Monday, January 4, 2016

MODUL 9: ETIKA POLITIK ISLAM*


Pokok-pokok Materi
Manusia memiliki banyak potensi termasuk kecerdasan,  baik kecerdasan berfikir (IQ), kecerdasan emosi (EQ), maupun kecerdasan spiritual (SQ). Apabila manusia mampu memenej seluruh kecerdasan tersebut berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah maka ia akan menjadi manusia berakhlak baik dalam dimensi yang luas, baik dalam hubungannya dengan Allah (Hablum minallah), dengan sesama manusia (hablum minannas) maupun dengan alam sekitar (hablum minal ‘alam). Dengan demikian pendidikan akhlak pada dasarnya adalah character building dengan target terjadinya perubahan prilaku  (behavior change).

Essensi akhlak  kepada Allah adalah tauhid  (taat total tanpa reserve, total submittion) atau sami’na wa atha’na. Essensi akhlak kepada manusia  adalah ukhuwah yakni menganggap manusia sebagai saudara. Sedangkan essensi akhlak kepada alam adalah ihsan, yakni berbuat yang paling baik dalam rangka menjadikan  segenap sumber daya alam untuk kesejahteraan lahir batin umat manusia.

A.   Etika Politik Islam
Kajian tentang hubungan Islam dan negara  telah banyak diperdebatkan oleh para pemikir, baik di zaman  Klasik,  zaman Pertengahan, maupun pemikir-pemikir Modern dan – post Modernisme.  Pendapat mereka dapat diklasifikasikan menjadi tiga aliran pokok, yakni
Kelompok Pertama, ialah kelompok yang berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan negara sangat lekat bahkan Islam mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail. Dengan demikian mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara harus negara Islam. Ajaran Islam harus  menjadi dasar konstitusi. Mereka menolak gagasan negara kebangsaan (nation state) karena dinilai bertentangan dengan prinsip ummah. Mereka mengakui prinsip musyawarah tetapi menolak musyawarah sistem demokrasi.
Al-Mawardi misalnya, menyatakan bahwa dasar tentang kewajiban adanya Imámah adalah Al-Qur'an surat  4 : 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (59)
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu"
Pada ayat di atas Allah SWT mewajibkan muslimin menaati Ulu al-Amri, maksudnya adalah imam (khalifah). Ibn Taimiyah (wafat 728 H/1328M),  menya-takan bahwa dalam sebuah komunitas,wajib mutlak adanya pemimpin. Alasannya, selain QS.4 : 59, ia pun menggunakan landasan hadis :
اذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا احدهم (رواه ابوا داود)
 Jika tiga orang berangkat bepergian, hendaklah salah satu dari mereka menjadi pemimpin” Dengan hadis ini lantas Ibn Taimiyah  berfatwa, bahwa :”Enam puluh tahun hidup bersama imam yang tidak adil, lebih baik daripada hidup semalam tanpa seorang sultan”
Tokoh lainnya adalah Al-Maududi. Ia menyatakan wajib adanya khalifah dan wajib menjadikan Islam  sebagai konstitusi negara, sebab tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah. Selanjutnya ia menyatakan bahwa, konsep kekuasaan di dalam Islam didasarkan kepada prinsip bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam, Allah sebagai  Pemilik tunggal, dan karena itu maka Allah-lah Penguasa tunggal yang mengurusi alam ini. Dengan demikian, maka kekuasaan apapun di atas dunia ini pada hakikatnya adalah milik Allah. Kalau manusia berkuasa itu artinya ia hanyalah pihak yang dikuasakan oleh Allah untuk menjalankan kedaulatan Allah. Dalam pandangan Maududi, kedaulatan adalah di tangan Tuhan bukan di tangan rakyat.
Senada dengan itu, Sayyid Quthub  dengan tegas menyatakan perlunya ada Imam (khalifah), dan ia menyatakan bahwa menjadikan Islam sebagai konstitusi negara adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Di dalam tafsir Fi Dzilál al-Qur’án, Quthub menjelaskan bahwa manusia hanya mempunyai dua pilihan dalam menerapkan hukum, yakni antara iman atau kufur, Islam atau Jahiliyyah, mengikuti hukum Allah atau mengikuti hawa nafsu. Kalau mengaku beriman kepada Allah, mau tidak mau harus berhukum kepada hukum Allah.  Menurut Sayyid Quthu, hanya Allah-lah yang mengetahui mana yang sebenarnya maslahat bagi manusia dan  mana yang tidak. 
