Thursday, August 27, 2015

MODUL 3: KONSEP AGAMA BAGI MANUSIA*



Materi Konsep Agama bagi Manusia :
Materi agama adalah menanamkan kebenaran akan Islam pada ketauhidan (Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah)  seraya mencabut sikap syirik dengan akar-akarnya melalui analisis terhadap fenomena alam dan perilaku sosial masyarakat. Bentuk-bentuk agama adalah mengajarkan tentang kaifiyat (tatacara, how to do) tentang ritual (ibadah mahdloh) dan mu’amalah (ibadah ghair mahdloh), beserta  falsafahnya sehingga setiap ritual syari'ah terasa mempunyai makna. Urgensi agama bagi manusia adalah memberikan pemahaman tentang dimensi- dimensi agama yang meliputi hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan perlunya figur sebagai whole model (usawah hasanah).

A.   Pengertian Agama
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Sangat penting bukan saja yang dijumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui, tetapi juga karena penting saling pengaruh-mempengaruhi antara lembaga budaya satu dengan lainnya. Di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya. Oleh karena itu ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak dipaksa oleh hal-hal yang bersifat fisik sekitarnya.




Agama banyak memberikan inspirasi dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika. Zakiah Darajad mengatakan lebih lanjut, bahwa agama itu saling pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum, dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains dan teknologi.


Studi keagamaan mempunyai dua istilah yang berbeda antara kata religion dengan kata religiosity. Religion, yang biasa diartikan dengan “agama”, pada awalnya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda”; ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk umat manusia.
Religiosity lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya sehinggam lebih tepat pada istilah spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan pada substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme keagamaan.
M. Quraisy Shihab, berpendapat term “agama” sangat mudah diucapkan, tetapi ssangat sulit didefinisikan secara tepat, sehingga dapat diterima oleh semua pihak. Mukti Ali mengatakan, “barangkali tidak ada kata yang paling sukar diberi pengertian selain kata agama”.
Argumen yang menyebabkan adanya kesulitan ini; pertama, pengalaman agama adalah persoalan batini, sehingga sifatnya sangat subyektif dan individualistik; kedua, dalam kajian agama, faktor emosi sangat menonjol dan dominan, tentu bersifat apologis; dan ketiga, konsep tentang agama akan sangat dipengaruhi oleh tujuan dari pakar yang mendivinisikannya. Kesulitan definisi tersebut menurut M. Natsir merupakan problem of ultimate concern, yaitu persoalan yang menyangkut kepentingan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar.
Term “agama” tidak bisa dirumuskan batasan-batasan atau pengertiannya secara umum. Karena seperti yang ditegaskan oleh perennialis (filosof perenial), bahwa semua agama itu memiliki the common vision[1] (pesan dasar yang sama), yaitu sikap tunduk kepada Yang Maha Mutlak, walaupun bentuk formalnya berbeda-beda. Keberadaan ini memungkinkan para ahli untuk dapat menjelaskan aspek pengertian umum yang menjadi titik temu dari berbagai ragam agama. sehingga mereka berbeda tentang pengertian agama, baik secara kebahasaan (etimologis) maupun istilah (terminologis).
1.   Etimologis
Harun Nasution mendefinisikan kata agama itu berasal dari bahasa Sankrit, agama tersusun dari dua kata, a=tidak dan gama=pergi, jadi agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. kata gama setelah mendapatkan awalan  a sehingga menjadi agama, maka pengertian berubah menjadi “ jalan “.  Sejalan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci dan agama-agama memang mempunyai kitab suci. Pengertian ini  sesuai dengan salah satu fungsi agama sebagai yaitu tuntunan bagi kehidupan manusia.
Agama yang dimaksudkan adalah jalan hidup yang digariskan Tuhan atau pendiri agama, untuk ditaati dan ditempuh oleh manusia dalam mencapai apa yang dicita-citakan agama itu. Agama sebagai jalan hidup menunjukkan untuk apa tujuan hidup manusia di dunia ini. Seperti ditegaskan oleh Sidi Gazalba bahwa pada setiap agama tersimpul di dalamnya pengertian jalan seperti Budhisme menyebut undang-undang pokoknya dengan jalan, Taoisme dan Shinto juga bermakna jalan, Yesus menyuruh pengikutnya untuk menurut jalannya, Thariqot, syari’at dan Shiroth dalam ajaran Islam juga berarti jalan.
