Makalah
Disampaikan
pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember
Oleh:
Akhsin Ridho,
M.Pd.I
NIP.
19830321 201503 1 002
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
JEMBER
2017
KATA
PENGANTAR
Alhamdulilllah,
puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-NYA penulisan makalah ini yang
dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat
dan para pengikutnya. Sebagai wujud syukur penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari peserta
diskusi periodik dosen IAIN Jember sehingga dapat melengkapi data makalah yang
dapat dikatakan kurang dari sempurna ini.
Makalah yang berjudul Gravitasi
Pendidikan Tinjauan Umum Dinamika Pendidikan Islam diharapkan mampu
memberikan kontribusi informasi baru serta menjadi kajian yang berkelanjutan
demi perbaikan pendidikan Islam di masa yang akan datang, oleh karena itu
penulis sangat berterimakasih pada semua
civitas akademika IAIN Jember khususnya Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Jember yang
telah memberikan kesempatan atas waktu dan tenaganya untuk hadir serta
memberikan kesempatan pada penulis dalam diskusi periodik sehingga makalah ini
dapat tersampaikan.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi kami semua dan tercatat sebagai amal baik disisi Allah
SWT. Amin.
GRAVITASI
PENDIDIKAN
TINJAUAN UMUM
DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pendahuluan
Validitas dunia pendidikan sekarang sedang menjadi tandatanya besar, karena pendidikan yang diimplementasikan sekarang belum
memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan mutu karakter bagi lulusannya, terlebih muncul
berbagai kritik tajam
yang ditujukan kepadanya, sehingga muncul
berbagai spekulasi penyelesaian yang justru tidak mampu menyelesaikan akar
persoalannya. Hal ini dilihat dengan semakin banyaknya prilaku lulusan pendidikan -oknum- yang
mencoreng dunia pendidikan,
rentetan kritik tersebut tak akan pernah berhenti mengusik dunia pendidikan, termasuk pendidikan
Islam di Indonesia.
Turun naiknya prestasi, kebijakan, dan
tata kelolah pendidikan baik dari berbagai sisi yang dilihat dalam penelitian
pustaka ini merupakan istilah sederhana yang di ambil sebagai istilah gravitasi.
Penggunaan istilah tersebut hanya digunakan sebagai penyederhanaan istilah
untuk tujuan supaya mudah diingat dan praktis dalam mendefisikan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gravitasi terhadap pendidikan Islam di Indonesia seperti cultural
lag.[1]
Penetrasi teknologi informasi menyebabkan perubahan sosial yang cukup cepat
bahkan tidak terkendali, sedangkan laju pendidikan melaju dengan kecepatan yang
super lambat dengan seabreg kurikulum yanag tidak pernah jelas -selalu berubah-
baik kebijakan dan kontennya.
Pertama dalam sejarah,
dunia sekolah diisi empat generasi sekaligus. Generasi kertas-pensil, generasi
komputer, generasi internet dan generasi smartphone hal itu
menyebabkan kesenjangan antar generasi.[2]
Problem
dunia pendidikan seperti fasilitas teknologi lembaga pendididkan yang dimiliki belum merata, jaringan internet yang jauh dari kata
merata, belum lagi persoalan listrik.
Misalnya sebuah lembaga baru memiliki mesin ketik kini sudah muncul komputer dan LCD, kemudian muncul internet dan smartphone hal itu menyebabkan perbedaan kemampuan antar generasi yang jelas
menjadi celah ketersinggungan.
Dampak peralihan peran tersebut menjadikan peran guru senior dan junior sebagai agen perubahan
mempunyai karakteristik kemampuan yang sangat berbeda, penyebabnya
adalah tidak adanya kesinambungan ilmu pengetahuan yang diperoleh –cara dan
metodenya- sehingga menyebabkan problem tersendiri antara guru senior dan guru
junior. Penyebabnya adalah diambilalihnya ketersediaan informasi –ilmu- yang tanpa batas oleh internet atau smartphone.
Media dan metode pembelajaranpun semakin komplek seperti penggunaan teleconference dalam kegiatan
pembelajaran tatap muka semakin
mereduksi fungsi ruang kelas dan jam pelajaran, karena belajar dapat dilakukan
dimana saja dan kapan saja sesuai gurunya, hal ini pula bias menyebabkan celah konflik baru
terhadap perkembangan dunia pendidikan. Banyak contoh cultural lag antara kebudayaan material (teknologi)
dengan kebudayaan non-material (ilmu -pendidikan). Contoh cultural lag antar-kebudayaan non-material menjadi kritik yang sangat menohok dunia pendidikan seperti korupsi,
LGBT,
fenomena jihad, kejahatan anak dan lain sebagainya.
Faktor keduanya adalah, peringkat pendidikan yang terus menurun. Pandangan second class masyarakat
terhadap institusi pendidikan Islam menjadikan pendidikan Islam mempunyai tantangan
tersendirta internasional, hal itu bisa kita
rilis laporan terbaru Webometrics pada periode juli 2016.[3]
Melihat
data Webometrics diatas tampak pendidikan Islam belum mempunyai tempat istimewa
dihati masyarakat
dibandingkan pendidikan umum. Artinya mahasiswa yang tertarik pada
pendidikan Islam hanya mereka yang tidak diterima pada pendidikan umum.[4]
Ketua
umum SPAN-UM PTKIN merilis
beberapa prodi keagaamaan di PTKIN tidak punya banyak pendaftar. Seperti prodi perbandingan Mazhab, Zakat dan Wakaf, perbandingan
agama, ushuluddin, filsafat, tafsir, serta hadis masih menduduki posisi terendah dibandingkan
dengan prodi umum yang tersedia di PTKIN. “ Biasanya, prodi ini hanya dijadikan
pilihan kedua atau cadangan dari prodi lain.[5]
Faktor ketiga adalah fragmentasi. Pendidikan
dalam amanat undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengamanatkan dengan jelas akan
kewajiban negara sebagai penyelenggara penididikan, namun pada prakteknya masih
ada sekat-sekat dalam pendidikan. Pendidikan yang dikelolah Negara
dengan pendidikan yang dikelolah swasta terlihat sangat berbeda perlakuanya begitu juga antara pendidikan yang
dikelolah kementerian pendidikan dengan yang dikelolah kementrian agama.
Dikotomi pendidikan
antara pendidikan umum dan pendidikan Islam masih terjadi
seperti dalam konteks
disiplin ilmu. Fragmentasi dikotomi
antara disiplin ilmu Islam dengan disiplin
ilmu umum masih sering terjadi. Berbagai
upaya sudah dijalankan untuk mewujudkan integrasi
antar-disiplin ilmu, namun sekat dikotomi masih belum benar-benar
hilang. Konteks
politik pendidikan, kebijakan politik juga masih kentara seperti perbedaan kebijakan pendidikan antara Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan dengan Kementrian Agama, kebijakan Direktorat Pendidikan Tinggi dengan
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam kerap memicu polemik
di dunia pendidikan, misalnya menyangkut gaji atau sertifikasi pendidik, pelaksanaan ujian nasional, lomba-lomba skala nasional dan lain
sebagainya.
