Materi Konsep Agama bagi Manusia :
Materi agama adalah menanamkan kebenaran akan
Islam pada ketauhidan
(Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah) seraya mencabut sikap syirik dengan
akar-akarnya melalui analisis terhadap fenomena alam dan perilaku sosial
masyarakat. Bentuk-bentuk agama
adalah mengajarkan tentang kaifiyat
(tatacara, how to do) tentang
ritual (ibadah mahdloh) dan
mu’amalah (ibadah ghair mahdloh),
beserta falsafahnya sehingga setiap ritual syari'ah terasa mempunyai
makna. Urgensi agama bagi manusia adalah memberikan pemahaman tentang
dimensi- dimensi agama
yang meliputi hablum minallah, hablum
minannas dan hablum minal ‘alam
dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan
perlunya figur sebagai whole model
(usawah hasanah).
A.
Pengertian Agama
Agama
merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya
yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Sangat
penting bukan saja yang dijumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui,
tetapi juga karena penting saling pengaruh-mempengaruhi antara lembaga budaya
satu dengan lainnya. Di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya. Oleh
karena itu ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak
dipaksa oleh hal-hal yang bersifat fisik sekitarnya.
Agama banyak
memberikan inspirasi dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan
etika. Zakiah Darajad mengatakan lebih lanjut, bahwa agama itu saling
pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluargaan, perkawinan,
ekonomi, hukum, dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains dan
teknologi.
Studi keagamaan mempunyai dua istilah yang
berbeda antara kata religion
dengan kata religiosity. Religion, yang biasa diartikan dengan “agama”, pada awalnya lebih berkonotasi
sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup
berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam
“kata benda”; ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah
baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk umat manusia.
Religiosity lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang
berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya sehinggam lebih tepat pada istilah spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan pada substansi nilai-nilai luhur
keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme keagamaan.
M. Quraisy Shihab, berpendapat term “agama” sangat mudah
diucapkan, tetapi ssangat sulit didefinisikan secara tepat, sehingga dapat diterima
oleh semua pihak. Mukti Ali mengatakan, “barangkali tidak ada kata yang paling
sukar diberi pengertian selain kata agama”.
Argumen yang menyebabkan adanya kesulitan ini; pertama, pengalaman agama adalah persoalan batini, sehingga
sifatnya sangat subyektif dan individualistik; kedua, dalam kajian agama, faktor emosi sangat menonjol dan
dominan, tentu bersifat apologis; dan ketiga,
konsep tentang agama akan sangat dipengaruhi oleh tujuan dari pakar yang
mendivinisikannya. Kesulitan definisi tersebut menurut M. Natsir merupakan problem of ultimate concern,
yaitu persoalan yang menyangkut kepentingan mutlak yang tidak dapat
ditawar-tawar.
Term “agama” tidak bisa dirumuskan batasan-batasan atau pengertiannya
secara umum. Karena seperti yang ditegaskan oleh perennialis (filosof
perenial), bahwa semua agama itu memiliki the common vision[1] (pesan dasar yang sama), yaitu sikap tunduk kepada Yang Maha Mutlak,
walaupun bentuk formalnya berbeda-beda. Keberadaan ini memungkinkan para ahli
untuk dapat menjelaskan aspek pengertian umum yang menjadi titik temu dari
berbagai ragam agama. sehingga mereka berbeda
tentang pengertian agama, baik secara kebahasaan (etimologis) maupun istilah (terminologis).
1. Etimologis
Harun Nasution mendefinisikan kata agama itu berasal dari bahasa
Sankrit, agama tersusun dari dua kata, a=tidak dan gama=pergi, jadi agama berarti tidak
pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. kata gama
setelah mendapatkan awalan a sehingga menjadi agama, maka
pengertian berubah menjadi “ jalan “. Sejalan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci dan
agama-agama memang mempunyai kitab suci. Pengertian ini sesuai dengan salah satu fungsi agama sebagai yaitu tuntunan bagi kehidupan manusia.
