A. PENAMAAN ISLAM
Terkait dengan penamaan agama yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sebutan “Islam”, Wilfred Cantwell
Smith pernah mengatakan:
The first
observation is that of all the world’s religious traditions the Islamic would
seem to be the one with a built-in name. The word Islam occurs in the Qur’an
itself, and Muslims are insistent on using this term to designate their system
of faith. In contrast to what has happened with other religious comunities…[1]
Kutipan di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa agama
Islam yang disampaikan oleh nabi Muhammad bukanlah Mohammedanism,
sebagaimana telah banyak ditulis oleh para orientalis Barat. Pada umumnya para
orientalis barat menamakan demikian -Islam sebagai Mohammedanism- karena
mereka mengkaitkan dengan subjek pembawanya yakni Muhammad SAW, sebagaimana hal
ini telah biasa terjadi pada agama-agama selain Islam. Agama Budha, misalnya,
nama itu dikonotasikan dengan tokoh pembawanya yakni Budha Gautama, demikian
pula agama Kristen dinisbahkan kepada tokoh penyampainya yakni Isa yang biasa
pula disebut dengan Yesus atau Kristus, dan lain sebagainya. Sedangkan agama
Islam sama sekali tidak bisa dinisbahkan kepada nabi pembawanya yakni Nabi
Muhammad, dan penamaan Islam itu sendiri bukan dari nabi Muhammad melainkan
langsung berasal dari Allah sebagaimana telah ditegaskan di dalam beberapa ayat
al-Qur’an.
Diantara ayat itu
adalah Qs. al-Ma’idah (5) ayat 3 dan Qs.
Ali Imran (3) ayat 19 berikut ini:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت
عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Artinya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai bahwa Islam itu menjadi agamamu” (Qs.
al-Ma’idah/5: 3).
إنّ الدّين عند الله الإسلام
Artinya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam”
(Qs. Ali Imran/3: 19)
Dari ayat di atas menjadi jelas bahwa agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad adalah Islam, dan nama itu langsung dari Allah sendiri, bukan Muhammedanism
sebagaimana yang disangkakan oleh para orientalis-Barat. Kalau memang demikian
maka penyebutan Islam dengan Mohammedanism jelas tidak dapat dibenarkan
dan bahkan boleh jadi merupakan suatu penghinaan. Dikatakan tidak tepat atau
salah karena Muhammad SAW bukanlah pencipta agama Islam, tetapi ia hanyalah
sebagai seorang rasul yang diutus oleh Allah untuk menyampaikannya kepada
seluruh umat manusia. Dan penyebutan Islam dengan Mohammedanism dianggap
sebagai penghinaan karena sebutan itu mengandung konotasi bahwa Islam berpusat
pada diri Muhammad (manusia), bukan kepada Tuhan Allah. Memang menyebut agama
yang disampaikan oleh Isa (Kristus) dengan Kristen dapat dibenarkan, karena
para pemeluknya sendiri telah menamakan demikian dan mereka juga telah
mempercayai keberadaan Kristus itu sebagai Tuhan, bukan hanya sekedar nabi atau
rasul. Oleh karena itu menamakan agama Islam dengan Mohamme-danism, di
samping salah dan merupakan penghinaan, sekaligus berarti telah mengidentikkan
agama Kristen dengan Paulusisme, yang hal itu tidak relevan dengan eksistensi
agama itu sendiri, dan karena itu mesti ditolak. Jadi sebutan yang tepat
terhadap agama yang disampaikan oleh nabi Muhammad adalah Islam, bukan Mohammedanism,
dan sebutan seperti itu merupakan ketetapan dari Allah sendiri dalam
firman-Nya.
B. PENGERTIAN ISLAM
Islam adalah agama samawi penutup yang
diturun-kan Tuhan ke dunia melalui seorang rasul, Muhammad SAW. Misi utamanya
adalah mengantarkan manusia menuju pada kehidupan yang damai, harmonis, aman,
tenteram, sejahtera, dan bahagia, tidak hanya di dunia ini, namun juga pada
kehidupan di akhirat kelak. Hal ini adalah sesuai dengan nama Islam itu sendiri
yang berarti perdamaian, keselamatan.
Secara etimologis kata Islam berasal
dari bahasa Arab “salima” yang berarti damai, selamat dan atau
sejahtera. Kemudian dari kata itu dibentuklah istilah taslim, yang
secara bahasa berarti tunduk, patuh dan pasrah, [2]
maksudnya adalah tunduk dan patuh serta pasrah kepada kehendak Tuhan. Oleh
karena demikian maka yang tunduk dan patuh serta pasrah kepada kehendak Tuhan,
dari tinjauan kebahasaan layak untuk dinamakan atau diatributi dengan sebutan
muslim.
Ada beberapa contoh
pengertian Islam yang dapat diajukan di sini. Kata Islam, salam, salm, silm,
berasal dari kata yang sama, yaitu s – l – m (س
- ل - م) namun memiliki konotasi makna yang
berbeda. Kata salam (سلام) mempunyai makna
“perdamaian.” Ungkapan ini bisa dilihat pada QS. Al-Nisa’: 90-91 dan “menyerah
diri,” sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nahl: 28, 87 dan QS. Al-Zumar: 28.