Konteks pemangku atau pelaksana pendidikan. Persoalan split
personality
(kepribadian terbelah) merupakan masalah laten dalam dunia
pendidikan, tidak ada keseimbangan antara head (ilmu),
heart (akhlak), dan hand (skill) menjadikan pelaku pendidikan kurang
profesional dalam melaksanakannya baik secara teknis maupun manajerial. Lulusan sekolah yang beragam dan
kompleks ada yang berilmu luas dan berakhlak luhur, tapi tidak memiliki kemampuan atau skill yang
memadai, akibatnya terjadi banyak pengangguran kerja. Demikian juga lulusan yang berilmu luas dan memiliki
skill, namun akhlaknya
tercela, dampaknya adalah membuat resah masyarakat. Dan lulusan yang berakhlak luhur dan
memiliki skill, namun ilmunya terbatas pada tataran trdisional
tidak memiliki kemampuan dalam bidang teknologi, mengakibatkan stagnasi dalam perkembangan pelaksana
pendidikan.
Dinamika tersebut
mengindikasikan adanya persoalan
yang serius sedang
dihadapi pendidikan khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Artikel ini bermaksud menelaah permasalahan
pendidikan Islam secara sistematis dalam dinamika
pendidikan Islam tinjauan aspek metodologis, akademik dan
kualitas
Dinamika
pendidikan Islam mempunyai
hikmah-hikmah tersendiri
dalam merealisir kemaslahatan umat manusia
baik dengan cara mendatangkan manfaat maupun menampik mafsadat.[6] Disinilah fungsi
pendidikan Islam diharapkan untuk mampu memberikan solusi nyata bagi pendidikan
di Indonesia.
Pentingnya
menerapkan tujuan utama dalam pendidikaan Islam sebagai visi dalam ruh
pendidikan setidaknya mempunyai beberapa alasan dilihat dari sudut pandang esoteris
(hikmah,
batin) sharî‘ah Islam, diharapkan
mampu memberikan nuansa familier dan dinamis
ketika bersinggungan dengan unsur-unsur yang secara eksoteris (legal formal, lahiriah). Artinya
pendidikan harus bersifat fleksibel-dinamis, karena dapat menampung berbagai
perkembangan terkini, asalkan mampu mengantarkan pada kemaslahatan alam semesta
yang menjadi tujuan Islam rahmat li al-‘âlamîn maka hal itu patut untuk
diperjuangkan. Seperti
contoh teori Multiple Intelligences dalam sudut pandang Islam tidak
tertulis, tapi tersirat sebagai tujuan penting
pendidikan dari sisi hifz al-‘aql atau
memaksimalkan fungsi akal untuk tujuan memelihara dan mengembangkan fungsi akal
atau intelektual peserta didik.
Totalitas
kebutuhan hidup manusia merupakan alasan berikutya untuk menentukan tujuan
pendidikan biasanya ini menjadi urgent
untuk dijadikan sebagai acuan tujuan pendidikan. Seperti tujuan pendidikan
nasional yang termaktub dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 “…mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Beriman,
bertakwa dan berakhlak mulia masuk dalam fungsi hifz al-dîn, sehat dan bertanggung-jawab masuk dalam rana hifz al-nafs,
berilmu, cakap dan kreatif tercover
dalam hifz al-‘aql, menjadi warga negara yang demokratis tujuan
dalam hifz al-nasl dan mandiri tercakup dalam hifz al-mâl.
Tujuan berikutnya adalah merepresentasikan
dimensi Ilahi yang bersifat absolut-permanen (al-thaawâbit), sekaligus
dimensi Insani yang bersifat relatif-temporer (al-mutaghayyirât).
Pendidika Islam hadir dalam setiap elemen pendidikan, tapi manifestasinya diharapkan
selalu dinamis, sesuai konteks ruang dan waktu. Pendidikan Islam
bertanggung-jawab mengeiplementasikan kompetensi hifz al-mâl supaya
lulusan pendidikan Islam tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, bukan menjadi
beban bagi orang lain. Penerapan program pendidikannya bersifat dinamis sebagai
bentuk lain dalam apikasi keterampilan vokasional meliputi teknologi informasi
dan komunikasi yang dibutuhkan oleh masyarakat kontemporer.
Penelitian ini bersifat deskriftif analisis dengan
menggunakan kajian pustaka sebagai basis utama sumber datanya dan menggunakan
metode kualitatif sebagai media analisisnya dimana banyak data yang
diargumentasikan berdasarkan analisis kepustakaan dan sebagai pembandingnya
menggunakan pendapat para ahli yang diambil dari data pustaka.
B.
Pembahasan
Dinamika
pro dan kontra terhadap pendidikan Islam dalam tinjauan aspek metodologis terbagi dalam dua sudut pandang
yaitu insider dan outsider. Peran insider dan outsider,
terbagi dalam empat peran yaitu: complete participant, participant-as-observer,
observer as participant; dan complete observer. Konsep ini
pertama kali diknalkan oleh Junker dan Gold pada tahun 1950-an.
Pandangan Junker dan Gold memberikan
gambaran bahwa sudut pandang yang berbeda akan memberikan gambaran yang
berbeda, sebagai contoh pengamat penuh (complete
observer) adalah hasil laporan webometrics yang mengamati pendidikan Islam
dari luar
(outside); contoh pengamat sebagai pelaku (observer as participant)
adalah Rhenald Kasali, seorang pakar sekaligus praktisi pendidikan nasional;
contoh pelaku sebagai pengamat (participant as observer) adalah Fazlur
Rahman dan Muhammad Abduh; sedangkan contoh pelaku penuh (complete
participant) adalah Munif Chatib dan K.H. Muhammad Tholhah Hasan, dan lain sebagainya.
Tinjauan ini memungkinkan
keberagaman pendapat karena menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga
sangat dimungkinkan untuk hasil yang berbeda. Disinilah kita sebagai pelaku
pendidik mempunyai peran ganda dalam memberikan gambaran akan kelebihan dan
kekurangan dari setiap sudut pandang tersebut sehingga mampu memberikan
kejelasan kepada masyarakat akibat dari beragam sudut pandang tersebut.
Diharapkan dari pelurusan aspek metodologis tersebut masyarakat mampu melihat
secara objektif serta tidak membingungkan masyarakat pada umumnya.
Fazlur
Rahman, berpendapat di antara dinamika
dalam pendidikan Islam adalah aspek ideologis. Banyak yang memisahkan hubungan
pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya dampaknya adalah masyarakat
Muslim tidak termotivasi untuk belajar. Masyarakat belum menyadari bahwa ummat
Islam mempunyai kewajiban untuk menuntut ilmu pengetahuan akan tetapi itu hanya
diterjemahkan sebagai kewajiban terhadap ilmu agama. [7]
Merujuk pada Muhammad al-Ghazâlî, diantara penyebab tersebut adalah umat Muslim terlalu fokus kepada
bacaan al-Qur’ân, ilmu tajwîd dan hafalan teks al-Qur’ân semata dan belum
mengaplikasikan apa yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Mereka tidak
begitu mementingkan aspek dialogisnya, sehingga mengakibatkan ketertinggalan
umat Muslim dari bangsa lain. Dengan kata lain, ketertinggalan umat Muslim
dikarenakan tidak memahami al-Qur’ân.[8]
Persoalan
ideologis di atas dapat diselesaikan dengan langkah-langkah seperti:
Pertama, umat Muslim dituntut memiliki ilmu pengetahuan agama yang benar.
