Wednesday, June 24, 2015

MODUL 1: STUDI ISLAM*


Pokok-pokok Materi
Banyak orang Islam yang antipati kepada studi Islam, tetapi banyak juga kelompok orang yang sangat mengagungkan studi Islam. Sebagai seorang muslim yang mencintai ilmu, kita harus memahami secara kritis apa dan bagaimana studi, sehingga kita bisa menyikapinya secara proporsional.

A.   Perkembangan Studi Islam
Wacana studi Islam sebagai bagian dari peradaban Islam (Islamic civilization)  dan studi Islam bagian dari kajian akademis (Islamologi) yang menanamkan investasi besar terhadap perkembangan peradaban Islam serta memiliki konsekuensi logis untuk mengalami perkembangan secara spesifik melalui instrumen keilmuan. Oleh karena  itu, diskursus perkembangan studi Islam dalam konteks ini mesti didekati dan dipahami dalam kerangka akademis.
Studi Islam secara etimologis adalah Dirasah Islamiyah dalam bahasa Arab atau Islamic Studies dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan semangat implementasi dari aktivitas-aktivitas keagamaan [yang menjadi bagian dari upaya pembentukan peradaban Islam] seperti majelis taklim, misalnya, yang bersifat doktriner dan bertujuan meningkatkan keagamaan seseorang dalam tataran kognitif dan praktis, studi Islam atau Islamologi ini “tidak bertanggung jawab” terhadap keagamaan individu. Islamologi mempelajari dan mengkaji Islam hanya sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan untuk dipraktikkan, melainkan hanya didorong oleh tuntutan profesionalisme untuk kepentingan penelitian atau kajian keislaman. Adapun bahwa kelak akan muncul efek keagamaan merupakan suatu hal yang bisa saja terjadi, namun bukan atas kehendak formal yang menjadi tanggung jawab studi Islam. Oleh karena itu, bisa dipahami munculnya sejumlah pakar Islamologi atau keislaman, terutama  di dunia Barat, yang beragama nonIslam.
Beragamnya instrumen institusional pendidikan tersebut juga diiringi dengan pergerakan kurikulum yang diterapkan. Menurut Mahmud Yunus, pusat-pusat studi Islam klasik dapat diklasifikasi menjadi beberapa kelompok seperti Makkah dan Madinah di Hijaz, Basrah dan Kufah di Irak, Damaskus dan Palestina di Syam, dan Fistat di Mesir. Kelompok Makkah dipelopori oleh Mu’adh b. jabal, Madinah oleh Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Uthman, sedangkan Basrah oleh Abu Musa al-Ash’ari dan Anas b. Malik, Kufah oleh ‘Ali b. Abi Talib dan ‘Abd Allah b. Mas’ud, Damaskus oleh ‘Ubadah dan Abu Darda’, serta Fistat oleh ‘Abd Allah b. ‘Amr ibn ‘As.
Merujuk sejarah peradaban Islam, mengenai ragam model diseminasi dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui proses pengkajian yang berlaku di masyarakat Islam, baik dalam konteks ruang (tempat) maupun waktu. Tercatat bahwa peradaban Islam diwarnai oleh dinamika masyarakat Muslim dalam kajian Islam melalui beragam pusat pembelajaran, mulai dari kuttab,  masjid, observatorium, perpusatakaan, madrasah, khanqah, pesantren, hingga sekolah dan perguruan-perguruan tinggi seperti yang dikenal pada masa modern ini.

Sebagai bagian dari kerangka peradaban Islam, penyelenggaraan studi Islam pada masa klasik juga telah mewarnai dinamika masyarakat baik di dunia Islam dan di Barat. Pada saat Dinasti ‘Abbasiyah dipimpin oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) kegiatan studi Islam diselenggarakan dengan pusatnya di Baghdad. Kegiatan studi Islam itu dikukuhkan dengan didirikannya pusat pengembangan ilmu pengetahuan, Bayt al-Hikmah, dengan dua signifikansi yang dikandungnya: sebagai perpustakaan dan sebagai lembaga pendidikan dan penerjemahan karya-karya Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab. Sementara itu, di dunia Barat, tepatnya Eropa, didirikan pusat kebudayaan yang memiliki fungsi yang tidak berbeda dengan Bayt al-Hikmah. Pusat kebudayaan tersebut bernama Universitas Cordova yang dirikan oleh Dinasti Umaiyah di Spanyol yang saat itu kendali kekuasaannya dipegang oleh ‘Abd al-Rahman III (929-961 M).

Studi Islam sebagai suatu kajian akademis tidak bisa dipisahkan, untuk mengetahui perihal kehidupan orang Timur dalam berbagai aspeknya. Mereka melakukan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai aspek kehidupan orang Timur, mulai dari agama, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Aktivitas-aktivitas ini kemudian lebih dikenal dengan pendasaran orientalisme. Terlepas dari motivasi dan tujuan yang melatarbelakangi dilakukannya berbagai pengkajian terhadap beragam aspek kehidupan masyarakat Timur tersebut, satu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa studi Islam telah ikut terdorong ke depan menjadi bagian yang perlu dilakukan secara ilmiah agar sampai kepada pemahaman yang relatif valid dan tepat terhadap kehidupan masyarakat Timur. Hal demikian karena Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Timur sehingga dalam upaya untuk dapat memahami kehidupan mereka mesti dilakukan juga perujukan atau pengkajian terhadap keyakinan agamanya.

Pertumbuhan studi Islam melalui instrumen dan tradisi akademis tidak bisa dilepaskan dari kontribusi ilmuwan Barat. Meskipun bukan berarti di luar mereka identifikasinya rendah, dibanding dengan para pengkaji pada umumnya, minimal untuk konteks saat itu, para pengkaji Barat lebih terdukung aktualisasi akademis-intelektualnya. Dukungan infrastruktur menjadi dukungan utama berupa sumber daya finansial dan institusional.

Kedua, mereka terkondisi dalam tradisi riset yang baik dan benar. Tradisi riset dimaksud tidak saja memberi perhatian pada riset kebijakan, melainkan juga riset-riset mendasar bagi pengembangan teori keilmuan (theory building). Selain itu, riset secara tekun dan serius menjadi bagian dari tradisi mereka. Ketiga, mereka pada umumnya memiliki kemampuan teoritis-metodologis yang baik. Hal ini karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu sosial secara baik pula.

Keempat, dalam beberapa kasus, mereka memiliki referensi yang lebih sehingga bisa dijadikan bahan komparasi untuk sebuah kasus yang diteliti. Kelima, mereka lebih terbuka, untuk tidak menyebut lebih berani, untuk mengambil atau melakukan penelitian hingga sampai pada suatu kesimpulan. Keterbukaan mereka ini karena tidak dibelenggu oleh kendala ideologis dan politis untuk melakukan riset.

