Wednesday, May 18, 2016

AL-SUNAH SEBAGAI DASAR OPERASIONAL ISLAM*


A.     PENGERTIAN AL-SUNAH

Untuk menyebut apa yang berasal dari nabi Muhammad, setidaknya ada dua istilah populer di kalangan masyarakat Islam yakni al-sunah dan al-hadith. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang definitif, sehingga masih perlu dipertegas lagi menjadi hadith  nabi dan sunah nabi atau rasul. Di luar dua istilah itu masih terdapat istilah lain yakni khabar dan atsar. Hanya saja dua istilah terakhir ini nampaknya kurang berkembang.
Ditinjau dari sudut kebahasaan, kata al-sunah dan al-hadith memiliki arti yang berbeda. Al-hadith secara bahasa berarti al-jadid (baru), antonim dari kata  al-qadim (lama).[1] Sedangkan kata al-sunnah berarti al-thariqah (jalan), baik yang terpuji atau pun yang tercela.[2] Pemaknaan al-sunah seperti ini didasarkan kepada sabda nabi berikut:
من سنّ سنّة حسنة فله ا جرها واجر من عمل بها إ لى يو م القيا مة, و منسنّ سنّة سيّئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إ لى يوم القيا مة
Artinya: “Barangsiapa mengadakan atau membuat sunah (jalan) yang terpuji (baik) maka baginya pahala sunah itu dan pahala orang lain yang mengamalkannya hingga hari kiamat. Dan barangsiapa menciptakan sunah yang buruk maka baginya dosa atas sunah yang buruk itu dan menanggung dosa orang yang mengikutinya hingga hari kiamat” (Muttafaq ‘alaih).
Selanjutnya secara terminologis pada ulama juga berbeda pendapat dalam memberikan batasan atau pengertian sunah dan hadith.  Sebagian ulama’ mengidentikkan antara hadith  dengan sunah, sedangkan sebagian lainnya membedakan keduanya. Para ahli hadith  atau muhaddisun pada umumnya mengidentikkan pengertian hadith dan sunah. Mereka mendefinisikan sunah dengan rumusan berikut ini:[3]
كلّ ما أ ثر عن ا لرسو ل ص. م. من قول او فعل ا و تقرير او صفة خلقيّة او خلقيّة. او سيرة سواء  ا كا ن ذلك قبل ا لبعثة او بعدها
“Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat moral (khuluqiyah), sifat khalqiyah (jasmani) ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudah diangkat menjadi rasul”
Merujuk kepada definisi tersebut tampak bahwa sunah atau hadith mempunyai pengertian yang sangat kompleks yakni mencakup segala riwayat yang berasal dari Rasulullah berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan tingkah laku beliau, baik pada masa sebelum diangkatnya beliau sebagai rasul maupun sesudahnya (qabla nubuwwat maupun ba’da mubuwwat).
Berkaitan dengan hal di atas Muhamad ‘Ajjaj al-Khatib menambahkan keterangan bahwa bila disebutkan hadis, terutama yang mereka (muhadditsun) adalah riwayat-riwayat dari rasul dan setelah beliau diangkat menjadi rasul (ba’da nubuwwaat).[4] Dengan demikian pengertian hadith  lebih sempit ketimbang pengertian sunah yang cakupannya meliputi segala apa yang diriwayatkan dari nabi, baik sebelum bi’tsah maupun sesudahnya.
Menurut ushuliyyun (ulama ushul), hadith  dan sunah merupakan dua istilah yang berlainan pengertiannya. Bagi ahli ushul pengertian sunah adalah:[5]
كلّ ما صدر عن النبىّ ص.م. غير القران من قول او فعل او تقرير ممّا يصلح ان يكون دليلا  لحكم شرعىّ.
“Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum syara’”
Pengertian sunah menurut rumusan dafinisi itu adalah mencakup semua riwayat yang bersumber dari rasulullah selain al-Qur’an, yang wujudnya berupa perkataan, perbuatan dan taqrir beliau yang dapat dijadikan dalil hukum syar’i. Dengan demikian pengertian sunah yang dirumuskan ulama’ ushul cakupannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang disampaikan oleh ulama’ hadis sebagaimana telah diuraikan di atas. Sebab ulama’ ushul hanya merujukkan pengertian sunah pada riwayat-riwayat dari rasul yang berisi hukum syar’i. Ini berarti bahwa riwayat-riwayat dari rasul yang tidak berkaitan dengan hukum syar’i, misalnya riwayat yang menjelaskan masalah akidah tidak termasuk ke dalam kategori pengertian sunah. Sedangkan hadith  oleh ulama’ ushul hanya dipergunakan untuk pengertian yang lebih sempit yakni hanya merujuk sunah  qauliyah, tidak kepada lainnya. Jadi pengertian hadith  di sini memiliki cakupan lebih sempit dibandingkan dengan sunah.
Berbeda dengan ulama’ hadith dan ulama’ ushul, fuqaha’ mempergunakan istilah sunah untuk menunjukkkan salah satu bentuk atau sifat dari hukum Islam, yakni suatu perbuatan yang hukumnya boleh ditinggalkan namun lebih utama dilaksanakan. Bagi  mereka, sunah adalah “semua perbuatan yang ditetapkan rasul namun hukum pelaksanaannya tidak sampai ke tingkat wajib atau fardu”.[6]
Adanya beragam definisi hadith  dan sunah tersebut merupakan bukti nyata adanya pandangan berbeda anatara ahli hadis, ushul dan fuqaha’. Perbedaan itu sebenarnya dapat dipahami karena masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dalam memandang figur nabi Muhamad. Dalam hal ini ulama’ hadith  lebih memandang nabi sebagai manusia paripurna, baik perkataan maupun perbuatan serta taqrir beserta sifat-sifatnya, yang dapat diacu sebagai uswah hasanah (Qs. al-Ahzab: 21), sehingga mereka berusaha merekam dan memotret figur beliau secara lengkap dan utuh. Sedangkan ulama’ ushul lebih memandang figur nabi Muhamad sebagai musyarri’ (Qs. al-Hasyr: 7) yakni pembuat undang-undang di samping Tuhan, sehingga pengertian sunah bagi mereka hanya dibatasi pada perkataan dan perbuatan serta ketetapan nabi setelah beliau diutus menjadi rasul yang berkaitan dengan hukum. Meski demikian dengan pembatasan ini mereka tidak menolak apa yang disebut sunah atau hadith  oleh ulama hadith, hanya saja yang tidak berkaitan dengan hukum tidak termasuk objek kajin mereka.
Adapun ulama fikih yang mengkaji masalah bentuk atau sifat hukum mengenai perbuatan-perbuatan dari manusia, mereka menggunakan istilah sunah untuk maksud menyatakan salah satu dari sifat hukum. Menurut mereka sunah adalah jennis perbuatan yang dianjurkan untuk mengerjakannya, namun tidak termasuk ke dalam kategori yang fardu atau wajib. Atau menurut versi lain, sunah adalah suatu perbuatan bila dikerjakan dapat pahala dan ditinggal tidak disiksa.

B.     KEDUDUKAN SUNAH DAN HADITH DALAM ISLAM
Umat Islam sepakat bahwa sunah merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an, meski di kalangan imam madzhab ada perbedaan dalam penentuan syarat penerimaannya. Doktrin Islam yang belum dijelaskan rincian hukumnya, tidak dijelaskan operasionalnya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dengan sunah atau hadith. Seandainya usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan belum adanya pada masa nabi, sehingga memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kevakuman hukum dan kebekuan beramal, maka baru boleh dicarikan solusinya lewat ijtihad, baik fardi maupun jama’i, sepanjang tidak kontras dengan ruh doktrin Islam. Tahapan penetapan hukum semacam ini sejalan dengan realitas historis yang menerangkan bahwa nabi menyetujui langkah Mu’ad bin Jabal, sahabat yang diangkat menjadi gubernur Yaman, yang dalam memutuskan persoalan mula-mula merujuk al-Qur’an, disusul hadith  dan akhirnya ijtihad.
Berkaitan dengan penempatan sunah sebagai sumber kedua ajaran Islam, di bawah al-Qur’an, al-Syatibi memberikan argumen sebagai berikut:[7]
1.       Al-Qur’an bersifat qath’i al-wurud, sedangkan sunah zhanni al-wurud—selain hadith  mutawatir. Keyakinan kita terhadap hadith  hanya secara global, bukan rinci, sedangkan al-Qur’an, baik secara global maupun detail, diterima secara meyakinkan.
