Monday, April 11, 2016

ISLAM DAN KARAKTERISTIKNYA*

A.     PENAMAAN ISLAM

Terkait dengan penamaan agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sebutan “Islam”, Wilfred Cantwell Smith pernah mengatakan:
The first observation is that of all the world’s religious traditions the Islamic would seem to be the one with a built-in name. The word Islam occurs in the Qur’an itself, and Muslims are insistent on using this term to designate their system of faith. In contrast to what has happened with other religious comunities[1]
Kutipan di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa agama Islam yang disampaikan oleh nabi Muhammad bukanlah Mohammedanism, sebagaimana telah banyak ditulis oleh para orientalis Barat. Pada umumnya para orientalis barat menamakan demikian -Islam sebagai Mohammedanism- karena mereka mengkaitkan dengan subjek pembawanya yakni Muhammad SAW, sebagaimana hal ini telah biasa terjadi pada agama-agama selain Islam. Agama Budha, misalnya, nama itu dikonotasikan dengan tokoh pembawanya yakni Budha Gautama, demikian pula agama Kristen dinisbahkan kepada tokoh penyampainya yakni Isa yang biasa pula disebut dengan Yesus atau Kristus, dan lain sebagainya. Sedangkan agama Islam sama sekali tidak bisa dinisbahkan kepada nabi pembawanya yakni Nabi Muhammad, dan penamaan Islam itu sendiri bukan dari nabi Muhammad melainkan langsung berasal dari Allah sebagaimana telah ditegaskan di dalam beberapa ayat al-Qur’an.
 Diantara ayat itu adalah Qs. al-Ma’idah (5) ayat 3  dan Qs. Ali Imran (3) ayat 19 berikut ini:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai bahwa Islam itu menjadi agamamu” (Qs. al-Ma’idah/5: 3).
إنّ الدّين عند الله الإسلام
Artinya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (Qs. Ali Imran/3: 19)
Dari ayat di atas menjadi jelas bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam, dan nama itu langsung dari Allah sendiri, bukan Muhammedanism sebagaimana yang disangkakan oleh para orientalis-Barat. Kalau memang demikian maka penyebutan Islam dengan Mohammedanism jelas tidak dapat dibenarkan dan bahkan boleh jadi merupakan suatu penghinaan. Dikatakan tidak tepat atau salah karena Muhammad SAW bukanlah pencipta agama Islam, tetapi ia hanyalah sebagai seorang rasul yang diutus oleh Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Dan penyebutan Islam dengan Mohammedanism dianggap sebagai penghinaan karena sebutan itu mengandung konotasi bahwa Islam berpusat pada diri Muhammad (manusia), bukan kepada Tuhan Allah. Memang menyebut agama yang disampaikan oleh Isa (Kristus) dengan Kristen dapat dibenarkan, karena para pemeluknya sendiri telah menamakan demikian dan mereka juga telah mempercayai keberadaan Kristus itu sebagai Tuhan, bukan hanya sekedar nabi atau rasul. Oleh karena itu menamakan agama Islam dengan Mohamme-danism, di samping salah dan merupakan penghinaan, sekaligus berarti telah mengidentikkan agama Kristen dengan Paulusisme, yang hal itu tidak relevan dengan eksistensi agama itu sendiri, dan karena itu mesti ditolak. Jadi sebutan yang tepat terhadap agama yang disampaikan oleh nabi Muhammad adalah Islam, bukan Mohammedanism, dan sebutan seperti itu merupakan ketetapan dari Allah sendiri dalam firman-Nya.

B.     PENGERTIAN ISLAM
Islam adalah agama samawi penutup yang diturun-kan Tuhan ke dunia melalui seorang rasul, Muhammad SAW. Misi utamanya adalah mengantarkan manusia menuju pada kehidupan yang damai, harmonis, aman, tenteram, sejahtera, dan bahagia, tidak hanya di dunia ini, namun juga pada kehidupan di akhirat kelak. Hal ini adalah sesuai dengan nama Islam itu sendiri yang berarti perdamaian, keselamatan.
Secara etimologis kata Islam berasal dari bahasa Arab “salima” yang berarti damai, selamat dan atau sejahtera. Kemudian dari kata itu dibentuklah istilah taslim, yang secara bahasa berarti tunduk, patuh dan pasrah, [2] maksudnya adalah tunduk dan patuh serta pasrah kepada kehendak Tuhan. Oleh karena demikian maka yang tunduk dan patuh serta pasrah kepada kehendak Tuhan, dari tinjauan kebahasaan layak untuk dinamakan atau diatributi dengan sebutan muslim.