Studi Islam secara akademis sejak tahun 1950-an. mulai banyak ditawarkan studi-studi Islam di universitas-universitas ternama di Amerika Serikat seperti di Hartvard University, UCLA, Chicago University, Yale University dan sebagainya, meskipun studi agama pada umumnya hingga akhir tahun 1970-an masih dianggap sebagai anak tiri (stepchild). Studi akademis Islam ini tidak mempertanyakan kesahihan teks suci al-Qur’an, misalnya, melainkan bergerak mengkaji kebenaran atau ketepatan interpretasi (tafsir) terhadap ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an, termasuk mengembangkan, mempertanyakan validitas dan memperbarui teori yang digagas oleh ulama’ tafsir. Oleh karena itu, yang dikaji secara akademis adalah pemikiran ulama’ terdahulu dalam memahami Islam dengan segala latar belakangnya. Lebih jauh, studi Islam secara akademis dilakukan terhadap implementasi ajaran Islam pada tataran praksis sosial dalam pengertian seluas-luasnya.

Istilah studi Islam  (Islamic studies) sendiri dalam kerangka akademis mulai terdistribusikan secara meluas melalui penggunaan Islam sebagai sebuah spesifikasi utama atau titik sentral berbagai jurnal profesional dan jurusan dalam lembaga-lembaga akademik.

 Hal demikian dibuktikan dengan realitas bahwa studi Islam di di Barat telah menjadi bagian penting dan terkait dengan program akademis mereka. Mata kuliah keislaman yang ditawarkan meliputi berbagai lapangan kajian dengan tetap menempatkan Islam sebagai titik sentralnya. Dalam menempatkan Islam dengan sebuah kajian. Secara organisatoris, di sebagian besar perguruan tinggi, Islam kerap menjadi bagian  dari studi kawasan (area studies)  seperti di Jurusan Bahasa dan Budaya Timur Tengah (Department of Middle Eastern Studies) atau di Jurusan Studi-studi Ketimuran  (Department of Near Eastern Studies). Meski begitu, ada juga yang menempatkan kajian Islam dalam satu departemen khusus (Islamic studies).