Menurut Hakim Javid Iqbal,  wajibnya mendirikan  negara didasarkan kepada beberapa prinsip antara lain – sebagaimana ditegaskan di dalam QS. 5 : 59, bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta pada hakikatnya berada pada kekuasaan Allah karena Dia-lah yang telah menciptakannya. Karena Allah sebagai penguasa maka hanya Allahlah yang harus ditaati.   Seseorang dikatakan  menaati Allah apabila ia menaati segenap aturan yang telah dibuatNya  sebagai-mana tertuang di dalam Al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh hadis nabi. Jadi kewajiban manusia adalah menaati aturan tersebut bukan membuat aturan baru.

B.   Ketaatan pada Pemimpin
Selain menaati Allah dan Rasul-Nya, setiap muslim wajib menaati Ulu  al-Amr dengan syarat kalau mereka menaati Allah. Apabila  Ulu al-Amr itu tidak menaati Allah lagi maka tidak ada kewajiban bagi umat untuk menaatinya. Cara hidup demikian hanya bisa dilaksanakan dalam suatu masyarakat yang bebas secara politik dan ekonomi. Karena itu masyarakat muslim wajib hukumnya berjuang mendirikan negara Islam di manapun jika memungkinkan.  Pendapat serupa disampaikan pula oleh Wahbah Zuhaily sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, tafsir al-Munâr.
Melihat betapa pentingnya kedudukan dan fungsi imam, Rambi Ka'bi Ahmad menegaskan bahwa, adanya seorang Imam untuk segenap kaum muslimin adalah wajib, wajar kalau  Umar Ibn Khattab menegaskan : Lá Isláma illá bil jamáah walá jamá‘ah illá bi al-imámah. Dalam pandangan Ka'bi Ahmad, kewajiban terbesar dari Islam adalah keharusan adanya jamaah Islam.  Namun saat ini justeru umat Islam tidak mempunyai imam, karena tidak ada kesepakatan siapa sebenarnya yang layak menjadi imam. Dalam hal ini Asy-Syahrastani menyatakan bahwa perselisihan umat Islam terbesar adalah karena persoalan Imámah.
Banyak lagi ulama-ulama lain yang mengharuskan adanya khalifah (imam) yang memimpin negara. Tetapi secara umum hujjah yang mereka gunakan tentang kewajiban mendirikan negara Islam adalah : (1). Al-Qur'an surat 4 : 59 tentang kewajiban adanya Ulu  al-amr. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu" (2). Hadis; ada hadis riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah tentang kewajiban mengangkat pimpinan walaupun dalam kelompok kecil. Juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang kewajiban berbai‘at kepada pimpinan :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
"Barang siapa yang mati  di lehernya tidak ada bai‘at, maka dia mati dengan kematian Jahiliyyah".
 Kemudian yang ke (3). Ijtihad (Qiyas) bahwa kalau di dalam kelompok kecil saja wajib mengangkat pimpinan apalagi di dalam sebuah kelompok besar atau negara. Ini dikenal dengan mafhãm muwáfaqah la\nal khiÅáb. (4). Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan “málá yatimmu wájib illá bih fahuwa wájib (apabila tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib adanya).  Dengan demikian, apabila hukum Islam hanya bisa tegak dengan adanya negara Islam maka mendirikan negara Islam adalah sebuah kewajiban. Oleh karena itulah Abdul Karim Zaidan berpendapat bahwa orang Islam wajib menegakkan daulah Islámiyyah untuk melaksanakan hukum-hukum syari’ah.
Selanjutnya yang ke (5). Dalil Logika. Menurut Ibn Taimiyah,  secara logika, kewajiban muslim adalah amr ma’rãf nahyu munkar,  wajib membela pihak yang teraniaya, wajib melaksanakan \udãd, menegakkan keadilan, melaksanakan jihad, dll. Untuk menegakkan Islam ini perlu kekuatan politik, tanpa ada kekuatan politik maka akan sulit menegakkan Islam, oleh karena itulah mendirikan sebuah negara Islam adalah sebuah kewajiban.