Pengetahuan adalah tahap paling rendah dalam perspektif kognitif. Umat Muslim
perlu membaca, mendengar dan memahami al Qur’an melalui ahlinya sehingga dapat memperoleh pengetahuan agama yang benar dan
kuat validitasnya.
Kedua, meningkatkan pengetahuan
menjadi pemahaman yang kuat. Untuk memahaminya, dibutuhkan
keseriusan dalam mengoptimalisasi daya pikir. Hal ini memerlukan proses
psikologis yang kompleks, yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan
spiritual. Ketiga, menerima hasil pemahaman agama itu dengan hati yang khusyu dan
yakin.
Artinya, setelah dipahami, agama diterima sebagai suatu kebenaran. Agama diterima karena
ia benar baik secara
akal ataupun tidak bertentangan dengan akal, bukan karena
dipaksakan.
Keempat, melakukan aktivitas amaliyah, pengabdian total pada kebenaran agama
tersebut. Jika agama hanya diterima, tetapi tidak diamalkan dan mengabdikan diri
padanya, sama halnya dengan menerima surat perintah dari orang terhormat,
tetapi perintahnya diabaikan. Kelima, melakukan jihad, dengan
menerapkan antara
ilmu dengan amal dalam kehidupan sehari-hari. Ukuran
kualitas keberagamaan seseorang adalah tingkat kesungguhan (jihad)-nya dalam
menegakkan agama. Jihad di sini menyangkut fisik dan mental spiritual. Melalui tahap ini, konsistensi dan kepatuhan keberagamaan
seseorang mampu menemukan bentuknya (aplikasi) dalam segala aktivitas hidup
manusia.[9]
Kontekstualisasi dalam proses pendidikan memerlukan beberapa tahapan proses yaitu: ilmu,
akhlak, iman, amal, dan jihad. Penerapan proses pendidikan model ini
berpotensi membuat peserta didik menerima ajaran Islam secara proporsional dan lebih
rasional, bukan sekadar dogma atau doktrin sehingga ajaran Islam lebih
dijiwai oleh peserta didik karena didasarkan pilihan rasional, bukan paksaan
eksternal.
Satu sisi pelaku atau pemangku pendidikan
Islam dalam
kesehariannya masih melihat kelemahan fisik atau
psikis dinilai sebagai penghalang proses pembelajaran. Thomas Amstrong: Sparking Creativity
in Your Child (1993), meneliti bahwa banyak tokoh
genius memiliki kelemahan fisik atau psikis yang cukup parah. Lingkungan yang
tidak melihat kelemahan itu sebagai problem untuk terus belajar dan meraih sukses,
mampu
mendorong proses belajar bagi si calon tokoh untuk menemukan kondisi akhir
terbaiknya. Hasilnya, tokoh-tokoh tersebut berhasil mengembangkan kecerdasan
mereka dan membawa manfaat untuk banyak orang. Contoh diantara orang-orang yang terkenal dan lahir
dari keterbatasan tetapi hidup pada guru yang tepat mampu menjadi insane yang luar
biasa.
Pada akhirnya tidak ada ciptaan Tuhan yang terlahir
dengan sia-sia atau main-main tetapi mereka mempunyai tujuan khusus kenapa
diciptakan termasuk kita, dengan kata lain apabila kita mampu melihat kondisi
lingkungan seseorang kemudian mampu memaksimalkan dengan kondusinya dan selaras dengan kecerdasan yang
dimilikinya, orang tersebut akan dengan cepat menemukan kondisi akhir
terbaiknya.[10]
Problem
lainnya adalah minimnya variasi strategi pembelajaran yang dapat memfasilitasi
modalitas belajar peserta didik. Modalitas belajar adalah cara informasi masuk
ke dalam otak melalui indra. Pada saat informasi akan ditangkap oleh indra,
maka bagaimana proses informasi itu disampaikan, berpengaruh pada kecepatan
otak menangkap dan menyimpan informasi dalam memori. Ada tiga modalitas
belajar: Yaitu: Visual. Modalitas ini mengakses citra
visual, warna, gambar, catatan, tabel, diagram, grafik, peta pikiran, dan
hal-hal yang terkait. Auditorial. Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi,
suara, musik, nada, irama, cerita, dialog, dan hal-hal yang terkait.
Kinestetik. Modalitas ini mengakses segala jenis gerak, aktivitas tubuh, emosi,
koordinasi, dan hal-hal yang terkait.
Venon
Magnesen dari Texas University, meneliti kemampuan otak manusia lebih
cepat menangkap informasi dari modalitas visual yang bergerak. Berikut adalah
detail laporan penelitiannya: [11]
Faktanya,
kerapkali strategi pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam masih
berkutat pada empat aktivitas yang pertama saja, yaitu: membaca, mendengar,
melihat, dan mengucapkan. Sedangkan aktivitas kelima dan keenam jarang sekali
diimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Sebagai
alternatif solusinya, penulis mengajukan usulan agar proses pembelajaran menggunakan
tiga pendekatan belajar dengan memadukannya antara teacher-centris, individual-student
centris dan collaborative-student centris. Pendidikan Islam, mendudukkan
seorang guru memiliki posisi yang terhormat dan peran yang signifikan. Oleh
sebab itu, metode pembelajaran yang bersifat teacher-centris harus tetap
diprioritaskan. Metode pembelajaran yang bersifat student-centris perlu
dipilah menjadi individual-student centris dan collaborative-student
centris.
Posisi
pelajar sebagai makhluk individu perlu ditempatkan pada metode pembelajaran
berbasis individual-student centris, sedangkan posisi pelajar sebagai
makhluk sosial ditempatkan pada metode pembelajaran berbasis collaborative-student
centris. Sebagai contoh aplikatif, penulis menyajikan langkah-langkah
praktis penerapan metode STAD (Student Teams Achievement Division) yang
mengakomodir ketiga pendekatan belajar di atas, berdasarkan pengalaman aktual
penulis ketika mengampu mata kuliah pengembangan materi SKI.
Pertama, pendidik membagi peserta didik menjadi beberapa
kelompok sesuai dengan sub topik materi bahasan. Disarankan agar nama kelompok
mengacu pada subtopik tersebut. Misalnya kelompok Kulafaurrosyidin, Kelompok
Sahabat, dan kelompok Tabiin.