Perguruan tinggi yang focus pada studi kawasan seperti Chicago University, Columbia University (New York), Princeton University, dan UCLA (Los Angeles) dengan tekanan spesifikasi dan spesialisasi masing-masing. Di Chicago University, misalnya, studi Islam banyak ditekankan pada bidang pemikiran Islam [terutama terutama sejak Fazlur Rahman mengajar di perguruan tinggi tersebut], bahasa Arab, naskah klasik, dan bahasa-bahasa Islam nonArab. Di Columbia University, studi Islam lebih banyak diarahkan pada kajian-kajian sejarah Islam dengan Richard W. Bulliet sebagai profesornya. Princeton University lebih dikenal dengan kajian sejarah dan peradaban Islam dengan Bernard Lewis sebagai profesornya.
Di UCLA, studi Islam dikategorikan  ke dalam empat kelompok. Pertama, doktrin dan sejarah Islam, termasuk sejarah pemikiran Islam (history of Islamic thought). Kedua, bahasa Arab dan teks-teks  klasik mengenai sejarah, hukum, dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa nonArab Muslim yang dianggap telah ikut melahirkan kebudayaan Islam seperti Turki, Urdu, dan Persia. Keempat, ilmu-ilmu  sosial, sejarah, bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam, sosiologi, antroplogi dan sebagainya. Meski dengan tekanan spesifikasi yang berbeda-beda, studi Islam di beberapa perguruan tinggi Amerika Serikat memiliki kesamaan, yakni pada umumnya penekanan kajian dilakukan terhadap bidang-bidang seperti sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam nonArab, sastra dan ilmu-imu sosial.
Studi Islam sebagai bagian dari studi kawasan juga terjadi di beberapa universitas di Australia. Sebagai contoh, dua universitas ternama, Melbourne University dan The Australian National University (ANU), menempatkan kajian Islam di Fakultas Asian Studies. Sementara kajian Islam di Melbourne University disupervisi oleh beberapa ilmuwan seperti M.C. Ricklefs, Arief Budiman, dan Abdullah Saeed, di ANU di bawah supervisi beberapa ilmuwan di antaranya A.H. Johns, J.J. Fox, A.C. Milner, Virginia Hooker, M.B. Hooker, Greg Fealy, dan Harold Crouch. Salah satu kontribusi yang dipersembahkan oleh beberapa universitas Australia terhadap perkembangan studi Islam adalah pengkajian Islam dari sisi historisitasnya.
Virginia Hooker, wacana studi Islam yang dikembangkan di Australia lebih dititikberatkan kepada historisitas Islam daripada normativitas. Islam yang diteliti di kawasan ini adalah Islam yang mewujud dalam praktik kemanusiaan masyarakat, atau Islam sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemeluknya. Untuk kepentingan ini, wacana Islam yang dijadikan bahan kajian  secara umum, menurutnya, dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar. Pertama, wacana Islam yang diambil dari first-hand resources melalui kegiatan fieldwork di kawasan yang diteliti, seperti Indonesia, Malaysia dan seterusnya. Kedua, wacana Islam yang didapatkan dan dikembangkan dari pengalaman keberagamaan atau keislaman masyarakat Muslim di kawasan tertentu, yang kemudian diwujudkan baik dalam bentuk karya-karya tulis mereka, seperti bentuk bahan ajar, artikel, maupun praktik-praktik kehidupan mereka.
Sementara itu, perguruan tinggi yang menempatkan studi Islam pada sebuah departeman khusus adalah McGill University, Montreal Canada, melalui lembaga akademis yang disebut dengan Institute of Islamic Studies. Pada mulanya, program studi-studi keislaman merupakan bagian dari studi-studi yang ditawarkan di Department of Religious Studies perguruan tinggi tersebut,  namun kemudian beralih menjadi lembaga ilmiah tersendiri bernama seperti tersebut dengan dipelopori oleh Wilfred Cantwell Smith. Pendirian Institute of Islamic Studies di McGill University ini dilakukan untuk kepentingan ilmiah sebagai berikut. Pertama, untuk menekuni kajian budaya dan peradaban Islam dari zaman Nabi Muh}ammad hingga masa kontemporer. Kedua, untuk memahami ajaran Islam dan masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia.
 Materi Studi Islam meliputi materi aqidah adalah menanamkan ketauhidan (Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah)  seraya mencabut sikap syirik dengan akar-akarnya melalui analisis terhadap fenomena alam dan perilaku sosial masyarakat. Materi Syari’ah adalah mengajarkan tentang kaifiyat (tatacara, how to do) tentang ritual (ibadah mahdloh) dan mu’amalah (ibadah ghair mahdloh), beserta  falsafahnya sehingga setiap sendi syari'ah terasa mempunyai makna. Dan materi Akhlak adalah memberikan pemahaman tentang dimensi- dimensi akhlak yang meliputi hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan perlunya figur sebagai whole model (usawah hasanah).
Atas dasar itu, karakteristik mainstream kajian Islam yang dikembangkan di lembaga tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, kajian Islam di McGill University secara teoritis tidak stabil. Hal ini karena kajian Islam bukan merupakan bagian dari departemen apapun seperti di tempat-tempat lain yang biasanya menjadikan Islam sebagai salah satu obyek kajian ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan lain-lain. Di perguruan tinggi ini, Islam dipelajari dalam rangka belajar Islam, bukan dalam rangka belajar antropologi sebagai misal. Karena tidak didekati dengan satu disiplin ilmu tertentu, maka kajian keislamannya menjadi tidak terdefinisikan secara ketat. Akibatnya, tidak ada teori yang jelas mendasarinya, termasuk paradigma dan metodologi yang baku. Hal itu berbeda jika Islam didekati dengan antropologi, misalnya, sebab Islam bisa ditelaah lewat teori-teori seperti Strukturalisme dan Fungsionalisme yang masing-masing memiliki asumsi, paradigma dan metodologi yang jelas dan baku. 
Kedua, kajian Islam di McGill University lebih banyak ditekankan pada sisi ajaran sehingga kajiannya sangat tekstual. Wacana yang banyak menjadi bahan kajian adalah teks-teks kitab, baik yang klasik maupun kontemporer. Akibat yang ditimbulkan oleh penekanan yang lebih pada teks ajaran tersebut adalah seringnya terabaikan konteks yang melingkupi teks, padahal untuk dapat mengkaji konteks perlu di-back-up dengan disiplin ilmu bantu seperti sosiologi, antropologi dan lain-lain, yang justru tidak dipelajari di Institute of Islamic Studies ini.  Untuk bisa memperoleh ilmu bantu tersebut, mahasiswa harus melakukan kegiatan ekstra kurikuler sendiri-sendiri. Hal ini di antaranya karena di studi Islam McGill University tidak dikenal sistem mata kuliah major dan minor. Semua mata kuliah diperlakukan secara sama posisinya.
Sementara itu, di negeri-negeri Islam, penempatan studi Islam secara organisatoris juga sangat variatif. Atho Mudzhar mencatat, di Iran terdapat dua universitas besar yang melakukan kajian Islam, Universitas Teheran dan Universitas  Imam Sadiq, keduanya berada di Teheran. Di Universitas yang disebut pertama, studi Islam diselenggarakan dalam satu fakultas, yakni fakultas Agama (Kulliyat al-Ilahiyat), sedangkan di Universitas yang disebut kedua, diselenggarakan bersama dengan ilmu umum. Selain itu, di India juga terdapat dua universitas besar yang melakukan kajian Islam, Aligarh University dan Jamia Millia Islamia.
Di perguruan tinggi pertama, studi Islam dikelompokkan pada dua bagian. Pertama, studi Islam dalam kerangka doktrin ditempatkan di Fakultas Ushuluddin dengan dua jurusan: Madhhab Ahli Sunnah dan Madhhab Shi’ah. Kedua, studi Islam dalam kerangka sejarah dilaksanakan di Fakultas Humaniora Jurusan Islamic Studies, yang kedudukannya sejajar dengan Jurusan Politik, Sejarah, dan lain-lain. Adapun di perguruan tinggi kedua, studi Islam berada di Fakultas Humaniora bersama dengan Arabian Studies, Persian Studies, dan Political Studies.
Di samping itu, variasi pengorganisasian studi Islam juga dialami oleh negara Islam lainnya seperti Syiria, Malaysia, Mesir, dan Indonesia. Di Universitas Damaskus, Syiria, misalnya, studi Islam ditempatkan pada Fakultas Syari’ah (Kulliyat al-Shari’ah) yang meliputi program studi ushuluddin, studi Islam, tafsir dan sebagainya. Di Universitas Islam Internasional, Malaysia, studi Islam secara umum ditampung  di Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Warisan Islam (Faculty of Revealed Knowledge and Human Sciences). Namun demikian, studi Islam yang berkaitan dengan subject tertentu juga dilakukan di fakultas lain, seperti Fakultas Ekonomi dan Manajemen yang menyelenggarakan studi Islam seperti Fiqh Ekonomi, Pemikiran Ekonomi Islam, Sistem Finansial Islam dan sebagainya. Adapun  di Universitas al-Azhar, Mesir, studi Islam diselenggarakan dalam berbagai fakultas seperti Ushuluddin, Hukum, Bahasa Arab, Studi Islam dan Arab, Dakwah, Tarbiyah, serta Fakultas Bahasa dan Terjemah.
Sementara itu, di Indonesia, seperti diketahui, terdapat lembaga khusus yang didirikan untuk mengembangkan keilmuan-keilmuan Islam, yakni berupa Institut Agama Islam (IAI), baik Negeri atau Swasta, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), baik Negeri atau Swasta. Perbedaan keduanya hanya pada wilayah jangkauan kajian; sebuah konsentrasi studi berupa fakultas untuk konteks IAI menjadi jurusan di STAI.
Kajian keilmuan Islam yang dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi tersebut pada umumnya meliputi delapan bidang, yakni Ilmu al-Qur’an Hadith, Ilmu Pemikiran dalam Islam, Ilmu Fiqh (Hukum Islam) dan Pranata sosial, Ilmu Sejarah dan Peradaban Islam, Ilmu Bahasa, Ilmu Pendidikan Islam, Ilmu Dakwah Islamiyah, dan Ilmu Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam.
 Delapan bidang ini dirinci lagi ke dalam enam belas bidang keahlian: (1) Kependidikan Islam, (2) Pendidikan Agama Islam, (3) Pendidikan Bahasa Arab, (4) Ahwal Shakhsiyah,  (5) Mu’amalah, (6) Perbandingan Madhhab dan Hukum, (7) Jinayah Siyasah, (8) Komunikasi dan Penyiaran Islam, (9) Pengembangan Masyarakat Islam, (10) Manajemen Dakwah, (11) Bimbingan dan Penyuluhan Islam, (12) Tafsir Hadith, (13) Akidah Filsafat, (14) Perbandingan Agama, (15) Sejarah dan Peradaban Islam, serta (16) Bahasa dan sastra Arab. Bidang-bidang keilmuan Islam tersebut dikembangkan melalui lima fakultas, yakni Fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, dan Ushuluddin.

