A. PENGERTIAN AL-SUNAH
Untuk menyebut apa yang
berasal dari nabi Muhammad, setidaknya ada dua istilah populer di kalangan
masyarakat Islam yakni al-sunah dan al-hadith. Dua istilah ini
terkadang masih dianggap kurang definitif, sehingga masih perlu dipertegas lagi
menjadi hadith nabi dan sunah nabi atau
rasul. Di luar dua istilah itu masih terdapat istilah lain yakni khabar
dan atsar. Hanya saja dua istilah terakhir ini nampaknya kurang
berkembang.
Ditinjau
dari sudut kebahasaan, kata al-sunah dan al-hadith memiliki arti
yang berbeda. Al-hadith secara bahasa berarti al-jadid (baru),
antonim dari kata al-qadim
(lama).[1]
Sedangkan kata al-sunnah berarti al-thariqah (jalan), baik yang
terpuji atau pun yang tercela.[2]
Pemaknaan al-sunah seperti ini didasarkan kepada sabda nabi berikut:
من سنّ سنّة حسنة فله ا جرها واجر من عمل بها إ لى يو م القيا
مة, و منسنّ سنّة سيّئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إ لى يوم القيا مة
Artinya:
“Barangsiapa mengadakan atau membuat sunah (jalan) yang terpuji (baik) maka
baginya pahala sunah itu dan pahala orang lain yang mengamalkannya hingga hari
kiamat. Dan barangsiapa menciptakan sunah yang buruk maka baginya dosa atas
sunah yang buruk itu dan menanggung dosa orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat” (Muttafaq ‘alaih).
Selanjutnya secara
terminologis pada ulama juga berbeda pendapat dalam memberikan batasan atau
pengertian sunah dan hadith. Sebagian
ulama’ mengidentikkan antara hadith
dengan sunah, sedangkan sebagian lainnya membedakan keduanya. Para ahli hadith
atau muhaddisun pada umumnya mengidentikkan pengertian hadith dan sunah.
Mereka mendefinisikan sunah dengan rumusan berikut ini:[3]
كلّ ما أ ثر عن ا لرسو ل ص. م. من قول او فعل ا و تقرير او صفة خلقيّة او خلقيّة. او سيرة سواء ا كا ن ذلك قبل ا لبعثة او بعدها
“Segala
sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, sifat moral (khuluqiyah), sifat khalqiyah (jasmani) ataupun perjalanan
hidupnya sejak sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudah diangkat menjadi
rasul”
Merujuk kepada definisi
tersebut tampak bahwa sunah atau hadith mempunyai pengertian yang sangat
kompleks yakni mencakup segala riwayat yang berasal dari Rasulullah berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan tingkah laku beliau, baik pada
masa sebelum diangkatnya beliau sebagai rasul maupun sesudahnya (qabla
nubuwwat maupun ba’da mubuwwat).
Berkaitan dengan hal di
atas Muhamad ‘Ajjaj al-Khatib menambahkan keterangan bahwa bila disebutkan
hadis, terutama yang mereka (muhadditsun) adalah riwayat-riwayat dari rasul dan
setelah beliau diangkat menjadi rasul (ba’da nubuwwaat).[4]
Dengan demikian pengertian hadith lebih
sempit ketimbang pengertian sunah yang cakupannya meliputi segala apa yang
diriwayatkan dari nabi, baik sebelum bi’tsah maupun sesudahnya.
Menurut ushuliyyun
(ulama ushul), hadith dan sunah
merupakan dua istilah yang berlainan pengertiannya. Bagi ahli ushul pengertian
sunah adalah:[5]
كلّ ما صدر عن النبىّ ص.م. غير القران من قول او فعل او تقرير ممّا يصلح ان
يكون دليلا لحكم شرعىّ.