Berbeda dengan kata religi, Harun nasution, mengatakan religi berasal dari bahasa latin. Asal kata religi adalah relegere yang berarti mengumpulkan dan membaca. Pendapat lain juga mengatakan bahwa kata religi berasal dari kata religare yang berarti ikatan, yaitu ikatan manusia dengan Tuhannya, yang membuat manusia itu terbebaskan dari segala ikatan atau dominasi oleh sesuatu derajadnya lebih rendah dari manusia itu sendiri. Ikatan ini kata Harun Nasution,
Definisi tersebut identik dengan makna kata agama yaitu jalan: merujuk kepada muatan yang terkandung di dalam suatu agama yang riilnya berupa kumpulan aturan-aturan tentang cara pengabdian kepada Tuhan, dan kumpulan aturan ini terformulasi di dalam kitab suci yang harus dibacanya. Jadi tidak hanya merujuk kepada ikatan yang berupa keyakinan (kepercayaan), tetapi sekaligus juga merujuk kepada jalan  manusia terhadap ajaran hidup yang telah ditentukan  Tuhan.
Agama juga identik dengan kata din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Din dalam bahasa Arab mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian din yang di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum, untuk dipatuhi penganut agama yang bersangkutan. Din tersebut menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Paham kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan. Orang yang menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan mendapat balasan yang baik dari Tuhan. Sedangkan orang yang tidak menjalankan kewajiban dan ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat balasan yang menyedihkan.
Abu A’la al-Maududi membagi arti dasar dari kata din dalam bahasa Arab tersebut yang mengandung pengertian sebagai berikut: 1) kekalahan dan penyerahan diri kepada pihak yang lebih berkuasa; 2) ketaatan, penghambaan dari pihak yang lemah kepada pihak yang lebih berkuasa; 3) undang-undang, hukum pidana dan perdata, peraturan yang berlaku dan harus ditaati; dan 4) peradilan, perhitungan atau pertanggungjawaban, pembalasan, vonis, dan lain sebaginya.
Harun Nasution sampai pada satu kesimpulan, bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari dan berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia berupa kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera.
Definisi mengenai agama, religi, dan din dari berbagai pendapat di atas, sebagai berikut: Agama (religi dan din) merupakan jalan hidup, atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera di dunia dan akhirat berupa aturan-aturan, niali-nlai, dan norma-norma bersumber dari Yang Maha Mutlak dan bersifat mengikat, yang secara riil berupa kitab suci atau yang lainnya dan mempengaruhi kehidupan manusia, masyarakat, dan budaya.
2.      Terminologis
Pengertian agama bila ditinjau dari segi istilah, Seperti pendapat Parsudi Suparlan dalam kata pengantar bahan ajar “...Agama: dalam analisa dan interpretasi sosiologis”, agama didefinisikan sebagai seperangkat aturan atau peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Agama sebagai teks atau doktrin; sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak nampak tercakup di dalamnya.
Agama mengatur masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan baik individual maupun kelompok atau masyarakat, pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang berbeda dari pengetahuan dan keyakinan lainnya yang dipunyai manusia, peranan keyakinan keagamaan terhadap kehidupan duniawi dan sebaliknya, dan kelestarian serta perubahan-perubahan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia.
Elizabet K. Nottingham dalam bahan ajar Agama dan Masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gejala yang begitu sering terdapat di mana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.
 Agama menimbulkan imajinasi yang paling luas dan mudah digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat memotivasi dan membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah pantulan dari solidaritras sosial. Bahkan, kalau dikaji, kata Durkheim, Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat.
Agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang di anut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang maha dan suci. Agama berbeda dari sistem-sistem keyakinan atau isme- karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred) yang dibedakan dari duniawi (profane), dan pada yang gaib atau supranatural (supernatural) sehingga menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah (natural).