Agama yang dimaksudkan adalah jalan hidup yang digariskan Tuhan atau pendiri
agama, untuk ditaati dan ditempuh oleh
manusia dalam mencapai apa yang
dicita-citakan agama itu. Agama sebagai jalan hidup menunjukkan untuk apa tujuan hidup manusia di dunia
ini. Seperti ditegaskan oleh Sidi
Gazalba bahwa pada setiap agama tersimpul di dalamnya pengertian jalan seperti Budhisme menyebut undang-undang pokoknya dengan jalan, Taoisme dan Shinto juga bermakna jalan, Yesus menyuruh pengikutnya untuk
menurut jalannya, Thariqot, syari’at dan Shiroth
dalam ajaran Islam juga berarti jalan.
Berbeda dengan kata religi, Harun
nasution, mengatakan religi berasal dari
bahasa latin. Asal kata religi adalah relegere yang
berarti mengumpulkan dan membaca. Pendapat lain juga mengatakan bahwa kata religi berasal dari kata religare yang berarti ikatan, yaitu
ikatan manusia dengan Tuhannya, yang membuat manusia itu terbebaskan dari
segala ikatan atau dominasi oleh sesuatu derajadnya lebih rendah dari manusia
itu sendiri. Ikatan ini kata Harun Nasution,
Definisi tersebut identik dengan makna kata agama yaitu jalan: merujuk kepada muatan yang terkandung di dalam suatu agama yang riilnya
berupa kumpulan aturan-aturan tentang cara pengabdian kepada Tuhan, dan
kumpulan aturan ini terformulasi di dalam kitab suci yang harus dibacanya. Jadi tidak hanya merujuk kepada ikatan yang berupa keyakinan
(kepercayaan), tetapi sekaligus juga merujuk kepada jalan manusia terhadap
ajaran hidup yang telah ditentukan Tuhan.
Agama juga identik
dengan kata din
dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Din dalam bahasa Arab mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan
kebiasaan. Pengertian din yang di dalamnya
terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum, untuk dipatuhi penganut agama yang bersangkutan. Din tersebut menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh
kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Paham kewajiban dan
kepatuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan. Orang yang
menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan mendapat balasan
yang baik dari Tuhan. Sedangkan orang yang tidak menjalankan kewajiban dan
ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat balasan yang menyedihkan.
Abu A’la al-Maududi membagi arti dasar dari kata din dalam bahasa Arab tersebut yang mengandung pengertian
sebagai berikut: 1) kekalahan dan penyerahan diri kepada pihak yang lebih
berkuasa; 2) ketaatan, penghambaan dari pihak yang lemah kepada pihak yang
lebih berkuasa; 3) undang-undang, hukum pidana dan perdata, peraturan yang
berlaku dan harus ditaati; dan 4) peradilan, perhitungan atau
pertanggungjawaban, pembalasan, vonis, dan lain sebaginya.
Harun Nasution sampai
pada satu kesimpulan, bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di
atas ialah ikatan. ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia mempunyai
pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari dan berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari
manusia berupa kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera.
Definisi mengenai agama, religi,
dan din dari berbagai pendapat di atas, sebagai berikut: Agama (religi
dan din) merupakan jalan hidup,
atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang
aman, tentram dan sejahtera di dunia dan akhirat berupa aturan-aturan, niali-nlai, dan norma-norma bersumber dari Yang Maha Mutlak dan bersifat mengikat,
yang secara riil berupa kitab suci atau yang lainnya dan mempengaruhi kehidupan
manusia, masyarakat, dan budaya.
2. Terminologis
Pengertian
agama bila ditinjau dari segi istilah, Seperti pendapat Parsudi
Suparlan dalam kata pengantar bahan ajar “...Agama:
dalam analisa dan interpretasi sosiologis”, agama didefinisikan sebagai
seperangkat aturan atau peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya. Agama
sebagai teks atau doktrin; sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung atau
penganut agama tersebut tidak nampak tercakup di dalamnya.
Agama mengatur masalah-masalah
yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan baik individual maupun kelompok atau
masyarakat, pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang berbeda dari pengetahuan
dan keyakinan lainnya yang dipunyai manusia, peranan keyakinan keagamaan
terhadap kehidupan duniawi dan sebaliknya, dan kelestarian serta
perubahan-perubahan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia.
