Pokok-pokok Materi
Banyak orang Islam yang antipati
kepada studi Islam, tetapi banyak juga kelompok orang yang sangat mengagungkan studi
Islam. Sebagai seorang muslim yang mencintai ilmu, kita harus memahami secara
kritis apa dan bagaimana studi, sehingga kita bisa menyikapinya secara
proporsional.
A.
Perkembangan Studi Islam
Wacana
studi Islam sebagai bagian dari peradaban Islam (Islamic civilization) dan
studi Islam bagian dari kajian akademis (Islamologi) yang menanamkan investasi besar
terhadap perkembangan peradaban Islam serta
memiliki konsekuensi logis untuk mengalami perkembangan secara spesifik melalui
instrumen keilmuan. Oleh karena itu,
diskursus perkembangan studi Islam dalam konteks ini mesti didekati dan
dipahami dalam kerangka akademis.
Studi
Islam secara etimologis adalah
Dirasah Islamiyah dalam bahasa Arab atau Islamic
Studies dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan semangat implementasi dari
aktivitas-aktivitas keagamaan [yang menjadi bagian dari upaya pembentukan
peradaban Islam] seperti majelis taklim, misalnya, yang bersifat doktriner dan
bertujuan meningkatkan keagamaan seseorang dalam tataran kognitif dan praktis,
studi Islam atau Islamologi ini “tidak bertanggung jawab” terhadap keagamaan
individu. Islamologi mempelajari dan mengkaji Islam hanya sebatas Islam sebagai
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan untuk dipraktikkan,
melainkan hanya didorong oleh tuntutan profesionalisme untuk kepentingan
penelitian atau kajian keislaman. Adapun bahwa kelak akan muncul efek keagamaan
merupakan suatu hal yang bisa saja terjadi, namun bukan atas kehendak formal
yang menjadi tanggung jawab studi Islam. Oleh karena itu, bisa dipahami
munculnya sejumlah pakar Islamologi atau keislaman, terutama di dunia Barat, yang beragama nonIslam.
Beragamnya
instrumen institusional pendidikan tersebut juga diiringi dengan pergerakan
kurikulum yang diterapkan. Menurut Mahmud Yunus, pusat-pusat studi Islam klasik
dapat diklasifikasi menjadi beberapa kelompok seperti Makkah dan Madinah di
Hijaz, Basrah dan Kufah di Irak, Damaskus dan Palestina di Syam, dan Fistat di
Mesir. Kelompok Makkah dipelopori oleh Mu’adh b. jabal, Madinah oleh Abu Bakar,
‘Umar dan ‘Uthman, sedangkan Basrah oleh Abu Musa al-Ash’ari dan Anas b. Malik,
Kufah oleh ‘Ali b. Abi Talib dan ‘Abd Allah b. Mas’ud, Damaskus oleh ‘Ubadah
dan Abu Darda’, serta Fistat oleh ‘Abd Allah b. ‘Amr ibn ‘As.
Merujuk
sejarah peradaban Islam, mengenai ragam model diseminasi dan internalisasi
nilai-nilai keislaman melalui proses pengkajian yang berlaku di masyarakat
Islam, baik dalam konteks ruang (tempat) maupun waktu. Tercatat bahwa peradaban
Islam diwarnai oleh dinamika masyarakat Muslim dalam kajian Islam melalui
beragam pusat pembelajaran, mulai dari kuttab, masjid, observatorium, perpusatakaan, madrasah, khanqah, pesantren, hingga
sekolah dan perguruan-perguruan tinggi seperti yang dikenal pada masa modern
ini.
Sebagai bagian dari kerangka peradaban Islam, penyelenggaraan studi Islam pada masa klasik juga telah mewarnai dinamika masyarakat baik di dunia Islam dan di Barat. Pada saat Dinasti ‘Abbasiyah dipimpin oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) kegiatan studi Islam diselenggarakan dengan pusatnya di Baghdad. Kegiatan studi Islam itu dikukuhkan dengan didirikannya pusat pengembangan ilmu pengetahuan, Bayt al-Hikmah, dengan dua signifikansi yang dikandungnya: sebagai perpustakaan dan sebagai lembaga pendidikan dan penerjemahan karya-karya Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab. Sementara itu, di dunia Barat, tepatnya Eropa, didirikan pusat kebudayaan yang memiliki fungsi yang tidak berbeda dengan Bayt al-Hikmah. Pusat kebudayaan tersebut bernama Universitas Cordova yang dirikan oleh Dinasti Umaiyah di Spanyol yang saat itu kendali kekuasaannya dipegang oleh ‘Abd al-Rahman III (929-961 M).
Studi Islam sebagai suatu kajian akademis tidak bisa dipisahkan, untuk mengetahui perihal kehidupan orang Timur dalam berbagai aspeknya. Mereka melakukan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai aspek kehidupan orang Timur, mulai dari agama, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Aktivitas-aktivitas ini kemudian lebih dikenal dengan pendasaran orientalisme. Terlepas dari motivasi dan tujuan yang melatarbelakangi dilakukannya berbagai pengkajian terhadap beragam aspek kehidupan masyarakat Timur tersebut, satu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa studi Islam telah ikut terdorong ke depan menjadi bagian yang perlu dilakukan secara ilmiah agar sampai kepada pemahaman yang relatif valid dan tepat terhadap kehidupan masyarakat Timur. Hal demikian karena Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Timur sehingga dalam upaya untuk dapat memahami kehidupan mereka mesti dilakukan juga perujukan atau pengkajian terhadap keyakinan agamanya.
Pertumbuhan studi Islam melalui instrumen dan tradisi akademis tidak bisa dilepaskan dari kontribusi ilmuwan Barat. Meskipun bukan berarti di luar mereka identifikasinya rendah, dibanding dengan para pengkaji pada umumnya, minimal untuk konteks saat itu, para pengkaji Barat lebih terdukung aktualisasi akademis-intelektualnya. Dukungan infrastruktur menjadi dukungan utama berupa sumber daya finansial dan institusional.
Kedua, mereka terkondisi dalam tradisi riset yang baik dan benar. Tradisi riset dimaksud tidak saja memberi perhatian pada riset kebijakan, melainkan juga riset-riset mendasar bagi pengembangan teori keilmuan (theory building). Selain itu, riset secara tekun dan serius menjadi bagian dari tradisi mereka. Ketiga, mereka pada umumnya memiliki kemampuan teoritis-metodologis yang baik. Hal ini karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu sosial secara baik pula.
Keempat, dalam beberapa kasus, mereka memiliki referensi yang lebih sehingga bisa dijadikan bahan komparasi untuk sebuah kasus yang diteliti. Kelima, mereka lebih terbuka, untuk tidak menyebut lebih berani, untuk mengambil atau melakukan penelitian hingga sampai pada suatu kesimpulan. Keterbukaan mereka ini karena tidak dibelenggu oleh kendala ideologis dan politis untuk melakukan riset.
