Thursday, July 9, 2015

MODUL 2: METODOLOGI STUDI ISLAM*


Pokok-pokok Materi
Metodologi Studi Islam bukanlah sekedar transfer of knowledges atau transfer of values tetapi merupakan aktivitas character building. (pembentukan karakter, kepribadian)  Tujuannya agar potensi yang dimiliki mahasiswa (potential capacity)  menjadi kemampuan nyata (actual ability)  dan tetap berada dalam posisi suci bersih (fitrah) dan lurus kepada Allah (hanief). Untuk mencapai itu, maka seorang guru harus mengajarkan Islam ilmu (yang berdasarkan dalil), bukan Islam persepsi (yang berdasarkan kira-kira),  secara integrated dan komprehensif. Integrated meliputi penajaman IQ, EQ dan SQ. Tujuannya adalah agar mahasiswa memiliki kualitas kognitif (pengetahuan), afektif (keimanan) dan psikomotor (amaliyah) yang lebih baik dengan target akhir adanya perubahan prilaku (behavior change) yang lebih baik  (muttaqin).


A.   Hakikat Metodologi Studi Islam
Pada hakikatnya Metodologi Studi Islam adalah proses bimbingan terhadap mahasiswa untuk mengembangkan potensi (potential capasity) yang dimilikinya menjadi kemampuan nyata (actual ability) secara optimal sehingga tetap dalam kondisi fitrah dan hanief (lurus) sebagaimana keadaan ketika lahir.
Potensi yang dimiliki mahasiswa antara lain  Intellegence Quotien (IQ), Emotional Quotien (EQ) dan Spiritual Quotien (SQ) serta potensi bertuhan Allah dan potensi-potensi lainnya.

B.   Aspek Tujuan Metodologi Studi Islam
Aspek Metodologi Studi Islam meliputi Aspek Kognitif : Agar  mahasiswa memahami Islam dengan paradigma yang benar (berfikir paradigmais). Asepk Afektif : Agar mahasiswa mampu mengapresiasi Islam secara mendalam sehingga mereka mampu mengimani kebenaran Islam, mampu memenej emosinya secara benar, dan mampu mengahayati ajaran Islam sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya. Dan aspek psikomotor : Mampu mengamalkan Islam secara komprehensif, baik dalam Hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal 'alam.
Sedangkan tujuan akhir Metodologi Studi Islam adalah terwujudnya insan yang berperilaku sesuai dengan syariat Islam, atau manusia yang sanggup melaksanakan seluruh ayat Al-Qur'an tanpa kecuali, secara integratif dan  komprehensif, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat.


C.   Metodologi Studi Islam
Pengetahuan terbagi dua, yakni pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang belum pasti benar.  Pengetahuan yang benar adalah al-ilmu atau alhaq, sedangkan pengetahuan yang salah atau  belum pasti benar disebut persepsi. Seorang ustadz, guru, dosen harus mengajarkan Islam atas dasar Ilmu  bukan  Islam atas dasar Persepsi. Islam Ilmu adalah Islam yang berdasarkan dalil, bukan karena pendapat, mayoritas, juga tidak terikat figur atau tradisi nenek moyang. Untuk itu  manusia harus menemukan dasar hukum (rujukan) yang jelas, bukan semata-mata perkiraan fikiran, terikat dengan figur atau terikat dengan mayoritas.
Dengan ilmu, bukan dengan kira-kira Al-Qur'an QS 17 : 36 :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Beragama tidak atas dasar mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orsinalitas. Perlu menjadi catatan penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh kuantitas penganutnya. 
Beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur (QS. 2 :170) :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ  البقرة  170)
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (QS. 2 : 170).  Beragama tidak atas dasar figur (QS.9 :31). :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ َ(31)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. 6 : 61).



