Pokok-pokok
Materi
Manusia memiliki banyak
potensi termasuk kecerdasan, baik
kecerdasan berfikir (IQ), kecerdasan emosi (EQ), maupun kecerdasan spiritual
(SQ). Apabila manusia mampu memenej seluruh kecerdasan tersebut berdasarkan
nilai-nilai Ilahiyah maka ia akan menjadi manusia berakhlak baik dalam dimensi
yang luas, baik dalam hubungannya dengan Allah (Hablum minallah), dengan
sesama manusia (hablum minannas) maupun dengan alam sekitar (hablum
minal ‘alam). Dengan demikian pendidikan akhlak pada dasarnya adalah character
building dengan target terjadinya perubahan prilaku (behavior change).
Essensi akhlak kepada Allah adalah tauhid (taat total tanpa reserve, total
submittion) atau sami’na wa atha’na. Essensi akhlak kepada
manusia adalah ukhuwah yakni menganggap manusia
sebagai saudara. Sedangkan essensi akhlak kepada alam adalah ihsan, yakni berbuat yang paling
baik dalam rangka menjadikan segenap
sumber daya alam untuk kesejahteraan lahir batin umat manusia.
A.
Etika Politik Islam
Kajian
tentang hubungan Islam dan negara telah
banyak diperdebatkan oleh para pemikir, baik di zaman Klasik,
zaman Pertengahan, maupun pemikir-pemikir Modern dan – post Modernisme. Pendapat mereka dapat diklasifikasikan
menjadi tiga aliran pokok, yakni
Kelompok Pertama, ialah kelompok yang
berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan negara sangat lekat bahkan Islam
mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail. Dengan demikian
mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara harus negara
Islam. Ajaran Islam harus menjadi dasar
konstitusi. Mereka menolak gagasan negara kebangsaan (nation state) karena dinilai bertentangan dengan prinsip ummah. Mereka mengakui prinsip
musyawarah tetapi menolak musyawarah sistem demokrasi.
Al-Mawardi
misalnya, menyatakan bahwa dasar tentang kewajiban adanya Imámah adalah
Al-Qur'an surat 4 : 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (59)
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu"
Pada
ayat di atas Allah SWT mewajibkan muslimin menaati Ulu al-Amri, maksudnya adalah imam (khalifah). Ibn Taimiyah (wafat
728 H/1328M), menya-takan bahwa dalam
sebuah komunitas,wajib mutlak adanya pemimpin. Alasannya, selain QS.4 : 59, ia
pun menggunakan landasan hadis :
اذا خرج ثلاثة
في سفر فليؤمروا احدهم (رواه ابوا داود)
“Jika
tiga orang berangkat bepergian, hendaklah salah satu dari mereka menjadi
pemimpin”
Dengan hadis ini lantas Ibn
Taimiyah berfatwa, bahwa :”Enam puluh
tahun hidup bersama imam yang tidak adil, lebih baik daripada hidup semalam
tanpa seorang sultan”
Tokoh
lainnya adalah Al-Maududi. Ia menyatakan wajib adanya khalifah dan wajib
menjadikan Islam sebagai konstitusi
negara, sebab tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah. Selanjutnya
ia menyatakan bahwa, konsep kekuasaan di dalam Islam didasarkan kepada prinsip
bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam, Allah sebagai Pemilik tunggal, dan karena itu maka
Allah-lah Penguasa tunggal yang mengurusi alam ini. Dengan demikian, maka
kekuasaan apapun di atas dunia ini pada hakikatnya adalah milik Allah. Kalau
manusia berkuasa itu artinya ia hanyalah pihak yang dikuasakan oleh Allah untuk
menjalankan kedaulatan Allah. Dalam pandangan Maududi, kedaulatan adalah di
tangan Tuhan bukan di tangan rakyat.
Senada
dengan itu, Sayyid Quthub dengan tegas
menyatakan perlunya ada Imam (khalifah), dan ia menyatakan bahwa menjadikan
Islam sebagai konstitusi negara adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat
ditawar-tawar lagi. Di dalam tafsir Fi
Dzilál al-Qur’án, Quthub
menjelaskan bahwa manusia hanya mempunyai dua pilihan dalam menerapkan hukum,
yakni antara iman atau kufur, Islam atau Jahiliyyah, mengikuti hukum Allah atau
mengikuti hawa nafsu. Kalau mengaku beriman kepada Allah, mau tidak mau harus
berhukum kepada hukum Allah. Menurut
Sayyid Quthu, hanya Allah-lah yang mengetahui mana yang sebenarnya maslahat
bagi manusia dan mana yang tidak.