Kedua, pendidik menyajikan berbagai jenis kompetisi yang
harus diikuti oleh seluruh kelompok misal jenis kompetisinya adalah a) Cerdas
Cermat: Pendidik menunjuk delegasi dari masing-masing kelompok untuk mengikuti
cerdas cermat terkait materi bahasan. Juara kompetisi ini didasarkan pada
perolehan poin selama mengikuti cerdas cermat; b) Game Puzzle: Pendidik
menunjuk dua delegasi atau lebih dari masing-masing kelompok untuk mengikuti
game puzzle terkait materi bahasan. Game puzzle ini memanfaatkan
kartu pembelajaran.
Tugas
masing-masing delegasi tim adalah mencocokkan pasangan antar-kartu
pembelajaran. Misalnya: kartu berwarna kuning memuat contoh sejarah Nabi
Muhammad SAW, sedangkan kartu berwarna hijau memuat sejarah sahabat Nabi
Muhammad SAW. Kemudian para peserta berkompetisi untuk menyusun contoh kasus
sejarah sesuai dengan sejarah tersebut dalam waktu yang ditentukan terlebih
dahulu, misalnya lima menit. Juara ditentukan dari total poin kartu
pembelajaran yang disusun dengan benar. Jika poinnya sama, maka ditentukan
berdasarkan durasi waktu penyelesaian; c) Peer Teaching: Pendidik
menunjuk satu delegasi dari masing-masing kelompok untuk tampil sebagai “guru”
dalam aplikasi metode peer teaching.
Juara
kompetisi ini didasarkan pada penilaian subjektif pendidik yang didasarkan pada
performa peserta didik yang berperan sebagai “guru” dan respons para peserta
didik yang berperan sebagai “murid”; d) Sorogan atau talqîn (Individual
Learning): Pendidik menunjuk satu delegasi terbaik dari masing-masing
kelompok untuk berperan sebagai “penguji” bagi anggota kelompok yang lain.
Kemudian
dia melaporkan “hasil ujiannya” tersebut kepada pendidik. Hanya saja, sebelum
delegasi tersebut menguji anggota kelompok lain, terlebih dahulu dia harus
diuji oleh anggota kelompok lain tersebut. Selanjutnya pendidik menentukan
pemenang kompetisi ini berdasarkan rata-rata poin yang diperoleh seluruh anggota
tim; e) Ujian Tim: pendidik menunjuk satu delegasi dari masing-masing kelompok
sebagai “pengawas ujian” yang bertugas mengawasi ujian atau evaluasi terkait
materi pembelajaran.
Delegasi
tersebut diberi tugas mengawasi pengerjaan ujian yang dilakukan oleh anggota
kelompok lain. Apabila ada salah satu anggota kelompok lain yang bersikap tidak
jujur atau tidak sportif, misalnya mencontek, maka dia diminta untuk mem-black
list seluruh anggota tim lainnya. Metode ini dimaksudkan sebagai evaluasi
pembelajaran. Lebih dari itu, metode ini juga berfungsi untuk melatih
kepercayaan diri dan kejujuran masing-masing anggota tim.
Apabila
kompetisi dilakukan secara bergelombang dalam beberapa sesi -misalnya karena
banyaknya jumlah kelompok-, maka pemenang lomba pada masing-masing sesi berhak
masuk final. Adapun format final boleh menggunakan pilihan kompetisi yang sama
maupun yang berbeda dengan sesi sebelumnya. Selain itu, pendidik dituntut aktif
mengembang-kan aneka jenis kompetisi yang dapat menggugah semangat siswa untuk
belajar dan memenangkan kompetisi.
Ketiga, pendidik menentukan juara umum berdasarkan total
gelar juara yang diperoleh masing-masing tim. Sebaran gelar juara dibuat
beragam berdasarkan keunggulan masing-masing, kemudian juara umum ditentukan
berdasarkan total poin yang diperoleh masing-masing tim. Keempat, pendidik menutup metode STAD
dengan memberikan pandangan ahli sekaligus menyimpulkan materi perkuliahan.
Pada
contoh aplikasi metode STAD di atas, tampak jelas adanya kombinasi tiga
pendekatan belajar secara proporsional. Model pembelajaran seperti inilah yang
berpotensi mengakhiri kesan statis dan membosankan dalam proses pembelajaran,
diganti dengan kesan aktif dan kreatif sehingga proses pembelajaran berjalan menarik dan menyenangkan.
Dualisme
sistem pendidikan. Sistem pendidikan salaf yang dilaksanakan di Madrasah, dianggap
begitu tertinggal sehingga sekarang hasilnya betul-betul mengecewakan.
Produknya tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan
zaman. Parahnya lagi, sistem pendidikan modern yang dilaksanakan di
universitas sama sekali tidak menyentuh
ideologi, nilai-nilai social, nilai-nilai agama serta budaya Islam. Akibatnya mahasiswa
tidak terinspirasi sama sekali dengan cita-cita yang mulia seperti apa yang
telah dicontohkan dalam agamanya.
Hasil
tragis lainya adalah standar pendidikan Islam turun drastis, keluar dari rel
menjadi pengikut pendidikan sekuler, bahkan dasar minimal dari rasa jujur dan
tanggung jawab tidak muncul dikarenakan sudah sangat liberal dalam pembentukan
pola berfikir mahasiswanya. Jadi, kedua sistem pendidikan (Islam-tradisional
dan Barat-sekuler) ini tersakiti oleh bentuk fragmentasi yang paling buruk
yaitu hilangnya ruh nilai-nilai agama dalam proses pendidikan.
Dampak
nyata dari akibat pendidikan yang tidak lagi menerapkan nilai-nilai agama
adalah pencarian pengetahuan umat secara umum menjadi sia-sia, pasif dan tidak
kreatif. Meskipun umat Muslim berada pada abad pendidikan modern, namun cara
belajar mereka belum mampu menambah orisinalitas dan investasi pengetahuan
kemanusiaan, terutama pada ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial; bahkan kualitas
sarjana Muslim benar-benar rendah.[12]
Muhammad
‘Abduh mengingatkan bahwa di antara faktor yang membawa kemunduran dunia Islam
adalah adanya pandangan dikotomis umat Muslim, yaitu mempertentangkan antara
ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai lembaga pendidikan Islam di dunia pada
umumnya hanya mementingkan ilmu agama dan kurang mementingkan ilmu umum. Corak
pendidikan yang demikian itu banyak berdampak negatif dalam dunia pendidikan,
karena produknya adalah lulusan yang ahli agama, namun tidak memiliki visi dan
wawasan ilmu umum.[13]
Dinamika pendidikan Islam dalam rana dikotomis
tersebut diperparah dengan kelemahan proses pembelajaran. Menurut Fazlur Rahman,
kelemahan pokok yang dirasakan dalam proses pembelajaran di lingkungan
masyarakat Muslim pada abad pertengahan dan masa pramodern, adalah konsepsi
tentang pengetahuan.