2.       Sunah atau hadith  ada kalanya menerangkan sesuatu yang masih global dalam al-Qur’an, kadangkala memberi komentar terahadap al-Qur’an, dan kadangkala membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan oleh al-Qur’an. Kalau sunah berfungsi sebagai penjelas atau pemberi komentar terhadap al-Qur’an, maka sudah tentu ia memiliki status di bawah al-Qur’an.
3.       Di dalam hadith  sendiri terdapat penegasan bahwa hadith  atau sunah menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an. Di antaranya adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang memuat dialog nabi dengan Mu’adz saat diangkat sebagai gubernur Yaman.
Identik dengan argumen al-Syatibi pertama di atas, Mahmud Abi Rayyah mengatakan bahwa posisi sunah atau hadith  itu di bawah al-Qur’an disebabkan oleh perbedaan tingkat periwayatannya. Al-Qur’an sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikit pun, dan karenanya al-Qur’an dikatakan bersifat qath’i al-wurud, baik secara global maupun terinci. Sedangkan hadith  sampai kepada umat Islam tidak semuanya dengan jalan mutawatir, bahkan sebagian besar diterima secara ahad. Dengan demikian hadith  bersifat zhanni al-wurud, kecuali hadith  mutawatir yang jumlahnya relatif sangat sedikit.[8]
Kedudukan sunah sebagai sumber kedua dari ajaran Islam sebenarnya secara eksplisit telah tercantum dalam sabda nabi berikut ini:
من يطع الرسو ل فقد أ طا ع الله ومن تو لّى فما أرسلنا ك عليهم حفيظا
Artinya: “Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (Qs. an-Nisa’: 80)
يا ايها الذبن امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم, فإن تنازعتم فى شيئ فردّوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر. ذ لك خير و أحسن تأويلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Qs. an-Nisa’: 59).
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah taat kepada Allah dan rasul berarti perintah taat kepada al-Qur’an dan sunah,[9] yang keduanya senantiasa berada dalam saling keterkaitan. Maksudnya, seseorang tidak mungkin dinyatakan taat kepada Allah kalau tidak mentaati rasul-Nya, dan demikian pula sebaliknya  seseorang tidak mungkin disebut telah taat kepada rasul kalau tidak mentaati Allah. Di antara cara mentaati rasul adalah dengan menerima dan melaksanakan apa-apa yang disampaikan olehnya dan meninggalkan apa-apa yang dilarangnya (Qs. al-Hasyr: 7).
Sehubungan dengan hal tersebut ada teori klasifikasi hadith  dari Abdul Mun’im al-Namr. Bagi al-Namr, hadith  atau sunah dapat dikategorikan atas sunah tasyri’iyah dan sunah ghair tasyri’iyah.[10] Jika yang pertama menuntut adanya kewajiban diikuti, maka tidak demikian halnya sunah kategori ghair tasyri’iyah. Kategorisasi ini didasarkan kepada prinsip pemisahan antara aspek kemanusiaan (basyariyah) nabi Muhammad dengan kerasulannya. Lebih jauh an-Namr menyebutkan bahwa sunah tasyri’iyah meliputi pada:
1.       Hadith-hadith  yang timbul dari nabi sebagi al-tabligh dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul.
2.       Hadith  yang timbul dari nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin kaum muslimin seperti mengutus tentara, mengelola harta negara, mengangkat hakim dan semisalnya.
3.       Hadith  yang timbul dari nabi dalam kedudukannya sebagai hakim, yakni ketika beliau menghukum dan menyelesaikan persengketaan di kalangan umat.
Sedangkan hadith  atau sunah kategori ghair tasyri’iyah menurut al-Namr meliputi:
1.       Hadith  yang berkenaan dengan tabiat atau kebutuhan manusiawi seperti bediri, duduk, berjalan, makan, minum, tidur dan sebagainya.
2.       Hadith  yang berkenaan dengan pergaulan, kebiasaan individu dan masyarakat, seperti mode pakaian, pengobatan, perdagangan, pertanian dan beberapa kemahiran dan pengalaman lainnya dalam masalah keduniaan.
3.       Hadith  yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat dalam aspek-aspek tertentu, seperti penyebaran pasukan perang ke pos-pos tertentu, mengatur barisan dan sebagainya.