Menurut
Hakim Javid Iqbal, wajibnya
mendirikan negara didasarkan kepada
beberapa prinsip antara lain – sebagaimana ditegaskan di dalam QS. 5 : 59,
bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta pada hakikatnya berada pada kekuasaan
Allah karena Dia-lah yang telah menciptakannya. Karena Allah sebagai penguasa
maka hanya Allahlah yang harus ditaati.
Seseorang dikatakan menaati Allah
apabila ia menaati segenap aturan yang telah dibuatNya sebagai-mana tertuang di dalam Al-Qur’an yang
kemudian dijelaskan oleh hadis nabi. Jadi kewajiban manusia adalah menaati
aturan tersebut bukan membuat aturan baru.
B.
Ketaatan pada Pemimpin
Selain
menaati Allah dan Rasul-Nya, setiap muslim wajib menaati Ulu al-Amr dengan syarat kalau mereka menaati
Allah. Apabila Ulu al-Amr itu
tidak menaati Allah lagi maka tidak ada kewajiban bagi umat untuk menaatinya.
Cara hidup demikian hanya bisa dilaksanakan dalam suatu masyarakat yang bebas
secara politik dan ekonomi. Karena itu masyarakat muslim wajib hukumnya
berjuang mendirikan negara Islam di manapun jika memungkinkan. Pendapat serupa disampaikan pula oleh Wahbah
Zuhaily sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, tafsir al-Munâr.
Melihat
betapa pentingnya kedudukan dan fungsi imam, Rambi Ka'bi Ahmad menegaskan
bahwa, adanya seorang Imam untuk segenap kaum muslimin adalah wajib, wajar
kalau Umar Ibn Khattab menegaskan : Lá
Isláma illá bil jamá‘ah
walá jamá‘ah illá bi al-imámah. Dalam pandangan Ka'bi Ahmad, kewajiban terbesar dari
Islam adalah keharusan adanya jamaah Islam.
Namun saat ini justeru umat Islam tidak mempunyai imam, karena tidak ada
kesepakatan siapa sebenarnya yang layak menjadi imam. Dalam hal ini
Asy-Syahrastani menyatakan bahwa perselisihan umat Islam terbesar adalah karena
persoalan Imámah.
Banyak
lagi ulama-ulama lain yang mengharuskan adanya khalifah (imam) yang memimpin
negara. Tetapi secara umum hujjah yang mereka gunakan tentang kewajiban
mendirikan negara Islam adalah : (1). Al-Qur'an surat 4 : 59 tentang kewajiban adanya Ulu al-amr. "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara
kamu" (2).
Hadis; ada hadis riwayat Abu
Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah tentang kewajiban mengangkat pimpinan
walaupun dalam kelompok kecil. Juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim tentang kewajiban berbai‘at kepada pimpinan :
من مات وليس في
عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
"Barang
siapa yang mati di lehernya tidak ada bai‘at,
maka dia mati dengan kematian Jahiliyyah".
Kemudian yang ke (3). Ijtihad (Qiyas) bahwa kalau di
dalam kelompok kecil saja wajib mengangkat pimpinan apalagi di dalam sebuah
kelompok besar atau negara. Ini dikenal dengan mafhãm muwáfaqah la\nal
khiÅáb. (4).
Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan “málá
yatimmu wájib illá bih fahuwa wájib (apabila tidak sempurna suatu kewajiban
kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib adanya). Dengan demikian, apabila hukum Islam hanya
bisa tegak dengan adanya negara Islam maka mendirikan negara Islam adalah
sebuah kewajiban. Oleh karena itulah Abdul Karim Zaidan berpendapat bahwa orang
Islam wajib menegakkan daulah Islámiyyah
untuk melaksanakan hukum-hukum syari’ah.
Selanjutnya yang ke (5). Dalil Logika. Menurut Ibn
Taimiyah, secara logika, kewajiban
muslim adalah amr ma’rãf nahyu munkar, wajib membela pihak yang teraniaya, wajib
melaksanakan \udãd, menegakkan keadilan, melaksanakan jihad, dll. Untuk
menegakkan Islam ini perlu kekuatan politik, tanpa ada kekuatan politik maka
akan sulit menegakkan Islam, oleh karena itulah mendirikan sebuah negara Islam
adalah sebuah kewajiban.