Mengutip Kamus Modern Bahasa Indonesia “agama adalah kepercayaan pada kesaktian ruh nenek moyang, dewa, dan Tuhan”. WJS. Purwadarminta juga mengatakan bahwa agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, dewa, dan sebagainya) serta dengan kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Berbeda dengan kepustakaan Arab agama adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegang peraturan Tuhan itu dengan kehendak sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak di akhirat.
Ensiklopedi Nasional Indonesia mendefinisikan Agama sebagai aturan atau tatacara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Agama juga disebut sebagai pedoman hidup manusia: bagaimana ia harus berfikir, bertingkah laku, bertindak, sehingga tercipta hubungan serasi antara manusia dan hubungan erat dengan Tuhan. Itulah definisi sederhana. Tetapi, definisi yang sempurna dan lengkap tak pernah dapat dirumuskan. Agama dapat mencakup tata tertib, upacara, praktek pemujaan dan kepercayaan kepada Tuhan. Sebagian orang menyebut agama sebagai tata cara pribadi untuk dapat berhubungan  dengan Tuhannya.
Harun Nasution berpendapat bahwa Agama adalah kepercayaan kepada kekuatan immateriil atau supernatural yang erat hubungannya dengan manusia. Kekuatan supernatural itu dipandang mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian-kejadian alam yang ada di sekeliling manusia dan terhadap perjalanan hidup manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia merasa bahwa kesejahteraan bergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan supernatural itu.
Kesimpulan dari berbagai definis agama secara istilah diatas yaitu: percaya kepada Yang Maha Mutlak, Kudus, Supernatural sebagai tempat bergantung bagi umat manusia melalui ritus, kultus, dan permohonan sebagai bentuk pengabdian atau penghambaan pada yang kudus melalui doktrin atau aturan-aturan dari yang Kudus, yang mengajarkan tentang kepercayaan dan hubungan itu untuk mencapai kesejahteraan hidup.

B.   Bentuk-bentuk Agama
Melihat kajian teologis para agamawan yang membagi agama berdasarkan asal-usulnya agama yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu agama samawi atau agama wahyu (revealed religions), yaitu agama yang diwahyukan dari Tuhan melalui malaikat-Nya kepada utusan-Nya yang dipilih dari manusia. Agama samawi ini juga disebut dienul haq, (QS. 43:27,33) dan disebut juga agama yang full fledged, yaitu agama yang mempunyai Nabi dan Rasul, mempunyai kitab suci, dan mempunyai umat. Secara historis, penerapan agama wahyu ini dapat diberikan kepada agama yang mengajarkan adanya wahyu, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Agama kebudayaan (cultural religions) atau juga disebut agama tabi’i atau agama ardli, yaitu agama yang bukan berasal dari Tuhan dengan jalan diwahyukan, tetapi merupakan hasil proses antropologis, yang terbentuk dari adat istiadat dan selanjutnya melembaga dalam bentuk agama formal.
Proses selanjutnya agama samawi dan tabi’i telah mengalami beberapa perubahan. Bagian yang berubah itu terjadi  pada sistem kepercayaan, sistem upacara maupun kelembagaan keagamaan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dalam kepercayaan terhadap Tuhan yang mereka sembah, dari monoteisme berubah ke politeisme. Perubahan itu juga dapat terjadi dalam upacara-upacara keagamaan yang mereka laksanakan. Oleh karena itu, dalam agama Islam dikenal adanya istilah bid’ah dan khurafat.
Perubahan-perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh adanya proses degenerasi (pemburukan), baik karena faktor manusia penganut agama itu sendiri, maupun akibat persentuhan agama tersebut dengan berbagai keyakinan dan kepercayaan lain pada suatu tempat. Seorang penganut agama dalam mempersepsi ajaran agama yang diyakininya, banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan juga oleh lingkungan sosial dan budaya sekelilingnya.
Interaksi sosial antar pemeluk agama, seorang penganut agama bergaul dengan berbagai penganut agama yang berbeda dan juga bertemu dengan kepercayaan lain, atau pertemuan dengan ajaran magis, mistik yang subyektivistik, takhayyul dan fanatisme. Interaksi keyakinan lain juga banyak mempengaruhi praktek keagamaan seseorang dan pada akhirnya diwariskan turun-temurun kepada generasi sesudahnya.
