah,  bersifat mutlak, namun, ketika turun kepada manusia, telah menjadi relatif, tergantung pada latar belakang dan kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman atau penangkapan terhadap pesan-pesan agama akan berbeda dari satu orang ke yang lain. Perbedaan itu harus diakui keberadannya, dan tidak boleh terjadi pemaksaan pemahaman. Dalam kaitannya dengan penentuan otentisitas Islam, maka otentisitas itu ada pada tataran individual. Yakni,  Islam otentik adalah Islam yang merupakan hasil pemahaman atau keyakinan seseorang terhadap wacana-wacana keislaman yang dia terima, dan hasil tersebut tidak boleh diintervensi oleh kekuatan sosial di luar dirinya. Hal ini karena, meminjam istilah Robert D. Lee, masing-masing orang  mempunyai apa yang disebut dengan otonomi individual (human autonomy) dalam mendekati dan memahami Islam.[60] Masing-masing individu memiliki akses yang sama terhadap agamanya. Ini berarti bahwa Islam sangat mengedepankan nilai-nilai pluralitas (keragaman) daripada nilai-nilai uniformitas (keseragaman). Dengan demikian, otentisitas Islam itu ada seperti yang dipahami oleh umatnya secara individual, bukan komunal, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip dasar Islam. Oleh karena itu, ada prinsip hidup yang sederhana dalam beragama: “Lakukanlah apa yang anda yakini benar tentang Islam dan jangan hanya diperdebatkan.” Karena, begitu persoalan Islam diperbincangkan sebagai wacana, maka Islam akan muncul dalam banyak wajah.


*Ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber           

Daftar Pustaka:


[1] Yustion dkk., (Dewan Redaksi), Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993), h. 172-3.
[2] Parsudi Suparlan, (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Maslah Agama, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Balitbang Agama) 1982), h. 18.
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 7-8.
[4] Ibid., h. 8.
[5] Hakim & Mubarak, Metodologi, h. 38.
[6] Penyebutan semacam ini lebih mengacu kepada perkembangan masa modern daripada perkembangan secara menyeluruh sejarah Islam.
[7] Mengenai makna istilah-istilah tersebut lihat ed. John L. Esposito, The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, (New York & Oxford: Oxford University Press, 1995).
[8] Lihat, misalnya, Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam,” Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, (Tahun 1995), h. 38.
[9] Kata “modernisasi” dalam beberapa tempat dari pembahasan ini mengalami perubahan sesuai dengan konteks dan segala konsekuensinya: modernitas, modernisme, dan modernis.
[10] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. IV (Kairo: Mat}ba’at Musthafa Mahmud, 1353/1950), h. 159.
[11] Abu al-`A’la al-Mawdudi mengidentifikasi mujaddidun yang beredar di kalangan Islam sampai abad kesembilan Hijriyah sebagai berikut: 1) `Umar b. Abd al-`Aziz, 2) Imam Abu Hanifah, 3) Imam Malik, 4) Imam Shafi’i, 5) Imam Ahmad b. Hanbal, 6) Imam Ghazali, 7) Ibn Taymiyah, dan 8) Shaykh Ahmad Shirhindi. Lihat Abu al`A’la al-Mawdudi, A Short History of the Revivalist Movement in Islam, terj. al-Ash’ari  (Lahore: Islamic Publications Limited, 1981), 45-81. Sementara itu, merespon hadith tentang pembaruan di atas, Saiful Jazil juga berhasil mengidentifikasi mujaddidun  itu secara berurutan abadnya sebagaimana berikut: Umar b. `Abd al-`Aziz (abad ke-1), Imam Shafi’i (ke-2), Ibn Surayj (ke-3), Abu Hamid al-Asfarayini (ke-4), al-Ghazali (ke-5), Fakhr al-Din al-Razi (ke-6), Ibn Daqiq al-`Id (ke-7), Siraj al-Din al-Bulqayni (ke-8), Jalal al-Din al-Suyuti (ke-9), Shams al-Din al-Ramli (ke-10), `Abd al-Qadir al-`Aydrus (ke11), Ahmad al-Dayrabi (ke 12) dan `Abdullah al-Sharqawi (ke-13). Lihat Saiful Jazil, “Pemikiran Modern tentang Pembaharuan Hukum Islam,” Nizamia, Vol.1, No. 2, (1998), h. 57.
[12] Al-Mawdudi, A Short History, hal. 33-34; Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 40.
