Pokok-pokok
Materi :
Al-Qur’an bersifat global (mujmal)
yang memerlukan perincian. Misalnya
perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis
shalat, kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang
tatacara mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk
menjelaskannya, datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai
tatacara shalat, berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara.
Penjelasan rasul itu disebut Sunnah
Rasul. Setelah Rasul wafat,
permasalahan umat tetap bermunculan misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi,
euthanasia, dll. Persoalan demikian belum terakomodir di dalam Al-Qur’an maupun
hadits, oleh karena itu memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.
A. Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu
Al-Qur’an
merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan
menggunanakan bahasa Arab. Agar fungsi
Al-Qur’an sebagai hidayah (guidance) atau
way of life benar-benar efektif, maka
Al-Qur’an bukan saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan.
Cara menafsirkan Al-Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir
Tahlili dan tafsir Maudhu’i.
Banyak tokoh-tokoh Islam
aliran rasional Liberal, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi akal.
Pendekatannya ada tiga yakni tafsir
Mateforis, tafsir Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial Kesejarahan.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta
yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya
manusia, beberapa di antaranya adalah :
1.
Tentang awal kejadian langit dan
bumi. Di dalam QS. 21 : 30 Allah
menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit
dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan
Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
2.
Tentang pergerakan gunung dam
lempengan bumi. QS :”Dan kamu melihat
gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak sebagaimana
geraknya awan”.
3.
“Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada
sebelas bintang
yang bersujud kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam
Al-Qur’an bahwa planet itu ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat
hanya ada sembilan planet. Siapa yang benar? Allah sebagai penciptanya atau
manusia yang hanya mencari dan menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini para ahli
astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana mungkin
Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi ilmu pengetahuan
modern, seandainya Al-Qur’an bukan karya
Allah. Ayat-ayat di atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an
pasti karya Allah, firman Tuhan bukan karya nba
Muhammad SAW.
B. Bahasa al Qur’an
Allah menegaskan “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam
bahasa Arab”. Ini penegasan dari Allah
SWT, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa Arab, bahasa yang dipakai oleh nabi Muhammad
dan oleh masyarakat Arab. Tujuannya sudah pasti agar Al-Qur’an mudah difahami.
Akan tetapi, menurut Isa Bugis, Al-Qur’an
bukan bahasa Arab tetapi bahasa wahyu. Alasannya adalah karena Muhammad adalah keturunan nabi
Ismail dari isteri kedua, sehingga Muhammad berdarah Babylon, bukan berdarah
Arab asli dengan demikian maka bahasa nabi Muhammad adalah bukan bahasa Arab
tetapi serumpun dengan bahasa Arab, itulah yang disebut "bilisáni
qaumih" (berbicara dengan bahasa kaumnya).
Menurut penulis,
pendapat di atas tidak tepat. Alasan pertama, sebagaimana dijelaskan oleh
Ismail al-Faruqi adalah bahwa, suku Arab asli (al-‘Aribah) ialah suku
Qanaan, Ya‘rub, Yasyjub dan Saba'. Kemudian datanglah suku Arab Musta‘ribah
I (Pendatang I), yakni suku ‘Adnan, Ma’ad dan Nizar. Lantas datang pula suku
Arab Musta‘ribah II (Pendatang II) yakni suku Fihr atau Quresy. Jadi
suku Quresy adalah bagian dari Suku Arab, bukan suku lain. Suku-suku pendatang
lantas berbaur dan mempelajari bahasa yang ada yakni bahasa Arab, bukan
mempelajari bahasa Babylon.
Alasan kedua,
Bangsa Arab termasuk bangsa Semit. Dewasa ini yang disebut dikatagorikan bahasa
Semit adalah setengah kawasan bagian Utara, bagian Timurnya berbahasa Akkad
atau Babylon dan Assyiria, sedangkan bagian Utara adalah bahasa Aram, Mandaera,
Nabatea, Aram Yahudi dan Palmyra. Kemudian di bagian Baratnya adalah Foenisia,
Ibrani Injil. Di belahan Selatan, yakni di bagian utaranya berbahasa Arab sedangkan sebelah
selatan berbahasa Sabe atau Hymyari, dan Geez atau Etiopik. Hampir semua bahasa
di atas telah punah , hanya bahasa Arab yang masih hidup".
Apakah ada
bahasa selain Arab yang serumpun dengan bahasa arab dapat dilihat antara lain
dari bentuk hurufnya. Huruf Arab ternyata berbeda sekali dengan dengan huruf
bahasa Foenesia, Aramaea, Ibrani, Syiria Kuno, Syiria Umum, Kaldea dan Arab.
Para pembaca bisa melihat perbedaan huruf-huruf tersebut pada buku "Atlas
Budaya" karya Ismail Al-Faruqi bersama isterinya.