Ada beberapa contoh pengertian Islam yang dapat diajukan di sini. Kata Islam, salam, salm, silm, berasal dari kata yang sama, yaitu s – l – m (س - ل - م) namun memiliki konotasi makna yang berbeda. Kata salam (سلام)  mempunyai makna “perdamaian.” Ungkapan ini bisa dilihat pada QS. Al-Nisa’: 90-91 dan “menyerah diri,” sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nahl: 28, 87 dan QS. Al-Zumar: 28. Kata salm (سلم) mempunyai makna “perdamaian”. Ungkapan ini bisa disaksikan pada QS. Al-Anfal: 61 dan QS. Muhammad: 35. Begitu juga kata silm (سلم) mempunyai makna “masuk agama Islam”. Ungkapan ini bisa dilihat pada QS. al-Baqarah: 208. Sedangkan kata salam (سلام) memiliki makna “ucapan salam”. Penjelasan ini bisa diketahui pada QS. Al-Nisa’: 94, al-An’am: 54, dan al-A’raf: 46. Semua makna yang diajukan di atas adalah pengertian Islam menurut bahasa (etimologis).
Atas dasar pengertian kebahasaan di atas, selanjutnya dapat dirumuskan pengertian Islam dari tinjauan istilah (terminologi). Secara terminologis makna Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT., yang mengajarkan dan mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya, yang meliputi pokok-pokok kepercayaan dan aturan-aturan hukum yang dibawa melalui utusan yang terakhir, Nabi Muhammad SAW., dan berlaku untuk seluruh umat manusia.[3] Ada juga yang memberikan pengertian, bahwa Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. yang berupa apa saja yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut di dalam al-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.[4] 
Menurut al-Jurjani Islam adalah al-khudlu’ wa al-inqiyad lima akhbara bih ar-rasul saw,[5] yakni tunduk dan patuh kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah  SAW. Dengan ketundukan dan kepatuhan itu selanjutnya akan terwujud kedamaian dan kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di hari akhirat kelak. Tunduk dan patuh kepada ajaran yang disampaikan oleh nabi Muhammad berarti hidup dengan penuh sikap ketundukan dan kepatuhan kepada kehendak Allah, sebab ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Muhammad itu hakikatnya tidak lain adalah merupakan manifestasi atau perwujudan dari kehendak Allah, yang riilnya berupa aturan-aturan hidup yang telah tergelar di sepanjang kitab suci al-Qur’an.[6]
Lebih jauh dari pemaknaan kata Islam tersebut dapat ditegaskan bahwa Islam tidak lepas dari adanya sikap hidup tertentu. Setidaknya dapat ditemukan dua karakteristik penting sikap hidup yang bersifat islami dan harus dimiliki oleh setiap orang muslim, yakni aktif-bertindak (tidak pasif) dan terarah-teratur (tidak ngawur). Aktif maksudnya adalah senantiasa beraktivitas sebagai cerminan dari kepatuhan dan ketundukan terhadap kehendak Tuhan, dan terarah artinya ketundukan itu harus dilakukan dengan senantiasa tetap berada di atas jalur dan ajaran yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebagai tergelar dalam wahyu-Nya. Jadi kalau demikian maka pengertian Islam sebagai sikap hidup (ketundukan) dan Islam sebagai sebuah doktrin jelas bukan merupakan dua hal yang mesti terpisah—meskipun dapat dibedakan—melainkan merupakan kesatuan integral yang tidak boleh dipahami secara sepotong-sepotong, keduanya bagaikan dua sisi berbeda tetapi menunjuk pada sebuah realitas.
Ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan kepada kehendak Tuhan tidak hanya terjadi pada diri manusia. Seluruh alam semesta dan isinya pun secara natural (fitri) ternyata juga tunduk dan patuh serta pasrah kepada kehendak Tuhan. Oleh karena itu sesungguhnya bukan hanya manusia saja yang layak diapresiasi sebagai muslim, tetapi alam pun juga bisa dinyatakan sebagai muslim; dan inilah pengertian Islam secara luas yang berintikan pada ketundukan dan kepatuhan serta kepasrahan.[7] Dalam al-Qur’an telah terdapat beberapa ayat yang secara eksplisit menyatakan kemusliman alam semesta, selain manusia. Langit dan bumi (benda-benda mati) adalah selalu taat dan patuh serta pasrah (islam) kepada Allah (Qs. Fushilat/41: 11); demikian pula segala apa yang terdapat di langit dan bumi, baik yang berupa benda mati maupun yang hidup (Qs. an-Nahl/16: 49 dan Ali Imran/3: 83). Dengan demikian semua makhluk berjalan secara alami, teratur, seimbang, mengikuti hukum alam yang ditetapkan oleh Tuhan—sunnatullah—dan yang demikian itu berarti islam kepada kehendak Tuhan. Dan hukum alam itulah yang kemudian dipergunakan oleh menusia dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Relevan dengan ketundukan dan kepasrahan alam terhadap hukum Tuhan, manusia dalam arti fisik dan