“Segala
sesuatu yang datang dari Nabi saw selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa
perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar menetapkan
hukum syara’”
Pengertian sunah
menurut rumusan dafinisi itu adalah mencakup semua riwayat yang bersumber dari
rasulullah selain al-Qur’an, yang wujudnya berupa perkataan, perbuatan dan
taqrir beliau yang dapat dijadikan dalil hukum syar’i. Dengan demikian
pengertian sunah yang dirumuskan ulama’ ushul cakupannya lebih sempit
dibandingkan dengan pengertian yang disampaikan oleh ulama’ hadis sebagaimana
telah diuraikan di atas. Sebab ulama’ ushul hanya merujukkan pengertian sunah
pada riwayat-riwayat dari rasul yang berisi hukum syar’i. Ini berarti bahwa
riwayat-riwayat dari rasul yang tidak berkaitan dengan hukum syar’i, misalnya
riwayat yang menjelaskan masalah akidah tidak termasuk ke dalam kategori
pengertian sunah. Sedangkan hadith oleh
ulama’ ushul hanya dipergunakan untuk pengertian yang lebih sempit yakni hanya
merujuk sunah qauliyah, tidak kepada
lainnya. Jadi pengertian hadith di sini
memiliki cakupan lebih sempit dibandingkan dengan sunah.
Berbeda dengan ulama’
hadith dan ulama’ ushul, fuqaha’ mempergunakan istilah sunah untuk menunjukkkan
salah satu bentuk atau sifat dari hukum Islam, yakni suatu perbuatan yang
hukumnya boleh ditinggalkan namun lebih utama dilaksanakan. Bagi mereka, sunah adalah “semua perbuatan yang
ditetapkan rasul namun hukum pelaksanaannya tidak sampai ke tingkat wajib atau
fardu”.[6]
Adanya beragam definisi
hadith dan sunah tersebut merupakan
bukti nyata adanya pandangan berbeda anatara ahli hadis, ushul dan fuqaha’.
Perbedaan itu sebenarnya dapat dipahami karena masing-masing mempunyai
kepentingan yang berbeda dalam memandang figur nabi Muhamad. Dalam hal ini
ulama’ hadith lebih memandang nabi
sebagai manusia paripurna, baik perkataan maupun perbuatan serta taqrir beserta
sifat-sifatnya, yang dapat diacu sebagai uswah hasanah (Qs. al-Ahzab: 21),
sehingga mereka berusaha merekam dan memotret figur beliau secara lengkap dan
utuh. Sedangkan ulama’ ushul lebih memandang figur nabi Muhamad sebagai
musyarri’ (Qs. al-Hasyr: 7) yakni pembuat undang-undang di samping Tuhan,
sehingga pengertian sunah bagi mereka hanya dibatasi pada perkataan dan
perbuatan serta ketetapan nabi setelah beliau diutus menjadi rasul yang
berkaitan dengan hukum. Meski demikian dengan pembatasan ini mereka tidak
menolak apa yang disebut sunah atau hadith
oleh ulama hadith, hanya saja yang tidak berkaitan dengan hukum tidak
termasuk objek kajin mereka.
Adapun ulama fikih yang
mengkaji masalah bentuk atau sifat hukum mengenai perbuatan-perbuatan dari
manusia, mereka menggunakan istilah sunah untuk maksud menyatakan salah satu
dari sifat hukum. Menurut mereka sunah adalah jennis perbuatan yang dianjurkan
untuk mengerjakannya, namun tidak termasuk ke dalam kategori yang fardu atau
wajib. Atau menurut versi lain, sunah adalah suatu perbuatan bila dikerjakan
dapat pahala dan ditinggal tidak disiksa.
B.