[13] Jainuri, “Landasan Teologis,” hal. 40. Sebagai contoh dari pernyataan Jainuri ini, `Umar b. `Abd al-`Aziz meninggal pada tahun 101 H (720 M), Imam Abu Hanifah 150 H (767 M), Ima>m Shafi’i 205 H (820 M), dan Imam Ahmad b. Hanbal 233 H (855 M). Lihat Montgomary Watt, The Formative Period of Islamic Thought, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 71, 132; Thaha Jabir al-Alwani, Ushul al-Fiqh al-Islami; Source Methodology in Islamic Jurisprudence, (Herndon Virginia USA: The International Institute of Islamic Thought, 1990), hal. 33, 45; K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980), 185; Cryl Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, (New York: HaperColiins Publishers, 1989), h. 19,170, 359.
[14] Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 40.
[15] Nurcholish Madjid, “Peranan Ummat dan Cendekiawan Muslim dalam Memasuki Era Industrialisasi,” (Orasi Ilmiah di Unisba Bandung, 1989, hal. 15), seperti dikutip oleh Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan Aksi Politik (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 191.
[16] Kemaslahatan universal Islam ini juga diakui oleh Frances Fukuyama: “Daya tarik Islam adalah secara potensial bersifat universal, melintasi semua manusia, laki-laki maupun perempuan, dan bukan diperuntukkan bagi anggota etnis atau kelompok nasional tertentu.” Lihat Frances Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: Avon Books, 1992), h. 45.
[17] Al-Qur’an menyatakan: “Ya ayyuha al-nas inna khalaqnakum min dhakar wa untha wa ja`alnakum shu`uban wa qaba’ila lita`arafu; inna akramakum `inda Allah atqakum (Wahai orang-orang beriman sesungghnya Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal; sungguh yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa).”  Lihat al-Qur’an, 49: 13.
[18] Al-Qur’an secara jelas menyatakan: “Wa ma arsalnaka illa rah}matan li al-`alamin (Tidaklah Kami mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi semesta).” Lihat al-Qur’an, 21: 107.
[19] Wacana ini diperkuat lagi oleh encouragement al-Qur’an: “Inna la nudli`u ajr al-mushlihin (Sungguh Kami tidak menyia-nyiakan upaya para pembaru).” Lihat al-Qur’an, 7: 170. Berdasarkan ayat ini, John O. Voll mengidentifikasi ide pembaruan dengan konsep ishlah}. Lihat John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,” dalam ed. John L. Esposito, Voices of Resurgent Islam (New York & Oxford: Oxford University Press, 1983), h. 33.  
[20] Ahmad, “Pembaharuan Pemikiran Agama Islam,” Menara Intan, edisi I, tahun 1999, h. 17. Bahkan, menurut Hasan al-Turabi, tajdid itu diperlukan untuk perbaikan secara total pada semua aspek kehidupan. Lihat ed. John L. Esposito, The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World,  vol. 3, (New York & Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 433.  
[21] Pernyataan Sajida S. Alvi tersebut diungkapkan saat wawancara dengan Mary Pat Fisher pada 15 Juni 1992. Lihat Mary Pat Fisher, An Encyclopaedia of the World’s Faith; Living Religions, (London & New York: I.B. Tauris Publishers, 1997), h. 369-370.
[22] M. Din Syamsuddin, “Mengapa Pembaruan Islam?,” Ulumul Qur’an, No. 1, Vol. IV, Tahun 1993, h. 68.
[23] Maryam Jameelah, Islam and Modernisme, (Sant Nagar-Lahore: Mohammad Yusuf Khan, 1977), h. 53.
[24] Dalam wacana sosiologis, ajaran-ajaran Tuhan (agama) disebut dengan teks, yang notabene tidak berubah, sedangkan pemahaman manusia merupakan salah satu bentuk ekspresi atau apresiasi manusia terhadap teks dikaitkan dengan konteks yang notabene selalu berubah. (Ceramah Soetandyo Wignyosoebroto pada perkuliahan Sosiologi Agama, Konsentrasi Pemikiran Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 20 Maret 2000, 09.00 WIB).
[25] Nurcholish Madjid, “The Universality of Islam, the Peculiarity of Languages and Cultures, and the Prospect of Islam of Southeast Asia,” (Makalah disampaikan pada kesempatan Pertemuan Bersama ke-4 Menteri-menteri Agama dan Wakaf OKI di Jakarta, 29 Oktober - 1 November 1997, 7).