Al-Qur'an
menggunakan huruf Arab bukan huruf lainnya, dengan demikian maka bahasa dan
tulisan Al-Qur'an memang mutlak bahasa Arab bukan bahasa yang serumpun bahasa
Arab. Kalau mau dikatakan serumpun maka harus dikatakan serumpun dengan bahasa Semit
bukan serumpun bahasa Arab. Sebagai tambahan penjelasan, menurut Ismail
Al-Faruqi, bahasa Semit yang masih hidup sampai saat ini adalah bahasa Arab.
Dengan demikian maka bahasa Al-Qur'an adalah bahasa Arab, bahasanya orang Arab
bukan serumpun dengan bahasa Arab.
Hujjah
lain dari kelompok Isa Bugis adalah bahwa jika Al-Qur’an berbahasa Arab maka
semua orang Arab pasti mengerti Al-Qur’an, tetapi pada kenyataannya tidak semua
orang Arab mengerti Al-Qur’an, kalau begitu Al-Qur’an bukanlah bahasa Arab.
Hujjah inipun
lemah. Mengapa demikian? Keadaan ini sama saja dengan orang Indonesia. Tidak
semua orang Indonesia mampu memahami karya sastera berbahasa Indonesia, ini
karena buku-buku sastera itu menggunakan bahasa Indonesia kelas tinggi.
Pada umumnya
orang-orang Arab dalam percakapan mereka sehari-hari menggu-nakan bahasa Arab Yaumiyah sedangkan Al-Qur’an menggunakan
bahasa Arab Fushá. Di samping itu
untuk dapat memahami suatu teks tidak cukup dengan mengetahui kosa kata (mufradat) tetapi harus berbekal ilmu
pengetahuan tentang isi teks. Sarjana sastera Indonesia misalnya, tidak
otomatis dapat memahami teks buku-buku Ilmu Kimia. Begitu pun sarjana Kimia
tidak otomatis memahami teks tentang filsafat. Untuk mampu memahami teks ilmu
pengetahuan, harus memiliki syarat-syarat, antara lain memahami substansi
materi, memiliki frame of reference
yang teratur, serta memiliki paradigma berfikir yang menunjang.
Ketidakmengertian sebahagian orang Arab terhadap teks-teks Al-Qur’an tidak
menunjukkan bukti bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab.
Hujjah ketiga
Isa Bugis adalah bahwa kata ‘Arabiyyan
dengan doble ya merupakan ya nisbat yang menunjukkan serumpun
dengan bahasa Arab tetapi bukan bahasa Arab. Sepengetahuan penulis, kata ‘arabiyyan berarti bahasa yang
dinisbahkan kepada orang Arab, atau bahasanya orang Arab, yakni bahasa Arab.
Wahbah Zuhayly,
ketika menafsirkan ayat tersebut menyataklan bahwa kata ‘arabiyyan bermakna “nuzila
bilisánin ‘arabiyyin mubân, yaqra-u bi lugah al-‘arabi”, yang artinya al-Qur’an diturunkan dengan lisan orang
Arab, di baca dengan bahasa Arab. Senada dengan itu, Muhammad Ibn Muhammad Abu
Syahbah dalam bukunya: ”Al-Madkhal li
Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab ‘arabiyyah al-akbar atau kitab berbahasa
Arab yang maha besar.
Kelompok Isa
Bugis pun lantas beralih dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bahasa Quresy bukan
bahasa Arab. Pendapat demikian ditentang oleh Ahmad Satori sebagai doktor dalam
sastra Arab. Ia menegaskan bahwa bahasa orang Arab adalah bahasa Arab. Perbedaan
bahasa Quresy dengan bahasa suku Tamim dan lain-lainnya hanyalah dalam dialek
bukan dalam makna. Dengan
demikian hujjah Isa Bugis yang menyatakan al-Qur'an bukan bahasa Arab,
seluruhnya tertolak.
C. Fungsi al Qur’an
Aturan Allah
yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai hudá
(petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan
furqán (pembeda). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan
petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak
mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada
pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang
ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan
cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan
termasuk dalam mengelola bumi.
Dengan
menggunakan kedua macam hukum secara beriringan
yakni hukum alam dan hukum
Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk
menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan
manusia (liyudlhirah ‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh
kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah).
Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar
dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola
bumi.
Sedangkan
Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi
memberikan penjelasan tentang
apa-apa yang dipertanyakan oleh
manusia. Dalam fungsinya sebagai bayyinát,
Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua
peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan
sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat trial
and error.
Fungsi ketiga
Al-Qur’an adalah sebagai furqán
atau pembeda antara yang haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai
yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang
kufurr.
Untuk bisa
memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá, bayyinát maupun
furqán secara mendalam, maka Al-Qur’an perlu dipelajari bagian demi
bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106),
memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat
yang satu dengan surat yang lain.
Selanjutnya
fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep dokter,
pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar
mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran
otoritas. Demikian pula dengan
Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena
Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an
yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi
tetap harus dilaksanakan, sebab kalau
menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa
keburu mati.