KEDUDUKAN
SUNAH DAN HADITH DALAM ISLAM
Umat
Islam sepakat bahwa sunah merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah
al-Qur’an, meski di kalangan imam madzhab ada perbedaan dalam penentuan syarat
penerimaannya. Doktrin Islam yang belum dijelaskan rincian hukumnya, tidak
dijelaskan operasionalnya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang
masih mutlak, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dengan sunah atau
hadith. Seandainya usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan belum adanya pada
masa nabi, sehingga memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kevakuman hukum
dan kebekuan beramal, maka baru boleh dicarikan solusinya lewat ijtihad, baik fardi
maupun jama’i, sepanjang tidak kontras dengan ruh doktrin Islam. Tahapan
penetapan hukum semacam ini sejalan dengan realitas historis yang menerangkan
bahwa nabi menyetujui langkah Mu’ad bin Jabal, sahabat yang diangkat menjadi
gubernur Yaman, yang dalam memutuskan persoalan mula-mula merujuk al-Qur’an,
disusul hadith dan akhirnya ijtihad.
Berkaitan
dengan penempatan sunah sebagai sumber kedua ajaran Islam, di bawah al-Qur’an,
al-Syatibi memberikan argumen sebagai berikut:[7]
1.
Al-Qur’an
bersifat qath’i al-wurud, sedangkan sunah zhanni al-wurud—selain
hadith mutawatir. Keyakinan kita
terhadap hadith hanya secara global,
bukan rinci, sedangkan al-Qur’an, baik secara global maupun detail, diterima
secara meyakinkan.
2.
Sunah
atau hadith ada kalanya menerangkan
sesuatu yang masih global dalam al-Qur’an, kadangkala memberi komentar
terahadap al-Qur’an, dan kadangkala membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan
oleh al-Qur’an. Kalau sunah berfungsi sebagai penjelas atau pemberi komentar
terhadap al-Qur’an, maka sudah tentu ia memiliki status di bawah al-Qur’an.
3.
Di
dalam hadith sendiri terdapat penegasan
bahwa hadith atau sunah menduduki posisi
kedua setelah al-Qur’an. Di antaranya adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim,
yang memuat dialog nabi dengan Mu’adz saat diangkat sebagai gubernur Yaman.
Identik
dengan argumen al-Syatibi pertama di atas, Mahmud Abi Rayyah mengatakan bahwa
posisi sunah atau hadith itu di bawah
al-Qur’an disebabkan oleh perbedaan tingkat periwayatannya. Al-Qur’an sampai kepada
umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikit pun, dan
karenanya al-Qur’an dikatakan bersifat qath’i al-wurud, baik secara
global maupun terinci. Sedangkan hadith
sampai kepada umat Islam tidak semuanya dengan jalan mutawatir, bahkan
sebagian besar diterima secara ahad. Dengan demikian hadith bersifat zhanni al-wurud, kecuali
hadith mutawatir yang jumlahnya relatif
sangat sedikit.[8]
Kedudukan
sunah sebagai sumber kedua dari ajaran Islam sebenarnya secara eksplisit telah
tercantum dalam sabda nabi berikut ini:
من يطع الرسو ل فقد أ طا ع الله ومن تو لّى فما أرسلنا ك عليهم حفيظا
Artinya:
“Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka” (Qs. an-Nisa’: 80)
يا ايها الذبن امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم, فإن تنازعتم فى شيئ
فردّوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر. ذ لك خير و أحسن تأويلا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan rasul-(Nya), dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Qs. an-Nisa’: 59).
Kedua ayat tersebut
menunjukkan bahwa perintah taat kepada Allah dan rasul berarti perintah taat
kepada al-Qur’an dan sunah,[9]
yang keduanya senantiasa berada dalam saling keterkaitan. Maksudnya, seseorang
tidak mungkin dinyatakan taat kepada Allah kalau tidak mentaati rasul-Nya, dan
demikian pula sebaliknya seseorang tidak
mungkin disebut telah taat kepada rasul kalau tidak mentaati Allah. Di antara
cara mentaati rasul adalah dengan menerima dan melaksanakan apa-apa yang
disampaikan olehnya dan meninggalkan apa-apa yang dilarangnya (Qs. al-Hasyr:
7).