Studi Islam secara akademis sejak tahun 1950-an. mulai banyak ditawarkan studi-studi Islam di universitas-universitas ternama di Amerika Serikat seperti di Hartvard University, UCLA, Chicago University, Yale University dan sebagainya, meskipun studi agama pada umumnya hingga akhir tahun 1970-an masih dianggap sebagai anak tiri (stepchild). Studi akademis Islam ini tidak mempertanyakan kesahihan teks suci al-Qur’an, misalnya, melainkan bergerak mengkaji kebenaran atau ketepatan interpretasi (tafsir) terhadap ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an, termasuk mengembangkan, mempertanyakan validitas dan memperbarui teori yang digagas oleh ulama’ tafsir. Oleh karena itu, yang dikaji secara akademis adalah pemikiran ulama’ terdahulu dalam memahami Islam dengan segala latar belakangnya. Lebih jauh, studi Islam secara akademis dilakukan terhadap implementasi ajaran Islam pada tataran praksis sosial dalam pengertian seluas-luasnya.
Istilah studi Islam (Islamic studies) sendiri dalam kerangka akademis mulai terdistribusikan secara meluas melalui penggunaan Islam sebagai sebuah spesifikasi utama atau titik sentral berbagai jurnal profesional dan jurusan dalam lembaga-lembaga akademik.
Hal demikian dibuktikan dengan realitas bahwa studi Islam di di Barat telah menjadi bagian penting dan terkait dengan program akademis mereka. Mata kuliah keislaman yang ditawarkan meliputi berbagai lapangan kajian dengan tetap menempatkan Islam sebagai titik sentralnya. Dalam menempatkan Islam dengan sebuah kajian. Secara organisatoris, di sebagian besar perguruan tinggi, Islam kerap menjadi bagian dari studi kawasan (area studies) seperti di Jurusan Bahasa dan Budaya Timur Tengah (Department of Middle Eastern Studies) atau di Jurusan Studi-studi Ketimuran (Department of Near Eastern Studies). Meski begitu, ada juga yang menempatkan kajian Islam dalam satu departemen khusus (Islamic studies).
Perguruan tinggi yang focus pada studi kawasan seperti Chicago
University, Columbia University (New York), Princeton University, dan UCLA (Los
Angeles) dengan tekanan spesifikasi dan spesialisasi masing-masing. Di Chicago
University, misalnya, studi Islam banyak ditekankan pada bidang pemikiran Islam
[terutama terutama sejak Fazlur Rahman mengajar di perguruan tinggi tersebut],
bahasa Arab, naskah klasik, dan bahasa-bahasa Islam nonArab. Di Columbia
University, studi Islam lebih banyak diarahkan pada kajian-kajian sejarah Islam
dengan Richard W. Bulliet sebagai profesornya. Princeton University lebih
dikenal dengan kajian sejarah dan peradaban Islam dengan Bernard Lewis sebagai
profesornya.
Di UCLA, studi Islam dikategorikan ke dalam empat kelompok. Pertama, doktrin dan sejarah Islam, termasuk sejarah pemikiran
Islam (history of Islamic thought). Kedua, bahasa Arab dan teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum, dan
lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa
nonArab Muslim yang dianggap telah ikut melahirkan kebudayaan Islam seperti
Turki, Urdu, dan Persia. Keempat,
ilmu-ilmu sosial, sejarah, bahasa Arab,
bahasa-bahasa Islam, sosiologi, antroplogi dan sebagainya. Meski dengan tekanan
spesifikasi yang berbeda-beda, studi Islam di beberapa perguruan tinggi Amerika
Serikat memiliki kesamaan, yakni pada umumnya penekanan kajian dilakukan
terhadap bidang-bidang seperti sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam nonArab,
sastra dan ilmu-imu sosial.
Studi Islam sebagai bagian dari studi kawasan juga terjadi
di beberapa universitas di Australia. Sebagai contoh, dua universitas ternama,
Melbourne University dan The Australian National University (ANU), menempatkan
kajian Islam di Fakultas Asian Studies. Sementara kajian Islam di Melbourne
University disupervisi oleh beberapa ilmuwan seperti M.C. Ricklefs, Arief
Budiman, dan Abdullah Saeed, di ANU di bawah supervisi beberapa ilmuwan di
antaranya A.H. Johns, J.J. Fox, A.C. Milner, Virginia Hooker, M.B. Hooker, Greg
Fealy, dan Harold Crouch. Salah satu kontribusi yang dipersembahkan oleh
beberapa universitas Australia terhadap perkembangan studi Islam adalah
pengkajian Islam dari sisi historisitasnya.
Virginia Hooker, wacana studi
Islam yang dikembangkan di Australia lebih dititikberatkan kepada historisitas
Islam daripada normativitas. Islam yang diteliti di kawasan ini adalah Islam
yang mewujud dalam praktik kemanusiaan masyarakat, atau Islam sebagaimana yang
dipraktikkan oleh para pemeluknya. Untuk kepentingan ini, wacana Islam yang
dijadikan bahan kajian secara umum,
menurutnya, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar. Pertama, wacana Islam yang diambil dari first-hand resources melalui kegiatan fieldwork di kawasan yang diteliti, seperti Indonesia, Malaysia dan
seterusnya. Kedua, wacana Islam yang
didapatkan dan dikembangkan dari pengalaman keberagamaan atau keislaman
masyarakat Muslim di kawasan tertentu, yang kemudian diwujudkan baik dalam
bentuk karya-karya tulis mereka, seperti bentuk bahan ajar, artikel, maupun
praktik-praktik kehidupan mereka.
Sementara itu, perguruan tinggi yang menempatkan
studi Islam pada sebuah departeman khusus adalah McGill University, Montreal
Canada, melalui lembaga akademis yang disebut dengan Institute of Islamic Studies. Pada mulanya, program studi-studi
keislaman merupakan bagian dari studi-studi yang ditawarkan di Department of Religious Studies perguruan
tinggi tersebut, namun
kemudian beralih menjadi lembaga ilmiah tersendiri bernama seperti tersebut
dengan dipelopori oleh Wilfred Cantwell Smith. Pendirian Institute of
Islamic Studies di McGill University ini dilakukan untuk kepentingan ilmiah
sebagai berikut. Pertama, untuk
menekuni kajian budaya dan peradaban Islam dari zaman Nabi Muh}ammad hingga
masa kontemporer. Kedua, untuk
memahami ajaran Islam dan masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia.
Materi Studi Islam meliputi materi aqidah adalah menanamkan
ketauhidan (Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah) seraya mencabut sikap syirik dengan
akar-akarnya melalui analisis terhadap fenomena alam dan perilaku sosial
masyarakat. Materi Syari’ah
adalah mengajarkan tentang kaifiyat (tatacara, how to do) tentang
ritual (ibadah mahdloh) dan mu’amalah (ibadah ghair mahdloh),
beserta falsafahnya sehingga setiap
sendi syari'ah terasa mempunyai makna. Dan materi
Akhlak adalah memberikan pemahaman tentang dimensi- dimensi akhlak yang
meliputi hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam
dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan
perlunya figur sebagai whole model (usawah hasanah).