psikis secara natural atau alami adalah Islam. Keislaman fisik manusia karena secara fitri ia diciptakan dari unsur material yang secara alamiah memang memiliki watak dasar selalu tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan. Sementara dimensi psikisnya karena Allah telah meniupkan ruh (suci) kepadanya, dan bahkan ruh itu telah mengikat perjanjian primordial dengan Tuhan ketika belum lahir ke dunia dan menyatakan kesanggupannya untuk tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan (Qs. al-A’raf/7: 172). Meskipun secara fitri manusia adalah Islam, namun ketika mereka lahir ke dunia kenyataan empirik menunjukkan bahwa tidak semua manusia itu tunduk dan patuh kepada Tuhan. Memang mereka secara fisik adalah muslim, tetapi psikisnya belum tentu muslim.[8] Hal ini tejadi karena manusia di samping memiliki ruh, mereka dalam penciptaannya juga dilengkapi dengan nafsu dan akal, sehingga ia memiliki peluang kebebasan untuk memilih menjadi muslim atau justru sebaliknya, dan hal seperti ini tidak terjadi pada selain manusia. Kalau memang demikian berarti kalau manusia itu muslim maka kualitas keislamannya tentu berbeda dengan keislaman alam semesta; manusia muslim dengan melibatkan unsur kesadaran pertimbangan akal sehat dan usaha piluhan bebasnya, tidak bersifat alamiah semata seperti keislaman alam semesta. Dan begitu pula sebaliknya, jika mereka menolak maka penolakannya itu juga melibatkan unsur-unsur usaha dan pilihan bebasnya. Itulah sebabnya di akhirat nanti hanya manusia yang dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sebagai agama ketundukan, Islam beresensikan tauhid. Sebagaimana dijelaskan dalam Qs. al-A’raf/7: 172, ruh manusia sudah mengadakan perjanjian primordial, dan ia telah mengesakan Tuhan sebelum lahir ke dunia. Atas dasar ini tauhid (mengesakan Tuhan), sebagaimana dinyatakan Hossein Nasr, merupakan kebenaran bersifat abadi yang telah ada sejak permulaan.[9] Hanya saja ada kalanya kemudian ia tertimbun sehingga tidak bisa tumbuh mekar (kafir). Akan tetapi meski demikian, fitrah ketauhidan itu tidak akan pernah lenyap-hilang dan mati, sebagaimana firman Allah “la tabdil li khalq Allah” (Qs. ar-Rum/30: 30). Fitrah ketauhidan yang abadi inilah yang oleh para filosof perennial biasa diapresiasi sebagai sophia perennis atau hikmah khalidah (kebijaksanaan atau kebenaran abadi).
Konsepsi di atas mengimplikasikan bahwa Islam dengan tauhid sebagai esensinya merupakan agama yang mencakup seluruh sejarah kemanusiaan; Islam sudah ada sejak permulaan, oleh karenanya bersifat universal. Adam sebagai manusia pertama adalah muslim berdasarkan kenyataan bahwa ia merupakan nabi pertama dan bahwa ia telah mengakui keesaan Allah, dan begitu pula para nabi atau rasul lainnya yang hadir sebelum Muhammad. Sebagai misal adalah: Nabi Nuh (Qs. Yunus/10: 71-72); Ibrahim (Qs. Ali Imran/3: 67 dan al-Hajj/22: 78); Ya’kub (Qs. al-Baqarah/2: 132); Yusuf (Qs. Yusuf/12: 101); Sulaiman (Qs. an-Naml/27: 29-97), Isa (Qs. Ali Imran/3: 52) dan sebagainya. Jika memang demikian adanya maka secara doktrinal agama Islam (baca, tauhid) yang disampaikan oleh nabi Muhammad tidak bisa dikatakan sepenuhnya bersifat baru, karena sudah diajarkan para nabi sebelumnya. Dalam konteks ini ketauhidan yang dibawa Muhamad lebih bermaksud memberikan penegasan kembali terhadap kebenaran asasi (tauhid) yang menjadi inti agama Allah, yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhamad. Kebenaran asasi itu terangkum dalam konsep ad-din al-hanif (ketundukan primordial) yang mengandung makna tidak saja tunduk terhadap aturan Tuhan tetapi juga kepada kebenaran-kebenaran spiritual-asasi yang tidak berubah yakni tauhid. Doktrin tauhid inilah yang merupakan esensi Islam yang disampaikan oleh Muhammad dalam al-Qur’an dan juga para nabi sebelumnya. Dalam konteks ini kemudian al-Qur’an menyebut Muhammad dengan istilah khatam al-anbiya’ yang berarti penutup para nabi (Qs. al-Ahzab/33: 40). Di samping itu kata khatam juga berarti cincin yakin cincin pengesah dokumen (kebenaran kitab suci sebelumnya).[10] Sebagai konsekuensinya maka setiap umat Muhammad di samping mengakui kebenaran al-Qur’an, mereka juga wajib mengakui keabsahan kitab-kitab suci terdahulu sebagai pembawa pesan ketuhanan pada zamannya, dan itulah sebabnya beriman kepada kitab-kitab suci, tentu termasuk juga kitab suci sebelum al-Qur’an, merupakan salah satu rukun iman. Inilah makna dan fungsi Islam (baca, tauhid) yang disampaikan oleh Muhammad sebagai pembenar atau penegas kembali agama (baca, doktrin ketauhidan) yang diajarkan oleh para nabi sebelumnya.