Elizabet K. Nottingham dalam bahan
ajar Agama dan Masyarakat berpendapat bahwa agama adalah
gejala yang begitu sering terdapat di mana-mana sehingga sedikit membantu
usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.
Agama menimbulkan imajinasi
yang paling luas dan mudah digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang
luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat memotivasi dan membangkitkan
kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga
perasaan takut dan ngeri. Durkheim juga mengatakan
bahwa agama adalah pantulan dari solidaritras sosial. Bahkan, kalau dikaji,
kata Durkheim, Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat.
Agama dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang di anut oleh suatu kelompok
atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang
dirasakan dan diyakini sebagai yang maha dan suci.
Agama berbeda dari sistem-sistem keyakinan
atau isme- karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred) yang dibedakan dari duniawi (profane), dan pada yang gaib atau
supranatural (supernatural) sehingga
menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah (natural).
Mengutip Kamus Modern Bahasa Indonesia “agama adalah kepercayaan pada kesaktian ruh nenek moyang, dewa,
dan Tuhan”. WJS. Purwadarminta juga mengatakan bahwa agama adalah segenap
kepercayaan (kepada Tuhan, dewa, dan sebagainya) serta dengan kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Berbeda dengan kepustakaan Arab agama
adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal
memegang peraturan Tuhan itu dengan kehendak sendiri, untuk mencapai kebaikan
hidup dan kebahagiaan kelak di akhirat.
Ensiklopedi
Nasional Indonesia mendefinisikan Agama sebagai aturan
atau tatacara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Agama
juga disebut sebagai pedoman hidup manusia: bagaimana ia harus berfikir,
bertingkah laku, bertindak, sehingga tercipta hubungan serasi antara manusia
dan hubungan erat dengan Tuhan. Itulah definisi sederhana. Tetapi, definisi
yang sempurna dan lengkap tak pernah dapat dirumuskan. Agama dapat mencakup
tata tertib, upacara, praktek pemujaan dan kepercayaan kepada Tuhan. Sebagian
orang menyebut agama sebagai tata cara pribadi untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya.
Harun Nasution berpendapat bahwa Agama adalah kepercayaan kepada kekuatan
immateriil atau supernatural yang erat hubungannya dengan manusia. Kekuatan
supernatural itu dipandang mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian-kejadian
alam yang ada di sekeliling manusia dan terhadap perjalanan hidup manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, manusia merasa bahwa kesejahteraan bergantung pada
adanya hubungan baik dengan kekuatan supernatural itu.
Kesimpulan dari berbagai
definis agama secara istilah diatas yaitu: percaya kepada Yang Maha Mutlak,
Kudus, Supernatural sebagai tempat bergantung bagi umat manusia melalui ritus,
kultus, dan permohonan sebagai bentuk pengabdian atau penghambaan pada yang
kudus melalui
doktrin atau aturan-aturan dari yang Kudus, yang mengajarkan tentang
kepercayaan dan hubungan itu untuk mencapai kesejahteraan hidup.
B.
Bentuk-bentuk Agama
Melihat kajian
teologis para agamawan yang membagi agama berdasarkan asal-usulnya agama
yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu agama
samawi atau agama wahyu (revealed
religions), yaitu agama yang diwahyukan dari Tuhan melalui malaikat-Nya
kepada utusan-Nya yang dipilih dari manusia. Agama samawi ini juga disebut dienul haq, (QS. 43:27,33) dan
disebut juga agama yang full fledged,
yaitu agama yang mempunyai Nabi dan Rasul, mempunyai kitab suci, dan mempunyai
umat. Secara historis, penerapan agama wahyu ini dapat diberikan kepada agama
yang mengajarkan adanya wahyu, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Agama
kebudayaan (cultural religions)
atau juga disebut agama tabi’i
atau agama ardli, yaitu agama
yang bukan berasal dari Tuhan dengan jalan diwahyukan, tetapi merupakan hasil
proses antropologis, yang terbentuk dari adat istiadat dan selanjutnya
melembaga dalam bentuk agama formal.