Sehubungan dengan hal
tersebut ada teori klasifikasi hadith
dari Abdul Mun’im al-Namr. Bagi al-Namr, hadith atau sunah dapat dikategorikan atas sunah tasyri’iyah
dan sunah ghair tasyri’iyah.[10]
Jika yang pertama menuntut adanya kewajiban diikuti, maka tidak demikian halnya
sunah kategori ghair tasyri’iyah. Kategorisasi ini didasarkan kepada prinsip
pemisahan antara aspek kemanusiaan (basyariyah) nabi Muhammad dengan
kerasulannya. Lebih jauh an-Namr menyebutkan bahwa sunah tasyri’iyah
meliputi pada:
1. Hadith-hadith yang timbul dari nabi sebagi al-tabligh dalam
kapasitasnya sebagai seorang rasul.
2. Hadith yang timbul dari nabi dalam kedudukannya
sebagai pemimpin kaum muslimin seperti mengutus tentara, mengelola harta
negara, mengangkat hakim dan semisalnya.
3. Hadith yang timbul dari nabi dalam kedudukannya
sebagai hakim, yakni ketika beliau menghukum dan menyelesaikan persengketaan di
kalangan umat.
Sedangkan hadith atau sunah kategori ghair tasyri’iyah
menurut al-Namr meliputi:
1. Hadith yang berkenaan dengan tabiat atau kebutuhan
manusiawi seperti bediri, duduk, berjalan, makan, minum, tidur dan sebagainya.
2. Hadith yang berkenaan dengan pergaulan, kebiasaan
individu dan masyarakat, seperti mode pakaian, pengobatan, perdagangan,
pertanian dan beberapa kemahiran dan pengalaman lainnya dalam masalah
keduniaan.
3. Hadith yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat
dalam aspek-aspek tertentu, seperti penyebaran pasukan perang ke pos-pos
tertentu, mengatur barisan dan sebagainya.
Menyangkut hadis
kategori pertama—sunah tasyri’iyah, baik yang berupa perkataan maupun
perbuatan, sebagai dikatakan oleh Wahab Khalaf, mempunyai kekuatan hujjah
tasyri’ yang wajib diikuti oleh seluruh umat Islam. Sedangkan segala yang
berasal dari Muhamad dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, maka ia bukan
merupakan tasyri’ yang wajib diikuti kecuali memang ada dalil yang menunjukkan
atau menegaskan bahwa maksud perbuatan itu adalah untuk diikuti oleh umat
Islam, sehingga statusnya berubah menjadi sunah tasyri’iyah.[11]
Dalam kaitan ini Abu Zahrah menambahkan satu bentuk perbuatan yang memang
khusus untuk nabi dan karenanya tidak dimaksudkan sebagai tasyri’ yang wajib
diikuti oleh umat Islam, yakni perbuatan rasul beristri lebih dari empat orang.[12]
C. FUNGSI
SUNAH DALAM AL-QUR’AN
Sebagai
salah satu sumber ajaran Islam, sunah memiliki perang signifikan untuk
menjelaskan al-Qur’an. Dengan kata lain, kehadiran Muhamad dengan sunahnya
berperan untuk menjelaskan makna atau maksud firman Tuhan (al-Qur’an) yang
sebagian besar masih bersifat global maknanya. Dalam hal ini Allah sendiri
menegaskan:
وأ نزلنا إ ليك الذكر لتبيّن للنّا س ما نزّ ل ا ليهم و لعلّهم يتفكّرو ن
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkannya” (Qs. an-Nahl: 44).
Ayat tersebut
menggambarkan bahwa fungsi utama sunah adalah sebagai al-bayan atau
penjelasan terhadap al-Qur’an. Hal demikian lebih dikarenakan kebanyakan
ayat-ayat al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia disampaikan dalam uslub
yang mujmal,[13]
sehingga manusia tidak mungkin bisa memahami dan menggali petunjuk darinya
kalau hanya mengandalkan al-Qur’an semata. Itulah sebabnya Allah memberikan
otoritas nabi Muhammad untuk menjelaskan maksud yang terkandung dalam al-Qur’an
lewat sunahnya.
Adapun fungsi sunah
terhadap al-Qur’an selengkapnya telah disampaikan oleh Muhamad Abu Zahu berikut
ini:[14]
1.