Sebagai agama terakhir, Islam yang disampaikan Muhammad sekaligus juga berfungsi sebagai pengoreksi dan penyempurna terhadap agama-agama sebelumnya (Qs. al-Baqarah/2: 87). Jika fungsi “penegas” lebih menyentuh pada aspek substansial agama yakni tauhid, maka fungsi sebagai penyempurna lebih berkaitan dengan aspek “bentuk” agama yakni syari’at—bagian yang kurang substansial. Sebab sebagaimana telah dijelaskan oleh para tokoh filosof perennial—Schoun misalnya—bahwa setiap agama mesti memiliki satu bentuk dan satu substansi.[11] Bentuk agama, atau dalam Islam adalah syari’at dalam pengertian sempit—kata Schoun, bersifat relatif (tidak absolut), namun di dalamnya terkandung muatan substansial yang bersifat mutlak. Karena agama adalah merupakan gabungan dari substansi dan bentuk, maka agama kemudian menjadi suatu yang absolut tetapi relatif, dan itulah sebabnya agama bisa disebut sebagai relatively-absolute.[12] Konsepsi seperti ini sama sekali tidak berarti bentuk agama itu menjadi tidak atau kurang penting; substansi dan bentuk agama, menurut perennialis, adalah sama-sama penting, sebab substansi dan misi suatu agama baru bisa menjadi aktual ketika agama itu tampil dalam bentuknya yang nyata, dapat dikenali oleh manusia. Lebih dari itu dengan bentuk, keberadaan suatu agama menjadi fungsional dan operasional. Dalam konteks ini al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa “bagi setiap umat telah Kami tetapkan syari’at khusus (Qs. al-Hajj/22: 67). Dengan kata lain, perbedaan agama yang disampaikan oleh para rasul hanya menyangkut bentuk-syari’atnya, sedangkan substan-si agama berupa tauhid tidak ada perbedaan signifikan. Konsepsi semacam inilah rupanya yang dikehendaki oleh para tokoh filsafat prennial dalam pernyataannya bahwa “bentuk agama bersifat relatif, namun di dalamnya terkandung muatan substansial yang bersifat mutlak”.
Berfungsinya Islam (Muhamad) sebagai penyempur-na agama sebelumnya menunjukkan bahwa agama Islam yang disampaikan oleh Muhamad adalah agama yang sempurna, baik substansi maupun bentuknya. Pada sisi lain juga berarti bahwa agama yang dibawa para rasul sebelum Muhammad adalah relatif belum sempurna, untuk tidak mengatakan tidak sempurna. Karakter ketidak-sempurnaan ini setidaknya terlihat dalam agama yang dibawa oleh nabi Musa (ada yang menyebut, Yahudi) misalnya dan nabi Isa as (kadangkala dinamakan, Kristen), yang keduanya telah hadir kepada umat manusia mendahului Islam yang disampaikan oleh nabi Muhamad SAW. Dua agama sebelum Muhamad itu dalam batas-batas tertentu bisa dikatakan berbeda secara diametral: agama yang disampaikan Musa memberikan penekanan yang begitu kuat terhadap eksoterisme, meskipun tidak sampai membuang atau meniadakan esoterisme agama, sedangkan agama yang dibawa oleh nabi Isa begitu memberikan penekanan atas dimensi esoterisme, meskipun tentu saja tidak sampai berarti meniadakan eksoterisme. Sementara itu agama Islam yang disampaikan oleh Muhamad mensisn-tesiskan secara seimbang dua dimensi agama tersebut, bahkan kedua dimensi itu diposisikan dalam pola hubungan kesatuan integral. Terhadap agama Musa, Islam Muhammad melengkapi dengan ajaran kasih (esoterisme), dan sebaliknya terhadap agama Isa, Islam Muhamad melengkapinya dengan doktrin-doktrin yang bersifat legal-formal (eksoterisme).[13] Inilah salah satu karakteristik Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad sebagai indikasi kesempurnaannya, sehingga rasional kalau kemudian ia juga berperan menyempurnakan agama-agama yang telah disampaikan oleh para rasul sebelumnnya. Oleh karena itu al-Qur’an secara eksplisit telah menyatakan bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad merupakan agama yang telah sempurna (Qs. al-Ma’idah/5: 3).