Serta yang ke (6). Bukti
Sejarah : Menurut kelompok
ini, Nabi Muhammad SAW ketika berada di
Medinah dengan Piagam Madinahnya waktu itu telah melakukan segala aktivitas
kenegaraan sebagaimana dilakukan oleh para pemimpin negara lainnya seperti
menjatuhkan saksi pidana, menyatakan perang, menjadi komando perang dan
mengangkat para penguasa daerah taklukan. Jadi Muhammad ketika itu selain
sebagai nabi juga sebagai kepala
negara. Lebih jauh, segala apa yang dilakukan oleh nabi itu terus diikuti oleh khulafá al-Rásyidin
dan khalifah-khalifah setelah itu. Sunnah itu harus diikuti oleh segenap muslimin. Sistem politik Islam bukan
saja ada di dalam doktrin Islam, tetapi sudah menjadi ma‘lãm min ad-dân bi ad-Üarãrah
(sesuatu yang telah jelas diketahui wajibnya).
Jadi
menurut pendapat pertama adalah, wajib
hukumnya memilih imam (khalifah) yang berperan memimpin umat, serta wajib
hukumnya menggunakan dasar negara dengan Al-Qur'an.
C.
Negara Berlandaskan Islam
Kelompok
yang menyuarakan kewajiban mendirikan negara Islam sebagaimana di zaman nabi,
sering disebut kelompok fundamentalis
Islam. Terhadap istilah ini
banyak orang yang merasa keberatan lantas memunculkan istilah lain yakni
Revivalis, kelompok yang ingin mengembalikan segala sesuatu termasuk pola
bernegara sebagaimana adanya di zaman nabi.
Kelompok
Kedua, mereka
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan negara dengan demikian
mendirikan negara bukan sebuah kewajiban. ‘Ali ‘Abd Ar-Ráziq misalnya, tidak
setuju dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada hubungan
antara agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan rasul
sekaligus sebagai raja kepada nabi Muhammad SAW. Buktinya hanya beberapa rasul saja yang
menjadi raja seperti nabi Dawud, justeru kebanyakannya rasul itu bukan raja,
melainkan hanyalah rasul semata.
Menurut
dia, mayoritas muslim meyakini bahwa nabi SAW adalah seorang rasul sekaligus
raja. Rasulullah SAW dahulu telah
membentuk kekuasaan politik dan sekaligus bertindak sebagai raja, lantas
dinyatakan bahwa Islam adalah sebuah kesatuan politik dan sekaligus sebuah
negara yang didirikan oleh nabi SAW. Padahal, kata ar-Raziq bahwa jihad di
zaman nabi bukan semata-mata untuk pengembangan agama tetapi untuk pengembangan
wilayah kekuasaan, dengan demikian maka pemerintahan rasulullah adalah sebagai
manifestasi dari amaliyah duniawi
bukan tugas risalahnya. Di sini
Ar-Ráziq memilah perbuatan nabi menjadi dua, yakni temporal dan nontemporal.
Ar-Ráziq
mengakui bahwa kepemimpinan Muhammad sebagai nabi sangat penting pengaruhnya
dalam memimpin masyarakat, tetapi kepemimpinan rasulullah waktu itu tidak
identik dengan raja dan rakyatnya. Jadi
tidak dapat disamakan antara kekuasaan kerasulan dengan kekuasaan seorang raja.
Alasannya adalah karena ketaatan
masyarakat terhadap nabi adalah karena hubungan ruhaniyah yang bersumber
pada iman, sedangkan ketundukan kepada raja adalah karena hubungan jasmaniyah antara penguasa yang dikuasai. Kekuasaan Muham-mad
SAW atas kaum muslimin adalah kekuasaan kerasulan dan sama sekali bukan ambisi politik.
Selanjutnya
‘Ali ‘Abd Ar-Ráziq menegaskan bahwa,
tidak ada seorang ulama pun yang bisa mengajukan satu ayat Al-Qur’an saja yang
secara pasti menunjukkan kewajiban mengangkat khalifah serta menjelaskan fungsi
khalifah. Dasar pijakan yang ada hanyalah ijmak ulama yang sebenarnya tak lebih
dari sekadar kesimpulan logika para ulama terdahulu. Dalil Al-Qur’an yang
sering dijadikan pijakan para ulama adalah: QS. 4 : 59: “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah, taatilah rasul dan taatilah Ulã al-Amr di
antara kamu”. Ayat senada terdapat juga di dalam QS.4 : 83, padahal ayat
tersebut tidak bisa disimpulkan wajibnya mendirikan sebuah khilafah walaupun di
sana terdapat kata Ulã al-Amr. Karena
pengertian Ulã al-Amr adalah seseorang yang mengurus keperluan
umat bukan berarti khalifah, tak ada
kaitannya dengan persoalan imámah.