Proses
selanjutnya agama samawi dan tabi’i telah mengalami beberapa
perubahan. Bagian yang berubah itu terjadi
pada sistem kepercayaan, sistem upacara maupun kelembagaan keagamaan.
Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dalam kepercayaan terhadap Tuhan yang
mereka sembah, dari monoteisme berubah ke politeisme. Perubahan itu juga dapat
terjadi dalam upacara-upacara keagamaan yang mereka laksanakan. Oleh karena
itu, dalam agama Islam dikenal adanya istilah bid’ah dan khurafat.
Perubahan-perubahan tersebut
lebih banyak disebabkan oleh adanya proses degenerasi (pemburukan), baik karena faktor manusia penganut
agama itu sendiri, maupun akibat persentuhan agama tersebut dengan berbagai
keyakinan dan kepercayaan lain pada suatu tempat. Seorang penganut agama dalam
mempersepsi ajaran agama yang diyakininya, banyak dipengaruhi oleh pengalaman
hidupnya dan juga oleh lingkungan sosial dan budaya sekelilingnya.
Interaksi sosial antar
pemeluk agama, seorang penganut agama bergaul dengan berbagai penganut agama
yang berbeda dan juga bertemu dengan kepercayaan lain, atau pertemuan dengan
ajaran magis, mistik yang subyektivistik, takhayyul dan fanatisme. Interaksi
keyakinan lain juga banyak mempengaruhi praktek keagamaan
seseorang dan pada akhirnya diwariskan turun-temurun
kepada generasi sesudahnya.
Lain lagi dengan
kajian para teolog, para ilmuwan yang diwakili oleh para sarjana antropologi
budaya dan sosiologi agama, melalui kajian keilmuan mereka (scientivic approach) membedakan agama
yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok besar, yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme adalah agama
penyembah sesuatu (zat) yang gaib yang tidak nampak secara lahiriah, yaitu
sesuatu yang memang tidak dapat dilihat dan tidak dapat berbentuk. Spiritualisme terbagi dalam beberapa kelompok yaitu: Agama
Ketuhanan (theistic religion) dan Agama Penyembah Roh.
Agama Ketuhanan (theistic religion), yaitu agama yang para penganutnya menyembah
Tuhan (Theos). Agama-agama ini
mempunyai keyakinan bahwa Tuhan, tempat manusia menaruh kepercayaan dan cinta
kepada-Nya, merupakan kebahagiaan. Agama Ketuhanan merupakan asal-usul istilah
dari semua sistem kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, yang mencakup
kepercayaan terhadap satu atau banyak Tuhan, antara lain:
Monoteisme, merupakan
religi (agama) yang berdasarkan pada kepercayaan terhadap satu Tuhan dan
terdiri atas upacara-upacara guna memuja Tuhan. Contohnya, agama Islam dengan
inti ajaran imannya yang berbentuk pengakuan, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah”. Juga dalam Yudaisme (agama Yahudi) disebutkan,
“Dengarlah orang Israel, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Satu” (Deuteronomy: 4). Dalam sikhism juga disebutkan, “Tidak ada Tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”.
Politeisme, yaitu bentuk religi (agama)
yang berdasarkan kepercayan kepada banyak Tuhan dan terdiri atas
upacara-upacara keagamaan guna memuja Tuhan-Tuhan tersebut. Seperti dalam ajaran Hinduisme. Dalam kitab Weda,
diceritakan tentang banyak dewa dengan berbagai fungsi, antara lain Indra adalah dewa perang, Varuna adalah dewa kekuatan dari
cahaya langit, Agni adalah dewa
api, Brahma sebagai dewa
pencipta, Wisnu sebagai
pemelihara, dan Siwa sebagai
dewa penghancur. Pada agama Romawi Kuno dikenal dengan Dewa Mars sebagai dewa perang, Venus sebagai dewa percintaan, Ceres sebagai dewa pertanian, Juno sebagai dewa penolong wanita yang melahirkan.