C.     KARAKTERISTIK ISLAM
Sebagai pembuka untuk menguraikan universalitas Islam, kutipan berikut ini penting untuk direnungkan. George Bernard Shaw, seorang pemikir Inggris terkemuka, pernah menyatakan mengenai Islam sebagai berikut:
Saya selalu memandang dengan penuh hormat terhadap agama (yang dibawa) oleh Muhammad, karena keistimewaan vitalitasnya. Ia adalah satu-satunya agama yang bagiku tampak memiliki kemampuan mengasimilasi fase-fase perubahan eksistensi, sehingga dapat menarik manusia dari berbagai usia. Aku telah mengkajinya—manusia istimewa tauladan zaman—dan dalam keyakinanku tidak sedikit pun ia menampakkan sikap anti Yesus, dan selayaknya pula apabila ia disebut sebagai penyelamat kemanusiaan. Saya yakin apabila orang seperti itu memiliki kekuasaan seperti seorang diktator dalam masa modern, tak pelak lagi pasti ia akan dapat menyelesaikan masalah lewat cara-cara yang akan melahirkan kedamaian dan kebahagiaan. Saya berani meramalkan bahwa apa yang diajarkan Muhammad di suatu masa kelak akan dapat diterima oleh orang Eropa, sebagaimana pula telah mulai diterima oleh orang Eropa masa kini.[14]
Pertanyaan yang mungkin mula-mula muncul usai membaca nukilan tersebut adalah karakteristik apa yang menyebabkan jutaan manusia menerima dan mengakui kebenaran Islam pada masa lalu, dan tetap sedemikian menariknya di zaman modern seperti sekarang ini? Sebagai agama yang melengkapi proses kesinambungan agama wahyu, agama Islam telah memiliki berberapa karakteristik atau sifat dasar,[15] dan sekaligus karakteristik itu merupakan keistimewaan Islam yang membedakannya dengan agama-agama lainnya. Diantara karakteristik itu adalah sifat universalitas ajaran Islam.
Berbeda dengan agama lain, termasuk agama yang dibawa oleh para nabi sebelumnya, Islam yang dibawa oleh Muhammad bersifat universal. Dan bahkan universalitas Islam atau keberlakuan ajaran Islam untuk seluruh manusia, yang hidup di segala tempat, zaman dan keadaan, merupakan suatu prinsip ajaran Islam yang mesti diterima oleh seluruh umat manusia (Muslim) sebagai suatu keyakinan.[16] Argumentasi-argumentasi keagamaan yang berkaitan dengan hal ini cukup banyak dan saling kait-mengkait, dan boleh jadi juga berbeda-beda. Namun pada akhirnya semua argumen bertemu pada satu titik kesimpulan atau konklusi bahwa kebenaran ajaran agama Islam—agama Allah yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan nabi Muhammad—itu adalah bersifat universal.
Di antara bukti dan sekaligus menjadi argumen atas universalitas ajaran agama Islam adalah terlihat pada uraian di bawah ini:
Pertama, jangkauan dan sasaran dakwah Islam. Kita ketahui bahwa para utusan sebelum Muhammad hanya diutus kepada kaum atau bangsa tertentu, sehingga misi dakwahnya bersifat lokal. Nabi Ibrahim dan Musa, misalnya, hanya diutus untuk menyampaikan dakwahnya kepada bani Israil, dan begitu pula Isa (Qs. ash-Shaff: 6); nabi Shalih khusus diutus untuk kaum Tsamud (Qs. an-Naml: 45) dan begitu seterusnya. Sedangkan nabi Muhammad, dengan agama Islam yang dibawanya, diutus kepada seluruh umat manusia, tidak hanya kepada kaum atau bangsa tertentu. Dan ajaran yang dibawa oleh beliau bisa berlaku untuk semua umat manusia, siapa pun dia, di mana pun dan kapan pun. Dengan kata lain, sasaran dakwah Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad bersifat lintas bangsa, waktu dan tempat. Hal seperti ini telah jelas dalam salah satu ayat al-Qur’an “tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk membawa khabar gembira dan peringatan bagi seluruh manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak tahu” (Qs. as-Saba’: 28).
Misi dakwah Islam oleh nabi Muhammad dilaksanakan melalui dakwah sepanjang hayatnya, dan kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudahnya dan atau ulama’ pewarisnya. Mula-mula Muhammad menyampai-kan dakwahnya kepada kaumnya sendiri suku Quraisy, dan kemudian meluas kepada suku-suku Arab lainnya. Setelah bangsa Arab yang berada di semenanjung Arabia menerima ajaran yang disampaikannya, Muhammad mengirimkan beberapa utusan kepada raja-raja dan para penguasa untuk mengajak mereka masuk Islam. Diantara penguasa itu adalah raja Persia, Ethiopia, penguasa Alexandria, Muwaqis dan gubernur Bizantium dan Basra.[17]
Penyampaian Islam ke negara-negara lain di luar semenanjung Arabia dilanjutkan oleh khalifah pertama Abu Bakar. Tetapi usaha itu baru jelas hasilnya pada masa khalifah Umar bin Khathab, di mana pada masa itu Islam mulai berhasil menembus wilayah Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Persia. Kemudian pada masa daulah umawi, dakwah Islam diperluas hingga ke Spanyol dan Perancis di Eropa dengan melalui Afrika Utara, ke Cina melalui Asia Tengah, dan bahkan sampai ke India dengan melalui Afghanistan. Dan pada masa sesudah itu Islam masuk ke Eropah Timur sampai pada perbatasan Wina, dan di Asia Tenggara sampai ke Malasyia dan Philipina serta Indonesia.[18] Dengan demikian Islam telah dianut oleh sejumlah manusia dari berbagai ragam bangsa, bahasa, budaya, ras dan adat-istiadat, dan bahkan juga kasta. Akan tetapi meski demikian mereka itu tetap disatukan oleh sumber ajaran fundamental yang sama yakni kitab suci al-Qur’an. Hal demikian ini menurut Harun Nasution menunjukkan bahwa misi dakwah Islam bukan hanya ntuk kaum tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia, karenanya Islam merupakan agama yang bersifat universal.