D.   Azas Filosofis Metodologi Pendidikan Islam
Islam ilmu yang disampaikan dengan pendekatan yang tepat  akan mudah dicerna oleh mahasiswa. Oleh karena itu penyajian materi pendidikan Islam harus sistimtis, rasional, objektif, komprehensif dan radikal.
1.  Sistimatis  : Berurutan/ runtun, dari mana memulainya, terus ke mana dan bermuara di mana.
2.  Rasional : Gampang difahami, mampu menjelaskan hubungan sebab akibat, sangat merangsang berfikir, dan tidak dogmatis.
3.  Objektif : Berdasarkan dalil, jelas rujukannya, bukan sekedar kata orang, kira-kira atau dugaan – dugaan.
4.  Komprehensif : Yakni menganalisis Islam dari berbagai sisi. Dalam hal ini sangat baik menggunakan multi pendekatan, antara lain Pendekatan Kebahasaan, Kesejarahan, Teologis., Filosofis, Sosiologis, Politis, Ekonomi, Kesehatan, Militer, dll.
5.  Radikal : Sampai kepada kesimpulan, tajam, menggigit dan sangat menyentuh perasaan dan nurani.

E.   Kedudukan Akal dalam Memahami Studi Islam
Mengenai penggunaan akal / rasio  dalam memahami Islam, para tokoh pemikir Islam berbeda-beda corak pemikirannya. Corak tersebut seperti 1. Tokoh Sinkretik : Sinkretik adalah percampuran antara budaya lokal dengan agama. Tokoh ini sering tidak peduli kepada dalil dan ratio. Pemikiran mereka lebih didominasi oleh sikap sosiologis. 2. Tokoh Scripturalis /Tekstualis : terikat dengan teks kurang memperhatikan konteks. Para tokoh Sripturalis bukan tidak menggunakan ratio tetapi lebih terikat dengan teks Al-qur’an dan hadits apa adanya.
Corak ke 3. Tokoh Rasional Kontekstual : Memperhatikan teks dan konteks. Tokoh ini banyak menggunakan argumentasi rasio di samping melihat teks Al-Qur’an dan hadits. 4. Tokoh Rasional Liberal : Tidak terikat teks. Analisis tehdapa ajaran islam yang dilakukan tokoh Rasional Liberal lebih didominasi oleh argumnetasi akal. Beberapa metode pendekatannya adalah Tafsir Metaforis, Tafsir Hermenetika dan pendekatan social kesejarahan.
Dari sini kelak lahirlah faham dan aliran keagamaan. Faham dan aliran adalah dua kata yang seakan-akan bermakna sama karena keduanya menggambarkan adanya suatu pemikiran yang kemudian jadi anutan bahkan pengamalan sebuah kelompok atau komunitas tertentu, tetapi sebenarnya kedua kata itu memiliki perbedaan.

Perbedaan Antara Faham Dan Aliran
Faham
Aliran
Kata faham lebih berkonotasi kepada suatu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu.

Kata aliran lebih berkonotasi kepada suatu hasil pemikiran yang eksklusif.

Tidak terorganisir, tidak memiliki pemimpin pusat meskipun ia memiliki tokoh sentral yang menjadi figur faham tersebut
Terorganisir : ada ketua, pengurus dan anggotanya serta mempunyai aturan-aturan tertentu
Biasanya pengikut suatu faham tertentu adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan menyambut adanya diolog, walaupun tidak selalu demikian.
Biasanya para anggotanya tidak dibiarkan berfikir kritis tetapi bersifat taqlâd, dogmatis, tidak suka dialog, anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri (truth claim).