[26] Bahtiar Effendy, ”Islam  and Democracy; In Search of a Viable Synthesis,” (Kumpulan Makalah Seminar Dialog Internasional: Islam dan Barat dalam Era Globalisasi, Jakarta, 22-23 Maret 1995, hal. 53).
[27] Al-Qur’an, 15: 20.
[28] Malik & Ibrahim, Zaman Baru Islam, h. 221.
[29] Secara riil, Thoha Hamim menjelaskan dengan memberikan contoh bahwa gerakan puritanisme, gerakan yang akrab dengan praktik-praktik truth claim, seperti Persis, rawan mengalami stagnasi. Hal itu karena gerakan tersebut hanya berdasar pada puritanisme dan ukuran hitam putih. (Ceramah Thoha Hamim pada perkuliahan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam, Konsentrasi Pemikiran Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 9 Maret 2000, jam 08.00 WIB).
[30] Effendy, “Islam and Democracy,” h. 56.
[31] Fukuyama, The End , h. 45.
[32] Lihat John L. Esposito,” Secular Bias and Islamic Revivalism,” The Chronicle of Higher Education, 26 Mei 1993, A.44, seperti dikutip oleh Effendy, “Islam and Democracy,” h. 53.
[33] Lihat John L. Esposito, Islam and Politics, (Syracuse New York: Syracuse University Press, 1991), h. 32-59. Sementara itu, Harun Nasution juga mempunyai pendapat yang sama dengan Esposito bahwa abad 18 ke atas adalah masa modern dan sebelumnya masa pra modern. Secara rinci, Harun Nasution membuat periodisasi sejarah Islam sebagaimana berikut. Pertama,  Periode klasik (650-1250 M).  Periode ini dibagi ke dalam dua fase: fase ekspansi, dan puncak kemajuan (650-1000 M) serta fase integrasi (1000-1250 M). Kedua,  Periode Pertengahan (1250-1800 M). Periode ini dibagi ke dalam dua fase: fase kemunduran (1250-1500 M) serta fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan zaman kemajuan  (1500-1700 M) dan diakhiri dengan zaman kemunduran (1700-1800 M). Ketiga,  Periode Modern (1800 M-dan seterusnya). Periode ini merupakan periode kebangkitan umat Islam. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 12-14.
[34] Dalam konteks ini, Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa agama pada masa Nabi Muhammad SAW, seperti halnya masa Yesus Kristus, lebih merupakan kesadaran-kesadaran nilai karena agama masa itu belum terwujud ke dalam lembaga-lembaga atau institusi-institusi sehingga kesadaran-kesadaran itu bisa digerakaan oleh person-person. Namun demikian, saat ini agama sudah terlembagakan. Oleh karena itu, peran-peran untuk menggerakkan kesadaran itu mesti juga dilakukan secara bersama-sama melalui lembaga-lembaga itu. (Lihat wawancara Komaruddin Hidayat dengan TVRI dalam acara Talkshow “Wacana,” TVRI, 15 Juni 2000, jam 22.30-22.45 WIB).  
[35] Pernyataan ini diungkapkan oleh Thoha Hamim dalam perkuliahan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam, Konsentrasi Pemikiran Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2 Maret 2000, 08.00 WIB.
[36] Esposito, Islam and Politics, h. 32.
[37] Gerakan itu memunculkan Islam pada titik ekstrem: fundamentalisme Islam radikal. Lihat Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam; Survei Historis dan Doktrinal,” Ulumul Qur’an, No.3, Vol, IV, (Tahun 1993), h. 19.
[38] Esposito, Islam and Politics, h. 32.
[39] Dalam konteks untuk melihat, mengidentfifikasi, dan memahami gerakan pembaruan di dunia Islam abad modern, John O. Voll menawarkan pendekatan tiga dimensi (Three-Dimensional Approach). Pertama, Gerakan kebangkitan Islam muncul dari dan sebagai respon terhadap kondisi lokal yang khas. Kedua, Gerakan-Gerakan kebangkitan Islam muncul dari hubungan yang berubah antara dunia Islam dengan dinamika sejarah modern. Ketiga, kebangkitan Islam erat kaitannya dengan perubahan dari pramodern ke modern. Lihat John O. Voll, Islam; Continuity and Change in the Modern World, (Colorado & England: Westview Press, Inc., 1982), h. 2-4.
[40] Lihat “Revival and Renewal,” dalam ed. John L. Esposito, The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, vol. 3, (New York & Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 432.  
