Pokok-pokok
Materi :
Setelah nabi Muhammad SAW
wafat, persoalan syar’I terus bermunculan, baik dalam kaitannya dengan ibadah
mahdloh maupun ibadah ghair mahdloh, di dalam semua lapangan
kehidupan, baik ekonomi, politik, kesehatan, rumah tangga, dll. Akan tetapi
AL-Qur’an ataupun hadits belum menjelaskan secara eksplisit hukum masalah
tersebut, padahal tetap memerlukan solusi, agar segenap perilaku manusia tidak
keluar dari syari’at Islam. Oleh karena itu diperlukan pemecahan masalah
melalui cara yang lain, yakni dengan mengerahkan segenap kemampuan
intelektual untuk menetapkan hukum
sesuatu itu dengan melihat dalil-dalil yang memiliki hubungan tak langsung
(implisit) dengan persoalan yang dibahas. Dalil-dalil tersebut dikumpulkan
kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik pendekatan tertentu, kemudian
disimpulkan sehingga sampai kepada penetapan hukum yang dicari.
A.
Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad
berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata
ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (al-thaqah), dan
berat (al-masyaqqah) Terkait dengan ini, para ulama mengajukan redaksi
yang berbeda-beda dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa. Al-Fayumi misalnya, menjelaskan bahwa
ijtihad secara bahasa adalah: “Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid)
dalam melakukan pencarian sesuatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya”.
Al-Syaukani juga memberikan arti ijtihad secara bahasa berikut: “Pembicaraan
mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja”.
Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian
jahada terdapat dalam al-Qur’an surat al-Nahl: 38, al-Nur: 53, Fathir:
42. Semua kata tersebut berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl
al-wus’I wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalghat
fi al-yamin).
Para ulama telah sepakat tentang
pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai
pengertiannya secara terminologis (istilah). Pengertian ijtihad secara
istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat.
Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fiqh, ijtihad dengan al-Qur’an,
ijtihad dengan al-Sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash.
Secara istilah definisi ijtihad dapat
ditelusuri melalui pendapat para ahli fiqh dan ushul. Abu Zahrah misalnya,
memberikan definisi bahwa ijtihad adalah: “Upaya seorang ahli fiqh dengan
kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci”. Al-Amidi sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili
menjelaskan, bahwa ijtihad adalah: Pengerahan segala kemampuanuntuk menentukan
sesuatu yang dzanni dari hukum-hukum syarak”.
Dengan memperhatikan berbagai definisi
di atas, nampaknya bisa diambil pengertian bahwa ijtihad hanya berlaku pada
bidang fiqh, bidang hukum yang berkenaan dengan amal; bukan dalam bidang pemikiran.
Oleh krena itu, menurut ulama fiqh, ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan
tasawuf. Di samping itu, ijtihad berkenaan dengan dalil dzanni,
sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qath’i.
Pernyataan di atas dibantah oleh
seorang pemikir Islam kontemporer, Harun Nasution, yang menjelaskan bahwa
pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad dalam pengertian
sempit. Dalam arti luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik,
akidah, tasawuf, dan filsafat. Apalagi bila dikaitkan dengan zaman yang terus
mengalami perkembangan dan perubahan.
Hal penting yang tidak dapat diabaikan
dalam melakukan ijtihad adalah terpenuhinya syarat-syarat ijtihad. Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat sebagai mujtahid.
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan
hukum dari hukum sumber syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun-rukun ijtihad: meliputi: al-Waqi’, yaitu adanya kasus yang
terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas. Mujtahid, ialah orang yang
melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan
syarat-syarat tertentu. Mujtahid
fih, ialah
hukum-hukum syariat yang bersifat amali (taklifi). Dan dalil syara’ untuk
menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih.