Kata salm (سلم) mempunyai makna “perdamaian”. Ungkapan ini bisa disaksikan pada
QS. Al-Anfal: 61 dan QS. Muhammad: 35. Begitu juga kata silm (سلم) mempunyai
makna “masuk agama Islam”. Ungkapan ini bisa dilihat pada QS. al-Baqarah: 208.
Sedangkan kata salam (سلام) memiliki makna “ucapan salam”. Penjelasan ini bisa diketahui
pada QS. Al-Nisa’: 94, al-An’am: 54, dan al-A’raf: 46. Semua makna yang
diajukan di atas adalah pengertian Islam menurut bahasa (etimologis).
Atas dasar pengertian
kebahasaan di atas, selanjutnya dapat dirumuskan pengertian Islam dari tinjauan
istilah (terminologi). Secara terminologis makna Islam adalah agama yang
diturunkan Allah SWT., yang mengajarkan dan mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya, yang
meliputi pokok-pokok kepercayaan dan aturan-aturan hukum yang dibawa melalui
utusan yang terakhir, Nabi Muhammad SAW., dan berlaku untuk seluruh umat
manusia.[3] Ada juga yang memberikan pengertian, bahwa Islam adalah agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. yang berupa apa saja yang diturunkan Allah di dalam
al-Qur’an dan yang tersebut di dalam al-Sunnah yang shahih, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia
di dunia dan akhirat.[4]
Menurut al-Jurjani Islam adalah al-khudlu’
wa al-inqiyad lima akhbara bih ar-rasul saw,[5] yakni tunduk dan patuh kepada apa yang
dibawa oleh Rasulullah SAW. Dengan
ketundukan dan kepatuhan itu selanjutnya akan terwujud kedamaian dan
kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di hari akhirat kelak. Tunduk dan
patuh kepada ajaran yang disampaikan oleh nabi Muhammad berarti hidup dengan
penuh sikap ketundukan dan kepatuhan kepada kehendak Allah, sebab ajaran-ajaran
yang disampaikan oleh Muhammad itu hakikatnya tidak lain adalah merupakan
manifestasi atau perwujudan dari kehendak Allah, yang riilnya berupa
aturan-aturan hidup yang telah tergelar di sepanjang kitab suci al-Qur’an.[6]
Lebih jauh dari pemaknaan kata Islam tersebut dapat
ditegaskan bahwa Islam tidak lepas dari adanya sikap hidup tertentu. Setidaknya
dapat ditemukan dua karakteristik penting sikap hidup yang bersifat islami dan
harus dimiliki oleh setiap orang muslim, yakni aktif-bertindak (tidak pasif)
dan terarah-teratur (tidak ngawur). Aktif maksudnya adalah senantiasa
beraktivitas sebagai cerminan dari kepatuhan dan ketundukan terhadap kehendak
Tuhan, dan terarah artinya ketundukan itu harus dilakukan dengan senantiasa
tetap berada di atas jalur dan ajaran yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebagai
tergelar dalam wahyu-Nya. Jadi kalau demikian maka pengertian Islam sebagai
sikap hidup (ketundukan) dan Islam sebagai sebuah doktrin jelas bukan merupakan
dua hal yang mesti terpisah—meskipun dapat dibedakan—melainkan merupakan
kesatuan integral yang tidak boleh dipahami secara sepotong-sepotong, keduanya
bagaikan dua sisi berbeda tetapi menunjuk pada sebuah realitas.
Ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan kepada kehendak Tuhan
tidak hanya terjadi pada diri manusia. Seluruh alam semesta dan isinya pun
secara natural (fitri) ternyata juga tunduk dan patuh serta pasrah kepada
kehendak Tuhan. Oleh karena itu sesungguhnya bukan hanya manusia saja yang
layak diapresiasi sebagai muslim, tetapi alam pun juga bisa dinyatakan sebagai
muslim; dan inilah pengertian Islam secara luas yang berintikan pada ketundukan
dan kepatuhan serta kepasrahan.[7] Dalam al-Qur’an telah terdapat beberapa ayat yang secara
eksplisit menyatakan kemusliman alam semesta, selain manusia. Langit dan bumi
(benda-benda mati) adalah selalu taat dan patuh serta pasrah (islam) kepada
Allah (Qs. Fushilat/41: 11); demikian pula segala apa yang terdapat di langit
dan bumi, baik yang berupa benda mati maupun yang hidup (Qs. an-Nahl/16: 49 dan
Ali Imran/3: 83). Dengan demikian semua makhluk berjalan secara alami, teratur,
seimbang, mengikuti hukum alam yang ditetapkan oleh Tuhan—sunnatullah—dan yang
demikian itu berarti islam kepada kehendak Tuhan. Dan hukum alam itulah yang
kemudian dipergunakan oleh menusia dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Relevan dengan ketundukan dan kepasrahan alam terhadap hukum
Tuhan, manusia dalam arti fisik dan psikis secara natural atau alami adalah
Islam. Keislaman fisik manusia karena secara fitri ia diciptakan dari unsur
material yang secara alamiah memang memiliki watak dasar selalu tunduk dan
patuh kepada kehendak Tuhan. Sementara dimensi psikisnya karena Allah telah
meniupkan ruh (suci) kepadanya, dan bahkan ruh itu telah mengikat perjanjian
primordial dengan Tuhan ketika belum lahir ke dunia dan menyatakan
kesanggupannya untuk tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan (Qs. al-A’raf/7:
172). Meskipun secara fitri manusia adalah Islam, namun ketika mereka lahir ke
dunia kenyataan empirik menunjukkan bahwa tidak semua manusia itu tunduk dan
patuh kepada Tuhan. Memang mereka secara fisik adalah muslim, tetapi psikisnya
belum tentu muslim.[8] Hal ini tejadi karena manusia di samping memiliki ruh,
mereka dalam penciptaannya juga dilengkapi dengan nafsu dan akal, sehingga ia
memiliki peluang kebebasan untuk memilih menjadi muslim atau justru sebaliknya,
dan hal seperti ini tidak terjadi pada selain manusia. Kalau memang demikian
berarti kalau manusia itu muslim maka kualitas keislamannya tentu berbeda
dengan keislaman alam semesta; manusia muslim dengan melibatkan unsur kesadaran
pertimbangan akal sehat dan usaha piluhan bebasnya, tidak bersifat alamiah
semata seperti keislaman alam semesta. Dan begitu pula sebaliknya, jika mereka
menolak maka penolakannya itu juga melibatkan unsur-unsur usaha dan pilihan
bebasnya. Itulah sebabnya di akhirat nanti hanya manusia yang dituntut untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sebagai agama ketundukan, Islam beresensikan tauhid.