B.   Studi Islam di Indonesia
Kajian Islam di Indonesia bukanlah tumbuh dan berkembang dari realita historis yang kosong; ia hadir secara kronologis dalam konteks ruang dan waktu yang jelas, sebagai respon sejarah atas sejumlah persoalan keagamaan yang dialami umat Islam di negeri ini. Secara substantif, kajian Islam sebenarnya sudah dimulai semenjak agama ini datang ke Indonesia pada abad ke 13 dan mencapai momentum spiritualnya pada abad ke 17. Kajian keislaman di masa-masa ini diwarnai oleh proses transformasi nilai keagamaan secara besar-besaran yang dilakukan oleh para pemimpin sufi dan 'ulama', terutama di lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren. Proses transformasi keislaman ini berlangsung hingga Indonesia memproklamasikan hari kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, saat mana bangsa Indonesia dituntut untuk mulai memikirkan dan membenahi proses pelembagaan di segala sektor kehidupan bangsa, tidak terkecuali sektor kehidupan keagamaan sebagai elemen penting karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius.
Proses transformasi keislaman pada masa-masa ini tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama dan tokoh-tokoh pemimpin gerakan sufi karena diakui terdapat keterkaitan historis yang sangat ekstensif antara umat Islam di Indonesia dengan para ulama di jazirah Arab seperti Makkah, Madinah danKairo. Hubungan keagamaan yang sudah sedemikian established di antara kedua komunitas Muslim ini pada gilirannya menciptakan sebuah iklim intellectual exchanges yang relatif dinamis dan dialektis antar mereka. Daratan jazirah Arab selanjutnya dikenal sebagai oase subur yang memproduksi karya-karya intelektual keislaman yang dikonsumsi oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Proses transmisi epistemologis ini berlangsung melalui beragam cara, baik langsung maupun tidak langsung, mulai dari diseminasi hasil karya-karya intelektual ulama Timur Tengah di banyak lembaga pesantren maupun pengiriman generasi muda Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya ke negara-negara di wilayah ini.
Sekalipun Indonesia memiliki kedekatan hubungan intelekual dengan tradisi keagamaan di Arab, terutama Makkah dan Madinah, itu tidak berarti bahwa Islam Indonesia bisa dikatakan sebagai sekadar replika Islam Arab. Proses transmisi keislaman dari tradisi intelektual Arab ke tradisi intelektual Indonesia berlangsung dalam pola yang sangat dinamis, unik, dan kompleks, disesuaikan dengan kosmologi keagamaan domestik sehingga wajah Islam yang berkembang di Indonesia dalam banyak hal bisa berbeda dari wajah Islam "asli" Timur Tengah. Sekalipun demikian, Islam Indonesia tidak serta merta dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral Islam) seperti yang diklaim oleh Geertz.
Pencitraan terhadap Islam Indonesia yang reduktif dan distortif ini bahkan telah dimentahkan oleh Woodward, Ricklefs, dan Hefner yang tetap memandang Islam di negeri ini sebagai varian keagamaan yang tidak tercerabut dari akar-akar, meminjam istilah Fazlur Rahman Islam normatif. Persoalan wajah Islam Indonesia yang berbeda dari wajah Islam Timur Tengah dikatakan mereka hanya pada dataran kultural historis semata akibat proses adaptasi, asimilasi dan akulturasi dalam jangka waktu yang relatif panjang, bukan pada dataran substantif doktrinalnya.