Lebih
jauh Ráziq menyatakan bahwa para ulama bukan saja tidak berpijak kepada ayat
Al-Qur’an tetapi mereka tidak memiliki sandaran dari hadis rasul tentang persoalan imámah.
Selanjutnya kata ar-Raziq, betul bahwa terdapat hadis-hadis tentang imámah, bai'ah dan jamá‘ah. Imamah artinya pemegang jabatan khilafah, bay'ah artinya
bai‘at kepada khalifah, sedangkan jama’ah artinya pemerintahan kekhalifahan
Islam, akan tetapi dari hadis-hadis itu
tidak dapat disimpulkan bahwa kekhalifahan merupakan aqâdah syar‘iyyah.
Dengan demikian, yang menjadi dasar pijakan tentang wajibnya khilafah bukanlah
dalil tetapi sesuatu yang mirip dalil (syibhu ad-dalâl).
Kelompok
ketiga :
Di luar kelompok yang pro dan kontra di atas muncullah kelompok ketiga yang
pendapatnya dapat dianggap sebagai sebuah sintesa. Kelompok ini mengakui bahwa di dalam Islam memang terdapat ajaran
tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsipnya saja,
tidak menjelaskan secara ekplisit tentang bentuk negara, dasar negara dan
ketatanegaran lainnya. Itu semua disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan
negara masing-masing. Harun Nasution
misalnya dengan mengutif pendapat ‘Abdul Wahháb al-Khalláf dalam ‘Ilmu al–Ushul al-Fiqh, menyatakan bahwa
ajaran-ajaran Islam yang orisinil dalam soal kenegaraan hanya sedikit itupun
hanya menyangkut prinsip-prinsip, dasar-dasar atau pokok-pokoknya saja bukan rinci. Dasar dan prinisp inilah yang
menjadi pegangan bagi umat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Dengan
demikian pada hakikatnya dinamika
masyarakat Islam tidak diikat.
Sejalan
dengan itu, Fathi Osman
menyatakan sangat jauh dari kebenaran
apabila dikatakan bahwa Islam telah memberikan sistem sosial politik yang
menyeluruh dan terperinci. Tuntutan al-Qur’an tentang kehidupan bernegara tidak
menunjuk kepada model tertentu tentang sebuah negara, yang terpenting prinsip-prinsip yang terdapat
dalam al-Qur’an itu harus ditransformasikan ke dalam bentuk rumusan – rumusan
kenegaraan yang dipandang perlu akan
meme-nuhi hajat kebutuhan kaum muslimin tentang sebuah negara pada zamannya.
Menurut
Harun Nasution, yang penting adalah prinsip-prinsip terpokok Islam yang harus
dijelmakan dalam sebuah negara,
pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh negara itu yaitu masyarakat
beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan,
persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan.
Para
pembaharu teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi keagamaan berupaya menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam
yang substantif, inklusif, integratif dan toleran.
Dalam
pandangan kelompok Modernis, Piagam Madinah adalah petunjuk pengaturan kehidupan masyarakat yang berasaskan Islam dan disusun
berdasar-kan syari‘at Islam untuk mengatur masyarakat yang majemuk. Kelompok
ini beranggapan bahwa Islam mengatur soal politik dan negara namun tidak
mendetail. Menurut Amin Rais, ar-Ráziq tidak perlu memilah antara aktivitas
kehidupan temporal dan nontemporal karena dengan cara seperti ini bisa membawa
kepada kesimpulan bahwa Islam tidak perlu dibawa untuk memecah-kan masalah
sosial politik, bahkan bisa mereduksi
Islam sehingga pada akhirnya
Islam hanya berhubungan dengan masalah rohani manusia semata. Jadi dalam
pandangan Amin Rais, nabi itu adalah
pengatur dalam segala persoalan, masalah apapun yang dihadapi. Namun Amin Rais
tidak setuju kalau konsep negara di zaman nabi itu diterapkan sekarang, Amin Rais lebih setuju kalau
prinsip-prinsipnya saja yang diterapkan sekarang seperti prinsip keadilan.
Pendapat
Amin Rais sejalan dengan pemikiran Ibrahim Husein. Menurut Ibrahim Husein, dalam membahas konsep negara menurut Islam
perlu dipisahkan antara konsep dasar syariah yang bersifat universal dengan
hal-hal yang bersifat teknis dan kondisional yang merupakan refleksi dari
tuntutan situasi dan kondisi yang temporal seperti bentuk negara, pemilihan kepala negara, atau tentang
lembaga-lembaga negara.