Lain lagi dengan kajian para teolog, para ilmuwan yang diwakili oleh para sarjana antropologi budaya dan sosiologi agama, melalui kajian keilmuan mereka (scientivic approach) membedakan agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok besar, yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme adalah agama penyembah sesuatu (zat) yang gaib yang tidak nampak secara lahiriah, yaitu sesuatu yang memang tidak dapat dilihat dan tidak dapat berbentuk. Spiritualisme terbagi dalam beberapa kelompok yaitu: Agama Ketuhanan (theistic religion) dan Agama Penyembah Roh.
Agama Ketuhanan (theistic religion), yaitu agama yang para penganutnya menyembah Tuhan (Theos). Agama-agama ini mempunyai keyakinan bahwa Tuhan, tempat manusia menaruh kepercayaan dan cinta kepada-Nya, merupakan kebahagiaan. Agama Ketuhanan merupakan asal-usul istilah dari semua sistem kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, yang mencakup kepercayaan terhadap satu atau banyak Tuhan, antara lain:
Monoteisme, merupakan religi (agama) yang berdasarkan pada kepercayaan terhadap satu Tuhan dan terdiri atas upacara-upacara guna memuja Tuhan. Contohnya, agama Islam dengan inti ajaran imannya yang berbentuk pengakuan, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Juga dalam Yudaisme (agama Yahudi) disebutkan, “Dengarlah orang Israel, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Satu” (Deuteronomy: 4). Dalam sikhism juga disebutkan, “Tidak ada Tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”.
Politeisme, yaitu bentuk religi (agama) yang berdasarkan kepercayan kepada banyak Tuhan dan terdiri atas upacara-upacara keagamaan guna memuja Tuhan-Tuhan tersebut. Seperti dalam ajaran Hinduisme. Dalam kitab Weda, diceritakan tentang banyak dewa dengan berbagai fungsi, antara lain Indra adalah dewa perang, Varuna adalah dewa kekuatan dari cahaya langit, Agni adalah dewa api, Brahma sebagai dewa pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai dewa penghancur. Pada agama Romawi Kuno dikenal dengan Dewa Mars sebagai dewa perang, Venus sebagai dewa percintaan, Ceres sebagai dewa pertanian, Juno sebagai dewa penolong wanita yang melahirkan.
Para penganut politeisme ini memiliki kecenderungan memilih dewa-dewa yang mereka percayai untuk diangkat, dilebihkan, dan diutamakan, yang dianggap sebagai Yang Maha Kuasa. Tahapan ini disebut henoteisme, yaitu tingkatan menengah antara politeisme dan monoteisme, menyembah satu Tuhan dengan mengakui keberadaan Tuhan-Tuhan lainnya.
Selanjutnya adalah Agama Penyembah Roh, adalah kepercayaan orang primitif kepada roh nenek moyang atau roh pemimpin dan roh para pahlawan yang telah gugur. Mereka percaya bahwa orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan dan perlindungan kepada mereka bila mendapat kesulitan. Untuk menghadirkan roh-roh tersebut perlu diadakan upacara keagamaan yang khusus dan kompleks.
Agama penyembah roh tersebut dapat dibagi dalam bentuk kepercayaan Animisme, yaitu bentuk agama yang mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa di sekeliling tempat tinggal manusia terdapat berbagai macam roh yang berkuasa, dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau upacara untuk memuja roh tersebut. Istilah animisme dipakai oleh orang-orang yang mengembangkan suatu pandangan bahwa semua fenomena alam dapat diterangkan dari teori roh (imaterial) sebagai prinsip kehidupan. Kepercayaan ini dibangun berdasarkan dua anggapan pokok, yaitu roh adalah unsur halus yang keluar dari tiap makhluk dan mampu hidup terus setelah jasadnya mati; dan makhluk halus yang jadi dengan sendirinya, seperti peri dan mambang yang dianggap berkuasa. Lebih rinci agama penyembah roh terbagi dalam Pra Animisme (Dinamisme) dan Agama Penyembah Binatang (Animal Worship)
Pra Animisme (Dinamisme)ialah bentuk agama berdasarkan kepercayaan kepada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal yang luar biasa dan terdiri atas aktivitas keagamaan untuk menguatkan kepercayaannya itu dengan berpedoman kepada ajaran kepercayaan tersebut. Pra Animisme terdiri atas: Agama Penyembah Kekuatan Alam, adalah kepercayaan bangsa primitif kepada alam sekitar, biasanya karena takut akan malapetaka atau karena balas budi terhadap jasa gejala alam atau suatu anasir alam yang mereka anggap memiliki kekuatan. Mereka memujanya dan menjadikan aktivitas keagamaan untuk memuliakannya. Penyembahan alam atau nature worship merupakan tahapan paling awal dari evolusi keagamaan bangsa primitif. Kekuatan-kekuatan alam atau gejala alam serta anasir-anasir alam dipersonifikasikan menjadi dewa-dewa yang berkuasa.
