Saturday, November 21, 2015

MODUL 6: IJTIHAD HUKUM ISLAM SETELAH AL QUR’AN DAN AS SUNNAH*



Pokok-pokok Materi :
Setelah nabi Muhammad SAW wafat, persoalan syar’I terus bermunculan, baik dalam kaitannya dengan ibadah mahdloh maupun ibadah ghair mahdloh, di dalam semua lapangan kehidupan, baik ekonomi, politik, kesehatan, rumah tangga, dll. Akan tetapi AL-Qur’an ataupun hadits belum menjelaskan secara eksplisit hukum masalah tersebut, padahal tetap memerlukan solusi, agar segenap perilaku manusia tidak keluar dari syari’at Islam. Oleh karena itu diperlukan pemecahan masalah melalui cara yang lain, yakni dengan mengerahkan segenap kemampuan intelektual  untuk menetapkan hukum sesuatu itu dengan melihat dalil-dalil yang memiliki hubungan tak langsung (implisit) dengan persoalan yang dibahas. Dalil-dalil tersebut dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik pendekatan tertentu, kemudian disimpulkan sehingga sampai kepada penetapan hukum yang dicari.

A.  Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh  variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (al-thaqah), dan berat (al-masyaqqah) Terkait dengan ini, para ulama mengajukan redaksi yang berbeda-beda dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa. Al-Fayumi misalnya, menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah: “Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya”. Al-Syaukani juga memberikan arti ijtihad secara bahasa berikut: “Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja”.
Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian jahada terdapat dalam al-Qur’an surat al-Nahl: 38, al-Nur: 53, Fathir: 42. Semua kata tersebut berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus’I wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalghat fi al-yamin).
Para ulama telah sepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai pengertiannya secara terminologis (istilah). Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fiqh, ijtihad dengan al-Qur’an, ijtihad dengan al-Sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash.
Secara istilah definisi ijtihad dapat ditelusuri melalui pendapat para ahli fiqh dan ushul. Abu Zahrah misalnya, memberikan definisi bahwa ijtihad adalah: “Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”. Al-Amidi sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, bahwa ijtihad adalah: Pengerahan segala kemampuanuntuk menentukan sesuatu yang dzanni dari hukum-hukum syarak”.
Dengan memperhatikan berbagai definisi di atas, nampaknya bisa diambil pengertian bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqh, bidang hukum yang berkenaan dengan amal; bukan dalam bidang pemikiran. Oleh krena itu, menurut ulama fiqh, ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Di samping itu, ijtihad berkenaan dengan dalil dzanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qath’i.
Pernyataan di atas dibantah oleh seorang pemikir Islam kontemporer, Harun Nasution, yang menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat. Apalagi bila dikaitkan dengan zaman yang terus mengalami perkembangan dan perubahan.
Hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam melakukan ijtihad adalah terpenuhinya syarat-syarat ijtihad. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat sebagai mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari hukum sumber syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun-rukun ijtihad: meliputi: al-Waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas. Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu. Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariat yang bersifat amali (taklifi). Dan dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih.
Menurut al-Ghazali, syarat-syarat mujtahid itu ada dua; pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan; kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya. Orang yang tidak adil tidak dapat diterima fatwa dan pendapatnya. Syarat-syarat yang diajukan al-Ghazali itu masih bersifat umum sehingga memerlukan rincian, terutama syarat yang pertama. Al-Ghazali pun tidak menjelaskan yang dimaksud adil pada syarat kedua.
Menurut Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, syarat-syarat mujtahid adalah sebagai berikut: Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasiannya. Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan dan mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki qarinah atau tidak.
Berbeda dengan syarat-syarat di atas, al-Syaukani menyodorkan beberapa syarat mujtahid berikut ini: Mengetahui al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’an sekitar 500 ayat. Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama. Mengetahui bahasa Arab karena al-Qur’an dan al-Sunnah disusun dengan bahasa Arab. Mengetahui ilmu ushul fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Berbeda dengan al-Syaukani, Abu Zahrah mempunyai pendapat lain tentang hal ini, syarat mujtahid menurutnya adalah sebagai berikut: Mengetahui bahasa Arab, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Al-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an juga ditulis dengan bahasa Arab. Mengetahui nasikh-mansukh dalam al-Qur’an. Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun penetapan. Mengetahui ijmak dan ikhtilaf. Mengetahui qiyas. Mengetahui maqashid al-Syariah. Memiliki pemahaman yang tepat (shihhat al-fahmi) yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu manthiq dan memiliki niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Walaupun syarat-syarat mujtahid yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas berbeda-beda, namun secara substansial tidak jauh berbeda. Dan hal ini bisa dilihat dari sisi yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
Majal al-ijtihad (lapangan ijtihad) adalah hal penting yang juga harus diketahui oleh seorang mujtahid. Majal al-Ijtihad adalah maslaah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid fih. Menurut al-Ghazali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qoth’i.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharurah dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah al-Zuhaili, sebagaimana dikutip Atang dan Jaih, menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i al-tsubut wa dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ‘ulima min al-din bi al-dharurah, di antaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan ramadhan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian, dan meminum khamer.
Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua; pertama, sesutau yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan nabi Muhammad saw dalam al-Qur’an dan al-Sunnah (ma la nashsha fi ashlain); kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (dzanni al-tsubut atau dzanni al-dalalah).