Seiring
dengan itu Abdurrahman Taj menjelaskan bahwa siyásah syari‘ah adalah hukum kebijaksanaan atau peraturan yang berfungsi
mengorganisir perangkat kepentingan negara dan mengatur urusan umat yang
sejalan dengan jiwa syari‘ah, sesuai dengan dasar-dasar yang universal (kully)
serta (dapat) merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan,
sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh na[-na[ taf[ili yang juz’i di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Siyásah yang Islami ialah suatu peraturan, perundangan, atau
kebijak-sanaan yang secara faktual lebih dapat mendekatkan umat manusia kepada
kemaslahatan dan lebih dapat menjauhkan diri dari kerusakan sekalipun hal itu
tidak ditetapkan oleh Rasul dan tidak pula ada wahyu turun tentang hal itu.
Bagi
kelompok ini, yang harus diabadikan dalam sebuah negara adalah nilai-nilai universal dan absolut
seperti nilai keadilan, toleransi, musyawarah, dll. Dalam hal ini, Indonesia
yang melaksanakan prinsip-prinsip hukum Islam sudah cukup. Sedangkan Piagam
Madinah sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi hanyalah eksperimen yang
menunjukkan pengalaman kenegaraan dalam Islam. Piagam Medinah memberikan
pengalaman historis yang berharga tentang bagaimana nabi Muhammad membangun
negara yang masyarakatnya majemuk dalam beragama. Bagaimana nabi meletakkan
prinsip equality (persamaan) dan
toleransi (tasammuh).
Selanjutnya
Azyumardi Azra menyatakan : Konsep dan bentuk negara yang baku tidak ada dalam Islam. Saya kira bukan tanpa
hikmah nabi SAW memberikan contoh melalui eksperimen Medinah. Apabila nabi
sudah membuat model yang baku padahal
nabi sendiri hidup 15 abad yang silam, mungkin saja praktik model itu tidak
relevan lagi dengan masa sekarang.
Dalam hal ini ada baiknya kita mengetahui penjelasan
Maududi seputar hubungan tauhid dalam kaitannya dengan kegiatan politik.
Menurut Maududi sistem politik Islam didasarkan kepada tiga prinsip pokok yaitu Tawhâd, Risálah dan Khiláfah. Dengan konsep
tauhid ditegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Rabb atau pencipta dan
penguasa alam ini, maka Dialah yang berdaulat terhadap alam ini. Kedaulatan
tertinggi adalah milik Allah sedangkan manusia sama sekali tidak memiliki
kedaulatan.
Allah sebagai Rabb
berarti Tuhan yang memelihara, mengatur, mengasihi dan menyempurnakan. Dialah
satu-satunya Penguasa dan Pemilik. Karena hanya Allah sebagai Rabb manusia
maka manusia ketaatan dan kepasrahan manusia hanya diserahkan kepada Allah,
tidak boleh diserahkan kepada makhluk. Dalam arti inilah Allah sebagai Iláh (yang disembah, al-ma‘bãd). Hanya Allah-lah yang berhak
mengklaim sebagai hakim serta tidak ada undang-undang selain undang-undang-Nya.
Segala aturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan aturan Allah
adalah bathil.
Prinsip kedua adalah Risálah, yaitu sunnah nabi.
Al-Qur’an hanya menje-laskan prinsip-prinsip pokok sebagai landasan yang harus
dipatuhi manusia, selanjutnya apa-apa yang global itu diperjelas oleh
Rasulullah sepanjang hayatnya. Oleh karena itu, pedoman dasar bagi kehidupan
manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kedua pegangan itu dalam terminologi
Islam disebut syari‘at. Selanjutnya
Maududi menjelaskan bahwa syari'at baru dapat ditegakkan apabila didukung oleh
kekuasaan (sulthan) .
Kosep ketiga adalah Khiláfah, yaitu manusia sebagai wakil Tuhan (khilâfah) di atas bumi. Menurut Maududi, manusia mempunyai kekuasaan yang
didelegasikan oleh Allah kepadanya dengan batas-batas tertentu. Ini artinya bahwa pemilik kekuasaan itu pada
hakikatnya adalah Allah. Manusia (umat) wajib menaati khalifah itu selama dia
menaati kehendak Allah. Dengan teori kekuasaan mutlak milik Allah, maka negara
yang dicita-citakan oleh Maududi adalah kerajaan Tuhan, kingdom of God, Mulkiyah
Allah atau theocracy. Allah
sebagaimana firman-Nya :
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً .(النساء 65)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. QS. 4 : 65)
Para
pemikir pembaharuan teologis seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Amin
Rais, Syafi'i Ma'arif dan Azyumardi Azra,
berusaha meyakinkan umat Islam bahwa negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 45 adalah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pokok Islam.