Atas dasar itu, karakteristik mainstream kajian Islam yang dikembangkan di lembaga tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut. Pertama, kajian
Islam di McGill University secara teoritis tidak stabil. Hal ini karena kajian
Islam bukan merupakan bagian dari departemen apapun seperti di tempat-tempat
lain yang biasanya menjadikan Islam sebagai salah satu obyek kajian ilmu-ilmu
sosial seperti antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan lain-lain. Di
perguruan tinggi ini, Islam dipelajari dalam rangka belajar Islam, bukan dalam
rangka belajar antropologi sebagai misal. Karena tidak didekati dengan satu
disiplin ilmu tertentu, maka kajian keislamannya menjadi tidak terdefinisikan
secara ketat. Akibatnya, tidak ada teori yang jelas mendasarinya, termasuk
paradigma dan metodologi yang baku. Hal itu berbeda jika Islam didekati dengan
antropologi, misalnya, sebab Islam bisa ditelaah lewat teori-teori seperti
Strukturalisme dan Fungsionalisme yang masing-masing memiliki asumsi, paradigma
dan metodologi yang jelas dan baku.
Kedua, kajian
Islam di McGill University lebih banyak ditekankan pada sisi ajaran sehingga
kajiannya sangat tekstual. Wacana yang banyak menjadi bahan kajian adalah
teks-teks kitab, baik yang klasik maupun kontemporer. Akibat yang ditimbulkan
oleh penekanan yang lebih pada teks ajaran tersebut adalah seringnya terabaikan
konteks yang melingkupi teks, padahal untuk dapat mengkaji konteks perlu di-back-up dengan disiplin ilmu bantu
seperti sosiologi, antropologi dan lain-lain, yang justru tidak dipelajari di Institute of Islamic Studies ini. Untuk bisa memperoleh ilmu bantu tersebut,
mahasiswa harus melakukan kegiatan ekstra kurikuler sendiri-sendiri. Hal ini di
antaranya karena di studi Islam McGill University tidak dikenal sistem mata
kuliah major dan minor. Semua mata kuliah diperlakukan secara sama posisinya.
Sementara itu, di negeri-negeri Islam, penempatan studi
Islam secara organisatoris juga sangat variatif. Atho Mudzhar mencatat, di Iran
terdapat dua universitas besar yang melakukan kajian Islam, Universitas Teheran
dan Universitas Imam Sadiq, keduanya
berada di Teheran. Di Universitas yang disebut pertama, studi Islam
diselenggarakan dalam satu fakultas, yakni fakultas Agama (Kulliyat al-Ilahiyat), sedangkan di Universitas yang disebut
kedua, diselenggarakan bersama dengan ilmu umum. Selain itu, di India juga
terdapat dua universitas besar yang melakukan kajian Islam, Aligarh University
dan Jamia Millia Islamia.
Di perguruan tinggi pertama, studi Islam dikelompokkan
pada dua bagian. Pertama, studi Islam
dalam kerangka doktrin ditempatkan di Fakultas Ushuluddin dengan dua jurusan:
Madhhab Ahli Sunnah dan Madhhab Shi’ah. Kedua,
studi Islam dalam kerangka sejarah dilaksanakan di Fakultas Humaniora Jurusan Islamic Studies, yang kedudukannya
sejajar dengan Jurusan Politik, Sejarah, dan lain-lain. Adapun di perguruan
tinggi kedua, studi Islam berada di
Fakultas Humaniora bersama dengan Arabian
Studies, Persian Studies, dan Political Studies.
Di samping itu, variasi pengorganisasian studi Islam juga
dialami oleh negara Islam lainnya seperti Syiria, Malaysia, Mesir, dan
Indonesia. Di Universitas Damaskus, Syiria, misalnya, studi Islam ditempatkan
pada Fakultas Syari’ah (Kulliyat
al-Shari’ah) yang meliputi program studi ushuluddin, studi Islam, tafsir
dan sebagainya. Di Universitas Islam Internasional, Malaysia, studi Islam
secara umum ditampung di Fakultas Ilmu
Kewahyuan dan Warisan Islam (Faculty of
Revealed Knowledge and Human Sciences). Namun demikian, studi Islam yang
berkaitan dengan subject tertentu
juga dilakukan di fakultas lain, seperti Fakultas Ekonomi dan Manajemen yang
menyelenggarakan studi Islam seperti Fiqh Ekonomi, Pemikiran Ekonomi Islam,
Sistem Finansial Islam dan sebagainya. Adapun
di Universitas al-Azhar, Mesir, studi Islam diselenggarakan dalam
berbagai fakultas seperti Ushuluddin, Hukum, Bahasa Arab, Studi Islam dan Arab,
Dakwah, Tarbiyah, serta Fakultas Bahasa dan Terjemah.
Sementara itu, di Indonesia, seperti diketahui, terdapat
lembaga khusus yang didirikan untuk mengembangkan keilmuan-keilmuan Islam,
yakni berupa Institut Agama Islam (IAI), baik Negeri atau Swasta, dan Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI), baik Negeri atau Swasta. Perbedaan keduanya hanya
pada wilayah jangkauan kajian; sebuah konsentrasi studi berupa fakultas untuk
konteks IAI menjadi jurusan di STAI.
Kajian keilmuan Islam yang dikembangkan di
perguruan-perguruan tinggi tersebut pada umumnya meliputi delapan bidang, yakni
Ilmu al-Qur’an Hadith, Ilmu Pemikiran dalam Islam, Ilmu Fiqh (Hukum Islam) dan
Pranata sosial, Ilmu Sejarah dan Peradaban Islam, Ilmu Bahasa, Ilmu Pendidikan
Islam, Ilmu Dakwah Islamiyah, dan Ilmu Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia
Islam.
Delapan bidang ini
dirinci lagi ke dalam enam belas bidang keahlian: (1) Kependidikan Islam, (2)
Pendidikan Agama Islam, (3) Pendidikan Bahasa Arab, (4) Ahwal Shakhsiyah, (5) Mu’amalah, (6) Perbandingan Madhhab dan
Hukum, (7) Jinayah Siyasah, (8)
Komunikasi dan Penyiaran Islam, (9) Pengembangan Masyarakat Islam, (10)
Manajemen Dakwah, (11) Bimbingan dan Penyuluhan Islam, (12) Tafsir Hadith, (13)
Akidah Filsafat, (14) Perbandingan Agama, (15) Sejarah dan Peradaban Islam,
serta (16) Bahasa dan sastra Arab. Bidang-bidang keilmuan Islam tersebut
dikembangkan melalui lima fakultas, yakni Fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah,
Tarbiyah, dan Ushuluddin.
B.