Serta yang ke (6). Bukti Sejarah :  Menurut kelompok ini,  Nabi Muhammad SAW ketika berada di Medinah dengan Piagam Madinahnya waktu itu telah melakukan segala aktivitas kenegaraan sebagaimana dilakukan oleh para pemimpin negara lainnya seperti menjatuhkan saksi pidana, menyatakan perang, menjadi komando perang dan mengangkat para penguasa daerah taklukan. Jadi Muhammad ketika itu selain sebagai nabi juga sebagai   kepala negara. Lebih jauh, segala apa yang dilakukan oleh nabi itu  terus diikuti oleh khulafá al-Rásyidin dan khalifah-khalifah setelah itu. Sunnah itu harus diikuti oleh segenap muslimin. Sistem politik Islam bukan saja ada di  dalam doktrin Islam,  tetapi sudah menjadi ma‘lãm min ad-dân  bi ad-Üarãrah (sesuatu yang telah jelas diketahui wajibnya).
Jadi menurut pendapat pertama adalah,  wajib hukumnya memilih imam (khalifah) yang berperan memimpin umat, serta wajib hukumnya menggunakan dasar negara dengan Al-Qur'an.

C.   Negara Berlandaskan Islam
Kelompok yang menyuarakan kewajiban mendirikan negara Islam sebagaimana di zaman nabi, sering disebut kelompok fundamentalis Islam. Terhadap istilah ini banyak orang yang merasa keberatan lantas memunculkan istilah lain yakni Revivalis, kelompok yang ingin mengembalikan segala sesuatu termasuk pola bernegara sebagaimana adanya di zaman nabi.
Kelompok Kedua, mereka menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan negara dengan demikian mendirikan negara bukan sebuah kewajiban. ‘Ali ‘Abd Ar-Ráziq misalnya, tidak setuju dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada hubungan antara agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan rasul sekaligus sebagai raja kepada nabi Muhammad SAW.  Buktinya hanya beberapa rasul saja yang menjadi raja seperti nabi Dawud, justeru kebanyakannya rasul itu bukan raja, melainkan  hanyalah rasul semata.
Menurut dia, mayoritas muslim meyakini bahwa nabi SAW adalah seorang rasul sekaligus raja. Rasulullah SAW dahulu  telah membentuk kekuasaan politik dan sekaligus bertindak sebagai raja, lantas dinyatakan bahwa Islam adalah sebuah kesatuan politik dan sekaligus sebuah negara yang didirikan oleh nabi SAW. Padahal, kata ar-Raziq bahwa jihad di zaman nabi bukan semata-mata untuk pengembangan agama tetapi untuk pengembangan wilayah kekuasaan, dengan demikian maka pemerintahan rasulullah adalah sebagai manifestasi dari amaliyah duniawi  bukan  tugas risalahnya. Di sini Ar-Ráziq memilah perbuatan nabi menjadi dua, yakni temporal dan nontemporal.
Ar-Ráziq mengakui bahwa kepemimpinan Muhammad sebagai nabi sangat penting pengaruhnya dalam memimpin masyarakat, tetapi kepemimpinan rasulullah waktu itu tidak identik dengan  raja dan rakyatnya. Jadi tidak dapat disamakan antara kekuasaan kerasulan dengan kekuasaan seorang raja. Alasannya adalah karena ketaatan  masyarakat terhadap nabi adalah karena hubungan ruhaniyah yang bersumber pada iman, sedangkan ketundukan kepada raja adalah  karena hubungan jasmaniyah antara  penguasa yang dikuasai. Kekuasaan Muham-mad SAW atas kaum muslimin adalah kekuasaan kerasulan  dan sama sekali bukan ambisi  politik.
Selanjutnya ‘Ali ‘Abd Ar-Ráziq  menegaskan bahwa, tidak ada seorang ulama pun yang bisa mengajukan satu ayat Al-Qur’an saja yang secara pasti menunjukkan kewajiban mengangkat khalifah serta menjelaskan fungsi khalifah. Dasar pijakan yang ada hanyalah ijmak ulama yang sebenarnya tak lebih dari sekadar kesimpulan logika para ulama terdahulu. Dalil Al-Qur’an yang sering dijadikan pijakan para ulama adalah: QS. 4 : 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul dan taatilah Ulã al-Amr di antara kamu”. Ayat senada terdapat juga di dalam QS.4 : 83, padahal ayat tersebut tidak bisa disimpulkan wajibnya mendirikan sebuah khilafah walaupun di sana terdapat kata Ulã al-Amr. Karena pengertian Ulã al-Amr  adalah seseorang yang mengurus keperluan umat  bukan berarti khalifah, tak ada kaitannya dengan persoalan imámah.