Menyangkut hadis kategori pertama—sunah tasyri’iyah, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, sebagai dikatakan oleh Wahab Khalaf, mempunyai kekuatan hujjah tasyri’ yang wajib diikuti oleh seluruh umat Islam. Sedangkan segala yang berasal dari Muhamad dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, maka ia bukan merupakan tasyri’ yang wajib diikuti kecuali memang ada dalil yang menunjukkan atau menegaskan bahwa maksud perbuatan itu adalah untuk diikuti oleh umat Islam, sehingga statusnya berubah menjadi sunah tasyri’iyah.[11] Dalam kaitan ini Abu Zahrah menambahkan satu bentuk perbuatan yang memang khusus untuk nabi dan karenanya tidak dimaksudkan sebagai tasyri’ yang wajib diikuti oleh umat Islam, yakni perbuatan rasul beristri lebih dari empat orang.[12]

C.     FUNGSI SUNAH DALAM AL-QUR’AN
Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, sunah memiliki perang signifikan untuk menjelaskan al-Qur’an. Dengan kata lain, kehadiran Muhamad dengan sunahnya berperan untuk menjelaskan makna atau maksud firman Tuhan (al-Qur’an) yang sebagian besar masih bersifat global maknanya. Dalam hal ini Allah sendiri menegaskan:
وأ نزلنا إ ليك الذكر لتبيّن للنّا س ما نزّ ل ا ليهم و لعلّهم يتفكّرو ن
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya” (Qs. an-Nahl: 44).
Ayat tersebut menggambarkan bahwa fungsi utama sunah adalah sebagai al-bayan atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Hal demikian lebih dikarenakan kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia disampaikan dalam uslub yang mujmal,[13] sehingga manusia tidak mungkin bisa memahami dan menggali petunjuk darinya kalau hanya mengandalkan al-Qur’an semata. Itulah sebabnya Allah memberikan otoritas nabi Muhammad untuk menjelaskan maksud yang terkandung dalam al-Qur’an lewat sunahnya.
Adapun fungsi sunah terhadap al-Qur’an selengkapnya telah disampaikan oleh Muhamad Abu Zahu berikut ini:[14]
1.       Menegaskan kembali hukum-hukum yang sudah ditetapkan al-Qur’an. Di sini hadis seakan-akan hanya mengulangi ketetapan al-Qur’an, sehingga hukum itu memiliki dua sumber rujukan dan atasnya terdapat dua dalil yakni al-Qur’an dan hadith. Sebagai misal dalam hal ini adalah:
يا أ يّها الذين ا منوا لا تأ كلوا أ موا لكم بينكم با لبا طل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta di antara kamu sekalian dengan cara batil” (Qs. an-Nisa”: 29).
Terhadap ayat tersebut, Rasulullah kemudian mengatakan:
لا يحلّ ما ل امرئ إلاّ بطيب من نفسه
Artinya: “Tidak halal harta seorang muslim kecuali (hasil pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri”.
Hadith-hadith  mengenai perintah mendirikan salat, puasa, zakat, haji, amar ma’ruf nahi munkar, serta hadith–hadith  yang berisi larangan minum khamr, berjudi, menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dan sebagainya, juga merupakan contoh dari fungsi hadith  sebagai penegas al-Qur’an.
2.       Memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam al-Qur’an atau memberikan rincian terhadap apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara garis besar. Dalam hal ini ada berbagai ragam bentuk penjelasan yang diberikan oleh hadis:
a.        Bayan tafshil, yakni sunah menjelaskan atau memerinci kemujmalan al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an terdapat perintah melaksanakan salat, zakat, haji, jihad dan sebagainya, namun tidak diikuti penjelasan tentang teknik operasionalnya, dan di sinilah peran sunah yakni memberikan penjelasan rinci tentang teknik operasional dari perintah al-Qur’an yang masih mujmal itu. Sebagai contoh adalah perintah salat dalam Qs. al-Baqarah ayat 110 tanpa disertai aturan teknik operasionalnya, dan kemudian rasul mempraktekkan cara salat dan kemudian bersabda:
صلّوا كما رأ يتمو نى أ صلّى
Artinya: “Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat”.
b.       Taqyid al-muthlaq, yakni membatasi ayat-ayat al-Qur’an yang disebutkan secara mutlak. Misalnya, dalam al-Qur’an secara umum dinyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Firman Allah:
للرجال نصيب ممّا ترك الوا لدا ن والأ قربو ن وللنّسا ء نصيب ممّا
ترك الوالدان والأقربون ممّا قاّ منه او كثر, نصيبا مفرو ضا
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (Qs. an-Nisa”: 7).