Faham merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting. Secara garis besar corak pemikiran tokoh Islam terbagi dua yakni pemikir Rasional dan Pemikir Tradisional.
Akar pemikiran Rasional periode Modern di dunia Islam sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran rasional dari Barat. Walaupun asalnya Barat dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Pemikiran Rasional dibawa oleh para sarjana Barat yang telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat dari universitas Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan Islam Bani Umayah di bawah pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán ad-Dakhili.
Sejarah Pemikiran di dunia Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6 abad sebelum Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2 M), Masa Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian memasuki masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19) serta postmodernisme (abad 20).
Pada abad 17 muncul pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).
Rasionalisme dianggap sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafati yang sebenarnya karena benar-benar menggunakan kemampuan ratio untuk memikirkan sesuatu secara mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan memahami serta me-mecahkan segala permasalahan manusia.
Dengan kepercayaan kepada akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta menyangkal setiap tatasusila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau apa saja yang tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Metode yang digunakan oleh Rasio-nalisme ini adalah metode deduktif.
Rene Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada prinsip “a priori” meraguragukan segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan meragu-ragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Sedangkan mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip “a pripori:” tetapi mereka menggunakan prinsip “a posteriori”.
Untuk menyelesaikan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Immanuel Kant adalah pembawa mazhab Kritisisme atau Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal dengan Modernisme.
Kemudian pada abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857) membawa aliran filsafat Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme Kritis. Sedangkan aliran filsafat abad 20 atau masa Kontemporer antara lain muncul aliran filsafat Eksistensialisme, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Postmodernisme. Dalam hal ini penulis tidak perlu membahas seluruh aliran filsafat tersebut karena persoalannya akan melebar tidak fokus.
Dengan pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme, maka pada ujungnya para pemikir Barat hanya mengakui dua macam ilmu yakni Empirical science dan Rational Science. Sedangkan di luar itu hanyalah beliefs atau kepercayaan, bukan ilmu.
Mazhab pemikiran filsafat yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab Rasionalisme, sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak semua hadits yang bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadits bertentangan dengan kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an pun -apabila secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan akal- akan ditafsirkan sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis.
Para pemikir muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat Barat secara diametral bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis yang bersikap sebaliknya, yakni mereka tetap menggunakan hadits Ahad  walaupun bertentangan dengan akal bahkan mereka pun berpegang kepada makna hakiki dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan tafsir metaforis sebagaimana diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis. Pemikir Tradisionalis banyak menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi -- filsafat Barat.
Amin Abdullah yang mengutip pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh Ilmu Kalam banyak yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu Kalam tidak ada titik temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan generasi pertama Ahl as-Sunnah atau juga dengan Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan asy-Syahrastani (479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli filsafat. Bahkan selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti oleh para penulis ilmu Kalam.

Perbedaan Pendekatan Dalam Filsafat Dan Ilmu Kalam

Filsafat

Ilmu Kalam

Lebih menekankan dimensi keberagaman yang paling dalam-esoteris dan transendental.
Seringkali menekankan dimensi lahiriyah eksoteris dan final konkret.

Lebih menekankan ketenangan ke dalam jiwa karena mendapat kepuasan pemikiran.
Lebih menekankan keramaian (syi‘ar) yang bersifat ekspressif-keluar.

Lebih menggarisbawahi comprhension (pemahaman akal).
Lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang biasa disebut naql).
Lebih bercorak prophetic philosophy
Lebih bercorak priestly religion (keulamaan).
Lebih menekankan dimensi being religious.

Lebih menekankan dimensi having a religion.