Studi Islam di Indonesia
Kajian Islam di Indonesia bukanlah tumbuh dan berkembang
dari realita historis yang kosong; ia hadir secara kronologis dalam konteks
ruang dan waktu yang jelas, sebagai respon sejarah atas sejumlah persoalan
keagamaan yang dialami umat Islam di negeri ini. Secara substantif, kajian
Islam sebenarnya sudah dimulai semenjak agama ini datang ke Indonesia pada abad
ke 13 dan mencapai momentum spiritualnya pada abad ke 17. Kajian keislaman di
masa-masa ini diwarnai oleh proses transformasi nilai keagamaan secara
besar-besaran yang dilakukan oleh para pemimpin sufi dan 'ulama', terutama di
lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren. Proses transformasi
keislaman ini berlangsung hingga Indonesia memproklamasikan hari kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945, saat mana bangsa Indonesia dituntut untuk mulai
memikirkan dan membenahi proses pelembagaan di segala sektor kehidupan bangsa,
tidak terkecuali sektor kehidupan keagamaan sebagai elemen penting karena
bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius.
Proses transformasi keislaman pada masa-masa ini tidak
bisa dilepaskan dari peran para ulama dan tokoh-tokoh pemimpin gerakan sufi
karena diakui terdapat keterkaitan historis yang sangat ekstensif antara umat
Islam di Indonesia dengan para ulama di jazirah Arab seperti Makkah, Madinah danKairo.
Hubungan keagamaan yang sudah sedemikian established
di antara kedua komunitas Muslim ini pada gilirannya menciptakan sebuah iklim intellectual exchanges yang relatif
dinamis dan dialektis antar mereka. Daratan jazirah Arab selanjutnya dikenal
sebagai oase subur yang memproduksi karya-karya intelektual keislaman yang
dikonsumsi oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Proses transmisi epistemologis
ini berlangsung melalui beragam cara, baik langsung maupun tidak langsung,
mulai dari diseminasi hasil karya-karya intelektual ulama Timur Tengah di
banyak lembaga pesantren maupun pengiriman generasi muda Islam yang ingin
memperdalam ilmu agamanya ke negara-negara di wilayah ini.
Sekalipun Indonesia memiliki kedekatan hubungan
intelekual dengan tradisi keagamaan di Arab, terutama Makkah dan Madinah, itu
tidak berarti bahwa Islam Indonesia bisa dikatakan sebagai sekadar replika
Islam Arab. Proses transmisi keislaman dari tradisi intelektual Arab ke tradisi
intelektual Indonesia berlangsung dalam pola yang sangat dinamis, unik, dan
kompleks, disesuaikan dengan kosmologi keagamaan domestik sehingga wajah Islam
yang berkembang di Indonesia dalam banyak hal bisa berbeda dari wajah Islam
"asli" Timur Tengah. Sekalipun demikian, Islam Indonesia tidak serta
merta dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral
Islam) seperti yang diklaim oleh Geertz.
Pencitraan terhadap Islam Indonesia yang reduktif dan
distortif ini bahkan telah dimentahkan oleh Woodward, Ricklefs, dan Hefner yang
tetap memandang Islam di negeri ini sebagai varian keagamaan yang tidak
tercerabut dari akar-akar, meminjam istilah Fazlur Rahman Islam
normatif. Persoalan wajah Islam Indonesia yang berbeda dari wajah Islam Timur
Tengah dikatakan mereka hanya pada dataran kultural historis semata akibat
proses adaptasi, asimilasi dan akulturasi dalam jangka waktu yang relatif
panjang, bukan pada dataran substantif doktrinalnya.
Sebagai bukti bahwa proses transmisi keislaman di
Indonesia berlangsung secara unik dan kompleks bisa dijustifikasi melalui
proses belajar mengajar yang berlangsung di lembaga pesantren yang mengambil
bentuk dan modus operandi cukup unik.
Di daratan Arab
sendiri tidak ditemui padanan istilah pesantren yang secara terminologis
berarti tempat berlangsungnya proses belajar mengajar antara kyai dan santri di
sebuah asrama bersama antara mereka. Istilah santri sendiri bukan berasal dari
bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Jawa kuno (Pallawa), cantrik, yang berarti murid atau siswa
yang sedang menuntut ilmu-ilmu kerohanian. Pengadopsian khasanah budaya
domestik ini menjadi legitimasi betapa Islam Indonesia sarat dengan
muatan-muatan material nonIslam yang tidak bisa dijumpai di negara asalnya,
Arab. Keunikan di tingkat budaya ini menjadi penguat proses pelembagaan kajian
keislaman di wilayah nonArab seperti Indonesia.
Keunikan lain yang bisa dijumpai dari fenomena pesantren
adalah digunakannya bahasa "Arab pegon" (Arab Jawi), yakni gabungan antara bahasa Jawa yang ditulis dengan
karakter huruf Arab sebagai sarana memahami sejumlah teks-teks kitab kuning
yang berbahasa Arab. Bahkan bahasa Arab pegon ini tidak saja digunakan di
lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, tetapi juga digunakan di dunia Melayu
(kini Malaysia, Pattani, dan Brunei Darussalam). Tidak seperti di belahan dunia
Islam lainnya, terutama di Timur Tengah yang tetap menggunakan bahasa Arab
sebagai sarana pengkajian keislaman, tradisi intelektual di Jawa berkembang
dalam bahasanya sendiri, sementara tidak meninggalkan nuansa bahasa Arab
sebagai bahasa penting bagi kajian keislaman secara umum.
Proses pelembagaan kajian Islam dalam pesantren terus
berlangsung seiring dengan terjadinya proses transformasi dan modernisasi
lembaga tradisional ini. Proses transformasi dan modernisasi ini terjadi ketika
kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan sekolah kepada masyarakat
pribumi yang dampaknya dirasakan oleh pesantren melalui penyelenggaraan sistem
pembelajaran kelas. Sebagai akibat dari penyelenggaraan pembelajaran model ini,
maka berdirilah sekolah-sekolah (madrasah) di lingkungan pesantren yang hanya
mengajarkan materi pendidikan agama klasik yang meliputi fiqh, studi Islam,
etika Islam, dan lain sebagainya.
Setelah masa kemerdekaan, banyak pesantren yang juga
memberikan pengajaran materi sekuler seperti ilmu ilmu bumi (geografi), ilmu
hitung (matematika), dan ilmu alam (fisika dan bilogi), serta ilmu bahasa
(Inggris). Pola pengajaran yang sekuler ini biasanya berlangsung di sejumlah
pesantren yang mengadopsi metode pengajaran modern seperti Gontor dan Assalam
di Solo. Proses transformasi dan modernisasi pesantren terutama sepanjang dua
dekade terakhir ini mengindikasikan adanya sensibilitas lembaga ini terhadap
perubahan zaman yang pada gilirannya turut membentuk tradisi kajian Islam di
Indonesia secara keseluruhan.