Menurut mereka, Pancasila dengan Piagam
Madinah sama-sama mengajak kepada kalimah
sawa (kata yang sama) yang mengatur proses sosial politik dari sebuah
komunitas keagamaan yang bersifat heterogen.
Bagi
Azyumardi Azra, NKRI dengan dasar filosofi Pancasila sudah cukup. Secara
eksplisit ia menyatakan :
Sehubungan
dengan filosofi nasional, Pancasila, apakah bersifat pro atau anti Islam, pada intinya tak ada
yang salah pada Pancasila dari kacamata ajaran
Islam. Semua sila di Pancasila bersesuaian dengan Islam, Islam mengajarkan manusia untuk
hanya percaya kepada satu Tuhan, seperti yang biasa gamblang terlihat pada
kalimat syahadat. Islam juga mendesak pemeluknya untuk saling mengasihi dan
bermusyawarah dalam urusan sosial politik., Di samping itu Islam sangat
menekankan tegaknya keadilan sosial . Berdasarkan alasan-alasan ini tidak
mengejutkan bahwa para pemimpin muslim terlibat dalam poses penyusunan
Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945 dan 16 Agustus 1945 menerima Pancasila
sebagai filosofi nasional Republik Indone-sia.
Menurut
para pemikir kelompok Pembaharu, Negara NKRI sudah final dan bersifat
akomodatif terhadap nilai-nilai Islam
misalnya pengesahan UU Peradilan Agama (1989), Kompilasi Hukum Islam
(1991), dan pengesahan Undang - undang Zakat (1999).
Para
pembaharu menawarkan konsep yang mengesampingkan segi formal dan legal Islam,
tetapi mengembangkan Islam substantif – meminjam istilah Munawir Syadzali –
bukanlah theocratic state tetapi religious state. Bedanya, yang pertama
menekankan formalisme dan legalisme
ideologis yang menghendaki konstitusi negara
yang secara tegas didasarkan kepada Islam (Islam sebagai ideologi negara)
dan menghendaki agar masalah kenegaraan berada di tangan pemimpin agama.
Sedangkan yang kedua (religious state)
yang kendatipun secara legal – formal
tidak mendasarkan konstruk negara kepada ideologi Islam tetapi memperhatikan
nilai-nilai Islam.
Walaupun
kelompok pembaharu telah menyampaikan
argumentasinya secara panjang lebar dan memakan waktu puluhan tahun, tetapi
kelompok funda-mentalis tetap pada pendiriannya, serta menolak model negara
demokrasi, bahkan menuduh para pembaharu teologis itu sebagai mempropagandakan
sekularisasi serta menghancurkan watak holistik Islam. Mereka membuat perbedaan
antara negara demokratis dengan negara Islam sebagaimana dapat dilihat pada
table di bawah ini.
PERBEDAAN ANTARA NEGARA
DEMOKRATIS
DENGAN NEGARA ISLAM
Negara
Demokratis
|
Negara Islam
|
Kedaulatan di tangan
rakyat artinya Keterlibatan rakyat
dalam memproduksi hukum (Lyman Tower dalam buku Contemporary political ideology).
|
Kedaulatan di tangan
Allah, hanya Allah yang berhak memproduksi hukum (al. konsep Maududi).
|
Pengambilan keputusan diambil
dengan musyawarah mufakat atau dengan suara mayoritas.
|
Kekuasaan di tangan
ummat. Mereka yang memegang kekuasaan harus dipilih oleh ummat ditunjukkan
dengan bai‘at.
|
Kebebasaan beragama.
Pindah-pindah agamapun hak warga negara tidak ada sanksi.
|
Ada kebebasan beragama
tetapi bagi mereka yang murtad terkena dengan hukum bunuh.
|
Ada pembagian kekuasaan (power
sharing)
|
Dalam pengambilan
keputusan Syar’i oleh para mujtahid sedangkan pengambilan
keputusan teknis diambil oleh para ahli.
|
Pemilu untuk memilih pemimpin
mereka .
|
Pemilu dimulai dengan
pemilihan oleh ahlu al-\allâ wa
al-‘aqdi.