Juga obat dari
dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat
tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan
dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan
Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling)
kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar
seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan
dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya
dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
D. Metode Penafsiran al Qur’an
Untuk memahami
isi atau pesan Al-Qur’an yang terkandung dalam seluruh ayat Al-Qur;an tidak
cukup dengan terjemah, sebab terjemah hanyalah alih bahasa, tetapi perlu
melakukan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.
Dilihat dari
caranya, dikenal dua macam penafsiran
yakni tafsir tahlili dan tafsir maudhui.Tafsir Tahili ialah menafsirkan Al-Qur’an secara runtut, ayat
perayat, dari mulai surat Al-Fátihah ayat pertama sampai surat An-Nás
ayat terakhir, tanpa terikat oleh tema, judul atau pokok bahasan. Sedangkan tafsir
Maudlu‘i ialah penafsiran berdasarkan
tema-tema yang dipilih sebelumnya. Caranya semua ayat yang berkaitan dengan
tema (maudlu’i) yang dibahas diinventarisir tanpa terikat oleh urutan
surat, kemudian disistimatisir dan ditafsirkan sehingga antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain saling melengkapi pembahasan tema. Misalnya pembahasan
tentang Riba, maka seluruh ayat yang berkaitan langsung atau tidak langsung
dengan masalah riba, diinventarisir kemudian dibahas menurut sub-sub tema
sehingga sampai kepada kesimpulan.
Dilihat dari
pendekatannya, tafsir terbagi dua, yakni Tafsâr bi al-Ma’`tsur dan
Tafsirr bi al-Ma‘qul. Yang dimaksud Tafsir bi al-Ma’`tsur ialah
menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits. Sedangkan Tafsir bi
al-ma‘qul adalah penafsirkan al-Qur’an dengan logika. Tafsir kedua ini
sering juga disebut tafsâr bi ar-Ra’yi.
Jadi yang dimaksud dengan tafsir bi ar-Ra’yi adalah menafsirkan
Al-Qur’an dengan menggunakan dalil-dalil logika.
Dari sisi
perspektifnya, tafsir Al-Qur’an juga beragam corak Apabila penafsiran Al-Qur’an
dilihat dari persepektif cabang ilmu pengetahuan tertentu seperti psikologi,
sosiologi, Biologi, dll, maka disebutlah
tafsir ‘lmi. Sedangkan apabila didekati dari perspektif tasawuf
disebutlah tafsir Tasawuf .
1. Penafsiran Al-Qur’an kelompok Rasional Liberal :
Kini muncul
kelompok orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi rasio yang biasa
dikenal dengan sebutan kelompok rasional liberal. Mereka menggunakan tiga
pendekatan yakni tafsir Metaforis, tafsir Hermenetika dan pendekatan sosial
kesejarahan.
2. Tafsir Metaforis
Tafsir
metaforis ialah mengambil makna kiasan misalnya ada pernyataan “Tikus-tikus
dipenjara.” Pernyataan ini tidak rasional, maka kata tikus dimaknai koruptor.
Demikian pula pernyataan bahwa tongkat (asha) nabi Musa menjadi ular dianggap tidak rasional, karena
kalau tongkat bisa menjadi ular berarti telah mengubah sunnatullah padahal
sunnatullah tidak akan pernah berubah.
Supaya
rasional, maka diambillah makna kedua dari kata ‘asha yakni pegangan.
Dengan demikian maka pernyataan menjadi :”
Musa melemparkan pegangan (baca: agama Islam) ke tengah-tengah masyarakat .
Agama Musa tersebut ternyata sanggup mengalahkan isme/ agama (ular-ular) ahli
sihir, sehingga agama Musa menang lantas menyebar cepat sekali, menjalar-jalar bagaikan ular.
Demikian pula
pernyataan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa nabi Ibrahim a.s tidak mempan
dibakar api, adalah pernyataan tidak rasional, sebab tidak mungkin api yang
panas menjadi dingin. Karena kalau demikian berarti sunnatullah api berubah. Supaya rasional, maka pernyataan tersebut
harus diitafsirkan sbb : “ Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang sangat
panas bagaikan api”.
Selintas upaya
rasionalisasi Al-ur’an ini bagus sekali tetapi ketika ditanya, “Bagaimana
tafsir bahwa nabi Isa lahir dari rahim Maryam yang perawan. Apakah rasional ?”.
Pati kelompok ini tidak sangat sulit menjawab secara tepat dan rasional.
3. Tafsir Hermenetika
Ialah
menafsirkan ayat al-Qur’an dari sisi batini. Contoh : Tidak ada satu ayat pun bahkan satu hadits
pun yang melarang perbudakan. Akan tetapi banyak sekali ayat Al-Qur’an dan
hadits yang menjelaskan bahwa apabila seorang muslim melakukan pelanggaran atas
aturan tertentu, ia terkena finalti, yakni harus memerdekakan seorang hamba
sahaya (budak belian). Kalau begitu pada hakikatnya, pada sisi batininya
Al-Qur’an melarang perbudakan. Sampai di sini dapat difahami. Akan tetapi
kemudian bergeser kepada persoslan poligami.