Sebagai bukti bahwa proses transmisi keislaman di Indonesia berlangsung secara unik dan kompleks bisa dijustifikasi melalui proses belajar mengajar yang berlangsung di lembaga pesantren yang mengambil bentuk dan modus operandi cukup unik.
 Di daratan Arab sendiri tidak ditemui padanan istilah pesantren yang secara terminologis berarti tempat berlangsungnya proses belajar mengajar antara kyai dan santri di sebuah asrama bersama antara mereka. Istilah santri sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Jawa kuno (Pallawa), cantrik, yang berarti murid atau siswa yang sedang menuntut ilmu-ilmu kerohanian. Pengadopsian khasanah budaya domestik ini menjadi legitimasi betapa Islam Indonesia sarat dengan muatan-muatan material nonIslam yang tidak bisa dijumpai di negara asalnya, Arab. Keunikan di tingkat budaya ini menjadi penguat proses pelembagaan kajian keislaman di wilayah nonArab seperti Indonesia.
Keunikan lain yang bisa dijumpai dari fenomena pesantren adalah digunakannya bahasa "Arab pegon" (Arab Jawi), yakni gabungan antara bahasa Jawa yang ditulis dengan karakter huruf Arab sebagai sarana memahami sejumlah teks-teks kitab kuning yang berbahasa Arab. Bahkan bahasa Arab pegon ini tidak saja digunakan di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, tetapi juga digunakan di dunia Melayu (kini Malaysia, Pattani, dan Brunei Darussalam). Tidak seperti di belahan dunia Islam lainnya, terutama di Timur Tengah yang tetap menggunakan bahasa Arab sebagai sarana pengkajian keislaman, tradisi intelektual di Jawa berkembang dalam bahasanya sendiri, sementara tidak meninggalkan nuansa bahasa Arab sebagai bahasa penting bagi kajian keislaman secara umum.
Proses pelembagaan kajian Islam dalam pesantren terus berlangsung seiring dengan terjadinya proses transformasi dan modernisasi lembaga tradisional ini. Proses transformasi dan modernisasi ini terjadi ketika kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan sekolah kepada masyarakat pribumi yang dampaknya dirasakan oleh pesantren melalui penyelenggaraan sistem pembelajaran kelas. Sebagai akibat dari penyelenggaraan pembelajaran model ini, maka berdirilah sekolah-sekolah (madrasah) di lingkungan pesantren yang hanya mengajarkan materi pendidikan agama klasik yang meliputi fiqh, studi Islam, etika Islam, dan lain sebagainya.
Setelah masa kemerdekaan, banyak pesantren yang juga memberikan pengajaran materi sekuler seperti ilmu ilmu bumi (geografi), ilmu hitung (matematika), dan ilmu alam (fisika dan bilogi), serta ilmu bahasa (Inggris). Pola pengajaran yang sekuler ini biasanya berlangsung di sejumlah pesantren yang mengadopsi metode pengajaran modern seperti Gontor dan Assalam di Solo. Proses transformasi dan modernisasi pesantren terutama sepanjang dua dekade terakhir ini mengindikasikan adanya sensibilitas lembaga ini terhadap perubahan zaman yang pada gilirannya turut membentuk tradisi kajian Islam di Indonesia secara keseluruhan.
Salah satu implikasi mendasar adanya proses transformasi lembaga pendidikan ini menyebabkan sebagian elemen masyarakat Muslim menginginkan kehadiran lembaga tinggi bagi pengkajian dan pengajaran Islam (Islamic higher learning institution). Salah satu respon terhadap keinginan semacam ini disuarakan oleh Dr. Satiman Wiryosandjojo, seorang pemimpin Masjumi dan belakangan menjadi perdana menteri, akan pentingnya mendirikan lembaga pengkajian Islam dimaksud melalui harian Pedoman Masjarakat pada tahun 1938.
 Hal ini ditujukan agar status Muslim meningkat di hadapan koloni Belanda. Menyambut gagasan tersebut, pada bulan April 1945, empat bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, sekelompok pemimpin Muslim berkumpul di Jakarta guna membentuk sebuah komisi persiapan yang dipimpin oleh Moh. Hatta yang selanjutnya menjadi wakil presiden RI pertama. Tugas komisi ini adalah mempersiapkan pembentukan lembaga tinggi Islam yang diwujudkan pada tanggal 8 Juli 1945 dengan berdirinya Sekolah Tinggi Islam.
Setelah kemerdekaan RI, seiring dengan berpindahnya ibukota akibat revolusi dari Jakarta ke Yogyakarta, maka keberadaan Sekolah Tinggi Islam tersebut mengikuti gerak para aktivis republik. Pada tanggal 10 April 1946, sebuah perguruan Islam berdiri di Yogyakarta dan kemudian beralih status menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Kajian Islam, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan.
Sebagai penghargaan pemerintah atas perjuangan umat Islam dalam memperoleh kemerdekaan RI, maka pada tahun 1951 pemerintah meresmikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang diambilkan dari fakultas Kajian Islam UII yang memiliki empat fakultas: Fakultas Dakwah (belakangan menjadi Fakultas Dakwah dan Ushuluddin), Fakultas Qada' (belakangan menjadi Fakultas Syari'ah), dan Fakultas Tarbiyah. Kurang lebih delapan tahun kemudian Fakultas Adab ditambahkan melengkapi keempat fakultas yang ada setelah ia diintegrasikan dengan ADIA di Jakarta, sebuah akademi yang didesain untuk mempersiapkan calon-calon tenaga kepegawaian di Departemen Agama RI.
Integrasi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam di atas melahirkan sebuah lembaga pengkajian Islam yang kemudian disebut sebagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan lima fakultas: Dakwah, Ushuluddin, Shari'ah, Tarbiyyah, dan Adab. Sementara IAIN Yogyakarta tetap berdiri secara independen, lembaga serupa di Jakarta juga berdiri sebagai lembaga independen. Keduanya merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam tertua di Indonesia. Belakangan ini, muncul ide di kalangan pembuat kebijakan pendidikan tinggi Islam untuk mengembalikan semangat kajian Islam yang lebih komprehensif lagi; disiplin keilmuan yang dicakup IAIN tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama semata, namun juga ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi, komunikasi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Ke depan, IAIN akan dikembangkan dalam bentuk Universitas Islam Negeri (UIN) yang membawahi bidang kajian keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.
Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari oleh kesadaran futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan zaman yang begitu cepat. Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud kesadaran umat Islam yang tidak mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler, sebagai dampak historis kebijakan kolonialisme Belanda. Namun terlepas dari nilai tambah proses transformasi semacam ini, fenomena pengembangan IAIN menjadi UIN masih debatable dan menyimpan banyak kontroversi.
Kontroversi itu antara lain muncul dari perspektif epistemologis yang mempertanyakan apakah benar selama ini Islam mengikuti dualisme kajian keislaman sebagaimana yang banyak diperdebatkan. Sebenarnya langkah rekonsiliasi epistemologis tersebut tidak harus dilakukan dengan cara mengembangkan IAIN menjadi UIN yang membawahi displin ilmu agama maupun sekuler. Sebab universitas-universitas negeri yang selama ini dianggap sekuler pun pada hakikatnya merupakan bagian dari umat Islam. Bukankah dengan dibukanya jurusan-jurusan umum di IAIN justru akan semakin merunyamkan sistem penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia? Bukankah kehadiran keduanya menjadi saling overlapping antara yang satu dengan lainnya?
Terlepas dari persoalan kontroversi transformasi IAIN menjadi UIN, hal menarik yang perlu digarisbawahi di kalangan IAIN adalah kecenderungan kajian Islam yang berlangsung di dalamnya. Sejak berdirinya, lembaga pendidikan tinggi Islam ini membawa dua tugas utama: sebagai lembaga keagamaan dan sebagai lembaga keilmuan. Sebagai sentral pengkajian keagamaan, IAIN membawa misi religius untuk memberikan pencerahan masyarakat Muslim dalam memahami ajaran Islam (lembaga dakwah). Sedangkan sebagai lembaga keilmuan, IAIN diharapkan menjadi avant garde dalam mengkaji Islam sebagai sebuah disiplin akademis, bukan sebagai doktrin agama.