Lebih jauh Ráziq menyatakan bahwa para ulama bukan saja tidak berpijak kepada ayat Al-Qur’an tetapi mereka tidak memiliki sandaran dari hadis  rasul tentang persoalan imámah. Selanjutnya kata ar-Raziq, betul bahwa terdapat hadis-hadis tentang imámah, bai'ah dan jamá‘ah. Imamah artinya pemegang jabatan khilafah, bay'ah artinya bai‘at kepada khalifah, sedangkan jama’ah artinya pemerintahan kekhalifahan Islam, akan tetapi dari hadis-hadis itu tidak dapat disimpulkan bahwa kekhalifahan merupakan aqâdah syar‘iyyah. Dengan demikian, yang menjadi dasar pijakan tentang wajibnya khilafah bukanlah dalil tetapi sesuatu yang mirip dalil (syibhu ad-dalâl).
Kelompok ketiga : Di luar kelompok yang pro dan kontra di atas muncullah kelompok ketiga yang pendapatnya dapat dianggap sebagai sebuah sintesa.  Kelompok ini mengakui  bahwa di dalam Islam memang terdapat ajaran tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsipnya saja, tidak menjelaskan secara ekplisit tentang bentuk negara, dasar negara dan ketatanegaran lainnya. Itu semua disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan negara masing-masing.  Harun Nasution misalnya dengan mengutif pendapat ‘Abdul Wahháb al-Khalláf dalam Ilmu al–Ushul al-Fiqh, menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam yang orisinil dalam soal kenegaraan hanya sedikit itupun hanya menyangkut prinsip-prinsip, dasar-dasar atau pokok-pokoknya saja  bukan rinci. Dasar dan prinisp inilah yang menjadi pegangan bagi umat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Dengan demikian pada hakikatnya  dinamika masyarakat Islam tidak diikat.
Sejalan dengan itu, Fathi Osman menyatakan  sangat jauh dari kebenaran apabila dikatakan bahwa Islam telah memberikan sistem sosial politik yang menyeluruh dan terperinci. Tuntutan al-Qur’an tentang kehidupan bernegara tidak menunjuk kepada model tertentu tentang sebuah negara,  yang terpenting prinsip-prinsip yang terdapat dalam al-Qur’an itu harus ditransformasikan ke dalam bentuk rumusan – rumusan kenegaraan  yang dipandang perlu akan meme-nuhi hajat kebutuhan kaum muslimin tentang sebuah negara pada zamannya.
Menurut Harun Nasution, yang penting adalah prinsip-prinsip terpokok Islam yang harus dijelmakan  dalam sebuah negara, pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh negara itu yaitu masyarakat beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan, persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan.
Para pembaharu teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi  keagamaan berupaya  menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam yang substantif, inklusif, integratif dan toleran.
Dalam pandangan kelompok Modernis, Piagam Madinah adalah  petunjuk pengaturan kehidupan  masyarakat yang berasaskan Islam dan disusun berdasar-kan syari‘at Islam untuk mengatur masyarakat yang majemuk. Kelompok ini beranggapan bahwa Islam mengatur soal politik dan negara namun tidak mendetail. Menurut Amin Rais, ar-Ráziq tidak perlu memilah antara aktivitas kehidupan temporal dan nontemporal karena dengan cara seperti ini bisa membawa kepada kesimpulan bahwa Islam tidak perlu dibawa untuk memecah-kan masalah sosial politik, bahkan bisa mereduksi  Islam  sehingga pada akhirnya Islam hanya berhubungan dengan masalah rohani manusia semata. Jadi dalam pandangan Amin Rais,  nabi itu adalah pengatur dalam segala persoalan, masalah apapun yang dihadapi. Namun Amin Rais tidak setuju kalau konsep negara di zaman nabi itu diterapkan sekarang,  Amin Rais lebih setuju kalau prinsip-prinsipnya saja yang diterapkan sekarang seperti prinsip keadilan.