Sebagaimana dijelaskan dalam Qs. al-A’raf/7: 172, ruh manusia sudah mengadakan
perjanjian primordial, dan ia telah mengesakan Tuhan sebelum lahir ke dunia.
Atas dasar ini tauhid (mengesakan Tuhan), sebagaimana dinyatakan Hossein Nasr,
merupakan kebenaran bersifat abadi yang telah ada sejak permulaan.[9] Hanya saja ada kalanya kemudian ia tertimbun sehingga tidak
bisa tumbuh mekar (kafir). Akan tetapi meski demikian, fitrah ketauhidan itu
tidak akan pernah lenyap-hilang dan mati, sebagaimana firman Allah “la
tabdil li khalq Allah” (Qs. ar-Rum/30: 30). Fitrah ketauhidan yang abadi
inilah yang oleh para filosof perennial biasa diapresiasi sebagai sophia
perennis atau hikmah khalidah (kebijaksanaan atau kebenaran abadi).
Konsepsi di atas mengimplikasikan bahwa Islam dengan tauhid
sebagai esensinya merupakan agama yang mencakup seluruh sejarah kemanusiaan;
Islam sudah ada sejak permulaan, oleh karenanya bersifat universal. Adam
sebagai manusia pertama adalah muslim berdasarkan kenyataan bahwa ia merupakan
nabi pertama dan bahwa ia telah mengakui keesaan Allah, dan begitu pula para
nabi atau rasul lainnya yang hadir sebelum Muhammad. Sebagai misal adalah: Nabi
Nuh (Qs. Yunus/10: 71-72); Ibrahim (Qs. Ali Imran/3: 67 dan al-Hajj/22: 78);
Ya’kub (Qs. al-Baqarah/2: 132); Yusuf (Qs. Yusuf/12: 101); Sulaiman (Qs.
an-Naml/27: 29-97), Isa (Qs. Ali Imran/3: 52) dan sebagainya. Jika memang demikian
adanya maka secara doktrinal agama Islam (baca, tauhid) yang disampaikan oleh
nabi Muhammad tidak bisa dikatakan sepenuhnya bersifat baru, karena sudah
diajarkan para nabi sebelumnya. Dalam konteks ini ketauhidan yang dibawa
Muhamad lebih bermaksud memberikan penegasan kembali terhadap kebenaran asasi
(tauhid) yang menjadi inti agama Allah, yang dibawa oleh para rasul sebelum
Muhamad. Kebenaran asasi itu terangkum dalam konsep ad-din al-hanif
(ketundukan primordial) yang mengandung makna tidak saja tunduk terhadap aturan
Tuhan tetapi juga kepada kebenaran-kebenaran spiritual-asasi yang tidak berubah
yakni tauhid. Doktrin tauhid inilah yang merupakan esensi Islam yang
disampaikan oleh Muhammad dalam al-Qur’an dan juga para nabi sebelumnya. Dalam
konteks ini kemudian al-Qur’an menyebut Muhammad dengan istilah khatam
al-anbiya’ yang berarti penutup para nabi (Qs. al-Ahzab/33: 40). Di samping
itu kata khatam juga berarti cincin yakin cincin pengesah dokumen
(kebenaran kitab suci sebelumnya).[10] Sebagai konsekuensinya maka setiap umat Muhammad di samping
mengakui kebenaran al-Qur’an, mereka juga wajib mengakui keabsahan kitab-kitab
suci terdahulu sebagai pembawa pesan ketuhanan pada zamannya, dan itulah
sebabnya beriman kepada kitab-kitab suci, tentu termasuk juga kitab suci
sebelum al-Qur’an, merupakan salah satu rukun iman. Inilah makna dan fungsi
Islam (baca, tauhid) yang disampaikan oleh Muhammad sebagai pembenar atau
penegas kembali agama (baca, doktrin ketauhidan) yang diajarkan oleh para nabi
sebelumnya.