Salah satu implikasi mendasar adanya proses transformasi
lembaga pendidikan ini menyebabkan sebagian elemen masyarakat Muslim
menginginkan kehadiran lembaga tinggi bagi pengkajian dan pengajaran Islam (Islamic higher learning institution).
Salah satu respon terhadap keinginan semacam ini disuarakan oleh Dr. Satiman
Wiryosandjojo, seorang pemimpin Masjumi dan belakangan menjadi perdana menteri,
akan pentingnya mendirikan lembaga pengkajian Islam dimaksud melalui harian
Pedoman Masjarakat pada tahun 1938.
Hal ini ditujukan
agar status Muslim meningkat di hadapan koloni Belanda. Menyambut gagasan
tersebut, pada bulan April 1945, empat bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia,
sekelompok pemimpin Muslim berkumpul di Jakarta guna membentuk sebuah komisi
persiapan yang dipimpin oleh Moh. Hatta yang selanjutnya menjadi wakil presiden
RI pertama. Tugas komisi ini adalah mempersiapkan pembentukan lembaga tinggi
Islam yang diwujudkan pada tanggal 8 Juli 1945 dengan berdirinya Sekolah Tinggi
Islam.
Setelah kemerdekaan RI, seiring dengan berpindahnya
ibukota akibat revolusi dari Jakarta ke Yogyakarta, maka keberadaan Sekolah
Tinggi Islam tersebut mengikuti gerak para aktivis republik. Pada tanggal 10
April 1946, sebuah perguruan Islam berdiri di Yogyakarta dan kemudian beralih
status menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal 10 Maret 1948
dengan empat fakultas: Kajian Islam, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan.
Sebagai penghargaan pemerintah atas perjuangan umat Islam
dalam memperoleh kemerdekaan RI, maka pada tahun 1951 pemerintah meresmikan
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang diambilkan dari fakultas Kajian Islam
UII yang memiliki empat fakultas: Fakultas Dakwah (belakangan menjadi Fakultas
Dakwah dan Ushuluddin), Fakultas Qada' (belakangan menjadi Fakultas Syari'ah),
dan Fakultas Tarbiyah. Kurang lebih delapan tahun kemudian Fakultas Adab
ditambahkan melengkapi keempat fakultas yang ada setelah ia diintegrasikan dengan
ADIA di Jakarta, sebuah akademi yang didesain untuk mempersiapkan calon-calon
tenaga kepegawaian di Departemen Agama RI.
Integrasi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam di atas
melahirkan sebuah lembaga pengkajian Islam yang kemudian disebut sebagai Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) dengan lima fakultas: Dakwah, Ushuluddin, Shari'ah,
Tarbiyyah, dan Adab. Sementara IAIN Yogyakarta tetap berdiri secara
independen, lembaga serupa di Jakarta juga berdiri sebagai lembaga independen.
Keduanya merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam tertua di Indonesia. Belakangan
ini, muncul ide di kalangan pembuat kebijakan pendidikan tinggi Islam untuk
mengembalikan semangat kajian Islam yang lebih komprehensif lagi; disiplin
keilmuan yang dicakup IAIN tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama semata,
namun juga ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi,
komunikasi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Ke depan, IAIN akan
dikembangkan dalam bentuk Universitas Islam Negeri (UIN) yang membawahi bidang
kajian keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.
Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari
oleh kesadaran futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan
zaman yang begitu cepat. Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud
kesadaran umat Islam yang tidak mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara
ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler, sebagai dampak historis kebijakan
kolonialisme Belanda. Namun terlepas dari nilai tambah proses transformasi
semacam ini, fenomena pengembangan IAIN menjadi UIN masih debatable dan menyimpan banyak kontroversi.
Kontroversi itu antara lain muncul dari perspektif
epistemologis yang mempertanyakan apakah benar selama ini Islam mengikuti
dualisme kajian keislaman sebagaimana yang banyak diperdebatkan. Sebenarnya
langkah rekonsiliasi epistemologis tersebut tidak harus dilakukan dengan cara
mengembangkan IAIN menjadi UIN yang membawahi displin ilmu agama maupun
sekuler. Sebab universitas-universitas negeri yang selama ini dianggap sekuler
pun pada hakikatnya merupakan bagian dari umat Islam. Bukankah dengan dibukanya
jurusan-jurusan umum di IAIN justru akan semakin merunyamkan sistem
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia? Bukankah kehadiran keduanya
menjadi saling overlapping antara
yang satu dengan lainnya?
Terlepas dari persoalan kontroversi transformasi IAIN menjadi
UIN, hal menarik yang perlu digarisbawahi di kalangan IAIN adalah kecenderungan
kajian Islam yang berlangsung di dalamnya. Sejak berdirinya, lembaga pendidikan
tinggi Islam ini membawa dua tugas utama: sebagai lembaga keagamaan dan sebagai
lembaga keilmuan. Sebagai sentral pengkajian keagamaan, IAIN membawa misi
religius untuk memberikan pencerahan masyarakat Muslim dalam memahami ajaran
Islam (lembaga dakwah). Sedangkan sebagai lembaga keilmuan, IAIN diharapkan
menjadi avant garde dalam mengkaji Islam
sebagai sebuah disiplin akademis, bukan sebagai doktrin agama.
Kedua fungsi
ini tidak selamanya berjalan secara harmonis dan berseiringan, bahkan tidak
jarang ditemukan konflik di antara keduanya. Di satu sisi, sebagai sebuah
lembaga akademis, IAIN harus mengikuti rules
of the game kehidupan akademis yang memperlakukan kajian terhadap agama
dengan mengunakan pendekatan-pendekatan ilmiah dan akademis yang hasilnya tidak
jarang bertentangan dengan aspek normatif Islam. Di sisi lain, IAIN diharapkan
berfungsi sebagai lembaga keagamaan yang cenderung menafikan prinsip-prinsip
akademis murni.
Dalam sejarah perkembangannya, IAIN pernah didominasi
oleh pendekatan kajian normatif doktrinal yang lebih mengedepankan dimensi
legal formal Islam (shari'ah) dan teologi (usul al-din). Hal yang demikian
terjadi sebagai implikasi logis dari terlalu mengedepannya karakteristik IAIN
sebagai lembaga keagamaan. Hasil dari pendekatan ini adalah munculnya
kecenderungan kajian Islam yang sangat skriptural, mengacu kepada praktik-praktik
ibadah dan akidah dalam Islam. Hal ini, menurut Azra, disebabkan oleh dominasi
pendekatan normatif-idealistik yang dikembangkan di sejumlah perguruan tinggi
Islam Timur Tengah, utamanya al-Azhar Kairo. Bahkan yang lebih parah lagi, IAIN
cenderung memfokuskan diri pada satu aliran pemikiran (school of thought) atau madhhab dalam Islam. Sementara madhhab
pemikiran Islam yang lain tidak dipelajari karena dianggap akan menyesatkan
bangunan keimanan mereka.