Kedua, ajaran Islam bersifat waqi’iyah, yakni berpijak pada kenyataan objektif manusia.[19] Dengan kata lain, ajaran Islam itu sesuai dengan realitas dasar manusia. Lebih jauh Qurasih Shihab menunjuk ayat pijakannya yakni “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (Qs. ar-Rum: 30). Kalau disadari bahwa fitrah kemanusiaan merupakan suatu yang dimiliki oleh seluruh manusia, maka hal itu berarti al-Qur’an telah memberi penegasan bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhamad sesuai betul dengan seluruh umat manusia.
Dalam konteks ini, Abdurrahman Wahid mengede-pankan contoh universalitas Islam, yakni berupa lima jaminan dasar bagi manusia, yaitu lima buah jaminan dasar yang diberikan kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun bersifat kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum Islam (al-kutub al-fiqhiyah) lama yakni jaminan dasar akan: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan utuk berpindah agama; (3) keselamatan keluarga dan keturunan; (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum dan (5) keselamatan profesi.[20]
Selain melalui lima jaminan dasar terhadap manusia itu, universalitas Islam, dalam konteks waqi’iyah, juga dapat dibuktikan melalui makna dasar Islam itu sendiri. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa substansi Islam adalah ketundukan primordial yakni ketundukan kepada hukum agama dan sekaligus juga ketundukan kepada kebenaran sepiritual asasi yang tidak pernah berubah (tauhid)—terlepas dari adanya penyelewengan—yang oleh para filosof perennial disebutnya sebagai kebnaran abadi. Ketundukan primordial ini, kata Hossein Nasr, sudah ada pada manusia sejak permulaan dan tidak akan pernah hilang. Jika memang demikian berarti ajaran Islam yang berintikan ketundukan itu sesuai dengan realitas objektif seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun. Terlepas dari adanya tindakan penyelewengan setelah manusia lahir ke dunia.
Hanya saja di sisi lain ada kenyataan yang tidak bisa dihindari yakni terjadinya perbedaan. Baik perbedaan yang disebabkan oleh persoalan waktu, tempat maupun oleh pribadi masing-masing manusia. Sifat redaksi al-Qur’an merupakan salah satu faktor yang ikut juga mengakibatkan terjadinya perbedaan-perbedaan itu.
Dari kedua kenyataan di atas, yang ternyata keduanya diakui keberadaannya oleh al-Qur’an, tampaklah karakter waqi’iyah ajaran Islam. Dan dari dua kenyataan itu pula ditarik konklusi perihal adanya ajaran al-Qur’an yang bersifat universal, berpijak pada kesamaan yang dimiliki oleh semua manusia, dan ada pula yang partikular atau kondisional akibat perbedaan-perbedaan manusiawi tempat atau waktu. Menurut Harun Nasution,[21] ajaran  al-Qur’an bersifat universal, yang tidak berubah dan tidak boleh dirubah hanya sedikit sekali yakni kurang lebih hanya 500 ayat atau sekitar 8 % dari seluruh ajaran al-Qur’an. Kemudian tentang perincian maksud dan pelaksanaan ajaran dasar al-Qur’an itu dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, tempat dan waktu tertentu. Akibatnya muncullah berbagai aliran dan mazhab dalam dunia Islam, baik menyangkut teologi, falsafah, tasawuf dan sebagainya, yang semuanya itu dapat dikembalikan kepada istilah Syah Walilyullah sebagai Islam universal dan lokal.[22] Maksudnya, di dalam Islam memang terdapat ajaran-ajaran yang bersifat universal, tetapi penafsiran dan cara pelaksanaan ajaran-ajaran universal itu berbeda dari satu tempat ke tempat lain, bercorak lokal. Inilah kata Harun Nasution suatu bukti bahwa Islam merupakan agama yang selalu sesuai dengan segala tempat dan zaman.[23]
Diantara contoh universalitas al-Qur’an, ditinjau dari sisi zaman, adalah ajaran musyawarah. Di dalam al-Qur’an dinyatakan “wa syawir hum fi al-amr”, hanya saja opersional musyawarah tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Maka dalam sistem pemerintahan monarkhi Islam di masa silam musyawarah dilaksanakan melalui raja dengan meminta pendapat kepada pembanatu-pembantu dekatnya, dan setelah mempertimbangkan pendapat-pendapat itu kemudian raja mengambil keputusan. Penafsiran ini tentu berbeda lagi dengan penafsiran-penafsiran pada masa modern seperti sekarang ini. Yang jelas sebagai dinyatakan oleh Harun Nasution, karena semuanya  adalah penafsiran dan penjabaran dari ajaran dasar al-Qur’an maka semuanya berada dalam lingkup kebenaran.