Sebagai agama terakhir, Islam yang disampaikan Muhammad
sekaligus juga berfungsi sebagai pengoreksi dan penyempurna terhadap
agama-agama sebelumnya (Qs. al-Baqarah/2: 87). Jika fungsi “penegas” lebih
menyentuh pada aspek substansial agama yakni tauhid, maka fungsi sebagai
penyempurna lebih berkaitan dengan aspek “bentuk” agama yakni syari’at—bagian
yang kurang substansial. Sebab sebagaimana telah dijelaskan oleh para tokoh
filosof perennial—Schoun misalnya—bahwa setiap agama mesti memiliki satu bentuk
dan satu substansi.[11] Bentuk agama, atau dalam Islam adalah syari’at dalam
pengertian sempit—kata Schoun, bersifat relatif (tidak absolut), namun di
dalamnya terkandung muatan substansial yang bersifat mutlak. Karena agama
adalah merupakan gabungan dari substansi dan bentuk, maka agama kemudian
menjadi suatu yang absolut tetapi relatif, dan itulah sebabnya agama bisa
disebut sebagai relatively-absolute.[12] Konsepsi seperti ini sama sekali tidak berarti bentuk agama
itu menjadi tidak atau kurang penting; substansi dan bentuk agama, menurut perennialis,
adalah sama-sama penting, sebab substansi dan misi suatu agama baru bisa
menjadi aktual ketika agama itu tampil dalam bentuknya yang nyata, dapat
dikenali oleh manusia. Lebih dari itu dengan bentuk, keberadaan suatu agama menjadi
fungsional dan operasional. Dalam konteks ini al-Qur’an sendiri menyatakan
bahwa “bagi setiap umat telah Kami tetapkan syari’at khusus (Qs. al-Hajj/22:
67). Dengan kata lain, perbedaan agama yang disampaikan oleh para rasul hanya
menyangkut bentuk-syari’atnya, sedangkan substan-si agama berupa tauhid tidak
ada perbedaan signifikan. Konsepsi semacam inilah rupanya yang dikehendaki oleh
para tokoh filsafat prennial dalam pernyataannya bahwa “bentuk agama bersifat
relatif, namun di dalamnya terkandung muatan substansial yang bersifat mutlak”.
Berfungsinya Islam (Muhamad) sebagai penyempur-na agama
sebelumnya menunjukkan bahwa agama Islam yang disampaikan oleh Muhamad adalah
agama yang sempurna, baik substansi maupun bentuknya. Pada sisi lain juga
berarti bahwa agama yang dibawa para rasul sebelum Muhammad adalah relatif
belum sempurna, untuk tidak mengatakan tidak sempurna. Karakter
ketidak-sempurnaan ini setidaknya terlihat dalam agama yang dibawa oleh nabi
Musa (ada yang menyebut, Yahudi) misalnya dan nabi Isa as (kadangkala
dinamakan, Kristen), yang keduanya telah hadir kepada umat manusia mendahului
Islam yang disampaikan oleh nabi Muhamad SAW. Dua agama sebelum Muhamad itu
dalam batas-batas tertentu bisa dikatakan berbeda secara diametral: agama yang
disampaikan Musa memberikan penekanan yang begitu kuat terhadap eksoterisme,
meskipun tidak sampai membuang atau meniadakan esoterisme agama, sedangkan
agama yang dibawa oleh nabi Isa begitu memberikan penekanan atas dimensi
esoterisme, meskipun tentu saja tidak sampai berarti meniadakan eksoterisme.
Sementara itu agama Islam yang disampaikan oleh Muhamad mensisn-tesiskan secara
seimbang dua dimensi agama tersebut, bahkan kedua dimensi itu diposisikan dalam
pola hubungan kesatuan integral. Terhadap agama Musa, Islam Muhammad melengkapi
dengan ajaran kasih (esoterisme), dan sebaliknya terhadap agama Isa, Islam
Muhamad melengkapinya dengan doktrin-doktrin yang bersifat legal-formal
(eksoterisme).[13] Inilah salah satu karakteristik Islam yang dibawa oleh nabi
Muhammad sebagai indikasi kesempurnaannya, sehingga rasional kalau kemudian ia
juga berperan menyempurnakan agama-agama yang telah disampaikan oleh para rasul
sebelumnnya. Oleh karena itu al-Qur’an secara eksplisit telah menyatakan bahwa
Islam yang dibawa oleh Muhammad merupakan agama yang telah sempurna (Qs.
al-Ma’idah/5: 3).