B.  Pendekatan Ijtihad
Dalam mengistinbath hukum, seorang mujtahid harus dilandasi dengan pengetahuan tentang qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa), maqashidu tasyri’iyyah (tujuan umum perundang-undangan), serta cara-cara menuntaskan ta’arudul adillah (dalil-dalil yang nampak bertentangan). Qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).
Nash-nash Alquran dan Sunah adalah berbahasa Arab. Untuk memahami hukum-hukum dari kedua nash tersebut secara sempurna lagi benar, haruslah memperhatikan uslub-uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan kaifiyat dilalah (cara penunjukkan) lafal nash itu kepada artinya. Karena itu, para ahli ushul fikih mengarahkan penelitian mereka terhadap uslub-uslub dan ibarah-ibarah bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah sya’ir dan prosa.  Dari penelitian ini mereka menyusun kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash Alquran dan Sunah secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri. Kaidah-kaidah tersebut kemudian dikenal dengan istilah qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).
Pada umumnya ulama ushul fikih memulai pembahasan tentang maudhu’ (topik) ini dengan membicarakan makna-makna dari suatu lafal yang diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu. Ulama ushul fikih menetapkan bahwa perhubungan lafal dengan makna memiliki berbagai aspek yang harus dibahas. Mereka membagi lafal dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian sebagai berikut:
Pertama, ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuk lafal, lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni (1). al-Khash, yaitu lafal yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan tertentu. Khash mencakup lafal (a). Mutlaq (yang tidak diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam (darah) dalam Alquran, surat al-Maidah:3. (b). Muqayyad (yang diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam masfuhan (darah yang mengalir) dalam Alquran, surat al-An’am:145. (c). Amr (lafal yang menunjukkan makna perintah), seperti lafal aqimu (dirikanlah) dalam Alquran, surat al-Baqarah:43. (d). Nahyu (lafal yang menunjukkan makna larangan), seperti lafal la taqrabu (jangan mendekati) dalam Alquran, surat an-Nisa:43. (2). al-Amm, yaitu suatu lafal yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan tanpa dibatasi jumlah tertentu, seperti lafal jami’an (seluruh) pada Alquran, surat al-Baqarah:29.  (3). al-musytarak, yaitu lafal yang memiliki makna lebih dari satu yang berbeda-beda, seperti kata quru dalam Alquran surat al-Baqarah:228, mempunyai arti suci dan haid. Dan (4). al-muawwal,
Kedua, ditinjau dari segi makna yang dipergunakan untuk lafal, maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni (1). al-haqiqah, yaitu lafal yang digunakan untuk arti hakiki atau sebenarnya. Jika pemakaian arti itu sesuai dengan istilah bahasa dinamai haqiqah lughawiyyah, seperti lafal insan yang arti haikinya secara bahasa adalah hayawanun natiqun (binatang yang berakal).
al-haqiqah jika pemakainnya itu sesuai dengan istilah syara’ dinamai haqiqah syari’iyyah, seperti lafal shalat yang arti hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jika pemakainnya itu sesuai dengan istilah adat atau kebiasaan umum disebut haqiqah ‘urfiyyah ‘ammah, seperti lafal dabbah yang dipakai untuk semua binatang yang berkaki empat.
Kemudian (2). al-majaz, yaitu lafal yang digunakan untuk arti kiasan (pinjaman, bukan sebenarnya). Sebagaimana halnya lafal haqiqi, lafal majazi terbagi pula kepada (a) majaz lughawi, seperti lafal asad (singa) yang arti majazinya adalah seorang pemberani, (b) majaz syar’i, seperti lafal la mastum dalam surat al-Maidah:6 yang arti majazinya adalah bersetubuh, dan (c) majaz ‘urfi, seperti lafal dabbah yang arti majazinya adalah  setiap binatang yang melata di atas permukaan bumi.
Selanjutnya (3). sharih, yaitu lafal yang jelas maksudnya karena sudah termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Seperti lafal isytara (membeli) dan ba’a (menjual) adalah lafal sharih, karena jelas sekali maksudnya. Dan (4). al-kinayah, yaitu lafal yang tersembunyi maksudnya karena tidak termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Dan untuk memahaminya diperlukan qarinah (keterangan pendukung)
Ketiga, ditinjau dari segi kaifiyat atau cara-cara penunjukkan lafal kepada makna menurut kehendak pembicara, maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni (1). dilalah ibarah, yaitu petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam nash. Disebut pula ibaratun nash. (2). dilalah isyarah, yaitu petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersirat dalam nash. (3). dilalah ad-dilalah, yaitu penunjukkan suatu lafal bahwa hukum yang diambil dari nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash, karena adanya persamaan illat antara kedua macam perbuatan tersebut.