Menegaskan kembali
hukum-hukum yang sudah ditetapkan al-Qur’an. Di sini hadis seakan-akan hanya
mengulangi ketetapan al-Qur’an, sehingga hukum itu memiliki dua sumber rujukan
dan atasnya terdapat dua dalil yakni al-Qur’an dan hadith. Sebagai misal dalam
hal ini adalah:
يا أ يّها الذين ا منوا لا تأ كلوا أ موا لكم بينكم با لبا طل
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta di antara kamu
sekalian dengan cara batil” (Qs. an-Nisa”: 29).
Terhadap ayat tersebut,
Rasulullah kemudian mengatakan:
لا يحلّ ما ل امرئ إلاّ بطيب من نفسه
Artinya: “Tidak halal harta seorang muslim
kecuali (hasil pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri”.
Hadith-hadith mengenai perintah mendirikan salat, puasa,
zakat, haji, amar ma’ruf nahi munkar, serta hadith–hadith yang berisi larangan minum khamr, berjudi,
menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dan sebagainya, juga
merupakan contoh dari fungsi hadith
sebagai penegas al-Qur’an.
2. Memberikan
penjelasan arti yang masih samar dalam al-Qur’an atau memberikan rincian terhadap
apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara garis besar. Dalam hal ini ada
berbagai ragam bentuk penjelasan yang diberikan oleh hadis:
a.
Bayan tafshil, yakni
sunah menjelaskan atau memerinci kemujmalan al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an
terdapat perintah melaksanakan salat, zakat, haji, jihad dan sebagainya, namun
tidak diikuti penjelasan tentang teknik operasionalnya, dan di sinilah peran
sunah yakni memberikan penjelasan rinci tentang teknik operasional dari
perintah al-Qur’an yang masih mujmal itu. Sebagai contoh adalah perintah salat
dalam Qs. al-Baqarah ayat 110 tanpa disertai aturan teknik operasionalnya, dan
kemudian rasul mempraktekkan cara salat dan kemudian bersabda:
صلّوا كما رأ يتمو نى أ صلّى
Artinya: “Salatlah kamu sebagaimana
kamu melihat aku mengerjakan shalat”.
b. Taqyid al-muthlaq,
yakni membatasi ayat-ayat al-Qur’an yang disebutkan secara mutlak. Misalnya,
dalam al-Qur’an secara umum dinyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan
adalah ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Firman
Allah:
للرجال نصيب ممّا ترك الوا لدا ن والأ قربو ن وللنّسا ء نصيب ممّا
ترك الوالدان والأقربون ممّا قاّ منه او كثر, نصيبا مفرو ضا
Artinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
(Qs. an-Nisa”: 7).
Ayat
tersebut menggunakan ungkapan mutlak, kemudian nabi memberi qayyid bahwa hak
warisan itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian
dari orang tuanya, sebagaimana sabda beliau:
لا يرث القا تل من المقتو ل شيئا
Artinya: “Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi
harta orang yang dibunuh sedikit pun”. (HR. an-Nasa’i)
Sebagai contoh lain adalah firman Allah
dalam Qs. al-Ma’idah: 38 perihal hukum potong tangan bagi seorang pencuri, baik
laki-laki maupun perempuan. Ayat tersebut tidak
memberikan batasan bagian tangan yang mana yang mesti dipotong. Kemudian nabi
memberi batasan bahwa yang dipotong adalah tangan kanan sampai kepada bagian
pergelangan.[15]
c.
Takhshish
‘am, yakni mentakhsiskan lafadz-lafadz yang masih bersifat
umum. Contoh
dalam hal ini adalah:
أ حلّ لكم ما ورا ء ذ لكم أن تبتغوا بأموا لكم محسنين غير مسا فحين
Artinya:
“……dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri
dengan hartamu untuk mengawini, bukan untuk berzina” (Qs. an-Nisa’: 24).