Menurut al-Ghazali, syarat-syarat
mujtahid itu ada dua; pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang
berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan
mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan; kedua, adil dan tidak
melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya. Orang yang tidak
adil tidak dapat diterima fatwa dan pendapatnya. Syarat-syarat yang diajukan
al-Ghazali itu masih bersifat umum sehingga memerlukan rincian, terutama syarat
yang pertama. Al-Ghazali pun tidak menjelaskan yang dimaksud adil pada syarat
kedua.
Menurut
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, syarat-syarat mujtahid
adalah sebagai berikut: Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat
melakukan penetapan hukum. Mengetahui
makna-makna lafadz dan rahasiannya. Mengetahui keadaan mukhatab
yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan dan mengetahui keadaan lafadz,
apakah memiliki qarinah atau tidak.
Berbeda dengan syarat-syarat di atas,
al-Syaukani menyodorkan beberapa syarat mujtahid berikut ini: Mengetahui al-Qur’an dan
al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum
di dalam al-Qur’an sekitar 500 ayat. Mengetahui ijmak sehingga tidak
berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama. Mengetahui bahasa Arab
karena al-Qur’an dan al-Sunnah disusun dengan bahasa Arab. Mengetahui ilmu ushul fiqh.
Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena membahas dasar-dasar
serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad. Mengetahui nasikh-mansukh
sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Berbeda dengan al-Syaukani, Abu Zahrah mempunyai pendapat lain
tentang hal ini, syarat mujtahid menurutnya adalah sebagai berikut: Mengetahui bahasa Arab, karena
al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Al-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an
juga ditulis dengan bahasa Arab. Mengetahui nasikh-mansukh dalam
al-Qur’an. Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun
penetapan. Mengetahui
ijmak dan ikhtilaf. Mengetahui
qiyas. Mengetahui
maqashid al-Syariah. Memiliki
pemahaman yang tepat (shihhat al-fahmi) yang karenanya mujtahid dapat
memahami ilmu manthiq dan memiliki
niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Walaupun syarat-syarat mujtahid yang
telah dikemukakan oleh para ulama di atas berbeda-beda, namun secara
substansial tidak jauh berbeda. Dan hal ini bisa dilihat dari sisi yang saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
Majal al-ijtihad (lapangan ijtihad) adalah
hal penting yang juga harus diketahui oleh seorang mujtahid. Majal
al-Ijtihad adalah maslaah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya
dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid
fih. Menurut al-Ghazali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil qoth’i.
Adapun hukum yang diketahui dari agama
secara dharurah dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan
akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah al-Zuhaili,
sebagaimana dikutip Atang dan Jaih, menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan dalil qath’i al-tsubut wa dalalah tidaklah termasuk lapangan
ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ‘ulima min al-din bi
al-dharurah, di antaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan
ramadhan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian, dan meminum khamer.
Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili
menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua; pertama, sesutau yang
tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan nabi Muhammad saw dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah (ma la nashsha fi ashlain); kedua, sesuatu yang
ditetapkan berdasarkan dalil dzanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah
satunya (dzanni al-tsubut atau dzanni al-dalalah).
B.
Pendekatan Ijtihad
Dalam mengistinbath hukum, seorang mujtahid harus dilandasi dengan
pengetahuan tentang qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa), maqashidu
tasyri’iyyah (tujuan umum perundang-undangan), serta cara-cara menuntaskan ta’arudul
adillah (dalil-dalil yang nampak bertentangan). Qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).
Nash-nash
Alquran dan Sunah adalah berbahasa Arab. Untuk memahami hukum-hukum dari kedua
nash tersebut secara sempurna lagi benar, haruslah memperhatikan uslub-uslub
(gaya bahasa) bahasa Arab dan kaifiyat dilalah (cara penunjukkan) lafal nash
itu kepada artinya. Karena itu, para ahli ushul fikih mengarahkan penelitian
mereka terhadap uslub-uslub dan ibarah-ibarah bahasa Arab yang lazim
dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah sya’ir dan
prosa. Dari penelitian ini mereka
menyusun kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash Alquran
dan Sunah secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri.
Kaidah-kaidah tersebut kemudian dikenal dengan istilah qawaid al-lughawiyyah
al-ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).