Dilalah ad-dilalah disebut pula dilalatun nash, fahwal khitab atau lahnal khitab. Sedangkan ulama syafi’iyyah menamainya mafhum muwafaqah, karena adanya persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dengan yang disebutkan dalam nash. Misalnya kata uf dalam firman Allah
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan uf..Q.s. Al-Isra:23
Hukum yang dipahamkan dari ayat ini menurut dilalatun nash ialah larangan menyebut uf (ah) kepada kedua orang tua. Setiap ahli bahasa mengetahui bahwa ‘illat larangan tersebut ialah karena perkataan “ah” itu menyakitkan hati kedua orang tua. Karena itu pemikiran manusia berkembang kepada setiap perbuatan atau perkataan yang menyakiti hati orang tua, karena illatnya adalah sama. (4). dilalah iqtidha, yaitu penunjukkan lafal kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash. Namun pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Misalnya firman Allah
وَاسْأَلْ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
“Dan tanyalah negeri yang kami tadi berada di situ..” Q.s. Yusuf:82.
Ayat ini tidak benar maknanya apabila tidak dibubuhkan lafal ahlu (penduduk) sebelum qaryah (negeri). Dengan demikian ayat itu dapat dipahami demikian: “Dan tanyakanlah kepada penduduk negeri...” Di samping berlandaskan qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa) seperti di atas, para fukaha membuat metode-metode yang dipergunakan oleh mereka dalam istinbathul ahkam. Metode-metode yang umum dipergunakan adalah qiyas, ishtihsan, al-maslahah al-mursalah, istishhab, dan ‘urf, syar’u man qablana, saddu dzari’ah, dan madzhab shahabah.

*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber 







DAFTAR PUSTAKA


_________  Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun, 1992.
A. Qodri A. Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo, Edisi 13, Tahun 1999
Abbas Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M. Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir: Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2001
Abu A’la  al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.            
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister, “Introduction,”  dalam Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons, 1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran. Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir, Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut, Dar El-Fikr, 1986     
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global  Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun   XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe, 1960.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,”  dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1980
Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia,  Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul ‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli : The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits. Beirut, Dar El-Fikr, 1981          
John. L. Esposito, “Islamic Studies,”  The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford & New York: Oxford University Press, 1995
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana,  Vol 2, No. 2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.  ‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,” Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun, hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren Persis Garut, 1408 H    
M. Atho Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No. 1, April 2000
Mastuhu & Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris: EHESS, 1994
Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H. 
Muhammad Yususf Musa, al-Insan wa Hajah Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali, 1988
Nasaruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1982
Neil Muider, Kepribadian jawa, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal of Asian Studies, 1987
Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul aslinya: Sociology of Religion, Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan, Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Sutan Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.      
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,   Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir,  Beirut , 1991 Juz 30, 
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985
 

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...