Menurut
kelompok Rasional Liberal, Allah memang memerintahkan seorang pria muslim untuk
menikah dengan perempuan yang baik akhlaqnya sampai batas maksimal empat orang
isteri. Akan tetapi Al-Qur’an sendiri langsung menjelaskan bahwa apabila kamu
khawatir berbuat tidak adil, lebih baik
satu isteri saja. Bahkan hadits nabi menjelaskan bahwa pria yang tidak bersikap
adil dalam berpoligami, di akhirat kelak akan berjalan merangkak dengan lidah
yang menjulur. Kalau begitu – demikian
kelompok rasional Liberal – pada prinsipnya pernikahan dalam Islam adalah
monogamy dan mengharamkan poligami. Padahal poligami dilaksanakan oleh
nabi dan banyak para sahabat nabi. Bagaimana mungkin para sahabat tidak
memahami pesan batini Al-Qur’an.
4. Pendekatan Sosial
Kesejarahan
Menurut
kelompok Rasional Liberal, hukum itu berkembang sesuai dengan perkembangan
sosial. Contoh : Pada zaman jahiliyah, kaum wanita tidak mendapatkan harta
pusaka (warisan). Datanglah Islam. Islam memandang cara demikian sangat tidak
adil, maka Islam mengatur bahwa wanita mendapatkan warisan tetapi setengah dari
bagian pria. Diatur demikian, karena apabila wanita yang semula tidak
memperoleh warisan, tiba-tiba mendapat bagian yang sama dengan pria, besar
kemungkinan akan mengakibatkan heboh nasional. Itu dulu, empat belas abad yang
silam. Sekarang zaman sudah berubah, oleh karena itu perlu ada reinterpretasi terhadap konsep
adil, apalagi wanita zaman sekarang bukan lagi pihak yang tertanggung tetapi
pihak yang menanggung. Oleh karena itu pula,
akan sangat memenuhi prinsip keadilan apabila bagian perempuan sama
besar dengan bagian laki-laki.
Muncullah
pertanyaan bagi kelompok Rasional Liberal :” Apakah adil itu adalah sama rata
atau proporsional ?”. Apakah warisan bagi perempuan sebesar setengah dari
bagian laki-laki yang Allah tetapkan dinilai tidak adil sehingga perlu direvisi
? Bukankah aturan Islam itu telah sempurna ?”. Kalau aturan Allah masih perlu
revisi, mengapa Allah tidak menurunkan nabi yang baru ?”.
Pendapat-pendapat
kelompok rasional liberal yang lebih didominasi oleh akal/ ratio telah
mendapatkan penentangan hebat dari para pemikir Islam lain yang tafaqquh
fiddin.
E. Kritik Tafsir al Qur’an
Sebenarnya
upaya rasionalisasi tafsir Al-Qur’an bukanlah hal baru, misalnya penafsiran
Muhammad Abduh tentang surat al-Fil yang berbeda dengan tafsiran terdahulu.
Menurut tafsir Ibn Abbas dan lain-lain, burung Abábil itu melempar pasukan gajah dengan batu dari neraka (sijjil), Setiap burung membawa tiga
butir batu, dua butir di kedua kakinya dan satu butir di paruhnya. Batu
tersebut adalah batu kecil dari tanah yang membara. Tetapi Muhammad Abduh
dengan tafsir metaforis rasionalnya berpendapat lain, menurutnya sijjil bukanlah batu dari neraka tetapi
berupa virus. Dengan serangan virus itulah tentara Abrahah menjadi sakit parah
dan akhirnya mati.
Rasionalisasi
Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan tafsir Metaforis, misalnya tentang
mukjizat nabi Musa. Nabi Musa memukulkan tongkat ke laut sehingga terbelah
menjadi jalan. Menurut kelompok rasional
itu tidaklah mungkin sebab menyalahi sunnah Allah. Sunnah Allah yang
bergerak di dalam hukum kausalitas merupakan ketetapan yang pasti, tidak
berubah.
Demikian juga
ketika nabi Ibrahim dibakar tetapi tidak mati gara-gara apinya menjadi dingin,
padahal sifat api sebagai sunnah Allah adalah panas. Dengan demikian tidak
mungkin api yang panas menjadi dingin karena kalau begitu sunnah Allah tentang
api telah berubah. Kalau sunnah Allah berubah maka hukum alam pun berubah,
kalau hukum Alam berubah-ubah maka tidak dapat dibuat rumus-rumus ilmu Alam,
kalau begitu ilmu Alam tidak lagi menjadi ilmu pasti.
Untuk
mengomentari ini, ada baiknya dikedepankan dulu pandangan Din Syamsudin.