Agama Mesir Kuno misalnya menganggap Dewa Ra’ adalah personifikasi dari matahari, Tefnut adalah dewi air, Shu adalah dewa hawa, dan lain-lain. Penyembahan kepada benda-benda alam tersebut, bisa dilihat dalam bentuk: Animatisme, suatu sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan sekeliling manusia itu berjiwa dan dapat berfikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak mengakibatkan aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda atau tumbuh-tumbuhan tadi, tetapi animatisme biasanya menjadi unsur religi; dan Fetishme, yaitu suatu bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda alam tertentu dan yang terdiri atas aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda berjiwa tersebut.
Agama Penyembah Binatang (Animal Worship), yaitu kepercayaan orang-orang kuno dan primitif yang mengangap binatang-binatang tertentu memiliki jiwa kesucian. Jiwa kesucian binatang tersebut akan tetap hidup dan dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Dari kepercayaan tersebut diadakan aktivitas untuk memuja binatang tersebut. Para penganut Totemisme menjadikan binatang tertentu sebagai lambang obyek keramat. Mereka menganggap binatang yang mereka jadikan lambang itu ada hubungannya dengan asal-usul dirinya atau kelompoknya atau setidaknya, menurut anggapan mereka, roh nenek moyang tertinggi yang telah mati bertempat tinggal pada jasad hewan yang dijadikan lambang totem itu, maka dalam tradisi mereka, hewan-hewan suci tersebut dilarang untuk dibunuh atau dimakan.
Selanjutnya materialisme adalah agama yang mendasarkan kepercayaannya terhadap Tuhan yang dilambangkan dalam wujud benda-benda material, Dengan perkataan lain, walaupun mereka percaya pada kekuatan roh atau jiwa, tetapi lebih menekankan wujud materinya dari pada jiwa yang menempatinya, atau mereka lebih mempercayai perwujudan Tuhan pada benda yang tampak bagi mereka daripada yang tidak nampak, atau mereka lebih mempercayai Tuhan dalam bentuk realitas materi dari pada Tuhan dalam bentuk ide yang tanpa wujud.
Agama Materialisme pada hakekatnya tidak terlalu jauh perbedaannya dengan agama spiritualisme, sebab keduanya mempercayai jiwa atau sesuatu yang gaib. Hanya saja dalam agama materialisme, mereka lebih menekankan kepada pengakuan fisik material patung itu dari pada pengagungan kekuatan jiwa yang ada dalam berhala atau bangunan tertentu itu seperti patung manusia atau binatang dan berhala atau sesuatu yang dibangun dan dibuat untuk disembah.
Agama materialisme dapat dilihat dalam literatur tentang agama bangsa Arab sebelum islam, atau di antara umat nabi Musa yang dipimpin oleh Samiri yang membuat patung lembu untuk disembah, atau kepercayaan penganut agama Majusi yang menyembah api suci.
C.   Ritual Beragama
Banyak ragam manusia dalam praktek pengamalan beragama dan keberagamaannya. Berbeda-beda antara satu dengan lainnya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pengamalan dalam beragama tersebut disesuaikan dengan tingkat pengalaman keberagamaan masing-masing pemeluknya. Ada beberapa cara yang perlu diketahui, seperti cara mistik. cara mistik adalah suatu cara beragama pengikut agama tertentu yang lebih menekankan pada aspek pengamalan batiniah (esoterisme) dari ajaran agama yang mengabaikan aspek pengamalan formal, struktural dan lahiriah (eksoterisme).
Dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, sebagian manusia cenderung lebih menekankan pada pendekatan mistikal dari pada pendekatan yang lain. Cara mistik seperti ini dialkukan oleh para sufi (pengikut tarekat) dan pengikut kebatinan (kejawen). Yang dimaksud Pada setiap pengikut agama, apapun agamanya, baik agama besar maupun agama lokal, selalu memiliki kelompok pengikut yang memberi perhatian besar pada cara beragama mistik ini. Di kalangan agama Islam dikenal dengan sufisme, di kalangan umat Katolik dikenal dengan hidup kebiaraan, begitu juga di kalangan agama Hindu maupun Budhisme.
Beragama dengan cara mistik sangat digemari oleh masyarakat berkebudayaan tertentu, yang secara kultur-dominan, mereka memang menekankan pada hal-hal mistikal tersebut, seperti, sebagian masyarakat yang berkebudayaan jawa. Kebudayaan Jawa adalah tipe kebudayaan yang menekankan pada hidup kerohanian, bersifat esoteris dan menjunjung tinggi harmonitas hidup sehingga kadangkala menyebabkan terjadinya sindritisme.
Cara beragama tersebut diantaranya Cara sinkretisme. Sinkretisme diambil dari bahasa Yunani, synkretismos yang berarti panggabungan ajaran dan pengamalan agama yang berbeda satu sama lain. Cara sinkretisme adalah cara-cara seseorang dalam menghayati dan megamalkan agama dengan memilih-milih ajaran tertentu dari berbagai agama untuk dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan diri sendiri atau untuk diajarkan kepada orang lain. Dalam prakteknya, cara beragama sinkretisme ini dapat terjadi pada bidang kepercayaan, nama Tuhan umpamanya, dikombinasikan seperti dalam perkataan “Gusti Allah” atau “Allah Sang Hyang Widi”, dapat juga dalam pelaksanaan ritual, dalam berdo’a, dalam peralatan yang dipakai pula upacara keagamaan dan sebagainya.
Bentuk cara beragama berikutnya adalah Penalaran, yaitu cara beragama dengan menekankan pada aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi penganut aliran ini, bagaimana agama itu harus dapat menjawab masalah yang dihadapi penganutnya dengan jawaban yang dapat diterima akal.
Beragama tidak selamanya menerima begitu saja apa yang didoktrinkan oleh pemimpin agama, mereka menyenangi adanya interpretasi yang bebas dalam menafsirkan teks dari kitab suci atau bahan ajar-bahan ajar agama lainnya. Dalam tradisi islam, umpamanya, ada kelompok yang disebut mutakallimun atau para ahli ilmu kalam, yang banyak membicarakan teologi islam dengan memakai dalil tekstual (naqli) dan dalil rasional (aqli).
Cara beragama berikutnya adalah amal saleh. Cara ini lebih menekankan penghayatan dan penngamalan agama pada aspek peribadatan, baik ritual formal maupun aspek pelayanan sosial keagamaan. Menurut kelompok ini, yang paling penting adalah melaksanakan amal saleh, karena indidkator seseorang beragama atau tidak adalah dalam pelaksanaan segala amalan lahir dari agama itu sendiri. Siapa pun yang ingin mendapat balasan surga ataupun neraka, seluruhnya didasarkan pada amal perbuatannya.

D.   Pentingnya Agama Bagi Manusia
Manausia dibekali dengan seperangkat potensi untuk  keberlangsungan hidup dan kehidupannya. Dalam perjalanan kehidupannya, seorang manusia dituntut untuk selalu beraktivitas dan berkreatifitas untuk memenuhi kebutuhannya di setiap saat. Kebutuhan paling asasi adalah terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin.
Abraham H. Maslow, seorang tokoh psikologi humanistik mengidentifikasikan adanya lima kebutuhan manusia yang bersifat hirarkhis (hierarchy of needs), yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi.
Aktualisasi diri, perkembangan dan penggunaan potensi merupakan suatu tahapan yang menurut Maslow, didorong oleh adanya metamotivasi (metamotivation) yang antara lain berwujud mystical atau peak experience, sejenis dorongan kekuatan gaib atau Tuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam jiwa manusia telah muncul adanya fitrah manusia untuk beragama.