Ayat tersebut menggunakan ungkapan mutlak, kemudian nabi memberi qayyid bahwa hak warisan itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian dari orang tuanya, sebagaimana sabda beliau:
لا يرث القا تل من المقتو ل شيئا
Artinya: “Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun”. (HR. an-Nasa’i)
Sebagai contoh lain adalah firman Allah dalam Qs. al-Ma’idah: 38 perihal hukum potong tangan bagi seorang pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Ayat tersebut tidak memberikan batasan bagian tangan yang mana yang mesti dipotong. Kemudian nabi memberi batasan bahwa yang dipotong adalah tangan kanan sampai kepada bagian pergelangan.[15]
c.        Takhshish ‘am, yakni mentakhsiskan lafadz-lafadz yang masih bersifat umum. Contoh dalam hal ini adalah:
أ حلّ لكم ما ورا ء ذ لكم أن تبتغوا بأموا لكم محسنين غير مسا فحين
Artinya: “……dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk mengawini, bukan untuk berzina” (Qs. an-Nisa’: 24).
Ayat di atas menjelaskan perihal siapa yang haram dinikahi (Qs.4: 23), kemudian dalam ayat tersebut juga Allah menghalalkan selain yang tersebut (diharamkan) dalam ayat 23. Tetapi kehalalan itu kemudian ditakhsis oleh nabi, dimana beliau mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah,[16] dengan sabdanya berikut ini:
لا يجمع بين المرأ ة وعمّتها ولا بين المرأة و خا لتها
Artinya: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita ‘ammah (saudari bapak)-nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)-nya” (HR. Bukhari-Muslim).
3.       Menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an secara tegas. Dalam hal ini seolah-olah nabi menetapkan hukum sendiri. Namun hakikatnya bila diperhatikan secara seksama, apa yang ditetapkan oleh nabi itu adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh Allah di dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang isebutkan oleh Allah secara terbatas. Sebagai contoh adalah, dalam Qs. al-Ma’idah: 3 Allah mengharamkan  makan bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah. Kemudian nabi menyatakan haramnya binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencekam. Secara lahiriah larangan nabi ini dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan olehnya. Namun sebenarnya larangan itu hanya merupakan “perluasan” dari larangan Allah memakan sesuatu yang kotor dalam Qs. al-A’raf ayat 33. Dalam hal ini ternyata tidak semua ulama setuju dengan fungsi sunah seperti ini; kelompok yang setuju mendasarkan kepada ‘ishmah nabi, khususnya dalam bidang syari’at, apalagi banyak ayat yang menunjukkan adanya otoritas kemandirian nabi untuk ditaati. Sedangkan kelompok yang menolak berpendapat bahwa sumber hukum Islam itu hanya Allah (la hukm illa Allah), sehingga rasul pun harus merujuk kepada kitab-Nya ketika hendak menetapkah hukum. Kalau itu yang menjadi masalah, Quraish Shihab[17] telah memberikan solusi bahwa bila fungsi sunah terhadap al-Qur’an didefinisikan sebagai bayan murad Allah (memberi penjelasan maksud Allah) sehingga apa ia sebagai penjelas, penguat, pemerinci, pembatas maupun penembah ketentuan hukum, maka semuanya tetap bersumber dari Allah. Dengan demikian ketika rasul melarang seorang suami memadu istrinya dengan ‘ammah atau khilah, yang zhahirnya berlainan dengan Qs. an-Nisa’ ayat 24 maka pada hakikatnya penambahan itu merupakan penjelasan saja dari apa yang dimaksud oleh Allah di dalam firman-Nya itu.
4.       Menasakh hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an. Fungsi ini adalah bagi mereka yang berpandangan hadith  dapat menasakh al-Qur’an, meski pendapat semacam ini tampak berlebihan. Dalam hal ini mereka memberikan contoh hadith  la wahiyyah li warits” (tak ada wasiat bagi ahli waris) adalah menasakh hukum bolehnya berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat sebagaimana firman Allah berikut ini:
كتب عليكم إ ذا حضر أ حدكم ا لموت إن ترك خيرا ا لو صيّة للوا لدين
والأ قربين با لمعروف
Artinya: “Diwajibkan atas kamu bila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia menginggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf” (Qs. al-Baqarah: 180).