Menurut Din, dalam mengkonseptualisasikan Islam, umat Islam menghadapi dua
problema intelektual. Pertama, ketika
Islam diyakini sebagai agama yang berlandaskan wahyu, umat Islam dihadapkan
kepada problema yang menyangkut hubungan akal dengan wahyu. Kedua, ketika Islam diyakini sebagai
kehidupan, umat Islam dihadapkan kepada persoalan hubungan antara agama dan
persoalan kehidupan (sekuler).
Upaya
rasionalisasi ayat Al-Qur’an dalam batas-batas tertentu sah-sah saja karena
Islam memang rasional sehingga Islam itu diperuntukkan bagi orang-orang yang
berakal (Ad-Din al-Aql). Namun
batasan rasional atau tidaknya, logis atau tidaknya sesuatu kejadian sangat
tergantung kepada kemajuan berfikir dan kebudayaan termasuk perkembangan sains
teknologi yang berkembang saat itu.
Dalam hal ini
Richard Thamas (1993) dalam bukunya berjudul “:The Passion of Western Mind” menulis sebuah judul “The Crisiss of Modern Science”
menyatakan bahwa ilmu Barat yang spektakuler itu ternyata menghadapi krisis
antara lain setelah sekian ratus tahun meyakini “certainty principle”, salah satu basic sains tentang kepastian
hubungan sebab – akibat atau “if X, then
Y” tetapi pada perkembangan berikutnya ternyata ada juga “Uncertainty principle”. Kausality
ternyata terlalu simplistik. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling
mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana hubungan kausality di antara mereka. Bahkan
menurut Thomas Kuhn, dalam sains terdapat akumulasi data yang bertentangan yang
akhirnya menimbulkan krisis paradigma dan setelah itu timbullah suatu sintesis
yang imajinatif, yang akhirnya memperoleh rekognisi ilmiah, sedangkan yang
terjadi ke arah itu bersifat non-rasional. Karena itu ilmu pengetahuan yang
sekarang dianggap sebagai sesuatu yang relatif.
Sebenarnya alam
sebagai fakta dengan segala hukumnya adalah absolut, tetapi ilmu pengetahuan
alam yang ditemukan manusia bersifat relatif. Sebagai contoh, bahwa Al-Qur;an
menjelaskan bahwa planet itu ada sebelas (ihda ‘asyrata kaukaban), tetapi para ahli astronomi
menyebutkan hanya sembilan. Demikian puluhan tahun pendapat itu mendominasi.
Kemudian ditemukan lagi satu planet sehingga berjumlah 10, kini terakhir
ditemukan satu planet lagi sehingga menjadi sebelas. Jadi jumlah planet sebagai fakta adalah
absolut namun pengetahuan manusia tentang planet bersifat relatif.
Di samping itu
perlu difahami bahwa ada perbedaan antara pengetahuan (knowledge) dan
ilmu (science). Dalam kesimpulan penulis, pengetahuan itu bisa benar
bisa salah. Pengetahuan yang benar disebut al-‘ilmu atau haq,
sedangkan pengetahuan yang salah disebut persepsi atau opini. Pendek kata, pada
hakikatnya, kebenaran (al-haq, al-‘ilmu) adalah mutlak, absolut,
sedangkan yang berbeda-beda adalah persepsi orang tentang kebenaran.
Manusia dengan
rasionya berusaha mencari kebenaran (ilmu). Caranya, setiap data yang masuk ke
otak akan diolah dengan paradigma berfikirnya sehingga menjadi sebuah
pengetahuan (kesimpulan), tetapi apakah kesimpulan itu sebagai ilmu atau hanya
persepsi belumlah pasti. Karena itu wajar kalau kesimpulan seseorang tentang
sesuatu suka berubah-ubah. Teori yang hari ini dianggap benar tetapi beberapa
tahun kemudian direvisi bahkan dibuang. Dalam proses menemukan kebenaran itu,
manusia sering harus menempuh kesalahan-kesalahan yang banyak tiada terhingga,
atau bersifat trial and error.
Untunglah turun wahyu. Fungsi wahyu adalah untuk membantu manusia agar
jangan terlalu lama atau jangan terlalu sulit menemukan kebenaran, terutama
dalam persoalan-persolan metafisika atau tentang hakikat sesuatu. Dan sangat
mungkin kalau hanya mengandalkan kekuatan nalar semata, terlalu banyak hal yang
tak dapat ditemukannya padahal ilmu sangat penting dimiliki untuk bekal di
dunia ini, misalnya apa arti hidup, apa itu mati, bagaimana setelah mati, apa
itu syetan dan bagaimana sikap manusia terhadap syetan. Wahyu memberikan
informasi seputar masalah-masalah di atas yang tidak mungkin dapat ditemukan
melalui penelitian empirik.