Ayat di atas
menjelaskan perihal siapa yang haram dinikahi (Qs.4: 23), kemudian dalam ayat
tersebut juga Allah menghalalkan selain yang tersebut (diharamkan) dalam ayat
23. Tetapi kehalalan itu kemudian ditakhsis oleh nabi, dimana beliau
mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah,[16]
dengan sabdanya berikut ini:
لا يجمع بين المرأ ة وعمّتها ولا بين المرأة و خا لتها
Artinya:
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita ‘ammah (saudari
bapak)-nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)-nya” (HR.
Bukhari-Muslim).
3. Menetapkan
suatu hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an secara tegas. Dalam hal
ini seolah-olah nabi menetapkan hukum sendiri. Namun hakikatnya bila
diperhatikan secara seksama, apa yang ditetapkan oleh nabi itu adalah
penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh Allah di dalam al-Qur’an atau
memperluas apa yang isebutkan oleh Allah secara terbatas. Sebagai contoh
adalah, dalam Qs. al-Ma’idah: 3 Allah mengharamkan makan bangkai, darah, daging babi dan sesuatu
yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah. Kemudian nabi menyatakan
haramnya binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencekam. Secara
lahiriah larangan nabi ini dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan
olehnya. Namun sebenarnya larangan itu hanya merupakan “perluasan” dari
larangan Allah memakan sesuatu yang kotor dalam Qs. al-A’raf ayat 33. Dalam hal
ini ternyata tidak semua ulama setuju dengan fungsi sunah seperti ini; kelompok
yang setuju mendasarkan kepada ‘ishmah nabi, khususnya dalam bidang syari’at,
apalagi banyak ayat yang menunjukkan adanya otoritas kemandirian nabi untuk
ditaati. Sedangkan kelompok yang menolak berpendapat bahwa sumber hukum Islam
itu hanya Allah (la hukm illa Allah), sehingga rasul pun harus merujuk
kepada kitab-Nya ketika hendak menetapkah hukum. Kalau itu yang menjadi masalah,
Quraish Shihab[17]
telah memberikan solusi bahwa bila fungsi sunah terhadap al-Qur’an
didefinisikan sebagai bayan murad Allah (memberi penjelasan maksud
Allah) sehingga apa ia sebagai penjelas, penguat, pemerinci, pembatas maupun
penembah ketentuan hukum, maka semuanya tetap bersumber dari Allah. Dengan
demikian ketika rasul melarang seorang suami memadu istrinya dengan ‘ammah atau
khilah, yang zhahirnya berlainan dengan Qs. an-Nisa’ ayat 24 maka pada
hakikatnya penambahan itu merupakan penjelasan saja dari apa yang dimaksud oleh
Allah di dalam firman-Nya itu.
4.
Menasakh
hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an. Fungsi ini adalah bagi
mereka yang berpandangan hadith dapat
menasakh al-Qur’an, meski pendapat semacam ini tampak berlebihan. Dalam hal ini
mereka memberikan contoh hadith “la
wahiyyah li warits” (tak ada wasiat bagi ahli waris) adalah menasakh hukum
bolehnya berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat sebagaimana firman Allah
berikut ini:
كتب عليكم إ ذا حضر أ حدكم ا لموت إن ترك خيرا ا لو صيّة للوا لدين
والأ قربين با لمعروف
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu bila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia menginggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf” (Qs. al-Baqarah: 180).
Secara
umum para ulama menerima prinsip nasakh sebagai sarana mempertemukan ayat-ayat
al-Qur’an yang tampak bertentangan satu dengan lainnya—terlepas dari adanya
perbedaan apakah suatu ayat tertentu telah atau belum dihapus oleh ayat lain.
Masalah lain yang cukup krusial dan menimbulkan perbedaan pendapat adalah
apakah sunah dapat menasakh al-Qur’an? Selanjutnya, mereka yang membolehkan pun
kemudian berbeda pendapat, apakah secara faktual terdapat hadis yang menasakh
ayat al-Qur’an atau tidak.