Berkenaan dengan pelembagaan tradisi kajian Islam di
IAIN yang cenderung normatif teologis itu, sejumlah kritik menarik telah
dilontarkan oleh Sudirman Tebba. Menurutnya, IAIN telah gagal mengembangkan
tradisi keilmuan klasik yang fondasinya telah diletakkan oleh para ulama.
Kegagalan tersebut tidak hanya pada pengembangan metode kajian Islam di bidang
hukum Islam saja, tetapi juga di bidang teologi. Misalnya di bidang fiqh,
landasan berpikir yang telah diletakkan oleh para ulama tersebut tidak
dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat IAIN, akan tetapi yang dipelajari oleh
mereka justru produk hukumnya, bukan metode ijtihadnya.
Akibatnya, IAIN tidak mampu menghadirkan citra Islam
yang dinamis, melainkan citra stagnan. Sementara itu di bidang teologi, IAIN
juga hanya berkutat pada kajian historis pemikiran para ulama klasik seperti
pemikiran Mu'tazilah, Ash'ariyah dan Maturidiyah yang terlepas sama sekali dari
analisis konteks realita sosial yang mengitarinya. Sebagai akibatnya, kajian
tersebut lebih merupakan refleksi romantisisme masyarakat IAIN yang mendambakan
masa kejayaan umat Islam seperti terjadi pada abad pertengahan.
Namun demikian, kecenderungan kajian Islam yang
demikian normatif teologis tersebut tidak berlangsung selamanya, sebab
kecenderungan baru muncul sebagai respons IAIN terhadap fenomena pembangunan
dan perubahan zaman. Kecenderungan kajian Islam yang terjadi di awal dekade
1970-an ini lebih mengarah pada kajian Islam yang terkait dengan konteksnya,
bersifat sosiokultural yang menyejarah.
Program pembangunan nasional yang mengambil modernisasi
sebagai tujuannya cenderung menggiring kaum intelektual Muslim seperti
Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan Mukti Ali untuk mereorientasi arah kajian
Islam yang berlangsung di IAIN. (Sekadar untuk diketahui, ketiga orang tersebut juga
produk dari pendidikan Barat). Kecenderungan perubahan pendekatan ini bahkan
semakin diperlancar dengan dikirimkannya para intelektual muda Muslim ke Barat
untuk meneruskan jenjang studinya.
Hasil paling mendasar dari upaya reorientasi visi kajian
Islam di lembaga tinggi Islam ini adalah heterogenitas pendekatan terhadap
Islam; Islam tidak hanya dilihat dari satu pendekatan atau madhhab pemikiran
saja, melainkan juga berbagai madhhab pemikiran lain yang belum pernah
diajarkan di IAIN. Pendekatan kajian Islam semacam ini turut memberikan
kontribusi terhadap diterapkannya metode pengkajian Islam yang lebih empiris
dan akademis, tanpa menegasikan kenyataan Islam sebagai sistem keyakinan dan
agama. Sebagai akibatnya, mahasiswa cenderung lebih terbuka dan toleran terhadap
upaya pemahaman agama yang berbeda. Kondisi ini pada gilirannya mendorong
lahirnya pendekatan non-madhhabi dalam
kajian Islam di Indonesia, seiring dengan semakin memudarnya loyalitas dan
fanatisme buta umat Islam terhadap madhhab tertentu.
Dimensi lain dari fenomena perubahan pendekatan dalam
kajian Islam di IAIN adalah semakin sadarnya umat Islam terhadap realitas
sosiokultural mereka. Kesadaran semacam ini bahkan membawa pada implikasi
radikal terhadap redefinisi relasi agama-manusia; apakah manusia didedikasikan
untuk agama ataukah sebaliknya, agama untuk manusia. Pendekatan normatif jelas
mengandaikan relasi yang menempatkan agama sebagai target pengabdian manusia.
Sementara itu, pendekatan kontekstual empiris mengandaikan relasi yang
menempatkan agama sebagai sarana untuk mengatur kehidupan manusia di dunia,
bukan untuk kepentingan-kepentingan ukhrawi manusia semata. Jadi agama sebagai way of life, mediasi yang mengantarkan
manusia untuk mendapatkan rida Allah. Bukan agama sebagai tujuan akhir seperti
yang diasumsikan dalam pendekatan normatif teologis.
Perubahan pendekatan kajian Islam di IAIN juga membawa
konsekuensi perubahan pendekatan dalam memandang realitas agama lain selain
Islam. Sebelumnya, pendekatan dalam mengkaji agama-agama lain cenderung
menerapkan pendekatan apologetik untuk menjustifikasi kebenaran Islam atas
agama-agama lain. Sementara itu, komunitas non-Islam dianggap sebagai orang
kafir yang halal darahnya untuk dibunuh.
Terutama sejak Mukti Ali kembali dari Canada setelah menyelesaikan
program MA-nya, pendekatan dalam kajian perbandingan agama berubah secara
radikal. Paradigma truth claim yang
dianut sejak lama oleh IAIN secara bertahap mengalami pergeseran dan digantikan
oleh paradigma berpikir yang lebih toleran, inklusif, dan pluralistik di mana
kehadiran agama-agama yang berbeda di muka bumi ini dianggap sebagai hukum alam
(sunnah Allah) yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Kehadiran mereka tidak
boleh diperangi sepanjang tidak membuka front konfrontasi dengan umat Islam, dan
di antara mereka terikat hukum mu'a>malah yang saling mengikat. Perubahan
paradigma ini semakin diperkokoh dalam tatanan khidupan beragama secara
nasional ketika Mukti Ali diangkat sebagai Menteri Agama RI.
Sebuah pertanyaan mendasar telah dimunculkan oleh Atho
Mudzhar berkenaan dengan kajian Islam di IAIN. Pertama, dengan adanya transformasi besar-besaran dalam bidang
kajian Islam di lembaga ini, harus dirumuskan secara tegas mana kajian ilmu
yang termasuk inti dan mana yang termasuk ilmu-ilmu bantu? Pertanyaan ini
penting untuk dijawab mengingat transformasi kajian Islam di IAIN yang semakin
diperkaya dengan berbagai pendekatan dan perspektif "sekuler" itu
bukan bertujuan untuk mengerdilkan kajian Islam itu sendiri, melainkan agar
kajian Islam bisa ditopang oleh bidang kajian yang lebih membumi, menyejarah
dan empiris.
Dalam perspektif ini, fiqh, misalnya, harus
diklasifikasikan sebagai ilmu inti atau ilmu bantu. Demikian pula sosiologi
ataupun antropologi, termasuk ilmu inti atau ilmu bantu? Ini semua dalam rangka
mendudukkan persoalan secara proporsional, jangan sampai ada gejala overlapping antara satu dan lainnya. Kedua, Bagaimana cara mendekati Islam
normatif yang bersifat dogmatis teologis itu? Sebagai konsekuensi logis dari
pertanyaan ini, perlu dimunculkan studi antar dan interdisipliner untuk
memahami fenomena Islam ideal ke dalam kerangka historisnya. Ketiga, berpijak pada serangkaian
pertanyaan di atas, sudah waktunya bagi IAIN untuk membuka program
studi-program studi (prodi) umum untuk membangun pemahaman Islam yang lebih
komprehensif seperti yang telah dilakukan di al-Azhar dan sejumlah universitas
lain di dunia Islam.