Bertolak-belakang
dengan sikap dan cara berpikir keilmuan modern yang memandang bahwa pengetahuan
adalah sesuatu yang pada dasarnya harus dicari dan ditemukan atau dibangun
secara sistematis oleh akal pikiran manusia sendiri, sehingga manusia perlu
mengandalkan peran akal pikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Sebaliknya,
sikap keilmuan mayoritas umat Muslim justru menekankan keyakinan bahwa
pengetahuan adalah sesuatu anugrah yang “diperoleh secara dogma”. Dengan
demikian, sikap dan posisi akal pikiran lebih bersifat pasif dan reseptif,
alih-alih bersikap kreatif dan positif.[14]
Contoh
lainnya adalah plagiarisme di dunia pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan
Islam. Plagiarisme menimbulkan keprihatinan yang besar di dunia pendidikan.
Masalahnya, itu justru dilakukan para pendidik, mahasiswa dan civitas akademik
lainnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, ternyata plagiarisme tidak hanya mengutip
tanpa menyebutkan sumber aslinya, melainkan pemalsuan 99% dengan hanya
mengganti judul dan nama penulis dari karya orang lain.
Karya
ilmiah adalah cermin keilmuan seseorang, lebih baik mengawali karier dengan
karya orisinil yang buruk daripada plagiarisme yang sempurna. Setiap pendidik
harus percaya diri dengan kemampuannya dan tidak boleh malas berpikir. Menulis
menurut Thomas Szaz membutuhkan proses yang panjang bukan instan tapi lebih
dari sekadar pengetahuan, yaitu keterampilan dan mencintai profesi.
Plagiarisme
mungkin hanya dianggap masalah kecil, tetapi bagi ilmu pengetahuan merupakan
masalah yang sangat serius, karena bisa membuat malas anak bangsa. Plagiarisme
membuat generasi suatu bangsa malas berpikir, tidak menciptakan pembaruan,
tidak menghargai orisinalitas dan kreativitas, hingga akhirnya melumpuhkan daya
saing bangsa itu sendiri.[15]
Ternyata
pintar atau cerdas saja belum cukup membuat seseorang mampu melahirkan
karya-karya ilmiah. Karya ilmiah adalah gabungan dari pengetahuan, pengalaman,
observasi-interaksi, dan keterampilan merajut pemikiran dalam bentuk tulisan.
Menulis membutuhkan latihan. Latihan-latihan itulah yang menurut para ahli
memori akan mempertebal lapisan-lapisan myelin
yang membungkus sel-sel saraf di sekujur tubuh manusia, membentuk muscle
memory. Memori itu akan menggerakkan tangan manusia secara otomatis
sehingga melancarkan apa yang diproses oleh brain memory.
Temuan-temuan
terbaru juga menemukan hubungan yang erat antara latihan dan pembentukan intangibles
(hal-hal yang tidak dapat diraba) yang melekat pada manusia dan menjadi
akar keberhasilan universitas-universitas terkenal yang melahirkan riset-riset
unggulan yang orisinil.[16]
Jika
dilacak secara filosofis, ada pengaruh budaya pragmatis dalam proses
pembelajaran pendidikan Islam saat ini. Proses pembelajaran hanya ditekankan
pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki ilmu pengetahuan, sehingga
menghasilkan rasionalitas teknokratik atau instrumental yang lebih menekankan
pada konformitas (adaptasi) dan uniformitas.
Bentuk
rasional ini berkontribusi dalam mendegradasi kesadasaran historis-kritis
peserta didik dengan cara menggeser ide tentang pengembangan diri mereka yang
bersifat moral dan etis, dengan hanya menekankan pada pengembangan diri yang
bersifat teknis-material.
Rasionalitas
teknokratik hanya menekankan pada kepentingan-kepentingan pragmatis (what is),
tapi tidak memberi perhatian pada kepentingan-kepentingan yang bersifat
idealis-utopis (what should dan can be). Akibatnya, nilai-nilai
korporasi yang lebih pragmatis-teknis dikedepankan, sementara nilai-nilai
moral-etis terpinggirkan. Akibat lainnya adalah menghilangkan proses edukatif
yang penting, seperti menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity), bertanya,
berdialog dan berdiskusi. Model pedagogis seperti ini sulit melahirkan critical
subjectivity, subjek yang bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan,
subjek yang bisa membedakan antara fakta sesungguhnya dan fakta yang didapatkan dari media, subjek yang mampu memahami struktur terdalam dari realitas.
Sebaliknya,
akan melahirkan passive subjectivity, subjek yang banyak adaptif dan
konformatif dengan realitas kehidupan. Sedangkan jika budaya idealisme yang
mendominasi pendidikan, maka penekanan utama dalam pedagogis adalah bagaimana
memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat
untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya. Jadi, proses pedagogis lebih
diarahkan untuk mengembangkan kesadaran kritis peserta didik, yaitu kemampuan
berpikir kritis yang di dalamnya terkandung dimensi politik dan kultural. Dalam
perspektif pendidikan kritis, ukuran keberhasilan lebih ditekankan pada
sejauhmana peserta didik mampu menjadi warga negara yang kritis, aktif, dan
bertanggung-jawab.[17]
Untuk
merealisir proses pendidikan yang ideal seperti itu, maka dibutuhkan pendidik
yang inspiratif, atau seorang great teacher, jika mengacu pada
klasifikasi Munif Chatib yang membagi jenjang kompetensi pendidik menjadi lima:
probation period, pendidik masa percobaan. Medium teacher,
pendidik yang punya moto just tell. Good teacher, pendidik yang
punya moto explain. Excellent teacher, pendidik yang punya moto demonstrate.
Great teacher, pendidik yang punya moto inspire.[18]
Pentingnya
guru inspiratif juga dikumandangkan oleh Rhenald Kasali yang membagi pendidik
menjadi dua jenis, yaitu pendidik kurikulum dan pendidik inspiratif. Pendidik
kurikulum adalah pendidik yang amat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa
bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan
sesuatu yang standar (habitual thinking). Jumlahnya mencapai 99%.
Sedangkan pendidik inspiratif hanya mencapai 1%.
Pendidik
inspiratif bukan pendidik yang mengejar kurikulum, melainkan mengajak
murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking) dan melihat sesuatu
dari luar (thinking out of the box), mengubahnya di dalam, lalu membawa
kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika pendidik kurikulum melahirkan
manajer-manajer andal, maka pendidik inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru
yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Dunia
memerlukan keduanya, namun sistem sekolah di Indonesia hanya memberi tempat
bagi pendidik kurikulum. Contoh: Kriteria dosen teladan hanya dibatasi pada
dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal yang
ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar
absensi. Padahal yang demikian itu adalah pendidik kurikulum yang hanya
membentuk kompetensi beberapa mahasiswa. Sedangkan pendidik inspiratif
membentuk bukan hanya sekelompok mahasiswa, melainkan ribuan orang.[19]
Alternatif
solusi dinamika pendidikan
Islam dari sudut
pandang akademik adalah memperbaiki kualitas tenaga didik terlebih dahulu.
Intinya,
peningkatan kompetensi profesional melalui kesadaran atas kewajiban asasi
pendidik (bagi dosen adalah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan
dan pengajaran, penelitian dan penulisan karya ilmiah; pengabdian masyarakat).