 Kedua fungsi ini tidak selamanya berjalan secara harmonis dan berseiringan, bahkan tidak jarang ditemukan konflik di antara keduanya. Di satu sisi, sebagai sebuah lembaga akademis, IAIN harus mengikuti rules of the game kehidupan akademis yang memperlakukan kajian terhadap agama dengan mengunakan pendekatan-pendekatan ilmiah dan akademis yang hasilnya tidak jarang bertentangan dengan aspek normatif Islam. Di sisi lain, IAIN diharapkan berfungsi sebagai lembaga keagamaan yang cenderung menafikan prinsip-prinsip akademis murni.
Dalam sejarah perkembangannya, IAIN pernah didominasi oleh pendekatan kajian normatif doktrinal yang lebih mengedepankan dimensi legal formal Islam (shari'ah) dan teologi (usul al-din). Hal yang demikian terjadi sebagai implikasi logis dari terlalu mengedepannya karakteristik IAIN sebagai lembaga keagamaan. Hasil dari pendekatan ini adalah munculnya kecenderungan kajian Islam yang sangat skriptural, mengacu kepada praktik-praktik ibadah dan akidah dalam Islam. Hal ini, menurut Azra, disebabkan oleh dominasi pendekatan normatif-idealistik yang dikembangkan di sejumlah perguruan tinggi Islam Timur Tengah, utamanya al-Azhar Kairo. Bahkan yang lebih parah lagi, IAIN cenderung memfokuskan diri pada satu aliran pemikiran (school of thought) atau madhhab dalam Islam. Sementara madhhab pemikiran Islam yang lain tidak dipelajari karena dianggap akan menyesatkan bangunan keimanan mereka.
Berkenaan dengan pelembagaan tradisi kajian Islam di IAIN yang cenderung normatif teologis itu, sejumlah kritik menarik telah dilontarkan oleh Sudirman Tebba. Menurutnya, IAIN telah gagal mengembangkan tradisi keilmuan klasik yang fondasinya telah diletakkan oleh para ulama. Kegagalan tersebut tidak hanya pada pengembangan metode kajian Islam di bidang hukum Islam saja, tetapi juga di bidang teologi. Misalnya di bidang fiqh, landasan berpikir yang telah diletakkan oleh para ulama tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat IAIN, akan tetapi yang dipelajari oleh mereka justru produk hukumnya, bukan metode ijtihadnya.
Akibatnya, IAIN tidak mampu menghadirkan citra Islam yang dinamis, melainkan citra stagnan. Sementara itu di bidang teologi, IAIN juga hanya berkutat pada kajian historis pemikiran para ulama klasik seperti pemikiran Mu'tazilah, Ash'ariyah dan Maturidiyah yang terlepas sama sekali dari analisis konteks realita sosial yang mengitarinya. Sebagai akibatnya, kajian tersebut lebih merupakan refleksi romantisisme masyarakat IAIN yang mendambakan masa kejayaan umat Islam seperti terjadi pada abad pertengahan.
Namun demikian, kecenderungan kajian Islam yang demikian normatif teologis tersebut tidak berlangsung selamanya, sebab kecenderungan baru muncul sebagai respons IAIN terhadap fenomena pembangunan dan perubahan zaman. Kecenderungan kajian Islam yang terjadi di awal dekade 1970-an ini lebih mengarah pada kajian Islam yang terkait dengan konteksnya, bersifat sosiokultural yang menyejarah.
Program pembangunan nasional yang mengambil modernisasi sebagai tujuannya cenderung menggiring kaum intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan Mukti Ali untuk mereorientasi arah kajian Islam yang berlangsung di IAIN. (Sekadar untuk diketahui, ketiga orang tersebut juga produk dari pendidikan Barat). Kecenderungan perubahan pendekatan ini bahkan semakin diperlancar dengan dikirimkannya para intelektual muda Muslim ke Barat untuk meneruskan jenjang studinya.
Hasil paling mendasar dari upaya reorientasi visi kajian Islam di lembaga tinggi Islam ini adalah heterogenitas pendekatan terhadap Islam; Islam tidak hanya dilihat dari satu pendekatan atau madhhab pemikiran saja, melainkan juga berbagai madhhab pemikiran lain yang belum pernah diajarkan di IAIN. Pendekatan kajian Islam semacam ini turut memberikan kontribusi terhadap diterapkannya metode pengkajian Islam yang lebih empiris dan akademis, tanpa menegasikan kenyataan Islam sebagai sistem keyakinan dan agama. Sebagai akibatnya, mahasiswa cenderung lebih terbuka dan toleran terhadap upaya pemahaman agama yang berbeda. Kondisi ini pada gilirannya mendorong lahirnya pendekatan non-madhhabi dalam kajian Islam di Indonesia, seiring dengan semakin memudarnya loyalitas dan fanatisme buta umat Islam terhadap madhhab tertentu.
Dimensi lain dari fenomena perubahan pendekatan dalam kajian Islam di IAIN adalah semakin sadarnya umat Islam terhadap realitas sosiokultural mereka. Kesadaran semacam ini bahkan membawa pada implikasi radikal terhadap redefinisi relasi agama-manusia; apakah manusia didedikasikan untuk agama ataukah sebaliknya, agama untuk manusia. Pendekatan normatif jelas mengandaikan relasi yang menempatkan agama sebagai target pengabdian manusia. Sementara itu, pendekatan kontekstual empiris mengandaikan relasi yang menempatkan agama sebagai sarana untuk mengatur kehidupan manusia di dunia, bukan untuk kepentingan-kepentingan ukhrawi manusia semata. Jadi agama sebagai way of life, mediasi yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan rida Allah. Bukan agama sebagai tujuan akhir seperti yang diasumsikan dalam pendekatan normatif teologis.
Perubahan pendekatan kajian Islam di IAIN juga membawa konsekuensi perubahan pendekatan dalam memandang realitas agama lain selain Islam. Sebelumnya, pendekatan dalam mengkaji agama-agama lain cenderung menerapkan pendekatan apologetik untuk menjustifikasi kebenaran Islam atas agama-agama lain. Sementara itu, komunitas non-Islam dianggap sebagai orang kafir yang halal darahnya untuk dibunuh.
Terutama sejak Mukti Ali kembali dari Canada setelah menyelesaikan program MA-nya, pendekatan dalam kajian perbandingan agama berubah secara radikal. Paradigma truth claim yang dianut sejak lama oleh IAIN secara bertahap mengalami pergeseran dan digantikan oleh paradigma berpikir yang lebih toleran, inklusif, dan pluralistik di mana kehadiran agama-agama yang berbeda di muka bumi ini dianggap sebagai hukum alam (sunnah Allah) yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Kehadiran mereka tidak boleh diperangi sepanjang tidak membuka front konfrontasi dengan umat Islam, dan di antara mereka terikat hukum mu'a>malah yang saling mengikat. Perubahan paradigma ini semakin diperkokoh dalam tatanan khidupan beragama secara nasional ketika Mukti Ali diangkat sebagai Menteri Agama RI.
Sebuah pertanyaan mendasar telah dimunculkan oleh Atho Mudzhar berkenaan dengan kajian Islam di IAIN. Pertama, dengan adanya transformasi besar-besaran dalam bidang kajian Islam di lembaga ini, harus dirumuskan secara tegas mana kajian ilmu yang termasuk inti dan mana yang termasuk ilmu-ilmu bantu? Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat transformasi kajian Islam di IAIN yang semakin diperkaya dengan berbagai pendekatan dan perspektif "sekuler" itu bukan bertujuan untuk mengerdilkan kajian Islam itu sendiri, melainkan agar kajian Islam bisa ditopang oleh bidang kajian yang lebih membumi, menyejarah dan empiris.
Dalam perspektif ini, fiqh, misalnya, harus diklasifikasikan sebagai ilmu inti atau ilmu bantu. Demikian pula sosiologi ataupun antropologi, termasuk ilmu inti atau ilmu bantu? Ini semua dalam rangka mendudukkan persoalan secara proporsional, jangan sampai ada gejala overlapping antara satu dan lainnya. Kedua, Bagaimana cara mendekati Islam normatif yang bersifat dogmatis teologis itu? Sebagai konsekuensi logis dari pertanyaan ini, perlu dimunculkan studi antar dan interdisipliner untuk memahami fenomena Islam ideal ke dalam kerangka historisnya. Ketiga, berpijak pada serangkaian pertanyaan di atas, sudah waktunya bagi IAIN untuk membuka program studi-program studi (prodi) umum untuk membangun pemahaman Islam yang lebih komprehensif seperti yang telah dilakukan di al-Azhar dan sejumlah universitas lain di dunia Islam.
Namun demikian, kondisi sosiokultural bagi kedua lembaga pendidikan tinggi Islam dimaksud nampaknya tidaklah sama. Barangkali setting Mesir agak bersahabat bagi dibukanya full-fledged university seperti al-Azhar, sementara Indonesia agak kompleks. Sekalipun demikian, IAIN tetap harus mengevaluasi ulang misi orisinalnya sebagai pijakan disusunnya ilmu inti (core subjects) dan ilmu bantu (auxiliary subjects). Persoalannya, bagaimana melakukan itu semua?