Pada
umumnya ulama ushul fikih memulai pembahasan tentang maudhu’ (topik) ini
dengan membicarakan makna-makna dari suatu lafal yang diciptakan untuk
menyatakan makna-makna tertentu. Ulama ushul fikih menetapkan bahwa perhubungan
lafal dengan makna memiliki berbagai aspek yang harus dibahas. Mereka membagi
lafal dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian sebagai berikut:
Pertama, ditinjau dari
segi makna yang diciptakan untuk lafal, lafal itu dibagi menjadi 4 bagian,
yakni (1). al-Khash, yaitu lafal
yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan tertentu. Khash mencakup
lafal (a). Mutlaq (yang tidak diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam
(darah) dalam Alquran, surat al-Maidah:3. (b). Muqayyad (yang diterangkan
pembatasnya), seperti lafal dam masfuhan (darah yang mengalir) dalam Alquran,
surat al-An’am:145. (c). Amr (lafal yang menunjukkan makna perintah), seperti
lafal aqimu (dirikanlah) dalam Alquran, surat al-Baqarah:43. (d). Nahyu (lafal
yang menunjukkan makna larangan), seperti lafal la taqrabu (jangan mendekati)
dalam Alquran, surat an-Nisa:43. (2). al-Amm,
yaitu suatu lafal yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan satu
makna yang dapat mencakup seluruh satuan tanpa dibatasi jumlah tertentu,
seperti lafal jami’an (seluruh) pada Alquran, surat al-Baqarah:29. (3). al-musytarak,
yaitu lafal yang memiliki makna lebih dari satu yang berbeda-beda, seperti kata
quru dalam Alquran surat al-Baqarah:228, mempunyai arti suci dan haid. Dan (4). al-muawwal,
Kedua, ditinjau dari segi makna yang dipergunakan untuk lafal,
maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni (1). al-haqiqah, yaitu lafal yang digunakan untuk arti hakiki atau
sebenarnya. Jika pemakaian arti itu sesuai dengan istilah bahasa dinamai
haqiqah lughawiyyah, seperti lafal insan yang arti haikinya secara bahasa
adalah hayawanun natiqun (binatang yang berakal).
al-haqiqah jika pemakainnya itu sesuai dengan istilah syara’ dinamai
haqiqah syari’iyyah, seperti lafal shalat yang arti hakikinya menurut syara’
adalah ucapan-ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Jika pemakainnya itu sesuai dengan istilah adat atau kebiasaan
umum disebut haqiqah ‘urfiyyah ‘ammah, seperti lafal dabbah yang dipakai untuk
semua binatang yang berkaki empat.
Kemudian
(2). al-majaz, yaitu lafal yang
digunakan untuk arti kiasan (pinjaman, bukan sebenarnya). Sebagaimana halnya
lafal haqiqi, lafal majazi terbagi pula kepada (a) majaz lughawi, seperti lafal
asad (singa) yang arti majazinya adalah seorang pemberani, (b) majaz syar’i,
seperti lafal la mastum dalam surat al-Maidah:6 yang arti majazinya adalah
bersetubuh, dan (c) majaz ‘urfi, seperti lafal dabbah yang arti majazinya
adalah setiap binatang yang melata di
atas permukaan bumi.
Selanjutnya (3). sharih, yaitu lafal yang
jelas maksudnya karena sudah termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi
maupun majazi. Seperti lafal isytara (membeli) dan ba’a (menjual) adalah lafal
sharih, karena jelas sekali maksudnya. Dan (4). al-kinayah, yaitu lafal yang tersembunyi maksudnya karena tidak
termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Dan untuk
memahaminya diperlukan qarinah (keterangan pendukung)
Ketiga, ditinjau dari segi kaifiyat atau cara-cara penunjukkan lafal kepada makna
menurut kehendak pembicara, maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni (1). dilalah ibarah, yaitu petunjuk
yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam nash. Disebut pula ibaratun nash.