Namun demikian, kondisi sosiokultural bagi kedua lembaga
pendidikan tinggi Islam dimaksud nampaknya tidaklah sama. Barangkali setting Mesir agak bersahabat bagi
dibukanya full-fledged university seperti
al-Azhar, sementara Indonesia agak kompleks. Sekalipun demikian, IAIN tetap
harus mengevaluasi ulang misi orisinalnya sebagai pijakan disusunnya ilmu inti
(core subjects) dan ilmu bantu (auxiliary subjects). Persoalannya,
bagaimana melakukan itu semua?
C.
Pentingnya Studi Islam
Agama
adalah ibarat manusia. Untuk mengetahui perihal manusia, harus dipergunakan dua
cara: pertama, membaca ide dan
pemikiran yang bersangkutan yang tertuang dalam berbagai karangan, pernyataan
dan pekerjaannya, serta kedua,
mempelajari biografinya. Mengetahui
perihal seorang manusia secara utuh tidak dapat dilakukan hanya melalui ide dan
pemikirannya karena banyak hal dalam hidup dan kehidupan yang bersangkutan
tidak tercermin dalam karangan, pernyataan dan pekerjaannya. Upaya itu mesti
dibarengi dengan cara membaca biografinya, mulai dari latar belakang keluarga,
kehidupan masa-masa awal, hingga kejadian-kejadian penting yang melintasi
hidupnya. Begitu pula halnya dengan agama; untuk mengenal agama harus dilakukan
dengan cara mempelajari ide-idenya serta membaca biografinya. Menurut Mukti
Ali, ide-ide agama terpusat pada kitab sucinya, sedangkan biografi agama dapat
ditemukan melalui sejarah yang dialaminya.
Dalam
konteks Islam, untuk memahami agama ini bisa dilakukan penelitian atau studi
dengan menggunakan dua metode. Pertama,
mempelajari teks-teks suci al-Qur’an yang merupakan himpunan dari ide dan output ilmiah dan literer yang dikenal
dengan Islam. Kedua, mempelajari
dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari
permulaan diturunkannya misi Islam tersebut, terutama masa Nabi Muhammad SAW,
hingga masa akhir-akhir ini.
Masalahnya
kemudian, kalau memang benar bahwa penelitian (studi) mencari kebenaran,
bukankan agama [Islam] adalah kebenaran? Memang benar, penelitian dilakukan
untuk mencari kebenaran, dan agama itu sendiri merupakan kebenaran, baik
sebagai sumber maupun produk. Namun demikian, Islam yang telah mengalami proses
dialogis dengan masyarakat tidak bisa dihindarkan dari munculnya beragam wajah
sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu.
Perbedaan
ruang dan waktu itu melahirkan perbedaan pemahaman oleh masyarakat bersangkutan
sesuai dengan setting yang mereka
hadapi, baik berupa tuntutan maupun tantangan. Oleh karena itu, bisa dimengerti
bahwa Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah, baik pada
tataran kognitif maupun praksis sosial. Begitu pula Islam yang dipahami oleh
generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami generasi abad pertengahan
maupun abad modern ini. Realitas perbedaan tersebut melahirkan wacana seputar
Islam sebagai kebenaran.
Atas
dasar di atas, adalah sangat urgen diperolehnya pemahaman Islam secara utuh dan
tidak distortif. Argumentasinya adalah bahwa realitas perbedaan di atas bila
tidak didekati secara tepat akan menimbulkan pemahaman yang pincang terhadap
Islam karena Islam sebagai agama mempunyai dimensi normatif dan historis. Oleh
karena itu, dalam kaitan ini, memahami ide-ide Islam yang ada dalam al-Qur’an
urgen sekali dilakukan.
Hal ini tampak dari argumentasi bahwa ide-ide
dalam kitab suci tersebut merupakan dasar normatif dan fondasi dari
ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia. Al-Qur’an menegaskan
landasan moral bagi gagasan-gagasan dan praktik-praktik seperti ekonomi,
politik, dan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia. Meski al-Qur’an
meliputi ide-ide normatif Islam, teks-teksnya diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara
verbal (verbally revealed).
Dengan
keberadaan al-Qur’an yang meliputi ide-ide moral-normatif dan disampaikan
secara ideal sekaligus verbal di atas, maka studi Islam menemukan urgensi dan
signifikansinya untuk senantiasa dilakukan dalam kerangka memahami Islam secara
tuntas in context dengan
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat pada masanya masing-masing.
Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam
al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normatif-doktrinal yang cukup terhadap
sumber dari teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang kontekstual-historis
sehingga didapatkan pandangan yang relatif utuh terhadap Islam dengan berbagai
atributnya.
Hal
yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi dan reduksi
terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam mengambil
kesimpulan tentangnya. Persoalan ini perlu ditekankan karena kegagalan dan
kesalahan dalam mengambil kesimpulan atau pemahaman tentang Islam pernah
ditujukan kepada atau dialami oleh beberapa ilmuwan Barat, seperti Ignaz
Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell. Kesalahan dan kegagalan mereka,
ilmuwan Barat, dalam memahami Islam atau masyarakat Muslim bukan terletak pada
perspektif tentang kebenaran yang berbeda, melainkan karena ketidaktahuan dan
ketidakakuratan dalam memahami masyarakat Muslim. Salah satu di antara penyebab
ketidakakuratan tersebut adalah kurang diacunya teks-teks normatif Islam dalam
kajian masing-masing sebagai landasan normatif untuk melihat historisitas
Islam.
Sementara
itu, untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam
perlu dilakukan studi terhadap dinamika historis yang menjadi perwujudan dari
ide-ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir-akhir
ini, baik di wilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah
lain di berbagai belahan dunia. Studi ini mesti dilakukan melalui perangkat
historis-kultural. Studi ini menemukan signifikansinya sebagaimana dijelaskan
melalui beberapa hal berikut:
Pertama, pentingnya studi tersebut
dilakukan sebagai bentuk pemenuhan terhadap motivasi imperatif agama untuk
meneladani rasul. Kedua, signifikansi
dilakukannya studi tersebut sebagai alat untuk menafsirkan dan memahami maksud
teks-teks suci al-Qur’an. Hal ini karena memahami maksud teks tersebut harus
lebih dulu memahami latar belakang sejarah turunnya, atau dalam bahasa teknis
agama disebut dengan asbab al-nuzul. Ketiga, studi tersebut penting untuk
mengetahui proses dialogis antara normativitas Islam dengan nilai-nilai
historisitas yang melingkupinya dalam praksis Islam di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena pada tataran
historis-empiris, agama ternyata juga sarat dengan berbagai “kepentingan”
sosial kemasyarakatan yang rumit untuk dipisahkan. Keempat, signifikansi dilakukannya kajian historis ini agar nilai
perkembangan historis tersebut dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk
merekonstruksi disiplin-disiplin Islam bagi kepentingan masa depan. Dengan
demikian, nilai positif dari kajian historis ini implikasinya sangat jauh,
meliputi kerangka teoritis maupun praktis.