D.    KERANGKA DASAR ISLAM
Tentang kerangka dasar Islam terdapat berbagai formulasi yang disampaikan oleh para ahli. Dengan mengikuti sistematika iman, islam dan ihsan seperti dijelaskan oleh hadis nabi. Endang Saefuddin Anshari menjelaskan bahwa kerangka dasar ajaran Islam terdiri dari akidah, syari’ah dan akhlak. Ketiga kerangka dasar ajaran Islam itu dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
1.       Akidah
Secara etimologis kata akidah merupakan bentuk masdar dari ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan, yang berarti simpulan, ikatan dan sangkutan. Sedangkan secara teknis, akidah berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Pembahasan tentang akidah Islam pada umumnya berkisar pada arkan al-iman, rukun iman yang enam. Secara keilmuan, kajian tentang akidah Islam dilakukan oleh ilmu tauhid, ilmu kalam dan juga filsafat Islam.
Karena ia sebagai suatu keyakinan, maka ia hanya bertempat dalam hati. Tidak selamanya akidah Islam itu bersifat rasional, sebab memang ada masalah-masalah tertentu yang akal tidak mempu merasionalkan. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh para mutakallimin dan filosof muslim hanyalah terbatas pada upaya pengukuhan dan pemerincian lebih lanjut terhadap akidah Islam itu.
2.       Syari’ah
Secara etimologis syari’ah berarti jalan lurus ayang harus ditempuh. Sedangkan secara teknis syari’ah ialah sistem norma hukum ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan benda di dalam lingkungan hidupnya.[24] Jadi syari’at Islam itu memuat aturan-aturan atau hukum Allah yang mengatur hubungan manusia, baik yang menyangkut kaidah ibadah maupun kaidah muamalah. Karena syari’ah merupakan hukum-hukum yang ditetapkan Allah, maka tingkat kebenarannya bersifat mutlak, berbeda dengan fikih sebagai hasil ijtihad yang tentu kebenarannya bersifat relatif. Secara keilmuan, kajian tentang syari’at Islam dilakukan dalam ilmu fikih, meskipun fikih itu sendiri bebeda dengan syari’ah, yakni sebagai interpretasi dan penjabaran lebih lanjut dari syari’at Islam.
3.       Akhlak
Di samping akidah dan syari’ah, ajaran Islam juga mencakup akhlak. Akhlak berasal dari kata khuluq (perangai atau tingkah laku), dan ada sangkut pautnya dengan Khaliq dan makhluk.[25] Istilah akhlak ini berhubungan dengan sikap, budi pekerti, perangai dan tingkah laku. Dengan demikian, akhlak merupakan aspek ajaran Islam yang menyangkut norma-norma bagaimana manusia harus berperilaku, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama makhluk. Secara keilmuan aspek akhlak ini dibahas dalam suatu ilmu yang disebut dengan akhlak-tasawuf.

E.     METODE PEMAHAMAN ISLAM
Dalam perjalanan sejarah ada berbagai cara yang dipergunakan oleh para pemikir Islam untuk mendekati dan memahami ajaran Islam. Menurut Mukti Ali, setidaknya ada tiga jenis pendekatan yng telah dipergunakan untuk memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan naqli (tradisional), ‘aqli (rasional) dan kasyfi (mistis).[26] Secara lebih rinci tiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.       Pendekatan Naqli (Tradisional)
Pendekatan naqli adalah metode memahami Islam dengan langsung merujuk kepada makna harfiah atau makna tekstual al-Qur’an dan sunnah, tanpa memberikan peranan kepada akal dan hasil pemikiran lainnya. Pendekatan ini cenderung menolak ilmu kalam dan tasawuf. Dasar penggunaan metode ini adalah anggapan bahwa teks-teks wahyu sudah komplit menampung segala masalah yang diperlukan dan mengikuti tradisi nabi Muhamad serta as-salaf as-salih. Dalam konteks ini Abu Zahrah memberikan pernyataan:
Kaum salaf seperti yang dilukiskan oleh Ibn Taimiyah adalah mereka yang berpendapat bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui akidah, hukum dan apa yang ada hubungannya dengan itu secara global atau terperinci, kecuali hanya didapatkan dari al-Qur’an dan sunah yang menerangkan hal itu. Maka yang diterangkan oleh al-Qur’an dan sunah itu tidak boleh ditolak. Menolak berarati melepaskan tali agama. Akal tidak mempunyai kekuasaan untuk mentakwilkan atau menafsirkan atau menghukumi al-Qur’an kecuali mengikuti apa yang telah dikandung olehnya. Kalau sekiranya akal itu mempunyai kemampuan, itupun terbatas pada pembenaran, ketaaatan dan menerangkan pendekatan antara dalil akal dan nakli dengan tidak ada perbedaan antara keduanya. Akal berkedudukan sebagai saksi, bukan sebagai penentang, sebagai penjelas dari dalil yang terkandung dalam al-Qur’an.[27]
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa pendekatan naqli secara historis pada umumnya telah dipergunakan oleh kaum salaf. Kemudian pada sekitar abad ke-7 H, salafisme diformulasikan kembali oleh Ibn Taimiyah, dan selanjutnya pada abad ke-12 H secara lebih kaku dimunculkan kembali oleh Muhamad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia, dengan gerakannya yang dikenal dengan wahabiah.