C. KARAKTERISTIK ISLAM
Sebagai pembuka untuk menguraikan universalitas Islam,
kutipan berikut ini penting untuk direnungkan. George Bernard Shaw, seorang
pemikir Inggris terkemuka, pernah menyatakan mengenai Islam sebagai berikut:
Saya selalu
memandang dengan penuh hormat terhadap agama (yang dibawa) oleh Muhammad,
karena keistimewaan vitalitasnya. Ia adalah satu-satunya agama yang bagiku
tampak memiliki kemampuan mengasimilasi fase-fase perubahan eksistensi,
sehingga dapat menarik manusia dari berbagai usia. Aku telah
mengkajinya—manusia istimewa tauladan zaman—dan dalam keyakinanku tidak sedikit
pun ia menampakkan sikap anti Yesus, dan selayaknya pula apabila ia disebut
sebagai penyelamat kemanusiaan. Saya yakin apabila orang seperti itu memiliki
kekuasaan seperti seorang diktator dalam masa modern, tak pelak lagi pasti ia
akan dapat menyelesaikan masalah lewat cara-cara yang akan melahirkan kedamaian
dan kebahagiaan. Saya berani meramalkan bahwa apa yang diajarkan Muhammad di
suatu masa kelak akan dapat diterima oleh orang Eropa, sebagaimana pula telah
mulai diterima oleh orang Eropa masa kini.[14]
Pertanyaan yang mungkin mula-mula muncul usai membaca
nukilan tersebut adalah karakteristik apa yang menyebabkan jutaan manusia
menerima dan mengakui kebenaran Islam pada masa lalu, dan tetap sedemikian
menariknya di zaman modern seperti sekarang ini? Sebagai agama yang melengkapi
proses kesinambungan agama wahyu, agama Islam telah memiliki berberapa
karakteristik atau sifat dasar,[15] dan sekaligus karakteristik itu merupakan keistimewaan
Islam yang membedakannya dengan agama-agama lainnya. Diantara karakteristik itu
adalah sifat universalitas ajaran Islam.
Berbeda dengan agama lain, termasuk agama yang dibawa oleh
para nabi sebelumnya, Islam yang dibawa oleh Muhammad bersifat universal. Dan
bahkan universalitas Islam atau keberlakuan ajaran Islam untuk seluruh manusia,
yang hidup di segala tempat, zaman dan keadaan, merupakan suatu prinsip ajaran
Islam yang mesti diterima oleh seluruh umat manusia (Muslim) sebagai suatu
keyakinan.[16] Argumentasi-argumentasi keagamaan yang berkaitan dengan hal
ini cukup banyak dan saling kait-mengkait, dan boleh jadi juga berbeda-beda.
Namun pada akhirnya semua argumen bertemu pada satu titik kesimpulan atau
konklusi bahwa kebenaran ajaran agama Islam—agama Allah yang disampaikan kepada
manusia dengan perantaraan nabi Muhammad—itu adalah bersifat universal.
Di antara bukti dan sekaligus menjadi argumen atas
universalitas ajaran agama Islam adalah terlihat pada uraian di bawah ini:
Pertama,
jangkauan dan sasaran dakwah Islam. Kita ketahui bahwa para utusan sebelum
Muhammad hanya diutus kepada kaum atau bangsa tertentu, sehingga misi dakwahnya
bersifat lokal. Nabi Ibrahim dan Musa, misalnya, hanya diutus untuk
menyampaikan dakwahnya kepada bani Israil, dan begitu pula Isa (Qs. ash-Shaff:
6); nabi Shalih khusus diutus untuk kaum Tsamud (Qs. an-Naml: 45) dan begitu
seterusnya. Sedangkan nabi Muhammad, dengan agama Islam yang dibawanya, diutus
kepada seluruh umat manusia, tidak hanya kepada kaum atau bangsa tertentu. Dan
ajaran yang dibawa oleh beliau bisa berlaku untuk semua umat manusia, siapa pun
dia, di mana pun dan kapan pun. Dengan kata lain, sasaran dakwah Islam yang
dibawa oleh nabi Muhammad bersifat lintas bangsa, waktu dan tempat. Hal seperti
ini telah jelas dalam salah satu ayat al-Qur’an “tidaklah Kami utus engkau
(Muhammad) kecuali untuk membawa khabar gembira dan peringatan bagi seluruh
manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak tahu” (Qs. as-Saba’: 28).
Misi dakwah Islam oleh nabi Muhammad dilaksanakan melalui
dakwah sepanjang hayatnya, dan kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudahnya
dan atau ulama’ pewarisnya. Mula-mula Muhammad menyampai-kan dakwahnya kepada
kaumnya sendiri suku Quraisy, dan kemudian meluas kepada suku-suku Arab
lainnya. Setelah bangsa Arab yang berada di semenanjung Arabia menerima ajaran
yang disampaikannya, Muhammad mengirimkan beberapa utusan kepada raja-raja dan
para penguasa untuk mengajak mereka masuk Islam. Diantara penguasa itu adalah
raja Persia, Ethiopia, penguasa Alexandria, Muwaqis dan gubernur Bizantium dan
Basra.[17]
Penyampaian Islam ke negara-negara lain di luar semenanjung
Arabia dilanjutkan oleh khalifah pertama Abu Bakar. Tetapi usaha itu baru jelas
hasilnya pada masa khalifah Umar bin Khathab, di mana pada masa itu Islam mulai
berhasil menembus wilayah Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Persia. Kemudian
pada masa daulah umawi, dakwah Islam diperluas hingga ke Spanyol dan Perancis
di Eropa dengan melalui Afrika Utara, ke Cina melalui Asia Tengah, dan bahkan
sampai ke India dengan melalui Afghanistan. Dan pada masa sesudah itu Islam
masuk ke Eropah Timur sampai pada perbatasan Wina, dan di Asia Tenggara sampai
ke Malasyia dan Philipina serta Indonesia.[18] Dengan demikian Islam telah dianut oleh sejumlah manusia
dari berbagai ragam bangsa, bahasa, budaya, ras dan adat-istiadat, dan bahkan
juga kasta. Akan tetapi meski demikian mereka itu tetap disatukan oleh sumber
ajaran fundamental yang sama yakni kitab suci al-Qur’an. Hal demikian ini
menurut Harun Nasution menunjukkan bahwa misi dakwah Islam bukan hanya ntuk
kaum tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia,
karenanya Islam merupakan agama yang bersifat universal.