Para penganut politeisme ini memiliki kecenderungan
memilih dewa-dewa yang mereka percayai untuk diangkat, dilebihkan, dan
diutamakan, yang dianggap sebagai Yang Maha Kuasa. Tahapan ini disebut henoteisme, yaitu tingkatan menengah
antara politeisme dan monoteisme, menyembah satu Tuhan
dengan mengakui keberadaan Tuhan-Tuhan lainnya.
Selanjutnya adalah Agama Penyembah Roh, adalah kepercayaan orang primitif kepada roh nenek moyang atau roh
pemimpin dan roh para pahlawan yang telah gugur. Mereka percaya bahwa orang
yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan dan perlindungan kepada
mereka bila mendapat kesulitan. Untuk menghadirkan roh-roh tersebut perlu
diadakan upacara keagamaan yang khusus dan kompleks.
Agama penyembah roh
tersebut dapat dibagi dalam bentuk kepercayaan Animisme, yaitu bentuk agama yang mendasarkan diri pada
kepercayaan bahwa di sekeliling tempat tinggal manusia terdapat berbagai macam
roh yang berkuasa, dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau upacara untuk
memuja roh tersebut. Istilah animisme dipakai oleh orang-orang
yang mengembangkan suatu pandangan bahwa semua fenomena alam dapat diterangkan
dari teori roh (imaterial) sebagai prinsip kehidupan. Kepercayaan ini dibangun
berdasarkan dua anggapan pokok, yaitu roh adalah unsur halus yang keluar dari tiap makhluk dan mampu hidup terus
setelah jasadnya mati; dan makhluk halus yang jadi
dengan sendirinya, seperti peri
dan mambang yang dianggap
berkuasa. Lebih rinci agama penyembah roh terbagi dalam Pra Animisme (Dinamisme) dan Agama Penyembah Binatang (Animal Worship)
Pra
Animisme (Dinamisme)ialah bentuk agama berdasarkan
kepercayaan kepada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal yang luar biasa dan
terdiri atas aktivitas keagamaan untuk menguatkan kepercayaannya itu dengan
berpedoman kepada ajaran kepercayaan tersebut. Pra Animisme terdiri
atas: Agama Penyembah
Kekuatan Alam,
adalah kepercayaan bangsa primitif kepada alam sekitar, biasanya karena takut
akan malapetaka atau karena balas budi terhadap jasa gejala alam atau suatu
anasir alam yang mereka anggap memiliki kekuatan. Mereka memujanya dan
menjadikan aktivitas keagamaan untuk memuliakannya. Penyembahan
alam atau nature worship
merupakan tahapan paling awal dari evolusi keagamaan bangsa primitif.
Kekuatan-kekuatan alam atau gejala alam serta anasir-anasir alam
dipersonifikasikan menjadi dewa-dewa yang berkuasa.
Agama Mesir
Kuno misalnya menganggap Dewa Ra’ adalah personifikasi dari matahari, Tefnut adalah dewi air, Shu adalah dewa hawa, dan lain-lain.
Penyembahan kepada benda-benda alam tersebut, bisa dilihat dalam bentuk: Animatisme, suatu sistem kepercayaan
bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan sekeliling manusia itu berjiwa dan dapat
berfikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak mengakibatkan aktivitas
keagamaan guna memuja benda-benda atau tumbuh-tumbuhan tadi, tetapi animatisme biasanya menjadi unsur religi; dan Fetishme, yaitu suatu bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan
akan adanya jiwa dalam benda-benda alam tertentu dan yang terdiri atas
aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda berjiwa tersebut.
Agama Penyembah Binatang (Animal Worship), yaitu kepercayaan
orang-orang kuno dan primitif yang mengangap binatang-binatang tertentu
memiliki jiwa kesucian. Jiwa kesucian binatang tersebut akan tetap hidup dan
dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Dari kepercayaan tersebut diadakan
aktivitas untuk memuja binatang tersebut. Para
penganut Totemisme menjadikan
binatang tertentu sebagai lambang obyek keramat. Mereka menganggap binatang
yang mereka jadikan lambang itu ada hubungannya dengan asal-usul dirinya atau
kelompoknya atau setidaknya, menurut anggapan mereka, roh nenek moyang
tertinggi yang telah mati bertempat tinggal pada jasad hewan yang dijadikan
lambang totem itu, maka dalam tradisi mereka, hewan-hewan suci tersebut
dilarang untuk dibunuh atau dimakan.