(2). dilalah isyarah, yaitu
petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersirat dalam nash. (3). dilalah ad-dilalah, yaitu penunjukkan
suatu lafal bahwa hukum yang diambil dari nash yang disebutkan berlaku pula
bagi perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash, karena adanya persamaan illat
antara kedua macam perbuatan tersebut.
Dilalah
ad-dilalah disebut pula dilalatun nash, fahwal khitab atau lahnal khitab.
Sedangkan ulama syafi’iyyah menamainya mafhum muwafaqah, karena adanya
persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dengan yang disebutkan dalam nash.
Misalnya kata uf dalam firman Allah
فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka janganlah
sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan uf..Q.s. Al-Isra:23
Hukum yang dipahamkan dari ayat ini
menurut dilalatun nash ialah larangan menyebut uf (ah) kepada kedua orang tua.
Setiap ahli bahasa mengetahui bahwa ‘illat larangan tersebut ialah karena
perkataan “ah” itu menyakitkan hati kedua orang tua. Karena itu pemikiran
manusia berkembang kepada setiap perbuatan atau perkataan yang menyakiti hati
orang tua, karena illatnya adalah sama. (4).
dilalah iqtidha, yaitu penunjukkan lafal kepada sesuatu yang tidak
disebut oleh nash. Namun pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang
tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Misalnya firman Allah
وَاسْأَلْ
الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
“Dan tanyalah negeri yang kami tadi berada di situ..”
Q.s. Yusuf:82.
Ayat ini tidak benar maknanya apabila tidak dibubuhkan
lafal ahlu (penduduk) sebelum qaryah (negeri). Dengan demikian ayat itu dapat
dipahami demikian: “Dan tanyakanlah kepada penduduk negeri...” Di samping
berlandaskan qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa) seperti di atas,
para fukaha membuat metode-metode yang dipergunakan oleh mereka dalam istinbathul
ahkam. Metode-metode yang umum dipergunakan adalah qiyas, ishtihsan,
al-maslahah al-mursalah, istishhab, dan ‘urf, syar’u man qablana,
saddu dzari’ah, dan madzhab shahabah.
*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
DAFTAR PUSTAKA
_________ Perbandingan
Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.
Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun,
1992.
A. Qodri A. Azizy,
“Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, Tahun 1999
Abbas
Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M.
Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS,
2001
Abu A’la al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar
El-Fikr. t.t.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ
Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh
Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah
al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister,
“Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons,
1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran.
Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir,
Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang
Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits,
Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra,
"Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The
Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami.
Beirut, Dar El-Fikr, 1986
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global Jakarta : Penerbit Paramadina,
2001
Cik
Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama:
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin
Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet
K. Nottingham, Agama dan Masyarakat
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam
di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed.
Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika
dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of
Chicago Press, 1980
Hartono
Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di
Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2002
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI
Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul
‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il
R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi,
Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli :
The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits.
Beirut, Dar El-Fikr, 1981
John. L. Esposito, “Islamic
Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford
& New York: Oxford University Press, 1995
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan
Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No.
2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.
‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama.
Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,”
Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun,
hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren
Persis Garut, 1408 H
M. Atho Mudzhar, "In
the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam
in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem
Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang
Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No.
1, April 2000
Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris:
EHESS, 1994
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam
bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án
al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman
al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H.
Muhammad
Yususf Musa, al-Insan wa Hajah
Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali,
1988
Nasaruddin
Razak, Dinul Islam, Bandung:
al-Ma’arif, 1982
Neil
Muider, Kepribadian jawa,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The
Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and
Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and
Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico
Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan
Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert
N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief,
New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics
in Rural East Java.” The Journal of Asian
Studies, 1987
Roland
Robertson, ed., Agama: dalam Analisa
dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul
aslinya: Sociology of Religion,
Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful
Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar
Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono
Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan,
Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba,
"Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993
Sutan
Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad
al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz
I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah
Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ
al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,
Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir, Beirut , 1991 Juz 30,
WJS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986
Zakiah
Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1985