Pada periode Pertengahan, filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat mulai didekati lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir muslim. Masalahnya sekarang adalah – demikian Amin ‘Abdullah -- bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau Sirkular ?
Menggunakan pendekatan paralel maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak ada titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau menggunakan pendekatan linear maka pada ujungnya akan terjadi kebuntuan. Pola linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona.
Seorang ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan yang ia gunakan dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik, dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.
Pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi ekslusif – polemis.
Kemungkinan yang terbaik adalah yang bersifat sirkular, dalam arti karena masing masing pendekatan memiliki keterbatasan dan kekurangan maka dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling menutupi kekurangan.
Dalam menyikapi perlu tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan hukum Islam, para pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan Rasional. Pemikir Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional Literal (Tekstual) dan Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua juga, yakni Rasional Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir Islam dikelompokkan menjadi empat corak.
Pemikir Tradisional yang Tekstual (Literal) adalah kelompok pemikir Tradisional yang memahami Al-Qur’an dan terutama hadits sangat terikat dengan teks tanpa melihat konteks. Misalnya mereka makan dengan tiga jari sebagaimana hadits nabi, mereka tidak memakai handuk setelah mandi janabat karena nabi pun demikian, mereka memakai gamis dan sorban karena nabi pun berpakaian demikian, juga mereka memelihara jenggot karena nabi memerintahkan memelihara jenggot. Para pemikir yang berada di lingkungan Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, Jama’ah Tagligh, Darul Arqam, merupakan contoh-contoh Pemikir Tradisional yang Literal.
Corak kedua adalah Tradisional yang Kontekstual, yaitu banyak mengacu kepada hasil Ijtihad Ulama Salaf serta banyak menggunakan hadits Ahad dengan pemahaman dan pendekatan rasio. Corak ketiga adalah Pemikir Rasional-Kontekstual, ialah pemikir yang tidak terikat dengan hal-hal Dhanny, baik hadits Ahad maupun ayat Al-Qur’an yang Dhanny dalálah-nya. Mereka dengan leluasa menggunakan pendekatan rasio dan memegang prinsip kausalitas dan kontekstual dengan kaidah “al-hukm yaduru ma‘a al-‘illat” (Hukum bergantung kepada ‘illat).
Corak keempat adalah Pemikir Rasional yang Liberal, yaitu pemikir yang pemikirannya sangat bebas merambah hal-hal yang oleh Tradisional dinilai “haram” untuk dijadikan objek ijtihad. Contoh pemikir tipe Rasional – Liberal ini antara lain Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (ini paling tidak menurut Charles Kurzman dalam bukunya “Wacana Islam Liberal”.
Penilaian subjektif penuilis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan oleh Charles Kurzman, editor buku “Wacana Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan mungkin tidak, dikelompokkan demikian. Juga penting dicatat di sini sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh tertentu kadang-kadang sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling silang.
Dalam tataran realita, akal tidak selalu mampu mencari kebenaran karena akal, nalar, ratio adalah tergantung kepada biologis. Karena akal memiliki keterbatasan maka perlu bantuan wahyu. Dengan demikian, pada hakikatnya akal dengan wahyu tidak boleh bertentangan.
Dalam mempelajari Metodologi Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan emprik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat katagori ilmu yakni (1). Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah pancaindera, terutama mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka disebutlah ainul yaqin . Yang termasuk ke dalam empirical science antara lain kedokteran, fisika, kimia, bilogi, goelogi.
Selanjutnya  (2). Rational  Science , ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab – akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rational. Sumbernya adalah  ratio, maka disebutlah ilmul yaqin. termasuk ke dalam katagori ilmu ini antara lain bahasa, filsafat, matematika. (3). Suprarational  Science , ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh hal-hal di luar  ratio yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul Yaqin. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain Isra Mi'raj, doa, mukjizat. Dan (4). Metarational  Science adalah Ilmu Ghaib, semacam siksa dan nikmat qubur, syurga neraka sumbernya adalah Ruh.
Memahami Islam dengan hanya menggunakan katago Empirical science dan Rational Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap kurang rasional dipaksakan harus rasional, maka terjadilah rasionalisasi al-Qur'an. Pengamalan Islam dengan pendekatan Law Approach yakni pengamalan Islam sebatas haram – halal, yang penting sah, yang penting tidak haram. dan Love Aproach yakni lebih kepada target sempurna lebih halus dan mudah untuk dipahami.

 *Modul ini ditulis dan dikutip langsung dari berbagai sumber 






DAFTAR PUSTAKA

_________  Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun, 1992.
A. Qodri A. Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo, Edisi 13, Tahun 1999
Abbas Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M. Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir: Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2001
Abu A’la  al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.            
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister, “Introduction,”  dalam Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons, 1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran. Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir, Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut, Dar El-Fikr, 1986     
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global  Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun   XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe, 1960.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,”  dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1980
Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia,  Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul ‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli : The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits. Beirut, Dar El-Fikr, 1981          
John. L. Esposito, “Islamic Studies,”  The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford & New York: Oxford University Press, 1995
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana,  Vol 2, No. 2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.  ‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,” Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun, hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren Persis Garut, 1408 H    
M. Atho Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No. 1, April 2000
Mastuhu & Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris: EHESS, 1994
Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H. 
Muhammad Yususf Musa, al-Insan wa Hajah Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali, 1988
Nasaruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1982
Neil Muider, Kepribadian jawa, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal of Asian Studies, 1987
Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul aslinya: Sociology of Religion, Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan, Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Sutan Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.      
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,   Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir,  Beirut , 1991 Juz 30, 
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985
 



No comments:

Post a Comment

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...