Dalam pandangan
penulis, manusia dengan rasio yang berfikir berlandaskan kausality, tidak dinilai serba mampu untuk
mencapai segenap ilmu, karena rasio memiliki daya deteksi yang terbatas. Oleh
karena itu, apabila rasio dijadikan sebagai ukuran segenap kebenaran agaknya
terlalu riskan.
Dengan hubungan
kausality sebagaimana dijelaskan di atas, di Barat hanya dikenal dua katagori
ilmu, yakni Empirical Science (ilmu
Empirik) dan Rational Science (ilmu
rasional) Empirical science adalah
manakala kebenarannya yang bersumber kepada indera terutama mata, dengan kata lain dapat dilihat,
diobservasi atau dibuktikan melalui eksperimen, misalnya ilmu kedokteran,
Fisika, Kimia, Biologi, dll. Jika dalam uji coba tersebut tidak terbukti
berarti teori itu salah.
Sedangkan Rational
science ialah kebenaran yang bersumber kepada rasio (akal). Benar tidaknya
sesuatu diukur oleh signifikansi hubungan antara sebab dan akibat. Apabila
terjadi hubungan sebab dan akibat yang jelas, maka itu dikatakan logis, rasional
dan dianggap benar. Tetapi jika hubungan antara sebab dan akibat itu tidak
nampak jelas maka dinilai tidak rasional dan salah.
Di luar Empirical science dan Rational science adalah belief (kepercayaan) semata-mata dan
bukan ilmu. Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin, malaikat, termasuk
cerita tentang mukjizat, karena persoalan tersebut tak dapat dibuktikan dengan
indera maupun dengan rasio, maka dinyatakan bukan ilmu melainkan sekadar
kepercayaan.
Apakah
paradigma demikian bisa digunakan dalam memahami Islam?. Ini nampaknya agak
sulit. Kalau kita menganalisis dengan teliti ilmu-ilmu atau aturan yang
terdapat dalam Al-Qur’an, akan banyak ditemukan ilmu-ilmu yang mungkin dinilai
tidak rasional karena antara sebab dan akibat hukum, sering tidak terdeteksi.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang agak sulit difahami, agak sulit
mencari hubungan sebab – akibat. Sebagai contoh Allah mengharamkan babi.
Pertanyaannya adalah mengapa babi itu diharamkan, apa sebabnya. Ini sangat
sulit dijawab. Paling-paling jawabannya adalah karena memang Allah telah
menetapkan demikian, titik.
Keharaman babi
berbeda dengan keharaman arak (khamr).
Haramnya arak mudah difahami oleh akal karena arak dapat mengakibatkan mabuk
dan merusak otak. Penetapan hukum haram atas arak sangat logis – rasional.
Demikian juga sebab-sebab haramnya zina, berjudi, membunuh – walaupun Al-Qur’an
tidak menjelaskan sebab akibatnya – tetapi akal, rasio sudah bisa memahaminya. Lain lagi perihal air liur anjing. Hadits ini
menyatakan :
عن أبى هريرة رضي
الله عنه قال : قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :طهور إناء أحدكم إذا ولغ
فيه الكلب إن يغسله سبع مرات اولا هن بالتراب
Dari Abâ
Hurairah r.a ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, bersihkanlah bejana
salah seorang di antaramu, apabila dijilat anjing dengan membersihkan sebanyak
tujuh kali, salah satunya dengan tanah (HR. Muslim).
Hadits serupa
berasal dari ‘Ali ibn Hujr al-Sa‘dy, dari ‘Ali ibn Mushâr, dari A‘masy, dari
Abâ Razain dan Abâ Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari Muhammad ibn Rafi’, dari Abd
Razaq, dari Ma‘mar, dari Hamam ibn Munabbah, dari Abâ Hurairah.
Menurut hadits
di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh kali, satu kali
menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus dengan tanah bukan dengan
sabun. Apakah hal itu karena di zaman nabi belum mengenal sabun? Tentu tidak
sesederhana itu jawabannya. Namun untuk dapat memahami mengapa harus dicuci
dengan tanah memang sangat sulit.
Hal ini besar
kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon yang sangat beragam dalam
tanah. Multi karbon sangat efektif dalam menghilangkan racun termasuk virus
rabies, sedangkan sabun hanya mengandung beberapa karbon saja yang mustahil
dapat membunuh virus rabies.
Muncul lagi
pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana, bejana itu harus dibasuh
tujuh kali di antaranya satu kali dengan memakai tanah. Tetapi ketika berburu
kelinci menggunakan anjing terlatih (mu‘allam),
terus anjing ini menggigit kelinci, tidak ada satu hadits pun yang mengharuskan
mencuci leher kelinci bekas gigitan anjing itu dengan tanah. Mengapa demikian?”