Peningkatan kompetensi pedagogik melalui
kesadaran atas hak asasi peserta didik memenuhi lima kebutuhan utama manusia
yaitu kebutuhan spiritual, jasmani-rohani, intelektual, sosial dan vokasional.
Peningkatan
kompetensi kepribadian melalui kesadaran atas kekurangan diri sendiri yaitu
memperbaiki empat komponen utama yang disorot oleh al-Ghazâlî: Ihyâ’ ‘Ulûm
al-Dîn, yaitu ibadah, adat kebiasaan, akhlak tercela dan akhlak terpuji.
Pendidik dituntut untuk terus-menerus memperbaiki kekurangan diri pada empat
komponen tersebut, sehingga layak menjadi teladan (uswah) bagi peserta
didik); peningkatan kompetensi sosial melalui kesadaran atas kelebihan orang
lain (melalui K4P, yaitu Komunikasi, Kolaborasi, Kompetisi, Kontribusi dan
Prestasi).[20]
Rhenald
Kasali berpendapat sekolah atau perguruan tinggi telah berubah menjadi lembaga
pendidikan yang meresahkan anak didik. Pendidik menuntut bekerja tertib,
berkompetisi dan prestasi akademis. Para peserta didik pun bersaing mengejar
ranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa dan
penghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh, meski di masyarakat
terbukti sukses. Pendidik yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalah
pemburu. Pemburu menatap tajam anak didiknya yang tak masuk ranking, menghukum
dan kadang menyiksa.
Matthew
McKay dan Patrick Fanning (1991) menyebutkan banyak sekali peserta didik yang
memiliki keunikan, akhirnya menjadi narapidana keyakinan (prisoners of
belief) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit untuk mengendalikan
diri.
Untuk
membongkar narapidana keyakinan yang mengikat anak didik dapat dilkukan dengan
peningkatan rasa percaya diri, rasa nyaman kontrol diri, cinta, pemberian
kewenangan atau otonomi, perhatian keluarga, rasa adil, perbaikan kinerja,
perubahan system dan kepercayaan (trust). Elemen-elemen ini dapat dibagi
lagi menjadi tiga: rasa percaya diri, hubungan personal dan pengendalian hidup.
Elemen tersebut dapat mempengaruhi tingkat kecemasan, pengambilan keputusan,
asumsi terhadap orang lain, ketenangan atau kecemasan, dan keberhasilan hidup.[21]
Lingkungan pendidikan juga berpengaruh terhadap
munculnya berbagai jenis kenakalan peserta didik. Potensi
pengaruh lingkungan negatif lebih besar seiring perkembangan zaman. Oleh sebab
itu, alternatif solusi atas problematika ini adalah dibutuhkan kerjasama yang
solid antara orangtua dan pendidik.
Untuk itu, patut kiranya untuk meniru
paradigma pendidik dan orangtua di Finlandia yang hubungannya bagaikan sahabat
sejati: penghormatan terhadap pendidik dan sekolah. Orangtua sangat menghormati
pendidik dan sekolah. Mereka menganggap bahwa pendidik adalah orangtua kedua
dan sekolah adalah rumah kedua. Sekolah bukan tempat yang menyeramkan, penyebab
tekanan batin dan ketegangan.
Mengajar adalah pekerjaan rumit. Orangtua memahami bahwa
mengajar adalah pekerjaan yang kompleks dan penuh dinamika, sehingga perlu
didukung dari semua aspek. Ketika pendidik mengalami kesulitan mengajar kepada
siswa, maka orangtua mereka akan membantu semaksimal mungkin.
Pendidik adalah pahlawan. Orangtua
menganggap bahwa pendidik adalah pahlawan kesuksesan anak mereka. Banyak
peserta didik yang menghias dan memajang foto pendidik di kamarnya, bahkan
dengan diberi tambahan kalimat, you are my inspiration.
Mementingkan proses. Orangtua cenderung tidak terlalu peduli
terhadap hasil belajar anak, mereka lebih peduli terhadap proses belajar anak.
Setiap usaha anak selalu mendapatkan apresiasi dari orangtua, apapun hasilnya.
Kritik santun dan
bekerjasama. Orangtua menyampaikan kritik kepada sekolah dengan cara santun,
sebab mereka memahami bahwa mengajar bukanlah pekerjaan yang ringan. Orangtua
pun selalu bekerjasama dengan pendidik dan sekolah demi keberhasilan anak
didik. Keenam, kognitif bukan utama. Justru kemampuan emosional dan problem
solving yang diutamakan, karena dibutuhkan dalam sekolah dan bekerja.
Rapor dan ijazah dalam dunia kerja
hanya dipakai sebagai formalitas, sumber daya manusia dihargai kompetensi
psikomotorik dan afektifnya, sedangkan kemampuan kognitif diserahkan kepada
sebuah alat hitung dan analisis yang bernama komputer.[22]
Paradigma
yang berlaku di Finlandia tersebut diperkokoh oleh pandangan Kasali yang
menegaskan bahwa pendidikan itu melewati tiga jalur: sekolah, keluarga dan
lingkungan. Jadi, sekolah (lembaga pendidikan formal) hanya mengisi sepertiga
dari seluruh kurikulum kehidupan. Oleh sebab itu, anak yang di lembaga formal
biasa-biasa saja, bisa menjadi ilmuwan gigih atau wirausahawan hebat, kerena
didukung oleh keluarga dan lingkungan. Sementara anak yang di sekolah diberi
predikat genius, hanya bisa memajang ijazah, menjadi penumpang dalam
kehidupan.[23]
Saat
ini ada anggapan kuat bahwa sekolah itu identik dengan mencari kerja.
Pertimbangan utama orangtua menyekolahkan anaknya adalah agar kelak mendapatkan
pekerjaan yang memadai, sesuai dengan investasi yang telah ditanamkan di
sekolah. Opini publik yang demikian kuat ini akibat dominannya budaya
pragmatisme di masyarakat dan pendidikan. Pragmatisme yang berasal dari habitus
ekonomi telah merambah ke dunia pendidikan. Ketika ideologi pasar yang bertumpu
pada nilai-nilai pragmatis-materialistik mendominasi dunia pendidikan, maka
pendidikan akan mengedepankan nilai-nilai korporasi yang menekankan penguasaan
teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja, dengan mengorbankan
nilai-nilai etis-humanistik.
Peserta
didik akan diorientasi-kan untuk beradaptasi engan dunia masyarakat industri.
Paling tidak ada dua dampak pragmatisme terhadap dunia pendidikan yaitu
ideologi kompetisi dijadikan sebagai dasar dan praksis pendidikan; sehingga
pendidikan melahirkan pemenang (kaya atau pintar) dan pecundang (miskin atau
bodoh). Selanjutnya orientasi
pendidikan yang pragmatis, dalam pengertian fakultas-fakultas yang dibuka
seluas-luasnya adalah fakultas yang praktis-pragmatis yang cepat mendapatkan pekerjaan.