Tokoh perennialis (filosof perenial) mengatakan, bahwa secara intrinsik dan alamiah Tuhan telah menanamkan benih (potensi atau fitrah) beragama pada diri setiap insan. Itulah sebabnya manusia dikenal dengan homo religious. Manusia mempunyai fitrah dan kecenderungan untuk beragama, yang diasarkan pada perasaan dan kesadarannya.
al-Aqqad mengatakan pendapat dari Max Muller, seorang tokoh psikologi modern “... bahwa manusia itu telah beragama sejak awal keberadaannya, bahkan agama itu akan terus eksis selama manusia itu masih eksis. Lebih lanjut Yusuf Musa mengatakan, bahwa dalam sejarah belum pernah diketahui adanya suatu masyarakat yang hidup tanpa agama, munculnya berbagai agama pada masa beribu-ribu tahun yang lalu di Mesir, Asiria, Babilonia, Persia, Cina, dan lain-lain misalnya, merupakan realitas empirik yang mendukung tentang kebenaran anggapan ini. Ini semua menandakan bahwa eksistensi agama selalu menggejala dalam kehidupan manusia, seiring-sejalan dengan perkembangan budayanya.
Manusia juga dikenal sebagai makhluk yang punya fitrah sosial (homo socios). Hal ini mengindikasikan bahwa manusia dalam aktivitas kesehariannya tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Realitas ini menunjukkan bahwa manusia mutlak memerlukan bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam menunjang kebutuhan hidupnya.
Perkembangan selanjutnya, manusia pasti dihadapkan berbagai macam persoalan yang menghampirinya, baik persoalan yang bersifat pribadi, kelompok, maupun golongan. Namun, dalam perjalanannya, manusia sering terbawa oleh sifat egoisnya yang tidak terkendali. Padahal kehidupan yang dirindukan adalah terwujudnya kehidupan yang harmonis, tentram, sejahtera, teratur, nyaman, stabil, aman, dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukanlah aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai yang dapat mengikat diri manusia, sehingga dapat menuntun hidupnya menuju kehidupan seperti yang dicita-citakan di atas.
Untuk menunjang segala kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki manusia, diperlukanlah aturan hidup yang kebenarannya bersifat mutlak, yaitu suatu kebenaran yang datang dari yang Mutlak pula, adalah Tuhan, Dzat yang terbebas dari segala kelemahan dan kekurangan serta interes-interes tertentu. Aturan hidup tersebut adalah bernama “agama (din, religi).”
Dengan demikian, agama adalah merupakan kebutuhan primer bagi manusia sebagai makhluk sosial, karena ia memuat aturan hidup yang kebenarannya bersifat absolut untuk mengangkat martabat manusia dan membedakannya dari seluruh binatang, yang menurut Freud, fungsi utamanya, antara lain ialah untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat. Makna din, sangat relevan, yang watak dasarnya adalah bersifat “mengatur,” karena kata itu sendiri bermakna aturan hidup. Diantara cara pengaturan itu adalah melalui pengendalian sikap egoisme yang berlebihan, yang sewaktu-waktu bisa menjelma ke dalam bentuk ucapan, perilaku, dan pola pikir.


 *Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber








DAFTAR PUSTAKA

_________  Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun, 1992.
A. Qodri A. Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo, Edisi 13, Tahun 1999
Abbas Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M. Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir: Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2001
Abu A’la  al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.            
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister, “Introduction,”  dalam Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons, 1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran. Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir, Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut, Dar El-Fikr, 1986     
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global  Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun   XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe, 1960.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,”  dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1980
Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia,  Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul ‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli : The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits. Beirut, Dar El-Fikr, 1981          
John. L. Esposito, “Islamic Studies,”  The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford & New York: Oxford University Press, 1995
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana,  Vol 2, No. 2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.  ‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,” Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun, hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren Persis Garut, 1408 H    
M. Atho Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No. 1, April 2000
Mastuhu & Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris: EHESS, 1994
Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H. 
Muhammad Yususf Musa, al-Insan wa Hajah Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali, 1988
Nasaruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1982
Neil Muider, Kepribadian jawa, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal of Asian Studies, 1987
Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul aslinya: Sociology of Religion, Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan, Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Sutan Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.      
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,   Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir,  Beirut , 1991 Juz 30, 
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985
 





















GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...