Kedua, ajaran
Islam bersifat waqi’iyah, yakni berpijak pada kenyataan objektif
manusia.[19] Dengan kata lain, ajaran Islam itu sesuai dengan realitas
dasar manusia. Lebih jauh Qurasih Shihab menunjuk ayat pijakannya yakni “maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (Qs. ar-Rum: 30).
Kalau disadari bahwa fitrah kemanusiaan merupakan suatu yang dimiliki oleh
seluruh manusia, maka hal itu berarti al-Qur’an telah memberi penegasan bahwa
ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhamad sesuai betul dengan seluruh umat
manusia.
Dalam konteks ini, Abdurrahman Wahid mengede-pankan contoh
universalitas Islam, yakni berupa lima jaminan dasar bagi manusia, yaitu lima
buah jaminan dasar yang diberikan kepada warga masyarakat, baik secara
perorangan maupun bersifat kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam
literatur hukum Islam (al-kutub al-fiqhiyah) lama yakni jaminan dasar
akan: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar
ketentuan hukum; (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada
paksaan utuk berpindah agama; (3) keselamatan keluarga dan keturunan; (4)
keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum dan (5)
keselamatan profesi.[20]
Selain melalui lima jaminan dasar terhadap manusia itu,
universalitas Islam, dalam konteks waqi’iyah, juga dapat dibuktikan
melalui makna dasar Islam itu sendiri. Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa substansi Islam adalah ketundukan primordial yakni ketundukan kepada
hukum agama dan sekaligus juga ketundukan kepada kebenaran sepiritual asasi
yang tidak pernah berubah (tauhid)—terlepas dari adanya penyelewengan—yang oleh
para filosof perennial disebutnya sebagai kebnaran abadi. Ketundukan primordial
ini, kata Hossein Nasr, sudah ada pada manusia sejak permulaan dan tidak akan
pernah hilang. Jika memang demikian berarti ajaran Islam yang berintikan
ketundukan itu sesuai dengan realitas objektif seluruh manusia, di mana pun dan
kapan pun. Terlepas dari adanya tindakan penyelewengan setelah manusia lahir ke
dunia.
Hanya saja di sisi lain ada kenyataan yang tidak bisa
dihindari yakni terjadinya perbedaan. Baik perbedaan yang disebabkan oleh
persoalan waktu, tempat maupun oleh pribadi masing-masing manusia. Sifat
redaksi al-Qur’an merupakan salah satu faktor yang ikut juga mengakibatkan
terjadinya perbedaan-perbedaan itu.
Dari kedua kenyataan di atas, yang ternyata keduanya diakui
keberadaannya oleh al-Qur’an, tampaklah karakter waqi’iyah ajaran Islam.
Dan dari dua kenyataan itu pula ditarik konklusi perihal adanya ajaran
al-Qur’an yang bersifat universal, berpijak pada kesamaan yang dimiliki oleh
semua manusia, dan ada pula yang partikular atau kondisional akibat
perbedaan-perbedaan manusiawi tempat atau waktu. Menurut Harun Nasution,[21] ajaran al-Qur’an
bersifat universal, yang tidak berubah dan tidak boleh dirubah hanya sedikit
sekali yakni kurang lebih hanya 500 ayat atau sekitar 8 % dari seluruh ajaran
al-Qur’an. Kemudian tentang perincian maksud dan pelaksanaan ajaran dasar
al-Qur’an itu dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, tempat dan waktu
tertentu. Akibatnya muncullah berbagai aliran dan mazhab dalam dunia Islam,
baik menyangkut teologi, falsafah, tasawuf dan sebagainya, yang semuanya itu dapat
dikembalikan kepada istilah Syah Walilyullah sebagai Islam universal dan lokal.[22] Maksudnya, di dalam Islam memang terdapat ajaran-ajaran
yang bersifat universal, tetapi penafsiran dan cara pelaksanaan ajaran-ajaran
universal itu berbeda dari satu tempat ke tempat lain, bercorak lokal. Inilah
kata Harun Nasution suatu bukti bahwa Islam merupakan agama yang selalu sesuai
dengan segala tempat dan zaman.[23]
Diantara contoh universalitas al-Qur’an, ditinjau dari sisi
zaman, adalah ajaran musyawarah. Di dalam al-Qur’an dinyatakan “wa syawir
hum fi al-amr”, hanya saja opersional musyawarah tidak dijelaskan oleh
al-Qur’an. Maka dalam sistem pemerintahan monarkhi Islam di masa silam
musyawarah dilaksanakan melalui raja dengan meminta pendapat kepada
pembanatu-pembantu dekatnya, dan setelah mempertimbangkan pendapat-pendapat itu
kemudian raja mengambil keputusan. Penafsiran ini tentu berbeda lagi dengan
penafsiran-penafsiran pada masa modern seperti sekarang ini. Yang jelas sebagai
dinyatakan oleh Harun Nasution, karena semuanya
adalah penafsiran dan penjabaran dari ajaran dasar al-Qur’an maka
semuanya berada dalam lingkup kebenaran.