Selintas pertanyaan ini menyudutkan dan sulit dijawab. Akan tetapi apabila
ditanyakan kepada ahlinya, rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita
bandingkan dengan bisa ular. Apabila manusia digigit oleh ular kobra, maka
dalam beberapa menit saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit saja bisa
ular yang masuk melalui pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang sengaja
diperas dari mulut kobra itu. Apabila bisa ular itu diperas dari mulutnya
kemudian ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak berbahaya bahkan
justeru menjadi obat. Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur anjing tadi.
Air liur yang keluar ketika anjing menjilat dan ketika tetap dalam mulutnya,
terdapat perbedaan besar.
Contoh lain
ialah tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena penyakit
maag, tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau perut
sangat lapar dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi tidak
demikian kalau lapar karena puasa. Kalau perut sedang lapar akan sulit tidur,
tetapi kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur. Mengapa demikian?
Contoh lainnya
masih tentang puasa adalah bahwa ketika Nabi berbuka puasa, Nabi ta‘jil (mempercepat buka puasa) hanya
memakan tiga biji kurma bukan dengan makan yang banyak. Mengapa demikian?
Menurut ilmu kedokteran, ketika berpuasa, lambung (maag) itu kosong. Dengan berbuka menggunakan kurma (manis) akan
mempercepat pembakaran dan segera dapat mengganti glukosa (gula darah) yang
berkurang selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma? Dengan kurma yang sedikit
yang masuk ke dalam lambung, maka darah akan mengalir ke lambung sebagai energi
sehingga lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah lambung memiliki energi yang
cukup kuat barulah diisi dengan makanan yang banyak, sehingga lambung bisa
menjalankan fungsinya dengan baik. Berbeda jika lambung itu langsung diisi
dengan makanan yang banyak tanpa “pemanasan”, maka lambung memerlukan banyak
darah sehingga darah dari otak akan turun ke lambung, akibatnya otak kekurangan
darah, ini berarti otak kekurangan oksigen sehingga jadi mengantuk.
Dengan
mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta perhatian bahwa
apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah walaupun untuk
sementara waktu dinilai kurang rasional namun jangan tergesa-gesa menolaknya.
Sebab ukuran rasional dan tidaknya sesuatu sangat tergantung kepada ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan demikian, tidak boleh hanya
karena akal manusia belum bisa menemukan hubungan sebab akibatnya, lantas
dengan serta merta ajaran Islam (ayat Al-Qur’an) yang dianggap tidak rasional
(untuk sementara waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera penafsir.
Kejadian yang
lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya mukjizat.
Misalnya Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas, Tongkat Nabi Musa a.s
menjadi ular, serta Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Apabila kejadian ini
diukur dengan ilmu dalam batasan rasional, maka pasti akan dianggap irrasional
dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok pemikir Rasional menyatakan
mukjizat seperti itu hanyalah mitos doktrinal, tidak ubah dongeng Lampu Aladin
(fiktif). Dan karena anggapannya itu,
mereka lebih suka melakukan
reinterpretasi dengan pendekatan rasional metaforis.
Seandainya
semua hal harus rasional, lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang lahir dari
rahim Maryam yang masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina. Apakah ada
tafsiran yang lain?
Kejadian yang
aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami seperti mukjizat bukanlah ilmu
Empirik karena tidak dapat diulang-ulang melalui kegiatan eksperimen, Bukan
pula Ilmu Rasional karena interrelasi sebab – akibatnya sulit ditemukan, tetapi
termasuk dalam katagori ilmu Suprarasional atau kejadian Supranatural.
Kebenarannya hanya dicapai dengan hati (qalbu) yang percaya, atau bisa
disebut haqq al-yaqân.
Apalagi kalau
menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka yang sama
sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat dibayangkan. Kebenaran ilmu
tersebut hanya dibuktikan dengan ruh yakni setelah manusia mati. Ilmu yang
demikian disebut dengan Metarasional. Dalam paradigma Al-Qur’an disebut Ilmu
Gaib.
Berdasarkan
kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa sebenarnya ilmu
itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam pemikiran di Barat. Keempat
macam ilmu itu adalah ilmu Empirik (‘Ain
al-yaqin), Ilmu Rasional (‘Ilmu
al-yaqin), Suprarasional (Haqq
al-yaqin) dan Metarasional (‘ilmu
al-Ghaib). Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik dan ilmu Rasional
dikatagorikan Ilmu Bayány. Ilmu
Suprarasional merupakan ilmu Burhány,
sedangkan Metarasional disebut ilmu ‘Irfány.
Di luar yang
empat itu ada yang disebut irrasional, yakni
manakala kejadian tersebut sangat mustahil menurut akal, misalnya dikatakan
bahwa benda itu diam dan pada saat yang sama benda itu bergerak. Ini
irrasional. Termasuk ke dalam irrasional adalah tahayyul. Irrasional bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan) atau kepercayaan
tak berdasar.