Studi
Islam diarahkan sebagai instrumen untuk memahami dan mengetahui proses
sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi
studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki
kapasitas dan daya gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan
berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan
tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha mendapatkan legalisasi dan
legitimasi dengan cara mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama
(sentripetal). Dalam kaitan ini, jika studi Islam ditarik ke arah perjalanan
sejarah tradisi Islam, tampak sekali urgensi dan signifikansinya sebab realitas
historis membuktikan bahwa Islam selalu diwarnai oleh berbagai usaha pembaruan
dan penyegaran secara terus-menerus sebagai konsekuensi dari arus gerak
sentrifugal dan sentripetal tersebut. Usaha pembaruan dan penyegaran tersebut
tidak jarang melahirkan ketegangan antara satu dan yang lain.
Sebagai
konsekuensi poin pertama, studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan
signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada
tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal
demikian agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang. Selama ini, beberapa ahli
ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya
para orientalis, mendekati Islam dengan metode ilmiah saja.
Akibatnya,
penelitian mereka meskipun menarik, tidak bisa menjelaskan secara utuh obyek
yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui penelitian itu hanyalah
eksternalitas dari Islam semata. Mereka [khususnya para ilmuwan sosial],
misalnya, tidak bisa menjawab persoalan-persoalan berkenaan dengan isu-isu
ontologis dari realitas atau obyek simbolisasi. Hal ini karena, oleh mereka,
simbol-simbol dan sistem kepercayaan pemeluk agama diambil secara serius sebagai data yang
kenyataannya tidak bisa terlepas dari bias pengamatannya.
Untuk
kepentingan ilmiah, simbol-simbol dan data-data kultural tersebut diterima
sebagai sebuah realitas, baik data-data tersebut bersifat empiris, nonempiris,
material maupun spiritual. Sementara itu, para ulama’ sendiri masih terbiasa
memahami Islam dengan cara doktriner dan dogmatis. Akibatnya, penafsiran dan
pemahaman yang dihasilkan tidak jarang out
of context dengan persoalan yang sedang dan akan dihadapi. Oleh karena itu,
teks-teks normatif Islam mesti didialogkan dengan realitas empirik sosial. Hal
ini dilakukan agar Islam bisa menjaga fungsionalitasnya di tengah-tengah
masyarakat; dan begitu pula sebaliknya, agar realitas empirik sosial memperoleh
penunjukan legitimasinya oleh kebenaran agama. Selain itu, jika Islam hanya
dilihat dari satu segi saja, yang akan tampak hanya satu dimensi saja dari
fenomena-fenomena sosial yang beragam (multifaceted).
Jika saja satu dimensi itu betul, hal itu tidak cukup untuk mengetahui wajah
Islam secara keseluruhan, karena Islam memiliki multi wajah sebagaimana intan
yang dapat memancarkan sinar dari berbagai sudutnya.
Studi Islam bergerak dengan mengusung kepentingan
untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara
normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau
substansi dari ajaran yang nota bene sudah terlembagakan dalam bentuk
aliran-aliran pemikiran (schools of
thought). Pentingnya memahami esensi
ajaran ini lebih-lebih terlihat pada konteks kekinian dengan berbagai kelompok
masyarakat yang berbeda-beda pemahaman dan aspirasinya. Hal demikian untuk
mengetahui penjabaran dari nilai-nilai dasar dan asas-asas fundamental ajaran
dalam kehidupan konkret sosial-kemasyarakatan yang plural.
Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari
pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak
dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau
budaya. Pencampuradukan itu pada urutannya akan dapat memunculkan pemahaman
yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif.
Akibatnya, semua yang berkaitan dengan wacana keagamaan atau keberagamaan
dianggap sebagai hal yang absolut sifatnya dan tidak menerima segala bentuk
upaya peninjauan ulang dalam konteks ruang dan waktu. Karena ketidakjelasan
ini, muncul pemahaman atau bahkan tindakan yang selalu diklaim sebagai tindakan
keagamaan, padahal sebenarnya pemahaman dan tindakan itu termasuk wilayah
tradisi atau budaya.
DAFTAR PUSTAKA
_________ Perbandingan
Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.
Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A.
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun,
1992.
A. Qodri A. Azizy,
“Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo,
Edisi 13, Tahun 1999
Abbas
Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M.
Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah
Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir:
Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman
Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS,
2001
Abu A’la al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar
El-Fikr. t.t.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ
Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh
Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah
al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister,
“Introduction,” dalam Changing Perspectives in the Scientific
Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons,
1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran.
Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya
Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan
dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia,
22-29 Agustus 1999
Anthony Reid,
"Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre
of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir,
Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang
Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits,
Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra,
"Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The
Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar
internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami.
Beirut, Dar El-Fikr, 1986
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global Jakarta : Penerbit Paramadina,
2001
Cik
Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama:
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin
Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet
K. Nottingham, Agama dan Masyarakat
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam
di Barat, Fenomena Menarik,” dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed.
Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika
dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas; tentang
Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of
Chicago Press, 1980
Hartono
Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di
Indonesia, Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2002
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI
Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul
‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il
R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi,
Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli :
The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits.
Beirut, Dar El-Fikr, 1981
John. L. Esposito, “Islamic
Studies,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford
& New York: Oxford University Press, 1995
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan
Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana, Vol 2, No.
2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.
‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama.
Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,”
Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun,
hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren
Persis Garut, 1408 H
M. Atho Mudzhar, "In
the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam
seminar internasional Islam in Indonesia:
Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November
2000
M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam
in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem
Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang
Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No.
1, April 2000
Mastuhu
& Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris:
EHESS, 1994
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam
bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án
al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman
al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H.
Muhammad
Yususf Musa, al-Insan wa Hajah
Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali,
1988
Nasaruddin
Razak, Dinul Islam, Bandung:
al-Ma’arif, 1982
Neil
Muider, Kepribadian jawa,
Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The
Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and
Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and
Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico
Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan
Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert
N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief,
New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics
in Rural East Java.” The Journal of Asian
Studies, 1987
Roland
Robertson, ed., Agama: dalam Analisa
dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul
aslinya: Sociology of Religion,
Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful
Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi
Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar
Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono
Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan,
Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba,
"Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993
Sutan
Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad
al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz
I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Taufik
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah
Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ
al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,
Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir, Beirut , 1991 Juz 30,
WJS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986
Zakiah
Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1985
No comments:
Post a Comment