D. KERANGKA DASAR ISLAM
Tentang kerangka dasar Islam terdapat berbagai formulasi
yang disampaikan oleh para ahli. Dengan mengikuti sistematika iman, islam dan
ihsan seperti dijelaskan oleh hadis nabi. Endang Saefuddin Anshari menjelaskan
bahwa kerangka dasar ajaran Islam terdiri dari akidah, syari’ah dan akhlak.
Ketiga kerangka dasar ajaran Islam itu dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
1. Akidah
Secara etimologis kata akidah merupakan bentuk masdar dari ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan,
yang berarti simpulan, ikatan dan sangkutan. Sedangkan secara teknis, akidah
berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Pembahasan tentang akidah Islam pada
umumnya berkisar pada arkan al-iman, rukun iman yang enam. Secara
keilmuan, kajian tentang akidah Islam dilakukan oleh ilmu tauhid, ilmu kalam
dan juga filsafat Islam.
Karena ia sebagai suatu keyakinan, maka ia hanya bertempat
dalam hati. Tidak selamanya akidah Islam itu bersifat rasional, sebab memang
ada masalah-masalah tertentu yang akal tidak mempu merasionalkan. Dalam konteks
ini, apa yang dilakukan oleh para mutakallimin dan filosof muslim hanyalah
terbatas pada upaya pengukuhan dan pemerincian lebih lanjut terhadap akidah
Islam itu.
2. Syari’ah
Secara etimologis syari’ah berarti jalan lurus ayang harus
ditempuh. Sedangkan secara teknis syari’ah ialah sistem norma hukum ilahi yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia,
hubungan manusia dengan benda di dalam lingkungan hidupnya.[24] Jadi syari’at Islam itu memuat aturan-aturan atau hukum
Allah yang mengatur hubungan manusia, baik yang menyangkut kaidah ibadah maupun
kaidah muamalah. Karena syari’ah merupakan hukum-hukum yang ditetapkan Allah,
maka tingkat kebenarannya bersifat mutlak, berbeda dengan fikih sebagai hasil
ijtihad yang tentu kebenarannya bersifat relatif. Secara keilmuan, kajian
tentang syari’at Islam dilakukan dalam ilmu fikih, meskipun fikih itu sendiri
bebeda dengan syari’ah, yakni sebagai interpretasi dan penjabaran lebih lanjut
dari syari’at Islam.
3. Akhlak
Di samping akidah dan syari’ah, ajaran Islam juga mencakup
akhlak. Akhlak berasal dari kata khuluq (perangai atau tingkah laku),
dan ada sangkut pautnya dengan Khaliq dan makhluk.[25] Istilah akhlak ini berhubungan dengan sikap, budi pekerti,
perangai dan tingkah laku. Dengan demikian, akhlak merupakan aspek ajaran Islam
yang menyangkut norma-norma bagaimana manusia harus berperilaku, baik terhadap
Allah maupun terhadap sesama makhluk. Secara keilmuan aspek akhlak ini dibahas
dalam suatu ilmu yang disebut dengan akhlak-tasawuf.
E. METODE PEMAHAMAN ISLAM
Dalam perjalanan sejarah ada berbagai cara yang dipergunakan
oleh para pemikir Islam untuk mendekati dan memahami ajaran Islam. Menurut
Mukti Ali, setidaknya ada tiga jenis pendekatan yng telah dipergunakan untuk
memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan naqli (tradisional), ‘aqli
(rasional) dan kasyfi (mistis).[26] Secara lebih rinci tiga pendekatan itu dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pendekatan Naqli (Tradisional)
Pendekatan naqli adalah metode memahami Islam dengan
langsung merujuk kepada makna harfiah atau makna tekstual al-Qur’an dan sunnah,
tanpa memberikan peranan kepada akal dan hasil pemikiran lainnya. Pendekatan
ini cenderung menolak ilmu kalam dan tasawuf. Dasar penggunaan metode ini
adalah anggapan bahwa teks-teks wahyu sudah komplit menampung segala masalah
yang diperlukan dan mengikuti tradisi nabi Muhamad serta as-salaf as-salih.
Dalam konteks ini Abu Zahrah memberikan pernyataan:
Kaum salaf seperti
yang dilukiskan oleh Ibn Taimiyah adalah mereka yang berpendapat bahwa tidak
ada jalan untuk mengetahui akidah, hukum dan apa yang ada hubungannya dengan
itu secara global atau terperinci, kecuali hanya didapatkan dari al-Qur’an dan
sunah yang menerangkan hal itu. Maka yang diterangkan oleh al-Qur’an dan sunah
itu tidak boleh ditolak. Menolak berarati melepaskan tali agama. Akal tidak
mempunyai kekuasaan untuk mentakwilkan atau menafsirkan atau menghukumi al-Qur’an
kecuali mengikuti apa yang telah dikandung olehnya. Kalau sekiranya akal itu
mempunyai kemampuan, itupun terbatas pada pembenaran, ketaaatan dan menerangkan
pendekatan antara dalil akal dan nakli dengan tidak ada perbedaan antara
keduanya. Akal berkedudukan sebagai saksi, bukan sebagai penentang, sebagai
penjelas dari dalil yang terkandung dalam al-Qur’an.[27]
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa pendekatan naqli
secara historis pada umumnya telah dipergunakan oleh kaum salaf. Kemudian pada
sekitar abad ke-7 H, salafisme diformulasikan kembali oleh Ibn Taimiyah, dan
selanjutnya pada abad ke-12 H secara lebih kaku dimunculkan kembali oleh
Muhamad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia, dengan gerakannya yang dikenal dengan
wahabiah.