Ada silang
pendapat di kalangan ulama’ menyangkut fungsi hadis sebagai penasakh ayat
al-Qur’an. asy-Syafi’i, Ahmad dan ahl zhahir secara praktis menolak
fungsi hadis menjadi penasakh ayat, meski secara teoritis mereka setuju adanya
hadis yang menasakh ayat al-Qur’an. Sebaliknya imam Malik, Hanafi dan mayoritas
teologi islam—baik dari kalangan Mu’tazilah maupun Asy’ariyah—berpandangan
adanya kemungkinan nasakh semacam itu.[18]
Meski mereka berbeda pendapat namun
secara umum semua telah sepakat bahwa yang dapat menasakh adalah al-Qur’an, di
mana ia bersifat mutawatir. Pertanyaan selanjutnya adalah apa secara faktual
ada hadis mutawatir yang telah menasakh al-Qur’an? M. Quraish Shihab, dengan
merujuk al-Zarqani, mengemukakan adanya empat hadith ahad, namun dinyatakan oleh ulama’ bahwa
hadith itu menasakh al-Qur’an. Apakah
hal ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang menasakh al-Qur’an?
Agaknya memang demikian. Di sisi lain, setelah diteliti ternyata yang
menunjukkan nasakh bukan hadith itu
sendiri, melainkan ayat al-Qur’an sendiri yang ditunjuk hadis tersebut. Sampai
di sini persoalan hadith menasakh ayat
al-Qur’an menjadi makin rumit karena antara reori dengan fakta historis
berlainan.
Tentang
contoh di atas pun masih diperdebatkan oleh ulama’, apa benar hadith (ahad) itu telah menasakh al-Qur’an Qs.
al-Baqarah: 180 (yang nilainya mutawatir)? Setelah melakukan penelitian
ternyata—sebagai dikatakan Quraish Shihab—keseluruhan teks ayat tersebut adalah
“sesungguhnya Allah telah memberikan…..dst” merujuk kepada ayat waris, bukan
wasiat. Atas dasar ini maka—lanjut Shihab[19]—sebenarnya
hadith itu menyatakan bahwa yang
menasakh adalah ayat waris tersebut, bukan hadith yang bernilai ahad tadi.
*Ditulis dan dikutip dari berbagai sumber
Catatan Akhir:
[1] Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 32.
[2] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa
al-‘Alam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 121.
[3] Lihat, misalnya: ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits ‘Ulumuh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 19.
[5] Ibid., h. 19.
[6] Ibid., h. 19.
[7] Mahmud Abu
Rayyah, Adlwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah (Mesir: Dar al-Ma’arif,
1957), h. 39-40.
[8] Ibid., h.
54.
[9] Abdul Wahab
Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah,
1990), h. 21.
[10] Abdul
Mun’im an-Namr, as-Sunnah wa at-Tasyri’ (Kairo: Dar al-Kitab al-Misra,
t.th.), h. 69-90
[11] Bustami M.
Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: PSIA, 1992), h.
249.
[12] Abu Zahrah,
Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 114
[13] Badran Abi
al-‘Ainain Badran, Bayan an-Nushush at-Tasyri’iyah (Iskandariah:
at-Tab’ah wa an-Nasyr wa Tanzi’, 1982), h. 5.
[14] Lihat, M.
Abu Zahu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Maktabah al-Misra, t.th.),
h. 37.
[15] Muhamad
Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabl at-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1991),
h. 25.
[16] Abu Zahrah,
op. cit., h. 113.
[17] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 123.
[18] Ibid., h.
148.
[19] Ibid., h.
148-149.
The Wynn casino in Las Vegas: get $110 million in tax credits
ReplyDelete› › Casino Resort Hotel 서산 출장샵 › › Casino Resort 대구광역 출장샵 Hotel The Wynn 서산 출장샵 casino in Las Vegas is located in the heart of the 거제 출장샵 Las Vegas Strip and offers its guests a convenient location and 양산 출장안마 a unique Check In: 5:00 PM - 8:00 PM $135.00 In stock