Pendapat Amin Rais sejalan dengan pemikiran Ibrahim Husein. Menurut Ibrahim Husein,  dalam membahas konsep negara menurut Islam perlu dipisahkan antara konsep dasar syariah yang bersifat universal dengan hal-hal yang bersifat teknis dan kondisional yang merupakan refleksi dari tuntutan situasi dan kondisi yang temporal seperti bentuk negara, pemilihan kepala negara, atau tentang lembaga-lembaga negara.
Seiring dengan itu Abdurrahman Taj menjelaskan bahwa siyásah syari‘ah adalah hukum kebijaksanaan atau peraturan yang berfungsi mengorganisir perangkat kepentingan negara dan mengatur urusan umat yang sejalan dengan jiwa syari‘ah, sesuai dengan dasar-dasar yang universal (kully) serta (dapat) merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh na[-na[ taf[ili yang juz’i di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Siyásah yang Islami ialah suatu peraturan, perundangan, atau kebijak-sanaan yang secara faktual lebih dapat mendekatkan umat manusia kepada kemaslahatan dan lebih dapat menjauhkan diri dari kerusakan sekalipun hal itu tidak ditetapkan oleh Rasul dan tidak pula ada wahyu turun tentang hal itu.
Bagi kelompok ini, yang harus diabadikan dalam sebuah negara adalah nilai-nilai universal dan absolut seperti nilai keadilan, toleransi, musyawarah, dll. Dalam hal ini, Indonesia yang melaksanakan prinsip-prinsip hukum Islam sudah cukup. Sedangkan Piagam Madinah sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi hanyalah eksperimen yang menunjukkan pengalaman kenegaraan dalam Islam. Piagam Medinah memberikan pengalaman historis yang berharga tentang bagaimana nabi Muhammad membangun negara yang masyarakatnya majemuk dalam beragama. Bagaimana nabi meletakkan prinsip equality (persamaan) dan toleransi (tasammuh). 
Selanjutnya Azyumardi Azra menyatakan : Konsep dan bentuk negara yang baku  tidak ada dalam Islam. Saya kira bukan tanpa hikmah nabi SAW memberikan contoh melalui eksperimen Medinah. Apabila nabi sudah membuat  model yang baku padahal nabi sendiri hidup 15 abad yang silam, mungkin saja praktik model itu tidak relevan  lagi dengan masa sekarang.
Dalam hal ini ada baiknya kita mengetahui penjelasan Maududi seputar hubungan tauhid dalam kaitannya dengan kegiatan politik. Menurut Maududi sistem politik Islam didasarkan kepada tiga prinsip pokok yaitu Tawhâd, Risálah dan Khiláfah. Dengan konsep tauhid ditegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Rabb  atau pencipta dan penguasa alam ini, maka Dialah yang berdaulat terhadap alam ini. Kedaulatan tertinggi adalah milik Allah sedangkan manusia sama sekali tidak memiliki kedaulatan.
Allah sebagai Rabb berarti Tuhan yang memelihara, mengatur, mengasihi dan menyempurnakan. Dialah satu-satunya Penguasa dan Pemilik. Karena hanya Allah sebagai Rabb manusia maka manusia ketaatan dan kepasrahan manusia hanya diserahkan kepada Allah, tidak boleh diserahkan kepada makhluk. Dalam arti inilah Allah sebagai Iláh (yang disembah, al-ma‘bãd). Hanya Allah-lah yang berhak mengklaim sebagai hakim serta tidak ada undang-undang selain undang-undang-Nya. Segala aturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan aturan Allah adalah bathil.
Prinsip kedua adalah Risálah,  yaitu sunnah nabi. Al-Qur’an hanya menje-laskan prinsip-prinsip pokok sebagai landasan yang harus dipatuhi manusia, selanjutnya apa-apa yang global itu diperjelas oleh Rasulullah sepanjang hayatnya. Oleh karena itu, pedoman dasar bagi kehidupan manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kedua pegangan itu dalam terminologi Islam disebut syari‘at.  Selanjutnya Maududi menjelaskan bahwa syari'at baru dapat ditegakkan apabila didukung oleh kekuasaan (sulthan) .