|
Secara
faktual, paling tidak sampai
hari ini, pendapat yang ketiga yang
antara lain sekarang dikumandangkan oleh Harun Nasution, Munawir Syadzali,
Azyumardi Azra, Amin Rais dan lain-lain, adalah pendapat yang paling banyak berpengaruh pada
masyarakat muslim secara umum di Indonesia, lihat saja dalam Pemilu 1998 yang
lalu, partai-partai yang secara jelas-jelas ingin menerapkan syari‘at Islam
ternyata kalah. Bahkan perdebatan di MPR antara kelompok yang ingin agar
konstitusi NKRI berdasarkan Islam dengan kelompok muslim yang ingin tetap
negara Indonesia berdasarkan Pancasila seperti sekarang,
Jika
ditelusuri lebih ke belakang lagi,
munculnya perdebatan soal hubungan Islam dengan negara adalah sebagai reaksi atas tekanan berat
akibat dunia Islam sejak abad 18 diekspansi oleh Barat sehingga hampir seluruh negara-negara Islam
dikuasai oleh Eropa.
Ekspansi
Eropa ke negara-negara Islam mengakibatkan reaksi dan sejumlah pertanyaan,
mengapa Islam yang jaya dapat dihinakan oleh Barat. Sebahagian konseptor
muslimin lantas meniru mentah-mentah konsep negara ala Barat seperti Kemal At-Taturk di Turki, ini lebih dikenal
dengan Westernisasi. Sebagian lagi menggunakan konsep Islam yang dipadukan
dengan Barat. Dengan
penafsiran-penafsiran baru, kelompok ini adalah kelompok Islam Pembaharuan yang
antara lain menghasilkan konsep nation-state atau konsep Nasionalisme seperti Mesir dan Indonesia.
Sedangkan sebahagian lagi justeru menghendaki agar kembali kepada konsep Islam
klasik apa adanya, yakni berasakan Islam dengan sistem khiláfah. Kelompok ini disebut Fundamentalis Islam, atau kelompok
militan atau dalam istilah Azyumardi
Azra sebagai revivalisor.
Menghangatnya
kembali pembahasan tentang konsep negara Islam akhir-akhir ini disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama : Karena kesadaran umat
Islam sendiri tentang hakikat agama. Menurut beberapa pemikir, agama adalah instrument Ilahiyah atau instrument
transendental untuk memahami dunia,
demikian pandangan Robert Nabilah. Maksudnya Tuhan menurunkan agama adalah agar
manusia mampu memahami dunia, baik dalam kehidupan pribadi (agama private) maupun dalam kehidupan
bermasyarakat (agama public). Dengan
demikian terdapat hubungan yang inextricable antara agama dan
persoalan-persaoalan kemanusiaan.
Islam
dibandingkan dengan agama–agama lain,
sebenarnya merupakan agama yang paling
mudah untuk menerima premis semacam ini.
Alasan utamanya karena sifatnya yang omnipresent
atau senantiasa mampu “hadir” di mana-mana, dan menjadi nilai panduan moral
yang benar bagi tindakan manusia. Tokoh yang lebih dahulu berpendapat demikian
secara tegas – walaupun dalam terminologi lain -- adalah Hasan al-Bana.
Menurutnya, agama Islam adalah sebagai nidzam asy-syumul (sistem yang
lengkap). Islam mampu dijadikan panduan moral karena – demikian Ismail Yusanto
(juru bicara Hizbut Tahrir) -- Islam mempunyai ajaran yang genuine (asli) bersumber dari wahyu Ilahi tentu sangat compatible
dengan sturuktur fisik dan kejiwaan manusia sebab memang Islam diturunkan untuk
mengatur manusia. Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan
pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.
Karena
Islam merupakan sistem yang lengkap dan komprehensif, maka menurut Bahtiar
Effendy Islam meliputi tiga “D” yakni Dân
(agama), dunya (dunia) dan daulah
(Negara). Dengan sifatnya yang komprehensif ini Islam dipandang sebagai sebuah
totalitas yang padu yang menawarkan solusi terhadap segenap problema kehidupan.
Selanjutnya ia menyatakan :
Islam
adalah suatu totalitas yang padu yang menawarkan terhadap semua masalah
kehidupan. Islam harus diterima dalam keseluruhannya, dan harus diterapkan
dalam keluarga, ekonomi dan politik. (Bagi kalangan muslim) realisasi sebuah
masyarakat Islam dibayangkan dalam penciptaan sebuah negara Islam, yakni sebuah
“Negara ideologis’ yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam yang lengkap.