Sementara fakultas-fakultas yang berbau pemikiran dan filsafat menjadi kurang
laku.[24]
Gejala
arus pragmatisme pendidikan semakin menguat, ditandai dengan semakin dominannya
corporate values dalam pendidikan. Bahkan di beberapa institusi
pendidikan, nilai korporasi telah menjadi core values mengalahkan academic
values yang seharusnya selalu menjadi basis institusi pendidikan.
Tidak
aneh
jika sejumlah institusi pendidikan berbondong-bondong mengajukan sertifikat
ISO. Civitas akademia pun lebih fasih berbicara tentang efisiensi, efektivitas,
profit, produk, TQM, pasar kerja, dan lainnya yang berasal dari domain ekonomi.
Jika kecenderungan ini terus berlangsung, maka pendidikan diragukan memiliki
peran yang signifikan dalam membentuk kehidupan publik, politik dan kultural.
Sebaliknya, pendidikan dibentuk oleh dunia pasar sehingga pembelajaran
ditekankan pada bagaimana adaptasi dengan dunia industri dan ilmu yang
diajarkan bersifat teknis-praktis.[25]
Mengacu
daftar yang dilansir www.mbctimes.com tentang 20 negara yang memiliki sistem
pendidikan terbaik pada tahun 2015/2016 adalah: 1) Korea Selatan; 2) Jepang; 3)
Singapura; 4) Hong Kong; 5) Finlandia; 6) Inggris Raya (UK); 7) Kanada; 8)
Belanda; 9) Irlandia; 10) Polandia; 11) Denmark; 12) Jerman; 13) Rusia; 14)
Amerika Serikat; 15) Australia; 16) Selandia Baru; 17) Israel; 18) Belgia; 19)
Republik Ceko; 20) Swiss. Demikian halnya dengan daftar perguruan tinggi
(universitas) terbaik edisi tahun 2015/2016 yang dilansir www.webometrics.info
bahwa mayoritas masih didominasi oleh negara-negara Barat, terutama Amerika
Serikat (Harvard University (1), Stanford University (2), Massachusetts
Institute of Technology (3), Inggris (University of Oxford (13), University of
Cambridge (14) dan Kanada (University of Toronto (16).[26]
Sungguh miris jika menengok laporan ini,
karena tidak ada satu pun negara mayoritas Muslim yang masuk di dalamnya. Data
ini menunjukkan sistem pendidikan Islam dipandang sebelah mata oleh sistem
pendidikan Barat.
Berdasarkan
hasil penelusuran Munif Chatib terhadap sekolah-sekolah di Indonesia, ada empat
kategori sekolah. (1). Sekolah yang tidak mati dan tidak hidup. Cirinya
antara lain: a) Tidak mendapatkan kepercayaan masyarakat di sekitarnya; b)
Jumlah siswa sedikit; c) Kualitas guru yang masih rendah; d) Manajemen sekolah
yang amburadul. (2). Sekolah tumbuh. Cirinya antara lain: a) Kepercayaan
masyarakat sangat besar; b) Jumlah siswa yang mendaftar lebih banyak
dibandingkan dengan kapasitas sekolah; c) Masih berada pada jenjang tertentu,
misalnya: baru ada jenjang SD, belum punya jenjang SMP; d) Membutuhkan
perekrutan guru baru setiap tahun; e) Manajemen sekolah yang sedang mencari
bentuk. (3). Sekolah yang punya manajemen internasional. Cirinya antara
lain: a) Kepercayaan masyarakat sangat besar; b) Jumlah siswa yang mendaftar
lebih banyak dibandingkan dengan kapasitas sekolah; c) Fokus pada peningkatan
kualitas guru dengan pelatihan dan pengembangan guru yang terstruktur; d)
Manajemen sekolah yang sudah stabil. (4). Sekolah yang baru akan
dibangun. Cirinya antara lain penyelenggara sekolah, baru memiliki niat
membangun sekolah, semisal dimulai dari pembangunan fisik sekolah dan
perekrutan guru.[27]
Sebagai alternatif solusi atas problematika pendidikan
Islam di atas, penulis mengacu pada pengalaman K.H. Tholhah Hasan yang selama
berpuluh-puluh tahun telah mengembangkan berbagai lembaga pendidikan Islam
dengan beragam prestasi prestisius. Menurut beliau, lembaga pendidikan Islam harus
dibangun di atas tiga fondasi utama: ke-Islam-an, kecedekiaan dan
ke-Indonesia-an.
Lembaga pendidikan Islam seharusnya dibangun di atas tiga
fondasi utama, sebagaimana yang disarankan oleh, yaitu ke-Islam-an, kecedekiaan
dan ke-Indonesia-an.[28]Basis
ke-Islam-an mengacu pada nilai-nilai Islami yang bersifat abadi yang relevan
dengan setiap dimensi ruang dan waktu misalnya: siddîq, amânah, tablîgh,
dan fatânah. Oleh
sebab itu, tirakat atau riyâdah mendapatkan porsi yang menentukan
dalam pendidikan Islam. Misalnya, pendidik maupun peserta didik sama-sama gemar
berpuasa sunnah senin-kamis. Basis kecendekiaan mengacu pada budaya cendekia
yang dibangun di atas tiga elemen utama: budaya membaca, meneliti (riset) dan
menulis.
Perpaduan
ketiga budaya ini akan menghasilkan berbagai jenis kreativitas, inovasi, dan
keterampilan. Oleh sebab itu, proses pembelajaran harus didesain untuk
memfasilitasi ketiga budaya tersebut. Misalnya, aplikasi metode Problem
Based Learning (PBL). Basis
ke-Indonesia-an ditujukan pada nilai-nilai nasionalisme yang berupa budaya
bangsa maupun komitmen nasional. Dengan basis ini, civitas akademika pendidikan
Islam dididik agar negara tidak sampai menjadi korban cinta agama. Di sinilah
terhimpun makna hubb al-watan min al-îmân, cinta tanah air adalah
sebagian dari iman.
Ketiga basis tersebut
ibarat akar pohon yang kemudian menumbuhkan batang yang memiliki empat ciri
khas yaitu: dinamis, relevan, professional dan Kompetitif. Dinamis berarti
lembaga pendidikan Islam harus selalu bergerak maju, berani melakukan perubahan
dan inovasi. Berbekal ciri khas ini, lembaga pendidikan Islam akan selalu up
to date (aktual), bukan malah out of date (kedaluwarsa).
Perubahan dan inovasi yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan Islam harus sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan
(relevansi) masyarakat. Lembaga pendidikan Islam dituntut mampu merealisir
tujuan ideal pendidikan yang bernuansa akademik (academic values) dan
tujuan aktual pendidikan yang bernuansa vokasional (corporate values).
Profesionalisme
merupakan jawaban dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam. Artinya,
lembaga pendidikan Islam dikelola dengan prinsip keahlian dan keilmuan. Dampaknya
adalah siap bersaing secara sehat dengan lembaga pendidikan lain dalam rangka
menguji kualitas diri bukan hanya sebagai jago kandang bukan sebagai pengekor.
C.