2.       Pendekatan ‘Aqli (Rasional)
Berbeda dengan pendekatan naqli, pendekatan yang kedua ini cenderung pada model pemahaman Islam dengan menekankan pada rasionalitas dan spekulatif. Pendekatan ini menempatkan rasio sebagai alat yang dominan, sehingga teks-teks wahyu, baik menyangkut akidah maupun hukum, harus diterima secara rasional. Untuk itu semua hasil pemikiran rasional dapat dipergunakan bila berdaya guna untuk memperkuat kebenaran dan menambah keyakinan. Metode ini dalam kenyataan sejarah banyak dipergunakan oleh para teolog Mu’tazilah dan filosof muslim dalam bidang akidah, serta Abu Hanifah dalam bidang fikih.
3.       Pendekatan Kasyfi (Mistis)
Pendekatan kasyfi adalah metode yang dipergunakan oleh para sufi untuk memperoleh pengetahuan atau ma’rifah secara langsung dari Allah dengan intuisi sebagai instrumennya, bukan melalui nalar. Dalam hal ini para sufi lebih menekankan pada penghayatan aspek dalam atau esoterisme Islam, meskipun tidak sampai membuang yang eksoterik.
Menurut Mukti Ali ketiga jenis pendekatan tersebut sudah ada sejak zaman Nabi, dan selanjutnya juga diaplikasikan para ulama, meskipun tidak selamanya berjalan secara pararel. Bahkan pasca nabi Muhamad terdapat beberapa tokoh Islam yang mencoba untuk mengintegrasikan pendekatan-pendekatan itu. Al-Asy’ari, misalnya, berupaya mengintegrasikan antara pendekataan tradisional-tekstual dengan rasional dalam teologi Islam, terlepas dari sejauh mana keberhasilannya. Sementara al-Gazali nampaknya justru bermaksud melakukan kompromi terhadap ketiga bentuk pendekatan itu, meskipun kemudian yang lebih nampak hasilnya adalah kompromi antara pendekatan naqli dengan kasyfi.

*Ditulis dan dikutip dari berbagai sumber

Sumber Rujukan:


[1]  Wilfred Cantwelt Smith, The Meaning and End of Religion (New York: The New American Library of the World Literature, 1964), h. 75.
[2]  Al-Jurjani, at-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 57.
[3] Tim Penyusun, Teks Book Dirasah Islamiyah, (Surabaya: Aneka Bahagia, 1995), hal. 11.
[4] Hasil Keputusan Konggres Ulama Indonesia pada tanggal 29 Desember 1954 sampai dengan 2 Januari 1955 di Yogyakarta.
[5]  Ibid., h. 23
[6] Oleh karena itu Harun Nasution, yang dalam rumusan definisinya lebih melihat Islam sebagai sebuah doktrin, pernah mengatakan bahwa “Islam sebagai ajaran yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia dengan perantaraan Muhammad”. Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 24.
[7] Sidi Gazalaba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 75.
[8]  Ibid., h. 76.
[9]  Sayyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s Guide to the Modern World, terj: Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1994), h. 16.
[10] Budhy Munawwar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 15.
[11] Frithjof Schoun, Islam and the Perennial Philosophy, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1993), h. 25.
[12] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, h. 54.
[13] Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, op. cit., h. 63.
[14] Khurshid Ahmad, Kuram Murad dan Mustafa Ahmad az-Zarqa, The Islamic Fondation, terj. Nasir Budiman dan Mujibah Utami (Jakarta: Rajawali Press, 1981), h. 25.
[15] Sebenarnya ada tujuh karakteristik agama Islam, yaitu: (1) bersifat universal; (2) ajarannya sederhana, rasional dan praktis; (3) sebuah cara hidup yang lengkap; (4) kesatuan antara materi dan kerohanian; (5) keseimbangan antara pribadi dan masyarakat; (6) ketetapan dan perubahan; (7) al-Qur’an sebagai pedoman suci umat Islam tetap terjaga keaslian dan kemurniaannya. Lihat, Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.247.
[16] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), h. 213.
[17] Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995),  h. 32.
[18] Ibid., h. 32-33.
[19] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 214.
[20] Budhy Munawwar-Rachman, op. cit., h. 546.
[21] Muzani, op. cit., h. 33.
[22] Harun Nasution, Pembaharuan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 22.
[23] Muzani, op. cit., h. 34.
[24] Ibid., h. 26.
[25] Ibid., h. 27.
[26] Mukti Ali, op. cit., h. 19.
[27]Abu Zahrah, Sejarah Mazhab-mazhab Islam tentang Politik dan Akidah, terjemah Shobahusurur (Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal/PSIA, 1991), h. 215.

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...