Selanjutnya materialisme adalah agama yang mendasarkan kepercayaannya terhadap
Tuhan yang dilambangkan dalam wujud benda-benda material, Dengan perkataan
lain, walaupun mereka percaya pada kekuatan roh atau jiwa, tetapi lebih
menekankan wujud materinya dari pada jiwa yang menempatinya, atau mereka lebih
mempercayai perwujudan Tuhan pada benda yang tampak bagi mereka daripada yang
tidak nampak, atau mereka lebih mempercayai Tuhan dalam bentuk realitas materi
dari pada Tuhan dalam bentuk ide yang tanpa wujud.
Agama Materialisme
pada hakekatnya tidak terlalu jauh perbedaannya dengan agama spiritualisme,
sebab keduanya mempercayai jiwa atau sesuatu yang gaib. Hanya saja dalam agama
materialisme, mereka lebih menekankan kepada pengakuan fisik material patung
itu dari pada pengagungan kekuatan jiwa yang ada dalam berhala atau bangunan
tertentu itu seperti patung manusia atau binatang dan
berhala atau sesuatu yang dibangun dan dibuat untuk disembah.
Agama materialisme
dapat dilihat dalam literatur tentang agama bangsa Arab sebelum islam, atau di
antara umat nabi Musa yang dipimpin oleh Samiri yang membuat patung lembu untuk
disembah, atau kepercayaan penganut agama Majusi yang menyembah api suci.
C.
Ritual Beragama
Banyak ragam manusia
dalam praktek pengamalan beragama dan keberagamaannya. Berbeda-beda
antara satu dengan lainnya sesuai dengan keyakinan
masing-masing.
Pengamalan dalam beragama tersebut
disesuaikan dengan tingkat pengalaman keberagamaan masing-masing pemeluknya.
Ada beberapa cara yang perlu diketahui, seperti cara mistik. cara mistik adalah suatu
cara beragama pengikut agama tertentu yang lebih menekankan pada aspek
pengamalan batiniah (esoterisme)
dari ajaran agama yang mengabaikan aspek pengamalan formal, struktural dan
lahiriah (eksoterisme).
Dalam menghayati dan mengamalkan ajaran
agamanya, sebagian manusia cenderung lebih menekankan pada pendekatan mistikal
dari pada pendekatan yang lain. Cara mistik seperti ini dialkukan oleh para
sufi (pengikut tarekat) dan pengikut kebatinan (kejawen). Yang dimaksud Pada
setiap pengikut agama, apapun agamanya, baik agama besar maupun agama lokal,
selalu memiliki kelompok pengikut yang memberi perhatian besar pada cara
beragama mistik ini. Di kalangan agama Islam dikenal dengan sufisme, di kalangan umat Katolik
dikenal dengan hidup kebiaraan,
begitu juga di kalangan agama Hindu maupun Budhisme.
Beragama dengan cara mistik sangat digemari
oleh masyarakat berkebudayaan tertentu, yang secara kultur-dominan, mereka
memang menekankan pada hal-hal mistikal tersebut, seperti, sebagian masyarakat
yang berkebudayaan jawa. Kebudayaan Jawa adalah tipe kebudayaan yang menekankan
pada hidup kerohanian, bersifat esoteris
dan menjunjung tinggi harmonitas hidup sehingga kadangkala menyebabkan
terjadinya sindritisme.
Cara beragama
tersebut diantaranya Cara sinkretisme.