2. Pendekatan ‘Aqli (Rasional)
Berbeda dengan pendekatan naqli, pendekatan yang kedua ini
cenderung pada model pemahaman Islam dengan menekankan pada rasionalitas dan
spekulatif. Pendekatan ini menempatkan rasio sebagai alat yang dominan,
sehingga teks-teks wahyu, baik menyangkut akidah maupun hukum, harus diterima
secara rasional. Untuk itu semua hasil pemikiran rasional dapat dipergunakan
bila berdaya guna untuk memperkuat kebenaran dan menambah keyakinan. Metode ini
dalam kenyataan sejarah banyak dipergunakan oleh para teolog Mu’tazilah dan
filosof muslim dalam bidang akidah, serta Abu Hanifah dalam bidang fikih.
3. Pendekatan Kasyfi (Mistis)
Pendekatan kasyfi adalah metode yang dipergunakan oleh para
sufi untuk memperoleh pengetahuan atau ma’rifah secara langsung dari Allah
dengan intuisi sebagai instrumennya, bukan melalui nalar. Dalam hal ini para
sufi lebih menekankan pada penghayatan aspek dalam atau esoterisme Islam,
meskipun tidak sampai membuang yang eksoterik.
Menurut Mukti Ali ketiga jenis pendekatan tersebut sudah ada
sejak zaman Nabi, dan selanjutnya juga diaplikasikan para ulama, meskipun tidak
selamanya berjalan secara pararel. Bahkan pasca nabi Muhamad terdapat beberapa
tokoh Islam yang mencoba untuk mengintegrasikan pendekatan-pendekatan itu.
Al-Asy’ari, misalnya, berupaya mengintegrasikan antara pendekataan
tradisional-tekstual dengan rasional dalam teologi Islam, terlepas dari sejauh
mana keberhasilannya. Sementara al-Gazali nampaknya justru bermaksud melakukan
kompromi terhadap ketiga bentuk pendekatan itu, meskipun kemudian yang lebih
nampak hasilnya adalah kompromi antara pendekatan naqli dengan kasyfi.
*Ditulis dan dikutip dari berbagai
sumber
Sumber Rujukan:
[1] Wilfred Cantwelt Smith, The Meaning and
End of Religion (New York: The New American Library of the World
Literature, 1964), h. 75.
[2] Al-Jurjani, at-Ta’rifat (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 57.
[3] Tim
Penyusun, Teks Book Dirasah Islamiyah, (Surabaya: Aneka Bahagia, 1995),
hal. 11.
[4] Hasil
Keputusan Konggres Ulama Indonesia pada tanggal 29 Desember 1954 sampai
dengan 2 Januari 1955 di Yogyakarta.
[5] Ibid., h. 23
[6] Oleh karena
itu Harun Nasution, yang dalam rumusan definisinya lebih melihat Islam sebagai
sebuah doktrin, pernah mengatakan bahwa “Islam sebagai ajaran yang diwahyukan
oleh Tuhan kepada manusia dengan perantaraan Muhammad”. Lihat, Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 24.
[7] Sidi
Gazalaba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976), h. 75.
[8] Ibid., h. 76.
[9] Sayyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s
Guide to the Modern World, terj: Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1994), h.
16.
[10] Budhy
Munawwar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 15.
[11] Frithjof
Schoun, Islam and the Perennial Philosophy, terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Mizan, 1993), h. 25.
[12] Komaruddin
Hidayat dan Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, h. 54.
[13] Komaruddin
Hidayat dan Wahyuni Nafis, op. cit., h. 63.
[14] Khurshid
Ahmad, Kuram Murad dan Mustafa Ahmad az-Zarqa, The Islamic Fondation,
terj. Nasir Budiman dan Mujibah Utami (Jakarta: Rajawali Press, 1981), h. 25.
[15] Sebenarnya
ada tujuh karakteristik agama Islam, yaitu: (1) bersifat universal; (2)
ajarannya sederhana, rasional dan praktis; (3) sebuah cara hidup yang lengkap;
(4) kesatuan antara materi dan kerohanian; (5) keseimbangan antara pribadi dan
masyarakat; (6) ketetapan dan perubahan; (7) al-Qur’an sebagai pedoman suci
umat Islam tetap terjaga keaslian dan kemurniaannya. Lihat, Tim Penyusun
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994), h.247.
[16] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), h. 213.
[17] Saiful
Muzani (ed.), Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution,
(Bandung: Mizan, 1995), h. 32.
[18] Ibid.,
h. 32-33.
[19] M. Quraish
Shihab, op. cit., h. 214.
[20] Budhy
Munawwar-Rachman, op. cit., h. 546.
[21] Muzani, op.
cit., h. 33.
[22] Harun
Nasution, Pembaharuan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 22.
[23] Muzani, op.
cit., h. 34.
[24] Ibid.,
h. 26.
[25] Ibid.,
h. 27.
[26] Mukti Ali, op.
cit., h. 19.
[27]Abu Zahrah, Sejarah
Mazhab-mazhab Islam tentang Politik dan Akidah, terjemah Shobahusurur
(Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal/PSIA, 1991), h. 215.