KLASIFIKASI ILMU, SUMBER
DAN OBJEK KAJIAN
Klasifikasi Ilmu
|
Sumber dan prosesnya
|
Contoh kajian
|
Empirik
(‘Ain al-yaqin) عين اليقين
|
Indrawi : melalui
observasi, eksperimental.
|
Kedokteran, biologi,
kimia, farmasi, dll.
|
Rasional
(‘Ilmu
al-yaqin) علم اليقين
|
Akal (rasio) dengan
menganalisis interelasi sebab-akibat.
|
Termasuk Matematika,
filsafat, dan bahasa.
|
Suprarasional
(Haqq al-yaqin). حق اليقين
|
Hati, Qalbu : yakni
dengan meyakini tanpa harus memahami.
|
Misalnya soal mujizat
termasuk peristiwa Isra’ mi’ráj
nabi SAW, Irhas, karámah, dan Ma‘unah.
|
Metarasional
(ilmu gaib) علم الغي
|
Ruh: yakni dapat
diketahui oleh ruh setelah manusia wafat.
|
Siksa kubur, baa` (bangkit dari kubur), kiamat, alam Mahsyar, syurga dan
neraka.
|
Di dalam ajaran
Islam, banyak sekali perintah dan larangan nabi yang seakan tidak masuk akal
sehingga beberapa ulama melakukan rasionalisasi melalui penafsiran metaforis.
Lantas apakah
sesuatu yang tidak dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya manusia banyak
melakukan perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Sebagai
contoh, seorang professor doktor di bidang agama akan tetap menggunakan resep
dari dokter walaupun tulisan pada resep itu tidak dapat dibaca dengan matanya
dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia menaati resep dokter bukan karena
mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur’an yang berfungsi
sebagai resep, obat (syifá), maka
kalau sementara ini akal belum mampu menerima apa yang dikandung oleh
Al-Qur’an, sebaiknya diterima saja dahulu, nanti di saat kemudian, apa-apa yang
dianggap tidak rasional sangat mungkin menjadi rasional juga. Jadi pada
dasarnya baik suprarasional maupun metarasional seluruhnya masih dalam koridor
rasional.
Apakah tafsir
Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi ar-Ra’yi yang diancam neraka?. Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih
dahulu memahami kriteria tafsir bi ar-Ra’yi yang diperbolehkan.
Menurut
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Tafsâr fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, dijelaskan bahwa para
sahabat biasa menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu, hal ini dilakukan
apabila mereka tidak menemukan tafsirnya dalam hadis mutawátir, juga
tidak terdapat dalam Ijma‘ ulama”.
Adapun tafsâr bi ar-Ra’yi
yang dilarang adalah min gair ‘ilm
(tanpa imu) tetapi sekadar mengikuti
selera. Tafsir ra’yu tidak boleh
kalau meninggalkan pemahaman yang sudah
biasa difahami dari lafaÑ-lafaÑ
Al-Qur’an
.
Apabila
mencermati tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX, maka segera dapat
diketahui bahwa penafsiran mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku penafsiran
yang telah disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf. Berdasarkan kriteria tafsir
bi ar-ra’yi di atas, maka tafsâr bi ar-ra’yi NII KW IX secara akademis tidak dapat diterima.
*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
DAFTAR PUSTAKA
_________ Perbandingan
Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.
Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun,
1992.
A. Qodri A. Azizy,
“Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, Tahun 1999
Abbas
Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M.
Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS,
2001
Abu A’la al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar
El-Fikr. t.t.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ
Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh
Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah
al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister,
“Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons,
1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran.
Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir,
Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang
Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits,
Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra,
"Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The
Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami.
Beirut, Dar El-Fikr, 1986
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global Jakarta : Penerbit Paramadina,
2001
Cik
Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama:
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin
Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet
K. Nottingham, Agama dan Masyarakat
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam
di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed.
Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika
dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of
Chicago Press, 1980
Hartono
Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di
Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2002
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI
Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul
‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il
R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi,
Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli :
The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits.
Beirut, Dar El-Fikr, 1981
John. L. Esposito, “Islamic
Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford
& New York: Oxford University Press, 1995
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan
Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No.
2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.
‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama.
Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,”
Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun,
hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren
Persis Garut, 1408 H
M. Atho Mudzhar, "In
the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam
in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem
Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang
Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No.
1, April 2000
Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris:
EHESS, 1994
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam
bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án
al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman
al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H.
Muhammad
Yususf Musa, al-Insan wa Hajah
Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali,
1988
Nasaruddin
Razak, Dinul Islam, Bandung:
al-Ma’arif, 1982
Neil
Muider, Kepribadian jawa,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The
Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and
Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and
Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico
Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan
Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert
N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief,
New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics
in Rural East Java.” The Journal of Asian
Studies, 1987
Roland
Robertson, ed., Agama: dalam Analisa
dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul
aslinya: Sociology of Religion,
Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful
Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar
Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono
Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan,
Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba,
"Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993
Sutan
Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad
al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz
I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah
Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ
al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,
Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir, Beirut , 1991 Juz 30,
WJS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986
Zakiah
Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1985