Kosep ketiga adalah Khiláfah, yaitu manusia sebagai wakil Tuhan (khilâfah) di atas bumi. Menurut Maududi,  manusia mempunyai kekuasaan yang didelegasikan oleh Allah kepadanya dengan batas-batas tertentu.  Ini artinya bahwa pemilik kekuasaan itu pada hakikatnya adalah Allah. Manusia (umat) wajib menaati khalifah itu selama dia menaati kehendak Allah. Dengan teori kekuasaan mutlak milik Allah, maka negara yang dicita-citakan oleh Maududi adalah kerajaan Tuhan, kingdom of God, Mulkiyah Allah atau theocracy. Allah sebagaimana firman-Nya :
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً .(النساء 65)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. QS. 4 : 65)

Para pemikir pembaharuan teologis seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Amin Rais, Syafi'i Ma'arif dan Azyumardi Azra,  berusaha meyakinkan umat Islam bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 adalah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pokok Islam. Menurut mereka,  Pancasila dengan Piagam Madinah sama-sama mengajak kepada  kalimah sawa (kata yang sama) yang mengatur proses sosial politik dari sebuah komunitas keagamaan yang bersifat heterogen.
Bagi Azyumardi Azra, NKRI dengan dasar filosofi Pancasila sudah cukup. Secara eksplisit ia menyatakan :
Sehubungan dengan filosofi nasional, Pancasila, apakah bersifat  pro atau anti Islam, pada intinya tak ada yang salah pada Pancasila dari kacamata ajaran   Islam. Semua sila di Pancasila bersesuaian  dengan Islam, Islam mengajarkan manusia untuk hanya percaya kepada satu Tuhan, seperti yang biasa gamblang terlihat pada kalimat syahadat. Islam juga mendesak pemeluknya untuk saling mengasihi dan bermusyawarah dalam urusan sosial politik., Di samping itu Islam sangat menekankan tegaknya keadilan sosial . Berdasarkan alasan-alasan ini tidak mengejutkan bahwa para pemimpin muslim terlibat dalam poses penyusunan Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945 dan 16 Agustus 1945 menerima Pancasila sebagai filosofi nasional Republik Indone-sia.
Menurut para pemikir kelompok Pembaharu, Negara NKRI sudah final dan bersifat akomodatif terhadap nilai-nilai Islam  misalnya pengesahan UU Peradilan Agama (1989), Kompilasi Hukum Islam (1991), dan pengesahan Undang - undang Zakat (1999).
Para pembaharu menawarkan konsep yang mengesampingkan segi formal dan legal Islam, tetapi mengembangkan Islam substantif – meminjam istilah Munawir Syadzali – bukanlah theocratic state tetapi religious state. Bedanya, yang pertama menekankan formalisme  dan legalisme ideologis yang menghendaki konstitusi negara  yang secara tegas didasarkan kepada Islam (Islam sebagai ideologi negara) dan menghendaki agar masalah kenegaraan berada di tangan pemimpin agama. Sedangkan yang kedua (religious state) yang  kendatipun secara legal – formal tidak mendasarkan konstruk negara kepada ideologi Islam tetapi memperhatikan nilai-nilai Islam.
Walaupun kelompok pembaharu  telah menyampaikan argumentasinya secara panjang lebar dan memakan waktu puluhan tahun, tetapi kelompok funda-mentalis tetap pada pendiriannya, serta menolak model negara demokrasi, bahkan menuduh para pembaharu teologis itu sebagai mempropagandakan sekularisasi serta menghancurkan watak holistik Islam. Mereka membuat perbedaan antara negara demokratis dengan negara Islam sebagaimana dapat dilihat pada table di bawah ini.
PERBEDAAN ANTARA NEGARA DEMOKRATIS
DENGAN NEGARA ISLAM
Negara Demokratis
Negara Islam
Kedaulatan di tangan rakyat artinya Keterlibatan  rakyat dalam memproduksi hukum (Lyman Tower dalam buku  Contemporary political ideology).
Kedaulatan di tangan Allah, hanya Allah yang berhak memproduksi hukum (al. konsep Maududi).
Pengambilan keputusan diambil dengan musyawarah mufakat atau dengan suara mayoritas.
Kekuasaan di tangan ummat. Mereka yang memegang kekuasaan harus dipilih oleh ummat ditunjukkan dengan bai‘at.
Kebebasaan beragama. Pindah-pindah agamapun hak warga negara tidak ada sanksi.
Ada kebebasan beragama tetapi bagi mereka yang murtad terkena dengan hukum bunuh.