C.   Pentingnya Studi Islam
Agama adalah ibarat manusia. Untuk mengetahui perihal manusia, harus dipergunakan dua cara: pertama, membaca ide dan pemikiran yang bersangkutan yang tertuang dalam berbagai karangan, pernyataan dan pekerjaannya, serta kedua, mempelajari biografinya.  Mengetahui perihal seorang manusia secara utuh tidak dapat dilakukan hanya melalui ide dan pemikirannya karena banyak hal dalam hidup dan kehidupan yang bersangkutan tidak tercermin dalam karangan, pernyataan dan pekerjaannya. Upaya itu mesti dibarengi dengan cara membaca biografinya, mulai dari latar belakang keluarga, kehidupan masa-masa awal, hingga kejadian-kejadian penting yang melintasi hidupnya. Begitu pula halnya dengan agama; untuk mengenal agama harus dilakukan dengan cara mempelajari ide-idenya serta membaca biografinya. Menurut Mukti Ali, ide-ide agama terpusat pada kitab sucinya, sedangkan biografi agama dapat ditemukan melalui sejarah yang dialaminya.
Dalam konteks Islam, untuk memahami agama ini bisa dilakukan penelitian atau studi dengan menggunakan dua metode. Pertama, mempelajari teks-teks suci al-Qur’an yang merupakan himpunan dari ide dan output ilmiah dan literer yang dikenal dengan Islam. Kedua, mempelajari dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya misi Islam tersebut, terutama masa Nabi Muhammad SAW, hingga masa akhir-akhir ini. 
Masalahnya kemudian, kalau memang benar bahwa penelitian (studi) mencari kebenaran, bukankan agama [Islam] adalah kebenaran? Memang benar, penelitian dilakukan untuk mencari kebenaran, dan agama itu sendiri merupakan kebenaran, baik sebagai sumber maupun produk. Namun demikian, Islam yang telah mengalami proses dialogis dengan masyarakat tidak bisa dihindarkan dari munculnya beragam wajah sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu.
Perbedaan ruang dan waktu itu melahirkan perbedaan pemahaman oleh masyarakat bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka hadapi, baik berupa tuntutan maupun tantangan. Oleh karena itu, bisa dimengerti bahwa Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah, baik pada tataran kognitif maupun praksis sosial. Begitu pula Islam yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami generasi abad pertengahan maupun abad modern ini. Realitas perbedaan tersebut melahirkan wacana seputar Islam sebagai kebenaran.
Atas dasar di atas, adalah sangat urgen diperolehnya pemahaman Islam secara utuh dan tidak distortif. Argumentasinya adalah bahwa realitas perbedaan di atas bila tidak didekati secara tepat akan menimbulkan pemahaman yang pincang terhadap Islam karena Islam sebagai agama mempunyai dimensi normatif dan historis. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, memahami ide-ide Islam yang ada dalam al-Qur’an urgen sekali dilakukan.
 Hal ini tampak dari argumentasi bahwa ide-ide dalam kitab suci tersebut merupakan dasar normatif dan fondasi dari ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia. Al-Qur’an menegaskan landasan moral bagi gagasan-gagasan dan praktik-praktik seperti ekonomi, politik, dan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia. Meski al-Qur’an meliputi ide-ide normatif Islam, teks-teksnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara verbal  (verbally revealed).
Dengan keberadaan al-Qur’an yang meliputi ide-ide moral-normatif dan disampaikan secara ideal sekaligus verbal di atas, maka studi Islam menemukan urgensi dan signifikansinya untuk senantiasa dilakukan dalam kerangka memahami Islam secara tuntas in context dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat pada masanya masing-masing. Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normatif-doktrinal yang cukup terhadap sumber dari teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang kontekstual-historis sehingga didapatkan pandangan yang relatif utuh terhadap Islam dengan berbagai atributnya.
Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam mengambil kesimpulan tentangnya. Persoalan ini perlu ditekankan karena kegagalan dan kesalahan dalam mengambil kesimpulan atau pemahaman tentang Islam pernah ditujukan kepada atau dialami oleh beberapa ilmuwan Barat, seperti Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell. Kesalahan dan kegagalan mereka, ilmuwan Barat, dalam memahami Islam atau masyarakat Muslim bukan terletak pada perspektif tentang kebenaran yang berbeda, melainkan karena ketidaktahuan dan ketidakakuratan dalam memahami masyarakat Muslim. Salah satu di antara penyebab ketidakakuratan tersebut adalah kurang diacunya teks-teks normatif Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normatif untuk melihat historisitas Islam.
Sementara itu, untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan studi terhadap dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir-akhir ini, baik di wilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia. Studi ini mesti dilakukan melalui perangkat historis-kultural. Studi ini menemukan signifikansinya sebagaimana dijelaskan melalui beberapa hal berikut:
 Pertama, pentingnya studi tersebut dilakukan sebagai bentuk pemenuhan terhadap motivasi imperatif agama untuk meneladani rasul. Kedua, signifikansi dilakukannya studi tersebut sebagai alat untuk menafsirkan dan memahami maksud teks-teks suci al-Qur’an. Hal ini karena memahami maksud teks tersebut harus lebih dulu memahami latar belakang sejarah turunnya, atau dalam bahasa teknis agama disebut dengan asbab al-nuzul. Ketiga, studi tersebut penting untuk mengetahui proses dialogis antara normativitas Islam dengan nilai-nilai historisitas yang melingkupinya dalam praksis Islam di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena pada tataran historis-empiris, agama ternyata juga sarat dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan yang rumit untuk dipisahkan. Keempat, signifikansi dilakukannya kajian historis ini agar nilai perkembangan historis tersebut dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk merekonstruksi disiplin-disiplin Islam bagi kepentingan masa depan. Dengan demikian, nilai positif dari kajian historis ini implikasinya sangat jauh, meliputi kerangka teoritis maupun praktis.
Studi Islam diarahkan sebagai instrumen untuk memahami dan mengetahui proses sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki kapasitas dan daya gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi dengan cara mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal). Dalam kaitan ini, jika studi Islam ditarik ke arah perjalanan sejarah tradisi Islam, tampak sekali urgensi dan signifikansinya sebab realitas historis membuktikan bahwa Islam selalu diwarnai oleh berbagai usaha pembaruan dan penyegaran secara terus-menerus sebagai konsekuensi dari arus gerak sentrifugal dan sentripetal tersebut. Usaha pembaruan dan penyegaran tersebut tidak jarang melahirkan ketegangan antara satu dan yang lain.
Sebagai konsekuensi poin pertama, studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal demikian agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang. Selama ini, beberapa ahli ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya  para orientalis, mendekati Islam dengan metode ilmiah saja.
Akibatnya, penelitian mereka meskipun menarik, tidak bisa menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata. Mereka [khususnya para ilmuwan sosial], misalnya, tidak bisa menjawab persoalan-persoalan berkenaan dengan isu-isu ontologis dari realitas atau obyek simbolisasi. Hal ini karena, oleh mereka, simbol-simbol dan sistem kepercayaan pemeluk agama  diambil secara serius sebagai data yang kenyataannya tidak bisa terlepas dari bias pengamatannya.
Untuk kepentingan ilmiah, simbol-simbol dan data-data kultural tersebut diterima sebagai sebuah realitas, baik data-data tersebut bersifat empiris, nonempiris, material maupun spiritual. Sementara itu, para ulama’ sendiri masih terbiasa memahami Islam dengan cara doktriner dan dogmatis. Akibatnya, penafsiran dan pemahaman yang dihasilkan tidak jarang out of context dengan persoalan yang sedang dan akan dihadapi. Oleh karena itu, teks-teks normatif Islam mesti didialogkan dengan realitas empirik sosial. Hal ini dilakukan agar Islam bisa menjaga fungsionalitasnya di tengah-tengah masyarakat; dan begitu pula sebaliknya, agar realitas empirik sosial memperoleh penunjukan legitimasinya oleh kebenaran agama. Selain itu, jika Islam hanya dilihat dari satu segi saja, yang akan tampak hanya satu dimensi saja dari fenomena-fenomena sosial yang beragam (multifaceted). Jika saja satu dimensi itu betul, hal itu tidak cukup untuk mengetahui wajah Islam secara keseluruhan, karena Islam memiliki multi wajah sebagaimana intan yang dapat memancarkan sinar dari berbagai sudutnya.
Studi Islam bergerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang nota bene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought). Pentingnya  memahami esensi ajaran ini lebih-lebih terlihat pada konteks kekinian dengan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda pemahaman dan aspirasinya. Hal demikian untuk mengetahui penjabaran dari nilai-nilai dasar dan asas-asas fundamental ajaran dalam kehidupan konkret sosial-kemasyarakatan yang plural.
Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya. Pencampuradukan itu pada urutannya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif. Akibatnya, semua yang berkaitan dengan wacana keagamaan atau keberagamaan dianggap sebagai hal yang absolut sifatnya dan tidak menerima segala bentuk upaya peninjauan ulang dalam konteks ruang dan waktu. Karena ketidakjelasan ini, muncul pemahaman atau bahkan tindakan yang selalu diklaim sebagai tindakan keagamaan, padahal sebenarnya pemahaman dan tindakan itu termasuk wilayah tradisi atau budaya.