Secara umum para ulama menerima prinsip nasakh sebagai sarana mempertemukan ayat-ayat al-Qur’an yang tampak bertentangan satu dengan lainnya—terlepas dari adanya perbedaan apakah suatu ayat tertentu telah atau belum dihapus oleh ayat lain. Masalah lain yang cukup krusial dan menimbulkan perbedaan pendapat adalah apakah sunah dapat menasakh al-Qur’an? Selanjutnya, mereka yang membolehkan pun kemudian berbeda pendapat, apakah secara faktual terdapat hadis yang menasakh ayat al-Qur’an atau tidak.
Ada silang pendapat di kalangan ulama’ menyangkut fungsi hadis sebagai penasakh ayat al-Qur’an. asy-Syafi’i, Ahmad dan ahl zhahir secara praktis menolak fungsi hadis menjadi penasakh ayat, meski secara teoritis mereka setuju adanya hadis yang menasakh ayat al-Qur’an. Sebaliknya imam Malik, Hanafi dan mayoritas teologi islam—baik dari kalangan Mu’tazilah maupun Asy’ariyah—berpandangan adanya kemungkinan nasakh semacam itu.[18] Meski mereka berbeda pendapat  namun secara umum semua telah sepakat bahwa yang dapat menasakh adalah al-Qur’an, di mana ia bersifat mutawatir. Pertanyaan selanjutnya adalah apa secara faktual ada hadis mutawatir yang telah menasakh al-Qur’an? M. Quraish Shihab, dengan merujuk al-Zarqani, mengemukakan adanya empat hadith  ahad, namun dinyatakan oleh ulama’ bahwa hadith  itu menasakh al-Qur’an. Apakah hal ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang menasakh al-Qur’an? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, setelah diteliti ternyata yang menunjukkan nasakh bukan hadith  itu sendiri, melainkan ayat al-Qur’an sendiri yang ditunjuk hadis tersebut. Sampai di sini persoalan hadith  menasakh ayat al-Qur’an menjadi makin rumit karena antara reori dengan fakta historis berlainan.
Tentang contoh di atas pun masih diperdebatkan oleh ulama’, apa benar hadith  (ahad) itu telah menasakh al-Qur’an Qs. al-Baqarah: 180 (yang nilainya mutawatir)? Setelah melakukan penelitian ternyata—sebagai dikatakan Quraish Shihab—keseluruhan teks ayat tersebut adalah “sesungguhnya Allah telah memberikan…..dst” merujuk kepada ayat waris, bukan wasiat. Atas dasar ini maka—lanjut Shihab[19]—sebenarnya hadith  itu menyatakan bahwa yang menasakh adalah ayat waris tersebut, bukan hadith  yang bernilai ahad tadi.
  

*Ditulis dan dikutip dari berbagai sumber


Catatan Akhir:


[1]  Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 32.
[2]  Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa al-‘Alam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 121.
[3]  Lihat, misalnya: ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 19.
[4] Ibid., h. 27.
[5]  Ibid., h. 19.
[6]  Ibid., h. 19.
[7] Mahmud Abu Rayyah, Adlwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957), h. 39-40.
[8] Ibid., h. 54.
[9] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, 1990), h. 21.
[10] Abdul Mun’im an-Namr, as-Sunnah wa at-Tasyri’ (Kairo: Dar al-Kitab al-Misra, t.th.), h. 69-90
[11] Bustami M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: PSIA, 1992), h. 249.
[12] Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 114
[13] Badran Abi al-‘Ainain Badran, Bayan an-Nushush at-Tasyri’iyah (Iskandariah: at-Tab’ah wa an-Nasyr wa Tanzi’, 1982), h. 5.
[14] Lihat, M. Abu Zahu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Maktabah al-Misra, t.th.), h. 37.
[15] Muhamad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabl at-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 25.
[16] Abu Zahrah, op. cit., h. 113.
[17] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 123.
[18] Ibid., h. 148.
[19] Ibid., h. 148-149.

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...