Ada pembagian kekuasaan (power sharing)
Dalam pengambilan keputusan Syar’i oleh para mujtahid sedangkan pengambilan keputusan teknis diambil oleh para ahli.
Pemilu untuk memilih pemimpin mereka .
Pemilu dimulai dengan pemilihan oleh ahlu al-\allâ wa al-‘aqdi.

Secara faktual, paling tidak sampai hari ini, pendapat yang ketiga  yang antara lain sekarang dikumandangkan oleh Harun Nasution, Munawir Syadzali, Azyumardi Azra, Amin Rais dan lain-lain, adalah pendapat  yang paling banyak berpengaruh pada masyarakat muslim secara umum di Indonesia, lihat saja dalam Pemilu 1998 yang lalu, partai-partai yang secara jelas-jelas ingin menerapkan syari‘at Islam ternyata kalah. Bahkan perdebatan di MPR antara kelompok yang ingin agar konstitusi NKRI  berdasarkan Islam  dengan kelompok muslim yang ingin tetap negara Indonesia berdasarkan Pancasila seperti sekarang, 
Jika ditelusuri  lebih ke belakang lagi, munculnya perdebatan soal hubungan Islam dengan negara  adalah sebagai reaksi atas tekanan berat akibat dunia Islam sejak abad 18 diekspansi oleh Barat  sehingga hampir seluruh negara-negara Islam dikuasai oleh Eropa.
Ekspansi Eropa ke negara-negara Islam mengakibatkan reaksi dan sejumlah pertanyaan, mengapa Islam yang jaya dapat dihinakan oleh Barat. Sebahagian konseptor muslimin lantas meniru mentah-mentah konsep negara ala Barat seperti Kemal At-Taturk di Turki, ini lebih dikenal dengan Westernisasi. Sebagian lagi menggunakan konsep Islam yang dipadukan dengan  Barat. Dengan penafsiran-penafsiran baru, kelompok ini adalah kelompok Islam Pembaharuan yang antara lain menghasilkan konsep nation-state atau konsep   Nasionalisme seperti Mesir dan Indonesia. Sedangkan sebahagian lagi justeru menghendaki agar kembali kepada konsep Islam klasik apa adanya, yakni berasakan Islam dengan sistem khiláfah. Kelompok ini disebut Fundamentalis Islam, atau kelompok militan atau dalam istilah  Azyumardi Azra sebagai revivalisor.
Menghangatnya kembali pembahasan tentang konsep negara Islam akhir-akhir ini disebabkan oleh  beberapa faktor. Pertama : Karena kesadaran umat Islam sendiri tentang hakikat agama. Menurut beberapa pemikir, agama  adalah instrument Ilahiyah atau instrument transendental  untuk memahami dunia, demikian pandangan Robert Nabilah. Maksudnya Tuhan menurunkan agama adalah agar manusia mampu memahami dunia, baik dalam kehidupan pribadi (agama private) maupun dalam kehidupan bermasyarakat (agama public). Dengan demikian terdapat hubungan yang  inextricable antara agama dan persoalan-persaoalan kemanusiaan.
Islam dibandingkan dengan agamaagama lain, sebenarnya  merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini.  Alasan utamanya karena sifatnya yang omnipresent atau senantiasa mampu “hadir” di mana-mana, dan menjadi nilai panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.  Tokoh yang lebih dahulu berpendapat demikian secara tegas – walaupun dalam terminologi lain -- adalah Hasan al-Bana. Menurutnya, agama Islam adalah sebagai  nidzam asy-syumul  (sistem yang lengkap). Islam mampu dijadikan panduan moral karena – demikian Ismail Yusanto (juru bicara Hizbut Tahrir) -- Islam mempunyai ajaran yang genuine (asli) bersumber dari wahyu Ilahi tentu sangat compatible dengan sturuktur fisik dan kejiwaan manusia sebab memang Islam diturunkan untuk mengatur manusia. Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.