[41] Ibid. Gerakan pembaruan di Maroko, misalnya, di antaranya pernah dilontarkan oleh seorang pemikir, Muhammad al-Saffar. Lihat Ibrahim M. Abu Rabi`, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World, (New York: State University of New York, 1996), hal. 7. Adapun untuk konteks pembaruan di Mesir, Esposito mencatat beberapa nama penggeraknya di antaranya Khedive Ismail, Khedive Tawfiq, dan Urabi Pasha, Menteri Peperangan Mesir. Lihat Esposito, Islam and Politics, h. 45-46.
[42] Kelompok ini diidentifikasi oleh Leonard Blinder sebagai gerakan fundamentalisme Islam modern yang mempunyai tipologi skripturalistik. Lihat Leonard Blinder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1988), h. 170.
[43] Lihat John O. Voll, “Islamic Renewal and the Failure of the West,” dalam eds. Richard T. Anton & Mary Elaine Hegland, Religious Resurgence; Contemporary Cases in Islam, Christianity, and Judaism (Syracuse New York: Syracuse University Press, 1987), h. 127-128.
[44] Perlu ditegaskan bahwa karakteristik-karakteristik tersebut bukan dalam kerangka jami’ (including) dan mani’ (excluding), melainkan bersifat kumulatif-progresif. Artinya, semakin banyak karakteristik yang melekat pada figur sebuah gerakan, maka semakin tinggi status gerakan itu untuk disebut sebagai gerakan pembaruan.
[45] Fazlur Rahman, “Revival and Reform in Islam,” dalam eds. PM. Holt, et.al., The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), h. 637.
[46] Al-Mawdudi, A Short History, h. 34.
[47] Paradigma keilmuan menurut Thomas S. Kuhn berproses sebagaimana berikut: pra ilmu (pre paradigm), ilmu (normal science/paradigm), anomali, krisis paradigma, dan revolusi sains. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1970), h. 1-175. Konsep paradigma Kuhn ini dielaborasi lebih lanjut oleh  George Ritzer dalam bukunya, Sociology; A Multiple Paradigm Science, (Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1980), h. 31-32.
[48] Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, terj. Clare Krojzl (Boulder-San Fransisco & Oxford: Westview Press, 1991), h. 21.
[49] Esposito, Islam and Politics, h. 36.
[50] Lihat “Revival and Renewal,” dalam Esposito, the Oxford, 432; John O. Voll, “Renewal and Reform,” h. 37.
[51] Lihat “Revival and Renewal,” dalam Esposito, The Oxford, 431; Rahman, “Revival and Reform,” h. 638.
[52] Tibi, Islam and the Cultural, h. 20.
[53] Menurut Jainuri, tajdid mempunyai misi ganda. Pertama, mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman awal Islam (purification). Kedua, mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan, terutama dalam persoalan-persoalan sosial kemanusian (modernism/renewal). Lihat Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 41.
[54] Lihat, Malik & Ibrahim, Zaman Baru, h. 178.
[55] Mengenai perfect model  ajaran Islam ini, sebagian komunitas Muslim meyakini bahwa nabi telah membentuk komunitas yang merupakan sebuah model masyarakat seperti yang dikehendaki oleh wahyu (revelation). Karena itu, mereka berupaya membentuk masyarakat persis seperti zaman Nabi; padahal renewer itu tidak harus meng-create kembali kondisi-kondisi abad I Islam, melainkan  proses renewal itu diinspirasi oleh contoh pengalaman masa lalu. Lihat John. O. Voll, “Renewal and Reform,” h. 34.
[56] Untuk memahami persoalan seputar wacana Islam sebagai sebuah ajaran (moral) dengan pemahaman umatnya sendiri terhadap Islam secara teknis-operasional patut dibaca tulisan Masdar F. Mas’udi, terutama bab “Bagaimana Memahami Islam?”. Hal ini dikarenakan Masdar F. Mas’udi mampu menampilkan persoalan tersebut dalam kemasan dialogis sehingga mudah dicerna esensinya. Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 25-40.
[57] Maksudnya, menafsirkan kembali teks-teks suci dengan melihat realitas sosial yang terjadi di lapangan. Lihat Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam ed. Iqbal Abdurrauf Saimima, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 1-11.
[58] Maksudnya, upaya melakukan pemahaman terhadap nas}s} dikaitkan dengan masalah-masalah domestik. Lihat Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” dalam ed. M. Dawam Rahardjo, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h. 86.
[59] Al-Qur’an, 17: 82.
[60] Robert D. Lee, Overcoming Tradition and Modernity; The Search for Islamic Authenticity (Oxford: Westview Press, 1997), h. 16 dan 26.

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...