Penutup
Pendidikan Islam selalu
menghadapi dinamika yang beragam. Dalam tataran aktual hal itu mempunyai potensi tantangan dalam setiap elemennya. Dinamika
pendidikan Islam yang mendera pada seluruh aspek seperti mutu akademik, keterbatasan teknologi informasi, dan
rendahnya daya saing lulusan memberikan gambaran bahwa bukan lagi saatnya kita
berdiam diri dalam zona nyaman tetapi harus mampu memberikan jawaban konkrit
terhadap dinamika tersebut.
Mengetahui
dinamika yang terjadi di dunia pendidikan Islam sekaligus alternatif solusinya,
maka seyogianya ummat Muslim selalu mempertimbangkan perspektif insider dan outsider sehingga tidak serta merta
membenarkan informasi yang diterima tetapi kita harus mempunyai peran sebagai
pengamat penuh (complete observer), pengamat sekaligus sebagai pelaku (observer
as participant), pelaku tapi sebatas sebagai pengamat (participant as
observer), atau pelaku penuh (complete participant) untuk meluruskan
informasi yang sebenarnya.
Dinamika pendidikan Islam yang telah dikategorisisasi dan dipetakan untuk mempermudah pemecahan
masalah sehingga solusi
masalah yang didasarkan
pada sudut pandang insider dan
outsider dapat menjadi energi baru dalam menata peningkatan mutu pendidikan
Islam, sehingga sifatnya
tuntas-komprehensif, serta mampu menunjukkan inklusivitas pendidikan
Islam.
*Ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
Sumber Rujukan:
Arif, Mukhrizal dkk. Pendidikan
Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014.
Auda, Jasser. al-Maqasid untuk Pemula, terj. Ali
‘Abdelmon’im. Yogyakarta: UIN-Suka Press, 2012.
-----. Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah:
Pendekatan Sistem, terj. Rosidin dan Ali Moen’im. Bandung: Mizan, 2015.
Chatib, Munif. Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak
Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa, 2014.
-----. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences
di Indonesia. Bandung: Kaifa, 2015
Hasan, K.H. Muhammad Tholhah. “Arah Baru Pengembangan
Madrasah: Perluasan Akses Lembaga dan Peningkatan Mutu Civitas Akademika”,
Seminar Nasional Pendidikan di Madrasah Aliyah Almaarif Singosari tanggal 3
September 2016.
http://www.mbctimes.com/english/20-best-education-systems-world
dan http://www.webometrics.info/en/world diakses 1 Juni 2016.
Kasali, Rhenald. Let’s Change: Kepemimpinan, Keberanian dan
Perubahan. Jakarta: Kompas, 2014.
Knott, Kim. “Insider/Outsider Perspectives” dalam John R.
Hinnells (ed.), The Routledge Companion to the Study of Religion. New York:
Routledge, 2005.
Makbuloh, Deden. Pendidikan Agama Islam: Arah Baru
Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), 37-39.
Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat.
Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Prodi Keagamaan Sepi Peminat, Jawa Pos, 22 Maret 2016, dalam
http://www. pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20160322/ 282 467118014336
diakses 20 September 2016.
Ranking Web of Universities edisi Juli 2016, dalam
http://www.webo metrics.info/en /Asia/indonesia%20 diakses 30 Agustus 2016.
Rosidin. “Strategi Peningkatan Kinerja Pendidik Profesional
Berbasis Etos Kerja Qur’âni”, dalam Seminar Nasional Pendidikan, Universitas
Muhammadiyah Surakarta 2016.
Veenat. “Concepts: Cultural Lag, Assimilation, Acculturation
and Cultural Pluralism” dalam cms.gcg11.ac.in/attachments
/article/214/unit%203-%20concepts.pdf diakses 30 Agustus 2016.
Zuhaylî (al), Wahbah. Uṣûl al-Fiqh al-Islâmî. Damaskus: Dâr
al-Fikr, 1968.
[1]
Cultural lag pertama kali diintroduksi oleh William. F. Obgurn dalam studi
perubahan sosial. Ogburn menyatakan bahwa kebudayaan material (material
culture) berubah terlebih dahulu, karena banyaknya penemuan (discoveries) dan
produk penemuan (invention); sedangkan kebudayaan non-material meresponnya.
Mengingat kebudayaan material selalu berubah lebih cepat dibandingkan
kebudayaan non-material, akhirnya tercipta ‘jurang pemisah’(gap0 antara kedua jenis
kebudayaan. Inilah yang disebut cultural lag atau ketertinggalan budaya. Dari
sini cultural lag dimaknai sebgai ‘bagian tertentu kebudayaan berubah lebih
cepat dibandingkan yang lain; sedangkan bagian yang lain berubah relatif lebih
lambat’. Karena tidak ada koordinasi antara kedua bagian kebudayaan tersebut,
maka muncullah ‘ketertinggalan’ (lag) atau ‘jurang pemisah’ (gap) antara
keduanya; hingga suatu saat terjadi penyesuaian-kembali antara kedua kebudayaan
tersebut. Veenat, “Concepts: Cultural Lag, Assimilation, Acculturation an
Cultural Pluralism” dalam
cms.gcg11.ac.in/attachments/article/214/unit%203-%20concepts.pdf diakses 30
Agustus 2016.
[2]
Rhenald Kasali, Let’s Change: Kepemimpinan, Keberanian, dan perubahan
(Jakarta:Kompas, 2014), 116.
[3]
Ranking Web of Universities edisi juli 2016, dalam http://www.webometrics.info/ en/Asia/indonesia%20diakses 30 Agustus
2016.
[5] Prodi Keagamaan Sepi Peminat, Jawa Pos, 22 Maret
2016, dalam http://www. pressreader.com/ indonesia/jawa-pos/20160322/282467118014336
diakses 20 September 2016.
[8] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam: Arah Baru
Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), 37-39.
[10] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis
Multiple Intelligences di Indonesia (Bandung: Kaifa, 2015), 70-72.
[13]
Ibid., 309.
[14]
Ibid., 322-325.
[16] Daniel Coyle menunjukkan kemajuan dalam neuroscience
bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga
memori otot (myelin). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell menemukan
bahwa anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas, berpotensi menyandang mindset
tetapi, sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat. Ibid.,
123-131.
[17] Mukhrizal Arif, dkk., Pendidikan Posmodernisme:
Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),
13-14.
[18] Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak
Istimewa dan Semua Anak Juara (Bandung: Kaifa, 2014), 32.
[20] Rosidin, “Strategi Peningkatan Kinerja
Pendidik Profesional Berbasis Etos Kerja Qur’âni”, dalam Seminar Nasional
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta 2016.
diakses 20 September
2016.
[28] Berdasarkan materi lisan (presentasi) dan tulisan
(makalah) berjudul “Dinamika Pengembangan Madrasah” yang dipresentasikan K.H.
Muhammad Tholhah Hasan pada Seminar Nasional Pendidikan di Madrasah Aliyah
Almaarif Singosari tanggal 3 September 2016 dengan tema Arah Baru
Pengembangan Madrasah: Perluasan Akses Lembaga dan Peningkatan Mutu Civitas
Akademika.