Sinkretisme diambil dari bahasa Yunani, synkretismos
yang berarti panggabungan ajaran dan pengamalan agama yang berbeda satu
sama lain. Cara sinkretisme
adalah cara-cara seseorang dalam menghayati dan megamalkan agama dengan
memilih-milih ajaran tertentu dari berbagai agama untuk dipraktekkan dalam
kehidupan keagamaan diri sendiri atau untuk diajarkan kepada orang lain. Dalam
prakteknya, cara beragama sinkretisme ini
dapat terjadi pada bidang kepercayaan, nama Tuhan umpamanya, dikombinasikan
seperti dalam perkataan “Gusti Allah” atau “Allah Sang Hyang Widi”, dapat juga
dalam pelaksanaan ritual, dalam berdo’a, dalam peralatan yang dipakai pula
upacara keagamaan dan sebagainya.
Bentuk cara beragama berikutnya adalah Penalaran, yaitu cara
beragama dengan menekankan pada aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi
penganut aliran ini, bagaimana agama itu harus dapat menjawab masalah yang
dihadapi penganutnya dengan jawaban yang dapat diterima akal.
Beragama tidak selamanya menerima begitu saja
apa yang didoktrinkan oleh pemimpin agama, mereka menyenangi adanya
interpretasi yang bebas dalam menafsirkan teks dari kitab suci atau bahan
ajar-bahan ajar agama lainnya. Dalam tradisi islam, umpamanya, ada kelompok
yang disebut mutakallimun atau
para ahli ilmu kalam, yang banyak membicarakan teologi islam dengan memakai
dalil tekstual (naqli) dan
dalil rasional (aqli).
Cara beragama
berikutnya adalah amal saleh. Cara ini lebih menekankan
penghayatan dan penngamalan agama pada aspek peribadatan, baik ritual formal
maupun aspek pelayanan sosial keagamaan. Menurut kelompok ini, yang paling
penting adalah melaksanakan amal saleh, karena indidkator seseorang beragama
atau tidak adalah dalam pelaksanaan segala amalan lahir dari agama itu sendiri.
Siapa pun yang ingin mendapat balasan surga ataupun neraka, seluruhnya
didasarkan pada amal perbuatannya.
D. Pentingnya Agama Bagi Manusia
Manausia dibekali dengan seperangkat potensi untuk keberlangsungan hidup dan kehidupannya. Dalam
perjalanan kehidupannya, seorang manusia dituntut untuk selalu beraktivitas dan
berkreatifitas untuk
memenuhi kebutuhannya di setiap saat. Kebutuhan paling asasi adalah
terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin.
Abraham H. Maslow, seorang tokoh psikologi humanistik
mengidentifikasikan adanya lima kebutuhan manusia yang bersifat hirarkhis (hierarchy of needs), yaitu kebutuhan
fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi.
Aktualisasi diri, perkembangan dan penggunaan potensi
merupakan suatu tahapan yang menurut Maslow, didorong oleh adanya metamotivasi
(metamotivation) yang antara
lain berwujud mystical atau peak experience, sejenis dorongan kekuatan gaib atau Tuhan. Hal ini
mengindikasikan bahwa di dalam jiwa manusia telah muncul adanya fitrah manusia
untuk beragama.
Tokoh perennialis
(filosof perenial) mengatakan, bahwa secara intrinsik dan alamiah Tuhan telah
menanamkan benih (potensi atau fitrah) beragama pada diri setiap insan. Itulah
sebabnya manusia dikenal dengan homo
religious. Manusia
mempunyai fitrah dan kecenderungan untuk beragama, yang diasarkan pada perasaan
dan kesadarannya.
al-Aqqad mengatakan pendapat dari Max Muller, seorang tokoh psikologi modern “... bahwa manusia itu telah
beragama sejak awal keberadaannya, bahkan agama itu akan terus eksis selama
manusia itu masih eksis. Lebih lanjut Yusuf Musa mengatakan, bahwa dalam
sejarah belum pernah diketahui adanya suatu masyarakat yang hidup tanpa agama,
munculnya berbagai agama pada masa beribu-ribu tahun yang lalu di Mesir,
Asiria, Babilonia, Persia, Cina, dan lain-lain misalnya, merupakan realitas
empirik yang mendukung tentang kebenaran anggapan ini. Ini semua menandakan
bahwa eksistensi agama selalu menggejala dalam kehidupan manusia,
seiring-sejalan dengan perkembangan budayanya.