Karena Islam merupakan sistem yang lengkap dan komprehensif, maka menurut Bahtiar Effendy Islam meliputi tiga “D” yakni Dân  (agama), dunya (dunia) dan daulah (Negara). Dengan sifatnya yang komprehensif ini Islam dipandang sebagai sebuah totalitas yang padu yang menawarkan solusi terhadap segenap problema kehidupan. Selanjutnya ia menyatakan :
Islam adalah suatu totalitas yang padu yang menawarkan terhadap semua masalah kehidupan. Islam harus diterima dalam keseluruhannya, dan harus diterapkan dalam keluarga, ekonomi dan politik. (Bagi kalangan muslim) realisasi sebuah masyarakat Islam dibayangkan dalam penciptaan sebuah negara Islam, yakni sebuah “Negara ideologis’ yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam yang lengkap.
Dengan konsep tiga “D “di atas tidaklah heran apabila kini bermunculan kembali suara-suara (wacana) dan bahkan harakah yang menghendaki agar segenap kehidupan muslim baik sosial, ekonomi dan politik  yang didasarkan kepada Islam secara eklusif, dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam atau fundamentalisme Islam.
Kedua, Menengok kembali kepada kenyataan sejarah;  Islam bukanlah segepok teori dan ilusi kosong tanpa kenyataan, Islam sebagai agama telah ada sejak 14 abad yang silam dan sebagai mabda’ telah pernah terwujud secara faktual sebagai realitas historis selama berabad-abad di berbagai wilayah.  Dalam realita sejarah,  Muhammad SAW selain sebagai Rasulullah juga sebagai kepala negara Di negara Madaniyah Rasulullah mendeklarasikan undang-undang sebagai landasan konstitusi yang mengatur hubungan antar warganya, menjelaskan hak dan kewajiban, termasuk kebebasan berkeyakinan.
Ketiga  karena ternyata konsep negara sekuler telah dianggap gagal oleh banyak kalangan muslim dalam membawa negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim kepada kejayaan, termasuk Indonesia yang hancur morat marit karena krisis multi dimensi. Mereka merasa kesal terhadap keadaan negara yang terus menerus oleng padahal mereka didambai setumpuk harapan untuk segera menikmati negara Islam Indonesia.
Keempat: Lahirnya kembali optimisme terhadap prospek Islam masa depan  sebab (1). Dunia yang terus bergejolak dan hancurnya komunis.  Ada anggapan bahwa kehancuran komunisme adalah kemenangan kapitalisme. Ini sangat salah karena kapitalisme dengan komunisme berakar dari unsur yang sama yakni materalisme yang hanya menghargai materi serta tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan. Hanya caranya  yang berbeda, yang satu menggunakan jalur kolektivisme sedangkan yang lain menggunakan jalur individualisme. Ujungnya adalah kehancuran moral dan akhlaq. (2). Maraknya kezaliman atas diri umat Islam di berbagai belahan bumi meningkatkan kesadaran akan Islam dan memperkokoh persatuan. (3). Terinspirasi oleh munculnya Eropa Bersatu yang didasarkan atas kesadaran bahwa untuk mengatasi masalah manusia tidak cukup dengan skop nasional. Lantas muncul pertanyaan mengapa Islam tidak membuat Negeri Bersatu.
Dari uraian di atas, ide mendirikan negara Islam yang dikedepankan oleh kelompok fundamentalis bukanlah ide baru, tetapi ide ini secara terus menerus diimbangi  oleh para pemikir modernis yang lebih menghendaki gagasan negara Islami (bukan negara  Islam).

*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber 







DAFTAR PUSTAKA

_________  Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun, 1992.
A. Qodri A. Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo, Edisi 13, Tahun 1999
Abbas Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M. Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir: Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2001
Abu A’la  al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.            
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister, “Introduction,”  dalam Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons, 1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran. Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir, Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut, Dar El-Fikr, 1986     
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global  Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun   XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe, 1960.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,”  dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1980
Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia,  Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul ‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli : The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits. Beirut, Dar El-Fikr, 1981          
John. L. Esposito, “Islamic Studies,”  The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford & New York: Oxford University Press, 1995
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana,  Vol 2, No. 2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.  ‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,” Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun, hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren Persis Garut, 1408 H    
M. Atho Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No. 1, April 2000
Mastuhu & Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris: EHESS, 1994
Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H. 
Muhammad Yususf Musa, al-Insan wa Hajah Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali, 1988
Nasaruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1982
Neil Muider, Kepribadian jawa, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal of Asian Studies, 1987
Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul aslinya: Sociology of Religion, Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan, Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Sutan Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.      
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,   Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir,  Beirut , 1991 Juz 30, 
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985
 

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...