Dengan
konsep tiga “D “di atas tidaklah heran apabila kini bermunculan kembali
suara-suara (wacana) dan bahkan harakah
yang menghendaki agar segenap kehidupan muslim baik sosial, ekonomi dan
politik yang didasarkan kepada Islam
secara eklusif, dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi
Islam atau fundamentalisme Islam.
Kedua, Menengok kembali kepada
kenyataan sejarah; Islam bukanlah
segepok teori dan ilusi kosong tanpa kenyataan, Islam sebagai agama telah ada
sejak 14 abad yang silam dan sebagai mabda’
telah pernah terwujud secara faktual sebagai realitas historis selama
berabad-abad di berbagai wilayah. Dalam realita
sejarah, Muhammad SAW selain sebagai
Rasulullah juga sebagai kepala negara Di negara Madaniyah Rasulullah mendeklarasikan undang-undang sebagai landasan
konstitusi yang mengatur hubungan antar warganya, menjelaskan hak dan
kewajiban, termasuk kebebasan berkeyakinan.
Ketiga karena ternyata konsep negara sekuler telah
dianggap gagal oleh banyak kalangan muslim dalam membawa negara-negara dengan
penduduk mayoritas muslim kepada kejayaan, termasuk Indonesia yang hancur morat
marit karena krisis multi dimensi. Mereka merasa kesal terhadap keadaan negara
yang terus menerus oleng padahal mereka didambai setumpuk harapan untuk segera
menikmati negara Islam Indonesia.
Keempat: Lahirnya kembali
optimisme terhadap prospek Islam masa depan
sebab (1). Dunia yang terus bergejolak dan hancurnya komunis. Ada anggapan bahwa kehancuran komunisme
adalah kemenangan kapitalisme. Ini sangat salah karena kapitalisme dengan
komunisme berakar dari unsur yang sama yakni materalisme yang hanya menghargai
materi serta tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan. Hanya caranya yang berbeda, yang satu menggunakan jalur
kolektivisme sedangkan yang lain menggunakan jalur individualisme. Ujungnya
adalah kehancuran moral dan akhlaq. (2). Maraknya kezaliman atas diri umat
Islam di berbagai belahan bumi meningkatkan kesadaran akan Islam dan
memperkokoh persatuan. (3). Terinspirasi oleh munculnya Eropa Bersatu yang
didasarkan atas kesadaran bahwa untuk mengatasi masalah manusia tidak cukup
dengan skop nasional. Lantas muncul pertanyaan mengapa Islam tidak membuat
Negeri Bersatu.
Dari
uraian di atas, ide mendirikan negara Islam yang dikedepankan oleh kelompok
fundamentalis bukanlah ide baru, tetapi ide ini secara terus menerus
diimbangi oleh para pemikir modernis yang lebih
menghendaki gagasan negara Islami (bukan negara
Islam).
*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
DAFTAR PUSTAKA
_________ Perbandingan
Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.
Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun,
1992.
A. Qodri A. Azizy,
“Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, Tahun 1999
Abbas
Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M.
Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS,
2001
Abu A’la al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar
El-Fikr. t.t.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ
Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh
Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah
al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister,
“Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons,
1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran.
Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir,
Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang
Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits,
Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra,
"Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The
Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami.
Beirut, Dar El-Fikr, 1986
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global Jakarta : Penerbit Paramadina,
2001
Cik
Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama:
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin
Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet
K. Nottingham, Agama dan Masyarakat
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam
di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed.
Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika
dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of
Chicago Press, 1980
Hartono
Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di
Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2002
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI
Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul
‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il
R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi,
Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli :
The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits.
Beirut, Dar El-Fikr, 1981
John. L. Esposito, “Islamic
Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford
& New York: Oxford University Press, 1995
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan
Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No.
2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.
‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama.
Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,”
Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun,
hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren
Persis Garut, 1408 H
M. Atho Mudzhar, "In
the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam
in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem
Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang
Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No.
1, April 2000
Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris:
EHESS, 1994
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam
bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án
al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman
al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H.
Muhammad
Yususf Musa, al-Insan wa Hajah
Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali,
1988
Nasaruddin
Razak, Dinul Islam, Bandung:
al-Ma’arif, 1982
Neil
Muider, Kepribadian jawa,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The
Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and
Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and
Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico
Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan
Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert
N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief,
New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics
in Rural East Java.” The Journal of Asian
Studies, 1987
Roland
Robertson, ed., Agama: dalam Analisa
dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul
aslinya: Sociology of Religion,
Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful
Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar
Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono
Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan,
Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba,
"Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993
Sutan
Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad
al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz
I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah
Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ
al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,
Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir, Beirut , 1991 Juz 30,
WJS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986
Zakiah
Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1985