Manusia
juga dikenal sebagai makhluk yang punya fitrah sosial (homo socios). Hal ini mengindikasikan bahwa manusia dalam
aktivitas kesehariannya tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawabnya sebagai
makhluk sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Realitas ini
menunjukkan bahwa manusia mutlak memerlukan bantuan dan kerjasama dengan orang
lain dalam menunjang kebutuhan hidupnya.
Perkembangan
selanjutnya, manusia pasti dihadapkan berbagai macam persoalan yang
menghampirinya, baik persoalan yang bersifat pribadi, kelompok, maupun
golongan. Namun, dalam perjalanannya, manusia sering terbawa oleh sifat
egoisnya yang tidak terkendali. Padahal kehidupan yang dirindukan adalah terwujudnya
kehidupan yang harmonis, tentram, sejahtera, teratur, nyaman, stabil, aman, dan
sebagainya. Oleh karena itu, diperlukanlah aturan-aturan, norma-norma,
nilai-nilai yang dapat mengikat diri manusia, sehingga dapat menuntun hidupnya
menuju kehidupan seperti yang dicita-citakan di atas.
Untuk menunjang segala kelemahan dan keterbatasan yang
dimiliki manusia, diperlukanlah aturan hidup yang kebenarannya bersifat mutlak,
yaitu suatu kebenaran yang datang dari yang Mutlak pula, adalah Tuhan, Dzat
yang terbebas dari segala kelemahan dan kekurangan serta interes-interes
tertentu. Aturan hidup tersebut adalah bernama “agama (din, religi).”
Dengan demikian, agama adalah merupakan kebutuhan primer
bagi manusia sebagai makhluk sosial, karena ia memuat aturan hidup yang
kebenarannya bersifat absolut untuk mengangkat martabat manusia dan
membedakannya dari seluruh binatang, yang menurut Freud, fungsi utamanya,
antara lain ialah untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat. Makna din, sangat relevan, yang watak
dasarnya adalah bersifat “mengatur,” karena kata itu sendiri bermakna aturan
hidup. Diantara cara pengaturan itu adalah melalui pengendalian sikap egoisme
yang berlebihan, yang sewaktu-waktu bisa menjelma ke dalam bentuk ucapan,
perilaku, dan pola pikir.
*Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber
DAFTAR PUSTAKA
_________ Perbandingan
Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.
Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun,
1992.
A. Qodri A. Azizy,
“Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, Tahun 1999
Abbas
Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M.
Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS,
2001
Abu A’la al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar
El-Fikr. t.t.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ
Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh
Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah
al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister,
“Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons,
1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran.
Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir,
Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang
Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits,
Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra,
"Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The
Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami.
Beirut, Dar El-Fikr, 1986
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global Jakarta : Penerbit Paramadina,
2001
Cik
Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama:
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin
Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet
K. Nottingham, Agama dan Masyarakat
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam
di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed.
Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika
dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of
Chicago Press, 1980
Hartono
Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di
Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2002
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI
Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul
‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il
R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi,
Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli :
The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits.
Beirut, Dar El-Fikr, 1981
John. L. Esposito, “Islamic
Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford
& New York: Oxford University Press, 1995
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan
Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No.
2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.
‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama.
Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,”
Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun,
hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren
Persis Garut, 1408 H
M. Atho Mudzhar, "In
the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam
in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem
Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang
Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No.
1, April 2000
Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris:
EHESS, 1994
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam
bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án
al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman
al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H.
Muhammad
Yususf Musa, al-Insan wa Hajah
Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali,
1988
Nasaruddin
Razak, Dinul Islam, Bandung:
al-Ma’arif, 1982
Neil
Muider, Kepribadian jawa,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The
Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and
Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and
Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico
Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan
Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert
N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief,
New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics
in Rural East Java.” The Journal of Asian
Studies, 1987
Roland
Robertson, ed., Agama: dalam Analisa
dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul
aslinya: Sociology of Religion,
Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful
Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar
Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono
Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan,
Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba,
"Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993
Sutan
Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad
al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz
I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah
Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ
al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,
Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir, Beirut , 1991 Juz 30,
WJS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986
Zakiah
Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1985