*Modul ini dikutip dan ditulis langsung dari berbagai modul Pengantar Studi Islam







DAFTAR PUSTAKA

_________  Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ed. Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun, 1992.
A. Qodri A. Azizy, “Penelitian Agama di Dunia Barat,” Walisongo, Edisi 13, Tahun 1999
Abbas Mahmud Aqqad, Allah, Terj: M. Adib Bisri dan A.Rasyad, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Abdullah Darraz, al-Naba’ al-`Adhim, Mesir: Dar al-`Urubah, 1960
Abdurrahman Mas’ud, “Kajian dan Penelitian Agama di Dunia Timur,” Walisongo, Edisi 13, 1999
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2001
Abu A’la  al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.            
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet V, 2000
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Imam Muhyiddin Abâ Zakariya ibn Syarâf al-Nawáwy, Shahâh Muslim bi Syarh al-Nawáwy, jilid II, Juz 3, Asy-Syirkah ad-Dauliyah al-Çibá’ah, 2001
Allan W. Eister, “Introduction,”  dalam Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, New York: John Wiley & Sons, 1974
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran. Mansyurat Al-Ashr Al-Arabi. 1973
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999
Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Centre of Southeast Asian Studies: Monash University, 1993
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir, Beirut, Dar El-Fikr, t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. III, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Surabaya, Syirkah Bengkulu Indah, t.t.
Azyumardi Azra, "Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri," dalam Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Azyumardi Azra, Jaringan Intelektual Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut, Dar El-Fikr, 1986     
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global  Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Cik Hasan Bisri, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agam Islam,” Mimbar Studi, No. 2, Tahun   XXII, 1999
Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe, 1960.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Penelitian Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1998
Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: CV. Rajawali, 1985
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1988
Faisal Ismail, “Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,”  dalam Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Permika dan Titian Ilahi Press, 1997
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1980
Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia,  Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul ‘Azhim. Beirut, Dar El-Ma’rifah, 1992
Isma'il R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Perdaban Gemilang, judul asli : The Cultural Atlas of Islam, terjemahan Ilyas Hasan Bandung; Mizan, 2001
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits. Beirut, Dar El-Fikr, 1981          
John. L. Esposito, “Islamic Studies,”  The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 2, Oxford & New York: Oxford University Press, 1995
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Keputusan Menteri Agama No. 383 Tahun 1997; “Kata Pengantar,” Qualita Ahsana,  Vol 2, No. 2, Oktober 2000
Khalaf, Abdul Wahab.  ‘Ilmu Ushul Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Jakarta: Paramadina, 1995
Koran Pelita :”Seminar Tafsir Alqur’an di IKIP Jakarta,” Selasa, 29 Maret 1994/16 Syawwal 1414 H. Lihat pula M. Amin Djamaluddin, Penyimpangan dan Kesesatan Ma‘had al-Zaytun, hal. 34, LPPI, Jakarta, 2001
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren Persis Garut, 1408 H    
M. Atho Mudzhar, "In the Making of Islamic Studies in Indonesia (In Search for a Qiblah)," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Masdar Hilmy, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam; Membangun Paradigma Penelitian Kegamaan yang Komprehensif,” Paramedia, Vo. 1, No. 1, April 2000
Mastuhu & Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa dan Pusjarlit, 1998
Merle C. Riclefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam, New York: Holmes and Meir, 1979.
Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo,(Paris: EHESS, 1994
Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Muhammad Ibn Muhammad Abã Syahbah dalam bukunya :”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” 1992 M/ 1412 H.,Mesir: Maktabah as-Sunnah, 1992 M/1412 H
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Taysir fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, Damsyiq : Dar-Al-Qalam,1990 M/1410 H. 
Muhammad Yususf Musa, al-Insan wa Hajah Insaniyah Ilahy, Terj: A. Malik Madany dan Hakim, Jakarta: Rajawali, 1988
Nasaruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1982
Neil Muider, Kepribadian jawa, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980
Nico Kaptein, "The Transformation of the Academic Study of Religion: Examples from Netherlands and Indonesia," makalah disampaikan dalam seminar internasional Islam in Indonesia: Intellectualization and Social Transformation, di Jakarta 23-24 November 2000
Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Robert N Bellah, “Preface,” dalam Beyond Belief, New York: Harper & Row Puiblishers, 1970
Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal of Asian Studies, 1987
Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, Terj: Achmad Fedyani Saifuddin dari judul aslinya: Sociology of Religion, Jakarta: Rajawali, 1988
Saiful Muzani, Ed., Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono Sumargono, Berfikir Secara kefilsafatan, Yoryakarta : Penerbit Nurcahaya, 1984
Sudirman Tebba, "Orientasi Mahasiswa dan Kajian Islam IAIN," dalam Islam Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Sutan Muh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Tp., Tt.
Sya’raq, al , Muhammad al-Mutawalli, al-Qa[a[ al-Anbiyá, Juz I, Kairo: Maktabah al-Tura` al-Islamy, 1416 H / 1996 M.
Syamsul Haq, Abu Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut, Dar El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.      
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Wahbah Zuhayly, al-Tafsâr al-Munâr, fâ al-‘Aqâdah wa asy-Syarâ‘ah wa al-Manhaj,   Beirut : Dar al-Ma’shir, 1998 M/ 1418 H. Juz 11
Wahbah Zuhayly, Tafsir Al-Munir,  Beirut , 1991 Juz 30, 
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976M. Thohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1986.
Yahya, Mukhtar, Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
Zaini Muchtarom, et.al., Sejarah pendidikan Islam Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985
 

 

No comments:

Post a Comment

GRAVITASI PENDIDIKAN TINJAUAN UMUM DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM*

Makalah Disampaikan pada Diskusi Periodik Dosen IAIN Jember Oleh: Akhsin Ridho , M.Pd .I NIP. 19 830321 201503 1 002 ...